Elara tidak pernah menyangka bahwa keahliannya sebagai dokter akan menyeretnya ke dalam dunia yang penuh bahaya. Suatu malam, ia dipaksa menyelamatkan seorang pria yang sekarat—Leon, pemimpin mafia yang kejam dan tak kenal ampun. Bukan hanya nyawa pria itu yang berada di tangannya, tapi juga takdirnya sendiri. Karena setelah insiden itu, Leonardo tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. “Menikahlah denganku, atau aku pastikan kau tidak akan pernah merasa aman lagi.” Elara tahu pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan paksaan. Ia hanya ingin hidupnya kembali normal, tetapi Leonardo memiliki alasan lain. Sebagai mafia, ia tidak bisa membiarkan seorang saksi bebas, terlebih seseorang yang telah menyentuh batas antara hidup dan matinya. Namun, semakin lama mereka bersama, semakin sulit bagi Leonardo untuk mengabaikan keberadaan Elara. Kebaikan dan keteguhan hati perempuan itu perlahan menembus tembok yang telah ia bangun selama ini. Tapi di dunia mafia, perasaan adalah kelemahan yang bisa berujung kehancuran. Ketika musuh mulai mengendus identitas Elara, pernikahan rahasia mereka menjadi target yang berbahaya. Di tengah pengkhianatan, darah, dan rahasia yang lebih dalam dari yang ia bayangkan, Elara harus memilih—bertahan di sisi pria yang berbahaya atau melarikan diri meskipun tahu ia tak akan pernah benar-benar bebas.
View MoreHujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.
Dor! Dor! Dor!
Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?
Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.
Elera membeku.
Pria itu berusaha berjalan lebih jauh, tetapi beberapa detik kemudian, lututnya melemas dan ia jatuh bertumpu pada satu tangan. Napasnya berat, darahnya bercampur dengan hujan yang membasahi trotoar.
Tanpa sadar, langkah Elera bergerak maju.
"Tuan, Anda butuh bantuan medis!"
Mata abu-abu tajam menatapnya, penuh kewaspadaan meskipun tubuhnya jelas melemah. Hujan turun semakin deras, tapi tatapan pria itu membuatnya bergidik. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bahaya.
"Bawa aku dari sini," gumamnya, suaranya rendah dan nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Sebelum Elera bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki cepat mendekat. Dari gang yang sama, muncul empat pria bersenjata, ekspresi mereka penuh niat membunuh.
Salah satu dari mereka mengangkat senjata.
Dor!
Peluru pertama mengenai tiang lampu di samping mereka. Elera menjerit, tubuhnya refleks menunduk.
Pria di depannya—Leon—berusaha berdiri dengan sisa tenaganya dan langsung menembakkan satu peluru ke arah musuh.
Dor! Dor!
Salah satu pria bersenjata jatuh, tapi yang lain membalas. Braak! Kaca jendela kafe di samping mereka hancur berkeping-keping akibat rentetan tembakan. Elera terengah, jantungnya berdetak liar. Ini bukan perampokan. Ini perang.
Leon menggertakkan giginya. Dengan cepat, ia meraih bahu Elera dan mendorongnya ke belakang mobil terdekat sebagai perlindungan.
"Kalau kau tidak mau mati, masuk ke mobil dan bawa aku pergi dari sini."
Otaknya menolak, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, Elera merogoh kunci mobilnya dan berlari ke sisi pengemudi. Tapi mereka tidak bisa pergi begitu saja. Musuh sudah mengepung. Dari kaca spion, Elera melihat tiga mobil hitam berhenti di ujung blok, menutup jalan keluar mereka. Lebih banyak pria bersenjata keluar dari dalamnya.
Sial.
Leon menyadari situasi itu, matanya menyipit. Tangannya bergerak cepat memasukkan peluru baru ke dalam pistolnya. "Begitu aku bilang jalan, gaspol."
"Apa?!" Elera hampir berteriak. "Kita tidak bisa keluar dari sini! Mereka menutup jalan!"
Leon menatapnya sekilas. "Percayalah. Aku punya cara."
Tepat saat musuh mulai menembak lagi, Leon keluar dari balik mobil, menembak dengan presisi yang mengerikan. Dua pria jatuh seketika.
Elera mencengkeram kemudi erat, napasnya tercekat.
"JALAN!"
Tanpa berpikir panjang, Elera menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil melesat, menerobos hujan dan suara tembakan. Musuh mulai mengejar. Salah satu mobil hitam yang tadi menghalangi jalan ikut melaju di belakang mereka.
