Teriakan dan suara tembakan teredam menggema di seluruh gudang. Tim dari Diego bergerak cepat, seperti bayangan yang menghantam dari segala arah. Penjaga-penjaga Sergio tak sempat berteriak, tak sempat berpikir. Mereka jatuh satu demi satu, tersungkur tanpa suara di lantai beton berdebu, dilumpuhkan oleh keahlian para pemburu paling berbahaya yang pernah dilatih dalam gelapnya dunia bayangan.Dante menerobos pintu ruang utama dengan tendangan kuat, pistolnya terangkat. Napasnya berat, mata tajamnya menyapu ruangan yang penuh darah dan bau terbakar.Dan di tengah ruangan itu—Leon.Masih terikat. Masih berdarah. Tapi matanya terbuka. Menerkam. Napasnya kasar, tapi hidup."Leon!" suara Dante serak, tapi tegas.Kai datang dari sisi kanan dengan cepat, menembakkan jarum anestesi ke salah satu sisa penjaga yang berusaha menyerang dari balik pilar.WHUP!Lelaki itu jatuh seketika, tubuhnya kejang sebelum membeku.Dante segera mendekat, pisau di tangannya mengiris cepat tali pengikat yang me
Suara roda pesawat yang menyentuh landasan membawa satu getaran sunyi ke dalam malam. Tidak ada sambutan. Tidak ada hiruk-pikuk. Hanya dingin yang merayap di balik jaket kulit para pria yang turun dengan langkah pasti.Tim Dante, lengkap dengan Kai, Rafael, dan tiga anggota khusus dari jaringan Diego, mendarat diam-diam di sebuah bandara kecil yang tersembunyi dari radar sipil. Helikopter tak berlogo membawa mereka keluar jalur utama, langsung menuju wilayah luar kota tempat titik koordinat Leon ditemukan.Mereka tidak pergi ke hotel mewah.Sebaliknya, sebuah motel tua yang hampir ambruk, dengan dinding retak dan papan nama berkedip rusak, menjadi markas sementara mereka. Di tempat seperti ini, mata Sergio tak akan menjangkau. Dan itulah yang mereka butuhkan—bayangan.Dante membuka peta dan cetak biru gudang yang dikirim jaringan Diego. Di meja reyot dengan lampu gantung bergoyang pelan, mereka berkumpul. Rafael menyebarkan foto-foto satelit terbaru dan gambar drone kecil yang dikirim
Pagi itu, langit di atas mansion Santiago terlihat lebih kelabu dari biasanya. Seolah matahari pun enggan menampakkan diri. Di ruang makan, piring sarapan Alva masih penuh. Tangan kecilnya hanya memindah-mindahkan telur orak-arik dari sisi ke sisi. Tak ada celoteh ceria pagi hari. Tak ada tawa atau suara minta roti lebih.Rachele dan Kai memperhatikan dari kejauhan, bertukar pandang sejenak. Biasanya Alva akan bercerita panjang lebar tentang mimpi lucunya atau meminta Kai mengajari trik-trik baru yang "boleh dipakai kalau lagi darurat". Tapi hari ini… anak itu diam.Maya datang dengan mata lelah, tapi tetap mencoba tersenyum. “Pagi, Alva… nggak dimakan rotinya?”Alva hanya mengangguk pelan.Maya berjongkok di sampingnya. “Kamu kenapa, hm?”Alva menatap Maya. Mata cokelat besarnya terlihat lebih dalam dari biasanya. Dan kalimat yang keluar… membuat dada Maya sesak.“Papa hilang, ya?”Semua yang ada di ruangan itu terdiam.Maya mencoba tersenyum, meski bibirnya sedikit bergetar. “Papa…
Udara di dalam gudang tua itu lembap, berbau besi karat, darah, dan sisa asap bahan kimia. Lampu gantung tunggal berayun pelan di langit-langit tinggi, menciptakan bayangan menyeramkan di dinding-dinding batu yang retak. Di tengah ruangan, Leon terikat dengan rantai baja, tubuhnya tergantung sebagian, kakinya menyentuh lantai hanya separuh beratnya. Nafasnya berat. Luka dari kecelakaan masih segar—goresan dalam di pelipis, bahu yang tampak patah, dan perut yang terus berdarah meski sudah dilapisi perban kasar seadanya.Namun mata Leon tetap terbuka.Tajam.Penuh amarah.Sergio melangkah masuk dari balik pintu samping, sepatu kulitnya berderap pelan di lantai semen. Ia tampak bersih dan elegan, kontras dengan kekacauan Leon. Setelan hitam abu-abunya tampak mahal. Di tangannya, secangkir kopi panas, yang ia hirup dengan tenang.“Senang melihatmu hidup, Leon,” ujar Sergio santai. “Kupikir kau akan mati seketika di laut. Tapi sepertinya Tuhan ingin kau merasakan neraka dulu.”Leon mendeng
Pagi itu, suasana di mansion Santiago tampak seperti biasa. Tawa Alva terdengar dari ruang tengah saat ia bermain dengan Kai dan Rachele, sementara Elera mengganti popok si kembar sambil terus mengawasi waktu. Leon berdiri di ambang pintu, jas hitam sudah rapi membalut tubuhnya, dasi sudah dikencangkan, dan wajahnya tampak sedikit berat.“Aku harus terbang ke Tokyo siang ini. Ada urusan penting dengan cabang bisnis baru. Satu atau dua hari,” ujar Leon, sembari mencium pelipis Elera.Elera menatapnya dengan pandangan khawatir, yang ia coba sembunyikan dengan senyuman. “Pakai jet pribadi?”Leon mengangguk. “Selalu.”Elera hanya mengangguk, lalu menggenggam tangannya sebentar. “Hati-hati. Dan jangan lupa kabari.”Leon tersenyum. “Aku janji. Aku pasti pulang.”Tapi janji terkadang tak cukup melindungi seseorang dari rencana yang sudah disusun oleh musuh dalam diam.---Di tempat lain—sebuah ruangan gelap dengan layar-layar besar dan peta digital—Sergio duduk tenang, mengenakan setelan abu
Langit sore tampak mendung ketika Leon duduk di ruang kerja kecil di rumah mereka, tangannya gelisah memainkan jari-jarinya. Elera duduk di hadapannya, diam. Ia tahu, sudah waktunya mendengar kebenaran, meski hatinya belum tentu siap.Leon menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara berat, “Waktu itu… aku masih keras kepala. Ayahku meninggal mendadak karena serangan jantung. Tapi jauh sebelum itu, dia dan ayahmu sudah sering berselisih paham. Ayahmu selalu memperingatkanku—jangan terlibat terlalu dalam di dunia abu-abu ini. Dia ingin aku memilih jalur bersih… seperti yang dilakukan keluargamu.”Elera menahan napas, merasa dadanya sedikit sesak.“Dan aku… bodoh. Aku pikir aku bisa mengendalikan semuanya. Aku mengambil alih beberapa aset penting. Aku tidak mendengar peringatan dari siapapun. Salah satu transaksi ternyata disabotase oleh kelompok lawan yang merasa aku terlalu mudah dijatuhkan.”Leon menunduk. Jemarinya mengepal kuat.“Waktu itu ayahmu datang. Tanpa aku minta. Dia da