Home / Romansa / Ternyata Bosku Mantanku / Bab 7. Kekejaman Bara Gunawan  

Share

Bab 7. Kekejaman Bara Gunawan  

Author: SecretAK
last update Last Updated: 2025-02-06 16:58:09

“Ah, sial! Kenapa aku kesiangan?!” Bintang melonjak terkejut, di kala melihat jam dinding—waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Sementara jam kantornya mulai dari jam sembilan pagi. Umpatan pelan lolos di bibirnya, dia mengacak-acak rambutnya akibat kepanikan melanda. 

Tak bisa lagi berpikir jernih, Bintang berlari masuk ke dalam kamar mandi. Bersiap-siap secara kilat, itu yang ada di dalam pikiran Bintang. Bahkan, dia pun tak bisa berias terlalu lama. Jika sudah lama bekerja mungkin dia tak akan sepanik ini. Yang menjadi masalah utama adalah dirinya masih menjadi karyawan baru. 

Lima belas menit berlalu, Bintang sudah selesai bersiap. Wanita cantik itu menyambar tas dan ponselnya. Tampak Mbok Inem sedang menyuapi Bima di ruang tamu. 

“Bu Bintang, tadi saya sudah mencoba membangunkan ibu, tapi ibu tidak bangun. Saya pikir ibu kelelahan. Jadi, saya tidak berani membangunkan ibu lagi,” ucap Mbok Inem kala melihat Bintang terburu-buru. 

Bintang mendesah panjang, merutuki kebodohannya yang sudah dibangunkan oleh pembantunya, tapi malah tak kunjung membuka mata. Alhasil seperti sekang ini dirinya yang terkena sial. 

“Nggak apa-apa, Mbok. Aku yang salah. Aku kelelahan. Terima kasih udah bangunin aku,” balas Bintang lembut, dan tak mungkin menyalahkan pembantunya. 

“Mama, ingin pergi bekerja?” tanya Bima polos sambil memeluk ibunya. 

Bintang mengangguk seraya menundukkan tubuhnya. “Iya, Nak. Mama harus bekerja dulu. Bima di rumah sama Mbok Inem, ya, Sayang?” 

Bima mengerjapkan matanya beberapa kali. “Mama, kapan Mama libur?” 

“Sabtu dan minggu, Mama libur, Sayang.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. Setiap kali meninggalkan Bima, tentu saja hati Bintang selalu tidak tenang. Ada rasa khawatir dan kegelisahan yang membentang. Namun, Bintang tak memiliki pilihan lain. Wanita cantik itu harus tetap bekerja demi memberikan kehidupan yang terbaik untuk putra kesayangannya. 

Bima tersenyum sambil memeluk leher Bintang. “Yeay, sabtu dan minggu, aku bisa bermain bersama Mama.” 

Bintang menganggukkan kepalanya. “Iya, Nak. Sabtu minggu kita bisa bermain. Sekarang Mama berangkat dulu, ya? Bima di rumah baik-baik. Jadi anak penurut. Jangan buat Mbok Inem pusing. Oke, Sayang?” 

Bima tersenyum manis sambil mengangguk. “Mama, aku good boy. Bye, Mama. I love you.” 

“I love you more, Sayang,” bisik Bintang sambil menciumi gemas pipi bulat Bima. 

Bintang bangkit berdiri, menatap Mbok Inem. “Mbok, tolong jaga baik-baik Bima, ya? Jangan selalu berikan dia ice cream. Nanti dia sakit.” 

Mbok Inem mengangguk sopan. “Baik, Bu. Saya pasti akan selalu menjaga Den Bima. Den Bima anak yang penurut. Saat saya bilang makan banyak ice cream bisa membuatnya sakit, dia langsung mengurangi makan ice cream. Den Bima bilang dia ingin selalu sehat agar Ibu tidak khawatir.” 

