Ayuna tidak berniat menguping.
Ia hanya sedang mengambil dokumen revisi dari meja meeting di lantai dua ketika mendengar suara Aqil yang dikenalnya dengan baik—dan suara Nabila yang terlalu familiar untuk diabaikan. Ruangan itu hanya dibatasi dinding kaca dengan tirai setengah tertutup. Ia ragu sejenak… lalu berdiri diam, tak sanggup menahan rasa ingin tahu.
“Aku minta kamu berhenti, Nabila.” Suara Aqil rendah, tajam, dan tenang. Tapi Ayuna tahu, nada itu hanya muncul saat pria itu benar-benar marah.
“Berhenti apa?” Nabila tertawa ringan. “Aku hanya mengingatkanmu akan selera dan standar. Kamu tahu seharusnya kamu bersama siapa.”
“Kamu bilang kamu berubah. Tapi ternyata kamu masih main di level lama. Manipulatif. Licik. Kamu sebar gosip tentang Ayuna, bahkan dekatin keponakannya.”
Nabila mendesis. “Dia cuma perempuan kelas dua yang dapat akses kelas satu karena kamu. Dia nggak selevel dengan kita, Aqil. Dan kamu tahu itu.”
“Aku tahu satu hal sekarang: standar dan level yang kamu maksu