Langkah Bintang pelan, matanya memancarkan kelelahan yang mendalam. Akan tetapi perlahan kerapuhan di wajahnya lenyap melihat bocah laki-laki berusia tiga tahun berlari menghampirinya, dan langsung memberikan pelukan erat di tubuhnya.
“Mama! Aku kangen Mama,” ucap bocah laki-laki tampan, seraya terus memeluk erat Bintang. Bintang tersenyum, menundukkan tubuhnya, dan langsung menggendong bocah laki-laki itu. “Bima Sayang, Mama juga kangen Bima.” Bima Dirgantara Gunawan, bocah laki-laki tampan berusia tiga tahun itu sangat cerdas. Paras tampan membuat semua orang sangat menyukainya. Ya, Bima adalah alasan Bintang mati-matian berjuang sekeras mungkin. Yang Bintang lakukan adalah memberikan kehidupan yang layak untuk putranya. Bintang hidup di dunia ini sebatang kara. Dia tak lagi memiliki kedua orang tua. Sejak kecil, Bintang telah kehilangan kedua orang tuanya. Dia dibesarkan oleh adik dari ibunya. Namun, saat Bintang duduk di bangku SMA, dia telah kehilangan tantenya—yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Bintang bisa kuliah karena beasiswa. Demi menyambung hidup, sepulang kuliah—dia menjadi pelayan kafe. Hidupnya sangat sulit sejak dulu, tapi dia tak pernah mengeluh. Meski dalam kesulitan, tapi Bintang yang dulu selalu merasakan cinta yang luar biasa dari Bara—mantan kekasihnya yang dulu bersamanya selama lima tahun. “Mama, kenapa Mama melamun? Apa yang Mama pikirkan?” celoteh Bima begitu pintar. Bintang membuyarkan lamunannya di kala mendengar ucapan Bima. Dia langsung membuang pikirannya yang mengingat kenangan masa lalunya dengan Bara. Dia mengatur napas, meneguhkan bahwa kisahnya dengan Bara telah selesai. Pertemuannya dengan Bara tak berarti apa pun. “Mama nggak mikirin apa pun, Sayang. Mama hanya capek aja,” jawab Bintang berdusta. Bima memiringkan kepalanya. “Oh, begitu. Mama, nanti kalau aku sudah besar, aku akan bekerja untuk Mama. Aku akan cari banyak uang untuk Mama.” Bintang tersenyum, hatinya tersentuh mendengar ucapan manis putranya. “Bima ingin bekerja untuk Mama?” Bima mengangguk antusias. “Tentu saja, Mama. Aku akan mencari banyak uang untuk Mama.” Bintang memeluk Bintang erat, menciumi pipi bulat putranya. Hatinya benar-benar bersyukur karena melahirkan seorang putra yang tak hanya tampan, tapi juga cerdas dan juga penurut. “Den Bima, ayo kita istirahat. Mama pasti capek ingin langsung tidur,” ucap Mbok Inem, pembantu Bintang yang baru bekerja. Sejak diterima bekerja di Gunaraya Group, tentu Bintang mempersiapkan banyak hal, termasuk mempekerjakan seseorang untuk membantunya menjaga putra kesayangannya. Bintang tak bisa menitipkan anaknya ke sembarangan orang. Apalagi, Bintang tak memiliki siapa pun di dunia ini. Bima menggelengkan kepalanya. “Aku mau sama Mama! Aku kangen Mama!” “Tapi, Den—” “Mbok, nggak apa-apa. Aku udah pulang kerja. Biarin Bima sama aku aja, ya? Aku juga kangen sama Bima,” kata Bintang yang langsung memotong ucapan pembantunya. Bintang mengerti pastinya Bima masih belum nyaman bersama dengan Mbok Inem. Akan tetapi, meski belum sepenuhnya nyaman, Bintang sangat bersyukur anaknya tidak menangis di kala dia harus pergi bekerja. Saat jam makan siang tadi, Bintang menghubungi pembantunya, dan pembantunya melaporkan Bima tidak rewel sama sekali. Hal tersebut yang membuat Bintang sangat bersyukur. Bintang bisa sedikit tenang, karena putranya bisa ditinggal. Mbok Inem mengangguk patuh merespon Bintang. “Baik, Bu. Kalau begitu saya siapkan makan malam saja.” “Boleh, Mbok. Terima kasih.” Bintang tersenyum, lalu melangkah menuju kamar sambil menggendong Bima. Tampak Bima sangat bahagia karena Bintang meluangkan waktu. Bocah laki-laki itu menunjukkan tak ingin jauh dari ibunya. Setibanya di kamar, Bintang membaringkan tubuh Bima di ranjang. Pun dia ikut berbaring. Dia memeluk putranya seraya menciumi pipi bulat putranya itu. Rasa lelah seakan sirna di kala sudah memberikan pelukan erat di tubuh putranya