Bintang tak bergerak sedikit pun di kala Bara begitu dekat dengannya. Dia sedikit ingin melangkah mundur, tapi dia merasa bahwa kakinya tak bisa digerakan sama sekali. Seakan berada di ambang maut, Bintang benar-benar tak bisa berkutik.
“P-pak, s-saya—” “Bagaimana rasanya memanggil orang yang kamu hina dengan sebutan ‘Bapak?’ Bukankah dulu kamu mengatakan bahwa aku ini hanya pas-pasan?” Bara berkata sangat sarkas, menggali kembali ucapan Bintang masa lalu. Bintang menelan salivanya susah payah. Kepingan memorinya mengingat semua hinaan tajam yang sudah dia ucapkan pada Bara. Tentu dia tak akan mungkin lupa. Bahkan jika sekarang Bara menaruh dendam serta kebencian padanya adalah hal yang wajar. Bintang menarik napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Mati-matian, dia berusaha mengatasi dirinya sendiri. Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan oleh Bintang. Dari jutaan banyak manusia di muka bumi ini, kenapa Bintang harus kembali dipertemukan dengan Bara? Sungguh, takdir telah mempermainkannya. “Pak Bara, saya minta maaf jika ada perkataan saya yang menyakiti Anda. Mari lupakan apa yang terjadi di belakang. Sekarang saya hanya sekretaris Anda, dan Anda adalah atasan saya,” jawab Bintang berusaha setenang mungkin. Bara menyunggingkan senyuman sinis mendengar ucapan Bintang. “Aku tidak akan pernah melupakan ucapan wanita murahan yang berani menghinaku.” Perkataan Bara bagaikan pisau yang menusuk relung hati Bintang. Sebutan ‘Wanita Murahan’, seakan sebutan final yang memang sudah seharusnya. Kata-kata itu menyakitkan, tapi Bintang berusaha keras untuk menerima. Bintang mendongak, memberanikan diri menatap Bara. “Pak Bara yang terhormat, apa yang Anda katakan adalah benar. Saya ini adalah wanita murahan. Saya menerima apa pun apa yang Anda katakan. Sekali lagi saya mohon maaf, tapi saya berjanji akan bekerja sebagai sekretaris Anda dengan baik. Saya tidak akan menyangkutpautkan hal pribadi dalam urusan pekerjaan. Permisi, Pak Bara, jika tidak ada lagi yang Anda ucapkan saya akan kembali ke meja kerja saya. Ada beberapa dokumen dari mantan sekretaris lama Pak Galih untuk saya pelajari.” Tanpa berkata lagi, Bintang memberanikan diri melangkah pergi meninggalkan Bara. Sementara Bara masih bergeming di tempatnya—dengan tatapan menatap Bintang penuh dendam serta kebencian mendalam. Bara tidak akan pernah melupakan bagaimana Bintang menghancurkannya. *** Jam pulang kantor tiba. Para karyawan Gunaraya Group mulai meninggalkan kantor. Bintang masih berada di kursi kerjanya sambil mempelajari dokumen yang ada. Otaknya sedari tadi berusaha mencerna bahwa semua ini adalah nyata. Pria yang telah dia sakiti sekarang telah menjadi bosnya sendiri. “Bintang, kamu nggak pulang?” tanya Wilona seraya menatap Bintang yang sibuk mempelajari dokumen. Bintang menoleh, menatap Wilona yang sudah bergegas ingin pulang. “Tanggung, Wil. Nanti aja aku pulangnya. Masih ada yang harus aku pelajari.” Wilona mengangguk singkat. “Pak Bara udah pulang?” Bintang terdiam sebentar mendengar pertanyaan Wilona. Kursi kerjanya berada di depan ruangan Bara, dari tadi dia tak melihat Bara keluar. Hanya Andi yang mondar-mandir ke dalam ruangan Bara. Jika seperti itu, maka artinya Bara belum pulang. “Bara, eh maksudnya Pak Bara belum pulang,” jawab Bintang buru-buru mengoreksi. Bahaya jika Wilona curiga padanya. William mengangguk. “Ya sudah, aku pulan duluan ya, Bintang. Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu. Tunanganku di bawah udah jemput aku.” Bintang tersenyum lembut. “Jadi, kau sudah memiliki tunangan?” “Ya, Bintang. Dalam waktu dekat, aku dan tunanganku akan menikah. Kamu pasti akan aku undang. Wajib datang, ya?” “Tentu saja!” “Oke, sampai bertemu besok, Bintang.” “Sampai bertemu besok, Wilona. Take care.” Wilona mengagguk merespon ucapan Bintang. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Bintang. Sementara Bintang masih memilih fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Wanita cantik itu belum ingin pergi, karena terlalu banyak yang dia pikirkan. Semua yang terjadi pada Bintang seakan telah ditakdirkan. Awalnya Bintang seorang penggangguran yang lama tidak mendapatkan pekerjaan. Namun, di kala dia mulai melamar di Gunaraya Group, tiba-tiba saja dia diterima. Padahal Bintang sempat tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki. Bintang tentu merasakan bahagia di kala diterima di Gunaraya Group, tapi semua kebahagiaannya seakan lenyap di kala fakta menyakitkan muncul. Bara—mantan kekasihnya—ternyata adalah CEO dari Gunaraya Group. Jika saja Bintang tahu dari awal, maka Bintang tak akan mau bekerja di Gunaraya Group. Ingin sekali Bintang segera mengajukan surat pengunduran diri, tapi dia sadar bahwa sekarang dia telah terjebak. Bintang membutuhkan uang. Jika dia mengundurkan diri, bagaimana kehidupannya? Terlebih dia bukan hanya membiayai dirinya saja. Goresan nasib ini memang sudah seharusnya Bintang terima. Meski sangat pahit. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Bintang mulai merasakan lelah. Dia memutuskan untuk pulang, tapi sebelum pulang dia merapikan lebih dulu dokumen-dokumen yang ada di atas meja. Detik selanjutnya, Bintang mengambil tasnya—dan hendak meninggalkan mejanya, tetapi langkahnya terhenti di kala melihat Bara keluar dari ruang kerjanya. Bintang menundukkan kepala. “Selamat malam, Pak Bara. Saya izin pulang.” Bara tak mengindahkan ucapan Bintang. Dia melangkah melewati Bintang begitu saja bagaikan angin lalu. Tampak Bintang terus menatap Bara yang mulai lenyap dari pandangannya. Wanita itu menerima Bara bersikap sangat dingin, dan terkesan tak peduli padanya. Sebab memang sudah seharusnya Bara bersikap demikian padanya. Bara menggunakan lift pribadi, sedangkan Bintang menggunakan lift khusus karyawan. Bintang lega karena tidak satu lift dengan Bara. Paling tidak hatinya menjadi tenang dan damai sementara waktu. Di area lobi, banyak karyawan yang menunggu dijemput atau ada yang masih bersantai. Bintang melihat Bara masuk ke dalam mobil sport berwarna hitam, sedangkan dia berjalan menuju halter busway yang jaraknya tak jauh. Tampak senyuman di wajah Bintang terlukis melihat mobil sport Bara dilajukan dengan kecepatan penuh. Hati Bintang ikut senang, karena Bara memiliki kehidupan yang baik. Dulu saat kuliah, Bara selalu naik motor lama yang sering mogok, dan sekarang Bara menaiki mobil sport mahal. Hanya saja sekarang telah berbeda. Keadaan tidak lagi sama. Bara yang dia kenal dulu, bukan Bara arogan yang sekarang. Bintang berjalan menuju halte dengan wajah yang sedikit riang. Dia menikmati antrean panjang di halte busway. Meski sudah pulang malam, tapi kenyataannya halte busway masih dipadati orang pulang kantor. Saat Bintang sedang