Bintang tersenyum mendengar cerita dari Mbok Inem. “Terima kasih, Mbok. Aku berangkat dulu. Aku akan usahakan pulang tepat waktu.” 

“Hati-hati di jalan, Bu,” jawab Mbok Inem sopan, lalu Bintang melangkah pergi meninggalkan pembantu dan putranya. Tampak Bima melambaikan tangannya di kala Bintang pergi. Tentu Bintang membalas lambaian tangan Bima, sebelum wanita itu benar-benar pergi. 

Sejak dulu Bintang lebih nyaman tinggal di apartemen. Meski hanya apartemen sederhana, tapi dia tak terusik dengan adanya tetangga. Apalagi kondisi Bintang yang sebagai ibu tunggal. Jika tinggal di kontrakan pastinya banyak yang membicarakannya. 

Bintang ingin hidup tenang tanpa adanya gangguan. Tinggal di kontrakan lebih murah daripada tinggal di apartemen. Namun, Bintang memutuskan untuk tinggal di tempat yang sedikit lebih mahal, tapi mendapatkan ketenangan daripada harus tinggal di kontrakan—yang membuatnya tertekan karena ucapan tetangga. 

***

Lina menatap dingin kursi meja kerja Bintang yang kosong. Waktu sudah lewat dari jam sembilan, tapi Bintang belum juga datang. Decakan lolos di bibir Lina. Sang HRD Manager itu semakin kesal pada Bintang. Hari pertama Bintang sudah datang terlambat, dan sekarang Bintang kembali terlambat. 

Lina berbalik, bermaksud ingin pergi ke ruangannya, tapi di sana dia bertemu dengan Wilona—bagian keuangan—yang cukup dekat dengan Bintang. Tatapan Lina menatap dingin Wilona. 

“Wilona!” panggil Lina cukup keras. 

Wilona melonjak terkejut. “I-iya, Bu Lina?” 

“Kamu tau di mana Bintang?” tanya Lina ketus. 

Wilona menggaruk tengkuk lehernya. Dia sudah menghubungi Bintang, dan temannya itu masih di jalan. Namun, sekarang dia bingung harus mengatakan apa pada sang HRD Manager. Apa dia harus mengatakan Bintang masih di jalan? Atau dia mengatakan Bintang bertemu client? Shit! Bintang adalah sekretaris dari CEO Gunaraya Group. Tak mungkin Wilona mengatakan Bintang bertemu dengan client. Jika Bintang bertemu dengan client, maka pastinya bersama dengan CEO Gunaraya Group. 

“Wilona, kamu ini punya mulut atau tidak? Kenapa hanya diam saja?!” seru Lina jengkel luar biasa pada Wilona yang hanya diam seperti orang bodoh. 

Wilona meringis bingung. “S-saya—” 

“Ada apa ini?” Andi menginterupsi percakapan Wilona dan Lina. 

Tatapan Lina dan Wilona teralih pada Andi yang muncul bersamaan dengan Bara. Mereka langsung menundukkan kepala penuh rasa hormat. Tampak kedua wanita itu tak berani di kala melihat Bara sudah datang. 

“Kenapa kalian berdebat di pagi hari seperti ini?” tanya Andi seraya menatap dingin Lina dan Wilona. Sementara Bara hanya diam, karena Andi sudah mewakilinya bicara. 

Lina menatap Andi sopan. “Begini, Pak, saya sedang bertanya pada Wilona, kenapa Bintang belum datang.” 

Mendengar nama Bintang, membuat Bara mengalihkan pandangannya menatap kursi kerja Bintang—yang kosong. Sorot mata Bara dingin menunjukkan rasa kesal. 

“Jam segini Bintang belum datang?!” Nada bicara Bara meninggi, membuat semua orang di sana ketakutan. 

“Pak Bara … B-Bintang terkena macet.” Wilona bermaksud membela Bintang. Meski takut, tapi dia memberanikan diri. Dia tak tega pada Bintang yang pastinya akan disudutkan. Meski dia baru mengenal Bintang, tapi dia melihat bahwa Bintang adalah sosok wanita yang baik. Hal tersebut yang membuat Wilona membela Bintang dengan caranya. 