Leon, meskipun terluka, berhasil duduk di kursi penumpang sambil mengisi ulang amunisinya. Ia membuka jendela, menoleh ke belakang, lalu mengangkat pistolnya.
Dor! Dor!
Braak!
Kaca depan mobil musuh pecah, membuat pengemudinya kehilangan kendali dan menabrak trotoar.
Tapi mereka belum selesai. Dua mobil lain masih mengejar. Elera menggigit bibirnya, matanya fokus ke jalan yang licin. Tangannya gemetar di atas kemudi, tapi ia tetap memacu mobil dengan kecepatan penuh.
"Sial, sial, sial! Aku bukan pengemudi aksi, tahu!" teriaknya.
Leon hanya menyeringai tipis meskipun kesakitan. "Sekarang kau jadi satu."
Suara tembakan masih menggema, mobil mereka berbelok tajam di tikungan, hampir menabrak truk yang melaju dari arah berlawanan.
Elera berteriak panik. "Kita akan mati!"
"Belok kanan sekarang!" perintah Leon.
Dengan naluri bertahan hidup, Elera membanting setir ke kanan, memasuki jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil. Mobil musuh tidak sempat mengerem dan melewati mereka, kehilangan jalur pengejaran.
Leon mendesah lega. "Bagus. Sekarang menuju distrik barat."
Elera masih bernapas terengah-engah, keringat bercampur dengan hujan di dahinya. "Kau gila."
Leon meliriknya sekilas, ekspresinya tetap santai meskipun darah masih mengalir dari lukanya. "Dan kau baru saja menyelamatkan seorang mafia."
Safe house itu terasa lebih besar dari yang Elera duga. Begitu ia memasuki ruangan utama, matanya langsung disambut oleh interior megah yang terasa kontras dengan situasi Leon yang masih berlumuran darah.
Leon berjalan santai ke arah sofa besar, tapi Elera langsung menyusulnya dengan wajah murka. "Duduk. Jangan banyak bergerak."
Leon hanya mendesah dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan elegan. "Santai, Dokter. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja."
"Oh ya?" Elera melipat tangan di dada, menatap darah yang sudah mulai mengering di kemejanya. "Karena menurutku, orang yang ‘baik-baik saja’ tidak berjalan-jalan dengan lubang peluru di tubuhnya!"
Dante, yang berdiri di sudut ruangan sambil menyaksikan interaksi ini, terkekeh. "Wow, bos. Sepertinya kau mendapatkan dokter yang lebih cerewet daripada yang biasanya."
Leon menatap Dante sekilas sebelum kembali menatap Elera. "Aku sudah melalui yang lebih buruk."
"TIDAK PEDULI!" Elera mendekat dan menekan bahu Leon dengan kasar agar dia tidak bisa bangun. "Aku tidak peduli seberapa kebal kau terhadap rasa sakit, kau tetap manusia, Leon! Kau bisa mati karena pendarahan atau infeksi!"
Leon mengangkat satu alis, tampak sedikit terhibur. "Jadi kau peduli padaku, ya?"
Elera mendelik tajam. "Aku peduli pada pasienku, bukan padamu secara khusus. Jadi diam dan biarkan aku bekerja."
Leon menahan tawa kecil sementara Elera menarik peralatan medis seadanya yang diberikan Dante. Setelah membersihkan tangannya, ia mulai membuka kemeja Leon tanpa peringatan.
Leon menegang. "Biasanya wanita setidaknya makan malam dulu sebelum mencoba melepas bajuku."
Elera berhenti sejenak, lalu menatapnya tanpa ekspresi. "Aku bisa saja menjahit luka ini tanpa anestesi, tahu?"
Dante langsung tertawa keras. "Bos, aku rasa kau akhirnya bertemu seseorang yang tidak takut padamu."
Leon hanya mendesah lelah. "Baiklah, lakukan saja."
Elera mulai bekerja. Ia membersihkan luka dengan tekanan agak keras, sengaja tidak terlalu lembut sebagai bentuk hukuman karena kebodohan Leon.
Leon mengerang pelan. "Astaga, kau bisa sedikit lebih lembut?"
"Oh, maaf," kata Elera datar. "Aku lupa bahwa Tuan Mafia ini punya ambang batas sakit selektif."
Leon menutup matanya sejenak, menikmati momen ketika seseorang berani berbicara kasar padanya tanpa rasa takut. "Kau benar-benar dokter yang menyebalkan."