mengantre, tanpa sadar sepasang iris mata cokelat menatap dingin dan tajam Bintang. Ya, Bara dari kejauhan memarkirkan mobil sport-nya dan berjarak tak terlalu jauh dari halte busway. Pria tampan itu memfokuskan pandangannya pada Bintang yang berdiri di antrean yang cukup padat. “Ternyata ini kehidupanmu, Bintang. Aku pikir kamu sudah bergemilang harta,” ucap Bara sinis, penuh dendam.Bara membawa pulang Bintang dan Bima ke rumah orang tuanya. Pria tampan itu sengaja membawa Bintang dan Bima ke rumah orang tuanya, karena dia ingin membahas tentang pengobatan Bintang di New Yor sekaligus membahas segala rencananya.Saat tiba di rumah orang tua Bara, hal yang dilakukan Galih dan Della kini langsung memberikan pelukan pada Bima. Kedua orang tua Bara tampak jelas begitu mencintai Bima. Bahkan Della yang dulu menolak Bima mati-matian sekarang menunjukkan jelas kasih sayang pada Bima.“Bara, kamu ajak Bintang ke kamar. Biar Papa dan Mama yang jaga Bima,” ucap Galih hangat seraya menggendong Bima.Bara mengangguk, mengucapkan terima kasih pada sang ayah, lalu dia membawa Bintang ke kamar. Meski belum menikah, tapi Bara tetap tidur di kamar yang sama dengan Bintang. Alasan pertama adalah karena kondisi Bintang yang belum bisa berjalan dengan baik, lalu alasan kedua karena memang sebelumnya Bara dan Bintang pernah tidur bersama saat mereka menjadi sepasang kekasih. Jadi, be
Pagi itu, suasana dikediaman keluarga Bara sangat hangat. Pelayan sibuk menyajikan menu sarapan lezat dibantu oleh Della dan Bintang. Meski Bintang duduk di kursi roda, tak membuatnya lemah. Terlihat jelas Bintang begitu senang bisa membantu Della dan para pelayan.“Bintang, biarkan aku saja,” ucap Della lembut pada Bintang.Bintang tersenyum. “Nggak apa-apa. Hanya meletakan makanan ke atas meja, aku bisa. Terima kasih sudah mencemaskanku.”Della menatap hangat Bintang, penuh dengan rasa syukur. Wanita paruh baya itu menyadari betapa baik sifatnya Bintang. Rasa bersalah selalu ada di dalam hati, tetapi dia sadar bahwa dirinya tak bisa terus menerus terbelenggu dalam rasa bersalah. Pun hal yang dia syukuri adalah Bintang telah memaafkan dirinya, membuatnya merasa bisa hidup jauh lebih baik.“Mama, Grandma, Bima sudah lapar,” kata Bima dengan riang seraya masuk ke dalam ruang makan, bersama dengan Bara dan Galih.Ya, Bintang dan Bima diajak Bara untuk menginap di rumah keluarganya. Kema
Mobil mewah yang dilajukan Bara memasuki kediaman keluarganya. Para penjaga langsung menundukkan kepala sopan, di kala mobil Bara masuk ke dalam. Gerbang besar sudah terbuka, dan kini mobil Bara terparkir sempurna area parkir khusus.Rumah orang tua Bara sangat mewah. Mobil yang menampung di area parkir mampu menampung puluhan mobil. Hal itu yang membuat kediaman orang tua Bara memiliki banyak penjaga. Meski berada di komplek elit, tetapi memiliki penjaga adalah suatu keharusan.“Papa, ini rumah Grandpa dan Grandma?” tanya Bima polos pada Bara yang mengajaknya turun dari mobil.Bara mengangguk. “Ya, ini rumah Grandpa dan Grandma.”Bima mengerjapkan mata, dan menatap banyak sekali mobil bagus di tempat parkir. “Grandpa dan Grandma sangat kaya. Rumah ini besar dan mobil banyak. Bima kagum sekali.”Bara tersenyum seraya membelai pipi bulat Bima. “Nanti kalau Bima sudah bisa mengendarai mobil, Papa akan belikan mobil yang Bima mau.”“Papa janji?” tanya Bima sambil mendongak, menatap Bara.