Bara menatap tajam Wilona. “Jika jalanan macet, kenapa tidak berangkat dari awal?” balasnya dengan nada masih sama. Nada tinggi, menusuk, dan membuat semua orang takut. 

Wilona menelan salivanya susah payah, bingung untuk menjawab lagi. Sebab apa yang dikatakan Bara benar. Jika jalanan macet, maka sudah seharusnya Bintang berangkat lebih awal. 

“Pak Bara, saya akan memberikan teguran pada Bintang yang tidak bersikap discipline,” sambung Lina sopan sambil menundukkan kepalanya. 

“Tidak usah! Kamu tidak usah memberikan teguran apa pun! Biar saya yang memberikan teguran padanya! Jika dia sudah datang, langsung minta dia untuk menemui saya!” seru Bara dingin, lalu dia segera berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya. 

Wilona bergidik ngeri mendengar ucapan Bara. Selama dia bekerja di Gunaraya Group, dia kerap datang terlambat, tetapi biasanya dia hanya ditegur Lina saja. Tidak sampai ditegur langsung oleh CEO Gunaraya Group. 

Andi menatap Lina. “Segera patuhi perkataan Pak Bara. Jika Bintang sudah datang, minta dia untuk menemui Pak Bara. Biarkan Pak Bara yang menegurnya!” ucapnya memberikan penekanan agar Lina tak perlu menegur Bintang. 

Lina mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan langsung meminta Bintang untuk ke ruang kerja Pak Bara.” 

Tanpa berkata apa pun, Andi masuk menyusul ke ruang kerja Bara. Sementara Wilona bersama dengan Lina masih bergeming di tempat mereka masing-masing. Lina memasang wajah kesal, sedangkan Wilona memasang wajah khawatir. 

“Ck! Masih anak baru, sudah mencari masalah!” gerutu Lina kesal. 

Wilona menggaruk tengkuk lehernya tak gatal, bingung harus bicara seperti apa. 

Tak selang lama, Bintang muncul berlari menuju kursi meja kerjanya. Seketika, langkahnya langsung terhenti mendapatkan tatapan dingin dari Lina. Tidak hanya tatapan dingin saja, tapi tatapan yang sangat tajam. Ini adalah hal yang wajar, karena Bintang tahu dia bersalah. 

“Bu Lina, maaf—” 

“Kamu masuk ke ruang Pak Bara! Beliau ingin langsung bicara denganmu!” tegur Lina dengan penuh peringatan. 

Bintang menelan salivanya susah payah. “P-pak Bara memanggil saya, Bu?” 

“Kamu masih tanya? Kamu jelas datang terlambat, Bintang Dilara!” balas Lina tajam. 

Bintang menghela napas gelisah. Dia sudah berusaha datang lebih cepat, bahkan dia sudah menggunakan taksi untuk berangkat. Namun, sialnya macet di Jakarta benar-benar tidak terkendali. 

“Iya, Bu. Saya akan segera menemui Pak Bara,” ucap Bintang lesu. 

Lina mendekat pada Bintang. “Kamu ini karyawan baru, tapi sudah tidak discipline dengan aturan! Jika saya menjadi Pak Bara, pasti saya akan langsung memecatmu.” 

Setelah mengatakan kalimat pedas, Lina langsung melangkah pergi meninggalkan Bintang. Tampak Bintang hanya bisa mengembuskan napas panjang beberapa kali. Tidak ada kata yang bisa Bintang katakan, karena dia tahu dirinya salah. 

Wilona menatap khawatir Bintang. “Bintang, sebenarnya kenapa kamu bisa terlambat? Apa kamu tidur terlalu malam?” 

“Wilona, aku sudah tidur tepat waktu, tapi sepertinya aku sangat kecapekan. Banyak hal yang aku pikirkan. Maaf, aku sudah membuat kekacauan,” ucap Bintang merasa bersalah. 

Wilona menyentuh bahu Bintang. “Bintang, kalau kamu memiliki masalah, cobalah untuk bercerita dengan orang terdekatmu. Mungkin itu akan mengurangi beban pikiranmu. Tentu pastinya kamu harus bercerita pada orang yang kamu percayai.” 

Bintang terdiam mendengar saran dari Wilona. Pertemuannya dengan Bara, tentunya membuat Bintang menjadi terkejut dan pikiran kacau. Ingin rasanya Bintang mencurahkan isi hatinya, tapi sayang dia tak mudah percaya pada siapa pun. Sejak dulu yang Bintang percayai hanya Bara. Namun, semua telah sirna, karena Bintang dan Bara telah berakhir. 

“Thanks, Wilona. Aku harus bertemu dengan Pak Bara sekarang. Doakan semua baik-baik saja,” ucap Bintang pelan. 

Wilona menganggukkan kepalanya. “Aku pasti akan mendoakanmu. Semangat, Bintang. Jangan menyerah.” 

Bintang tersenyum, lalu dia melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. 

***

Bara berdiri di ruang kerjanya, menatap perkotaan dari balik kaca tinggi di ruang kerjanya. Sorot mata dingin dan tajam menunjukkan aura yang menakutkan. Andi yang sedari tadi ada di sana hanya menundukkan kepala. 

“Pak Bara, apa Anda ingin saya mencari sekretaris baru?” tanya Andi hati-hati. Tentu dia sangat mengenal bosnya. Hal itu yang membuatnya untuk langsung menawarkan mencari sekretaris baru. 

Bara masih bergeming di tempatnya, belum mengatakan apa pun. “Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Jangan memberikan inisiatif apa pun, jika saya belum memberikan perintah.”  

Andi mengangguk cepat. “B-baik, Pak.” 

Suara ketukan pintu terdengar. Bara menoleh menatap ke arah pintu. 

“Masuk!” titah Bara tegas. 

Pintu terbuka. Bintang masuk ke dalam ruang kerja Bara dengan kepala yang masih tertunduk. Andi yang ada di sana segera pamit undur diri di kala melihat Bintang sudah datang.  

“Pak Bara, saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan saya. Saya siap menerima hukuman atas ketidakpatuhan saya pada aturan Gunaraya Group,” ucap Bintang di kala Andi sudah pergi. 

Hening, tidak ada respon apa pun dari Bara ketika Bintang sudah berucap. 

Bintang tak berani menatap Bara. Wanita cantik itu hanya terus menundukkan kepalanya. Tatapan mata tajam Bara bagaikan mata elang yang siap menangkap musuh. 

“Masih baru menjadi karyawan Gunaraya Group, tapi berani untuk bersikap tidak patuh. Menurutmu hukuman apa yang layak kamu terima, Bintang Dilara?” seru Bara dengan nada dingin, dan terdengar menusuk. 

Bintang menelan salivanya susah payah. “S-saya tahu saya salah, Pak. Saya sungguh minta maaf. Jika bapak ingin memotong gaji saya, saya terima.” 

Bara tersenyum sinis. “Menurutmu menghukummu dengan memotong gaji sudah cukup? Kamu pikir kamu bekerja di perusahaan kecil yang bisa menghukummu dengan cara mudah seperti itu?” 

Bintang memejamkan mata penuh rasa bersalah. Dalam hati dia menggumamkan doa agar dirinya tidak dipecat. Dia baru saja diterima bekerja. Pasti mencari pekerjaan baru tidak akan langsung dia dapatkan. Paling tidak, dia membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mendapatkan perusahaan baru. Astaga! Bintang merutuki kebodohannya.  