"Dan kau pasien terburuk yang pernah kutangani," balas Elera tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Leon.
Dante yang sejak tadi menonton hanya bisa menggelengkan kepala, senyum geli masih terpampang di wajahnya. "Dokter, aku menyukaimu lebih dari yang kupikirkan."
Elera mendengus. "Sayangnya, aku tidak bisa berkata sama."
Leon menahan tawa kecil, tapi kemudian wajahnya kembali serius ketika rasa nyeri di tubuhnya semakin terasa. Elera menutup luka dengan perban bersih, lalu menarik napas lega.
"Selesai. Tapi kau harus istirahat. Aku tidak mau melihatmu bangun dan bertingkah seolah kau tidak terluka!"
Leon menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Dokter, kau harus mulai terbiasa. Aku tidak akan diam terlalu lama."
Elera berdecak kesal. "Ya Tuhan, kau keras kepala."
Leon mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. "Dan kau tidak biasa berhadapan dengan pria sepertiku, kan?"
Jantung Elera sedikit berdebar, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan. "Aku sudah cukup banyak berurusan dengan pasien keras kepala sepertimu."
Dante tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku merasa drama ini akan jadi tontonan yang menarik."
Elera menutup kotak medisnya dengan keras, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius. "Kau masih harus banyak beristirahat. Kalau kau berani bergerak terlalu banyak, aku sendiri yang akan membuatmu pingsan."
Leon hanya tersenyum miring, menikmati bagaimana dokter itu bisa mendominasi percakapan tanpa rasa takut. "Baiklah, Dokter. Aku akan mencoba menaatimu… untuk sementara."
Elera mendesah panjang. "Kita lihat saja nanti."
Pasar malam itu hidup—gemerlap lampu warna-warni, aroma makanan yang menggoda, suara tawa, denting permainan, dan kerumunan yang bergerak seperti gelombang manusia. Bagi kebanyakan orang, ini hanyalah pasar malam biasa. Tapi malam ini, ada yang istimewa.Sebuah mobil hitam elegan berhenti tak jauh dari area utama. Pintu terbuka dan keluar satu per satu: Leon Santiago yang mencolok dengan aura tajir-dingin-dan-tak-bisa-didekati, Elera yang cantik natural dengan aura "jangan berani macam-macam", Alva kecil yang semangat setengah melompat, serta Maya, Kai, dan Dante yang sama-sama tampak… tidak cocok dengan latar belakang gerobak dan asap sosis bakar.Namun, yang tak terlihat oleh mata awam adalah bayangan-bayangan yang sudah terlebih dulu menyusuri area pasar.Rafael, dengan telinga ditempel earpiece, mengangguk kecil sambil menatap ke arah gerobak rice bowl. “Clear. Penjual rice bowl sudah di-screening. Nasi aman, sambal aman. Tim dua di sisi barat. Penembak jitu tak diperlukan.”“Kamu
Suasana hangat pagi itu di penthouse Santiago terasa sangat akrab. Elera, yang tengah duduk santai di ruang tamu bersama Maya dan Kai, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dengan nada serius tapi penuh canda.“Kalian tahu nggak, aku tiba-tiba ngidam sesuatu yang agak... aneh,” kata Elera sambil tersenyum nakal.Kai, yang sudah seperti kakak kelas dan sahabat dekat Elera dan Maya sejak masa kuliah, mengangkat alis sambil menyeka keringat setelah selesai berolahraga pagi tadi.“Apa tuh, El? Ngidam makan durian lagi?” Maya mendesah, “Kamu itu selalu aja ngidam aneh-aneh.”Elera menggeleng sambil tersenyum misterius, “Bukan makanan, tapi aku pengen... Kai punya pacar.”Maya langsung tertawa terbahak, “Pacar? Kai, dokter pribadi Leon sekaligus senior kita yang galak itu? Siapa berani coba?”Kai sendiri yang sedang bersandar di sofa, tersenyum sinis, “Apa aku ini terkenal galak, ya?”Elera menatap Kai penuh harap, “Iya, galak. Tapi kamu itu keren! Aku cuma mau kamu punya seseorang yang bisa bi