{Bara, datang ke rumah. Ada hal penting yang ingin Papa sampaikan. Ajak Bima juga. Tapi, Papa mohon kamu dan Bintang memberikan pengertian pada Bima tentang mamamu.}Bara terdiam membaca pesan dari ayahnya. Pria tampan itu menatap serius pesan singkat yang tertulis dari sang ayah. Dia sangat mengenal ayahnya yang tak suka berbasa-badi. Jika ayahnya mengatakan ingin bertemu dan ingin menyampaikan sesuatu, maka hal tersebut adalah hal penting.“Bara? Kamu sedang apa?” Bintang masuk ke dalam kamar seraya menggerakkan tombol di kursi rodanya, mendekat ke arah Bima. Ya, sebenarnya dia bisa berjalan, tetapi karena luka bakar yang dideritanya cukup parah, membuatnya masih belum bisa berjalan normal. Namun, meski demikian, Bara memberikan kursi roda yang terbaik, hingga membuatnya mudah untuk beraktivitas, walaupun masih duduk di kursi roda.Bara mengalihkan pandangannya, menatap Bintang yang mendekat. “Papaku mengirimkan pesan. Dia ingin aku mengajakmu dan Bima ke rumah. Dia bilang ada hal p
“Aku tadi bertemu Mario.” Bara mengatakan ini di kala dirinya dan Bintang berbaring di ranjang. Mereka sudah berada di dalam kamar, setelah tadi sudah makan malam bersama Bima. Namun, sebelum masuk ke kamar mereka, tentu mereka menemani Bima lebih dulu di kamar.“Kamu ketemu Mario?” ulang Bintang memastikan, seraya menoleh menatap Bara yang berbaring di sampingnya. Tampak dia mengerutkan kening, menatap bingung Bara. Yang dia tahu hari ini Bara berangkat lebih pagi ke kantor. Dia tak tahu sama sekali tentang Bara yang bertemu Mario.“Ya, aku bertemu Mario,” jawab Bara seraya membawa Bintang, masuk ke dalam pelukannya. Pria tampan itu mengecupi puncak kepala wanita yang begitu dia cintai dengan penuh kelembutan. Tadinya dia tak ingin bercerita, tetapi, dia tak tenang jika belum menceritakan hari ini pada Bintang.Bintang terdiam sejenak, lalu mendongak dari dalam pelukan Bara. “Kamu kasih tahu Mario kalau aku tinggal sama kamu?” tanyanya pelan, dan memastikan.Bara membelai lembut pipi
Bintang menatap hangat cake pemberian dari Della. Beberapa menit lalu, ibu Bara itu sudah pamit pulang, tak bisa berlama-lama karena ingin menyiapkan makanan untuk ayah Bara yang sedang berada di luar. Tentu saja dia sangat bahagia mendengar ibu Bara begitu mencintai ayah Bara. Dia bisa melihat jelas ibu Bara begitu tulus pada ayah Bara.Bintang menganggap bahwa semua orang berhak diberikan kesempatan. Apalagi di sini ibu Bara tidak berselingkuh. Meski tindakan ibu Bara salah, tetapi dia memaklumi bahwa cinta ibu Bara teramat besar pada Bara, hingga melakukan tindakan seperti itu. “Apa kamu mau memakan cake itu?” tanya Bara yang kini masuk ke dalam rumah. Pria tampan itu sejak tadi bersembunyi, agar ibunya tak tahu dirinya sudah pulang. Bukan tanpa alasan, dia masih belum ingin bicara dengan ibunya.Bintang mengalihkan pandangannya, ke sumber suara itu. “Bara? Kamu sudah pulang?” jawabnya yang tak mentangka Bara sudah pulang.Bara menunduk, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Bintan