Kopi di cangkir porselen itu sudah dingin sejak sepuluh menit lalu. Tapi Bu Rumi—tante Aqil dari pihak ayahnya—belum menyentuhnya. Ia duduk dengan punggung tegak, mengenakan setelan warna gading dan bros mutiara, simbol jelas status dan reputasi yang tak main-main.
Di depannya, Aqil duduk dengan ekspresi datar tapi rahang menegang.
“Jadi... kamu menjalin hubungan personal dengan seorang perempuan dari lingkungan berbeda, tanpa latar belakang jelas, dan membiarkannya jadi bahan gosip media?”
Aqil mengatur napas. “Dia bukan siapa-siapa, Bu Rumi. Dia bukan selebriti, bukan sosialita. Tapi dia perempuan yang—”
“—Berani dekat dengan Mahendra. Itu masalahnya.”
“Bukan. Masalahnya adalah, kita masih terlalu peduli pada apa kata dunia.”
Bu Rumi menyipitkan mata. “Aqil, kamu calon pewaris Mahendra Corp. Kamu punya tanggung jawab. Tidak semua pilihan bisa kamu buat hanya berdasarkan perasaan.”
Aqil berdiri. “Justru karena aku tahu tanggung jawab itu, aku akan jaga dia. Sampai kapan pun.”
Bu Rumi