itu. Sayup-sayup, Bima mulai menguap dalam pelukan Bintang. Bocah laki-laki itu perlahan mulai tertidur di pelukan ibunya. Bintang terdiam di kala mendapati putranya yang terlelap dalam pelukannya. Sudut matanya tiba-tiba saja mengeluarkan air mata. Satu demi satu sesuatu hal muncul di dalam benak Bintang. Apalagi di kala dia melihat Bima—mengingatkannya pada sosok pria yang seharusnya tak dia ingat lagi. Bintang tak pernah mengira akan kembali bertemu dengan Bara. Selama ini, memang dia tahu bahwa Bara lahir di keluarga berkecukupan, sangat berbeda dengannya, tapi dia tak pernah tahu bahwa Gunaraya Group milik keluarga Bara. Sungguh, jika saja dia tahu dari awal, maka dia tak akan pernah melamar di perusahaan itu. Bintang ingin sekali keluar dari Gunaraya Group. Namun, dia tak bisa bersikap egois. Ini bukan tentang Bintang saja, tapi ini tentang Bima. Bintang sudah lama menganggur, dan sekarang sudah mendapatkan pekerjaan. Tentunya Bintang memikirkan kehidupan Bima, jika sampai dia menganggur lagi. Sementara mencari pekerjaan di Jakarta sangat tidak mudah. Bintang seakan terjebak di dalam lingkaran api. Dia tak bisa berbuat apa pun. Hanya ada satu pilihan yaitu tetap bertahan. Dia membutuhkan uang untuk Bima. Dia tak ingin putranya mengalami kesulitan. Sejak dulu, hidup Bintang sangat sulit. Wanita cantik itu tak ingin putranya merasakan hal yang sama sepertinya. ‘Bara, aku nggak akan biarin kamu tau tentang Bima,’ batin Bintang dengan air mata yang membasahi pipinya. *** Kembali ke Jakarta tak serta merta membuat Bara segera pulang ke rumah. Pria tampan itu memilih untuk tinggal di apartemen mewahnya yang ada di Kawasan Jakarta Selatan. Dia sengaja tak langsung pulang ke rumah, karena dia malas mendengar begitu banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya. Bara berdiri menatap keindahan pemadangan apartemennya dari balik kaca. Tatapan mata menyorot ke depan, dengan aura wajah dingin, penuh amarah serta dendam yang membakar dirinya. Sudah empat tahun Bara tak bertemu dengan Bintang. Kebencian dan amarah telah menggrogotinya. Hal yang paling Bara puas adalah Bintang hidup terlihat kesulitan. Terbukti Bintang yang dulu memilih Mario tidak hidup bergelimang harta. Suara dering ponsel terdengar. Bara mengalihkan pandangannya, mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Tatapannya menatap tegas nomor ibunya terpampang di layar ponselnya. Embusan napas kasar terdengar bercampur dengan decakan kesal. Bara tak ingin menjawab telepon, tapi dia sadar jika dia tak menjawab telepon ibunya, maka masalah baru akan timbul. Akhirnya, dengan terpaksa Bara memilih untuk menjawab telepon itu. “Aku sibuk, Ma,” ucap Bara dingin kala panggilan terhubung. “Bara, kamu kok kayak gitu dapet telepon dari Mama? Harusnya kamu tanya kabar Mama. Kamu itu kan baru kembali dari New York,” ujar Della, ibu Bara, dengan nada sedikit jengkel dari seberang sana. Bara berusaha bersabar. “Ma, aku lagi capek. Katakan ada apa?” Della mengembuskan napas kasar. “Mama nelepon kamu, karena Mama ingin kamu segera pulang ke rumah. Mama dapat informasi dari Andi, kamu malah pulang ke apartemenmu. Harusnya kamu pulang ke rumah, Nak. Mama dan Papa merindukanmu.” “Aku akan pulang nanti. Sekarang pikiranku masih sangat kacau.” “Apa ada masalah?” “Nggak. Nggak ada masalah sama sekali. Ma, sorry, aku tutup dulu. Aku akan pulang, kalau kondisi memungkinkan.” “Bara—” Bara langsung menutup panggilan telepon itu, dia tak mau melanjutkan percakapan dengan sang ibu. Sejak bertemu kembali dengan Bintang, pikirannya sangat kacau. Pun emosinya menjadi tak terkendali. Bara melangkah menuju balkon, tatapannya menatap bintang yang ada di langit. Sorot mata tajam penuh dendam begitu terlihat jelas. Pria tampan itu seakan menunjukkan sangat membenci pemandangan yang ada di pandangannya itu. “Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan, Bintang,” gumam Bara penuh dendam.