Randy terduduk lemas di kursi depan. Kepalanya berdenyut hebat, nyeri menusuk hingga ke pelipis. Rasa bersalah menghantam dadanya bertubi-tubi. Napasnya berat. Pandangannya kosong.
Ia terbayang seperti apa dulu sang papi memperlakukan Amora. Papinya itu memperlakukan Amora seperti sebuah porselin yang sangat mahal. Benda antik yang sudah berusia ratusan tahun. Tidak boleh sedikitpun tergores, apa lagi rusak.
Namun ia sendiri yang menghancurkan porselin tersebut.
“Maaf, Bos,” kata Adit dengan suara pelan, hati-hati.
“Kalau boleh tahu, kenapa Bapak bisa sampai begitu marah pada Nyonya, hingga membuang beliau ke tempat seperti itu?”
Randy mengepalkan tangannya. Ia ingin marah pada Adit. Ucapan itu seperti menamparnya. Tapi ini memang benar, dialah yang telah membuang istrinya. Lalu, bagaima cara ia menyangkal? Bukankah itu memang kenyataannya?
“Dia, selingkuh.” Suara Randy serak. Hampa.
“Nyonya selingkuh?” Dahi Adit berkerut dalam, jelas terkejut.
“Bapak lihat sendiri?” tanyanya lagi,