Bara melangkah mendekat, mengikis jarak di antaranya dengan Bintang. “Jawab aku, hukuman apa yang pantas kamu dapatkan atas dirimu yang tidak patuh?!” 

“S-saya—” 

“Angkat kepalamu ketika bicara denganku, Bintang!” bentak Bara keras, membuat Bintang terkejut. 

Selama mengenal Bara, belum pernah Bintang dibentak seperti ini. Mata Bintang sudah hampir mengeluarkan air mata. Namun, mati-matian Bintang menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia tak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapa pun. 

Perlahan, Bintang mulai mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Bara. “S-saya minta maaf, Pak. Saya mohon jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini.” 

Bara menyeringai sinis mendengar ucapan permohonan yang lolos di bibir Bintang. “Kamu baru saja memohon padaku, Bintang.” 

Bintang berusaha bersikap setegar mungkin. “Saya salah. Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya. Maafkan saya, Pak. Anda boleh menghukum saya, tapi saya mohon jangan pecat saya, Pak.”  

Bintang merasakan gugup di kala jarak Bara sangat dekat dengannya. Aroma parfum maskulin Bara menyeruak ke indra penciumannya. Debaran jantung berpacu sangat keras, tapi Bintang berusaha untuk tak salah tingkah.   

“Kamu siap menerima hukuman apa pun, Bintang?” seringai licik muncul di bibir Bara. 

Bintang mengangguk lemas. “Iya, Pak. Saya mohon jangan pecat saya. Hukuman apa pun saya siap menerimanya, Pak.” 

Bintang memohon pada Bara demi Bima. Dia siap melakukan apa pun asalkan memberikan kehidupan yang baik untuk putranya. Uang di tabungan Bintang sudah tidak banyak. Jika dia dipecat, bagaimana dia bisa mengidupi putranya? Sementara apartemen yang dia tempati sekarang saja masih menyewa.  

Bara menarik dagu Bintang dengan tangannya, tatapannya menatap dingin, dan tajam Bintang. “Besok malam, temui aku di alamat yang aku berikan padamu. Aku akan memberitahumu hukuman apa yang pantas kamu dapatkan.” 

Bintang terpaku terkejut. “Besok malam, Pak? Kenapa tidak sekarang?”  

Bara tersenyum sinis. “Aku ingin mempersiapkan hukuman untukmu.” 

Bintang menelan salivanya susah payah. Sentuhan jemari Bara di dagunya membuat sekujur tubuhnya merinding. Setelah sekian lama, Bintang kembali merasakan sentuhan Bara. Sentuhan yang dia pikir tak akan lagi dia rasakan. 

“P-pak, t-tapi—” 

“Tidak ada bantahan, Bintang Dilara. Kamu bekerja di perusahaanku. Jika kamu tidak suka, maka segera ajukan surat pengunduran diri!” seru Bara dengan nada penuh ancaman. 

Mata Bintang sudah berkaca-kaca. Dia tak pernah mengira Bara akan sekejam ini padanya. Sepertinya dendam dalam diri Bara yang membuat pria itu sangat kejam padanya. Bintang memaklumi, karena apa yang dia lakukan pada Bara sangat jahat. 

“Baik, Pak. Saya akan menuruti keinginan Anda,” ucap Bintang akhirnya dengan nada yang sedikit tercekat. 

Bara melangkah menjauh dari Bintang, dan menyeringai kejam. “Sudah seharusnya kamu mematuhiku. Ingat, kamu hanya karyawan biasa di sini. Kamu tidak memiliki hak untuk melawan. Jika tidak suka, segera ajukan surat pengunduran diri.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 111. Sejatinya Cinta Selalu Memaafkan

    Bara melajukan mobil dengan kecepatan sedang, membelah kota. Cuaca pagi itu cerah, dan matahari menyinari bumi dengan cahaya yang berkilau. Pria tampan itu kini menuju suatu tempat, di mana bukan kantornya. Ya, dia berangkat lebih pagi sebelum Bintang bangun. Pun dia meminta sopir untuk mengantar Bima ke sekolah. Bukan tak mau mengantar Bima, tetapi kondisinya dia ingin menemui seseorang guna menyelesaikan sesuatu.Dering ponsel terdengar secara tiba-tiba. Bara yang fokus melajukan mobil, melirik ke ponselnya tertera nama ‘Andi’ di sana. Detik itu juga, dia menjawab panggilan dari sang asisten.“Halo?” jawab Bara kala panggilan terhubung.“Selamat pagi, Pak Bara. Maaf mengganggu. Saya hanya ingin memberi tahu Pak Mario sudah menunggu Anda di kafe yang sudah ditentukan olehnya,” jawab Andi dari seberang sana.Bara terdiam sebentar, mendengar apa yang dikatakan oleh Andi. Pria tampan itu sebelumnya meminta Andi mengatur pertemuannya dengan Mario. Dia meminta bertemu di kantor Mario, tet

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 110. Ayo Kita Bangun Kenangan Indah!

    Keheningan membentang dari dalam mobil. Bintang melirik Bara yang duduk di sampingnya, hanya diam dengan raut wajah dingin. Mobil dilakukan oleh sopir, dan yang duduk di samping sopir adalah Andi. Sementara Bima duduk di belakang sudah tertidur bersama dengan Mbok Inem yang setia menemani Bima.“Bara,” panggil Bintang, dengan nada pelan dan hati-hati.Bara yang tadi hanya diam, mulai menoleh menatap Bintang. “Kamu tahu di mana kesalahanmu, Bintang?” balasnya, dengan nada tenang.Bintang terdiam sebentar. “Aku minta maaf. Aku nggak enak kalau nolak Mario. Kamu kan tahu kalau Mario sudah banyak bantu aku. Lagi pula, aku juga sudah bilang ke kamu, kalau aku dan Mario nggak punya hubungan apa pun. Kami murni hanya teman saja.”Bara mengatur emosi di dalam dirinya. Pria tampan itu sadar bahwa Bintang baru saja keluar dari rumah sakit. Dia tidak mau sampai membuat wanita yang dicintainya itu menderita, karena dirinya terlalu emosi. Cemburu adalah hal yang wajar, karena dia mencintai Bintang

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 109. Pulang Dari Rumah Sakit

    Hari demi hari berlalu. Kondisi Bintang terbilang membaik meski kondisi luka bakarnya masih cukup serius. Pihak dokter mengatakan bahwa nantinta bekas luka bakar di tubuh Bintang bisa berangsur pulih jika menjalani operasi plastik. Namun, tentu tak bisa dalam waktu dekat, karena luka bakar di tubuh Bintang belum sepenuhnya mengering. Dokter telah mengizinkan Bintang untuk pulang ke rumah. Proses selanjutnya adalah pengobatan berjalan. Jadi, dokter meminta Bintang untuk selalu mendatangi rumah sakit guna memastikan kondisi luka bakar di tubuh wanita itu.Sebenarnya, Bara tidak langsung menyetujui di kala dokter mengizinkan Bintang untuk pulang, tetapi karena Bintang juga mengatakan bosan terus menerus di rumah sakit, itu yang membuat Bara luluh. Pria tampan itu menginginkan yang terbaik untuk Bintang.“Bara, di mana Bima?” tanya Bintang seraya menatap Bara yang ada di hadapannya, dengan tatapan hangat. Para pelayan Bara kini sedang sibuk mengemasi barang-barangnya yang ada di rumah

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 108. Cinta Pantas Diberikan Kesempatan 

    Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 107. Hati Emas Bintang

    Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 106. Apakah Aku Layak di Dunia Ini?

    “Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 105. Rasa Kecewa Bercampur Kesal 

    Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 104. Selalu Jadi Bintang di Hati Bara 

    Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara

  • Ternyata Bosku Mantanku   Bab 103. Peringatan Tak Main-Main

    “Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status