Sore itu, rumah keluarga Santiago terasa hangat dan nyaman. Alva bermain di karpet ruang keluarga, membangun benteng dari bantal sambil berkata bahwa dia akan melindungi “adik kacang” dari segala monster. Sementara itu, Elera bersandar di bahu Leon di sofa, menikmati aroma teh mint yang mengepul di meja.“Kayaknya anak kita bakal jadi pengawal pribadi buat adiknya,” gumam Elera, setengah tertawa, setengah terharu.Leon tersenyum, mengusap rambut Elera dengan lembut. “Dia meniru seseorang yang aku kenal… wanita yang keras kepala tapi selalu melindungi semua orang.”Elera menoleh, menatap wajah Leon yang kini tampak lebih tenang, lebih terbuka. Tidak ada lagi jarak di antara mereka. Semua sudah dijelaskan, semua sudah dibagi.Tapi bahkan dalam keheningan itu… ada perasaan aneh yang mengendap.**Di luar rumah, di balik pagar tinggi dan kamera pengawas tersembunyi, Rafael berdiri di balik mobil dengan tangan menyilang. Beberapa anggota keamanan berdiri tak jauh darinya, menyamar sebagai
Pagi yang seharusnya biasa itu terasa lebih tenang dari biasanya. Leon sedang sibuk di ruang kerja rumah, sementara Alva bermain di ruang tengah dengan tumpukan mainan strategi pemberian Maya. Sementara itu, Elera berdiri di depan lemari kecil di dalam kamar mandi pribadinya, menatap satu kotak kecil di tangannya.Testpack.Benda yang dulu pernah memberinya harapan, lalu menghancurkannya.Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat saat dia membuka satu strip pertama dan menunggu. Satu menit. Dua menit.Dua garis.Tangannya sedikit bergetar. Dia meletakkannya di sisi wastafel, lalu mengambil satu lagi.Tes kedua. Dua garis lagi.Ketiga.Keempat.Sama.Elera terduduk di lantai dingin kamar mandi, menatap keempat testpack itu berbaris seperti pengingat takdir yang datang untuk kedua kalinya. Hatinya terasa penuh, tapi juga rapuh. Ada desir kebahagiaan yang sangat nyata—ia sedang hamil. Tapi di balik itu semua, ada rasa takut yang tak bisa ditepis.Kehilangan dulu… darah yang tiba-tiba muncu
Setelah tawa dan canda bersama Kai, Dante, dan Maya mereda, pagi itu berganti menjadi siang yang lebih tenang. Leon dan Elera akhirnya punya waktu sendiri—tanpa interupsi dari sahabat-sahabat jahil mereka, atau Alva yang sedang sibuk disuapi Maya sambil menyusun puzzle besar di ruang tengah. Leon menggenggam tangan Elera, menuntunnya duduk di sofa panjang di balkon belakang rumah mereka. Angin sejuk mengayun pelan, menebar harum bunga kamboja dari taman. “Elera,” suara Leon terdengar rendah namun tenang. Matanya menatap ke depan, tapi jemarinya terus menggenggam jemari Elera. “Aku ingin menepati janjiku padamu. Untuk tidak menyembunyikan apa pun. Jadi hari ini… aku akan memberitahumu semuanya.” Elera hanya mengangguk pelan, diam namun penuh kesiapan. Hatinya sudah mempersiapkan diri sejak lama. Dia tahu, jika ingin terus bersama Leon Santiago, dia harus cukup kuat untuk menerima kenyataan, seburuk apa pun masa lalu yang mungkin muncul. Leon menarik napas panjang sebelum mulai berc
Rumah keluarga Santiago kembali tenang… di permukaan.Alva sudah mulai kembali ceria, meski bekas lukanya belum sepenuhnya hilang. Maya dan Kai bergantian datang, memastikan bocah kecil itu selalu punya teman. Bahkan Kai sempat bermain catur strategi dengan Alva dan—tentu saja—kalah telak. Lagi.“Anak ini… jenius,” gumam Kai sambil meratap, membuat Maya tergelak dan Alva tertawa penuh kemenangan.Sementara itu, Elera mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Ia kembali ke rumah sakit dengan jadwal padat, menghabiskan waktunya di ruang operasi dan menghindari terlalu banyak interaksi sosial. Luka akibat pengkhianatan Celeste memang perlahan sembuh, tapi belum hilang seluruhnya.Dan Leon… mulai bergerak dalam diam.Leon, di ruang rahasia yang hanya diketahui oleh Rafael, Dante, dan beberapa orang terpilih.Di depannya terpampang papan besar berisi benang-benang koneksi—foto, rekaman, laporan keuangan, bahkan potongan berita lama. Tapi satu wajah yang berada di tengah membuat semua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments