Share

6. Sejarah Terulang

“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. 

“Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. 

Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.”

Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.”

“Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.”

Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tidak menyangka Budi adalah orang di balik semua sikap Bara tersebut. Memang ketika tinggal di Balikpapan dulu, hanya Bara yang akrab dengannya dan lagi, mereka bertetangga. Oleh karena itu, Budi secara diam-diam, meminta Bara mengawasi Alena. 

Nasi goreng yang biasanya selalu bisa menggugah selera makan Alena, kini terasa hambar karena pembicaraan mereka. “Jangan begitu  Pa. Jangan hanya karena Bara akrab denganku, terus Papa bisa hubungin dia kapan aja. Kita kan nggak tahu Bara lagi sibuk apa di sana. Bisa aja waktu Papa hubungin dia, dia lagi ada urusan atau malah lagi belajar. Kalau gitu kan jadinya ganggu aktivitas Bara, Pa.”

Sepertinya ini memang harus dihentikan. Jadi, gadis itu memilih meletakkan alat makannya dengan posisi terbalik di atas piring, menyudahi sarapannya. 

“Pa, mungkin kalau sekarang kita masih di Balikpapan, Lena nggak masalah dengan ini. Tapi sekarang, kita di Jakarta dan Bara di Balikpapan. Kita beda kota, beda pulau, dan beda zona waktu juga. Jadi, tolong ya, Pa, Papa berhenti kasih tahu Bara apa pun tentang privasiku? Alena nggak suka, Pa. Papa tenang aja, Lena janji akan terus perhatikan kondisi kesehatan Lena. Ya?”

Memiliki seorang anak perempuan dan membesarkannya seorang diri, membuat Budi selalu merasa waswas dengan Alena. Takut tidak bisa menjaga Alena sebagaimana istrinya menjaga Alena. Lihat, sekarang gadis itu sudah pintar menyanggah ucapannya. 

Budi memijat pelipisnya lalu menatap wajah cantik anak perempuannya. “Baik, Papa ngerti maksud kamu. Papa akan turutin permintaan kamu—Papa nggak akan kasih tahu Bara apa pun tentang kamu, kecuali kalau dia tanya sendiri ke Papa. Tapi ada syaratnya.”

“Syarat? Memang apa syaratnya, Pa?” Alena memotong langsung ucapan Budi. Ia menatap Budi dengan penuh selidik. Matanya memicing. 

“Syaratnya, selama di sini, Papa akan titipin kamu ke Riga biar dia bisa bantu Papa buat ngawasin kamu dan jagain kamu.”

“Enggak, aku nggak mau. Papa apa-apaan sih, kenapa bawa-bawa Riga segala?”

“Itu terserah kamu, Len. Kamu tinggal pilih aja, mau diomelin Bara atau diawasin Riga. Itu aja.”

Alena mendengus. Ini bukan opsi yang tepat untuk Alena pilih. Kecuali jika ada tambahan opsi “diawasin Gamma”,  jelas ia akan dengan senang hati memilih opsi ketiga. 

“Oke, Alena pilih opsi kedua,” putusnya kemudian. “Tapi, Papa janji ya jangan kasih tahu Bara apa pun tentang Alena?” gadis itu buru-buru menambahkan. 

“Iya, Papa janji.”

*

“Gamma!”

Teriakan itu berhasil menghentikan langkah Gamma tak jauh dari lapangan basket. Laki-laki berjaket abu-abu itu berbalik. Detik berikutnya, laki-laki itu mendengus mengetahui siapa yang kini menghampirinya dengan senyum ceria. Alena menyapa Gamma.

“Kenapa lagi?”

Lengkungan manis yang tercetak di bibir Alena, sedikit menurun. Namun, ekspresinya langsung berubah ketika ingat alasannya memanggil Gamma tadi. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.”

Alena segera membuka tasnya, mengaduk-aduk isinya. Wajahnya berubah panik ketika tidak menemukan apa yang ia cari. “Bentar, Gam. Aku yakin tadi udah masukin kertasnya ke tas, tapi kok nggak ada, ya?”

“Kertas apa?”

“Tulisan aku, Gam. Jadi, aku bikin semacam puisi gitu buat kamu, tapi kertasnya sekarang malah nggak ada.” Gadis itu kembali sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. Takutnya, terselip. Sayangnya, Alena tetap tidak menemukan kertas tersebut. 

Gamma berdecak. “Buang-buang waktu gue aja,” ucap Gamma lalu pergi. Namun, Alena langsung menahannya.

“Aku serius, Gam. Aku bikin puisi itu dan kertasnya udah aku masukin ke tas. Tapi nggak tahu kenapa kertasnya bisa nggak ada,” ujar Alena. Ia sendiri juga bingung kenapa kertas itu tiba-tiba menghilang dari tasnya. Tidak mungkin, kan ada hantu yang doyan puisi?

“Udahlah, Al berhenti pura-pura. Gue tahu kertas itu cuma alasan lo doang biar bisa ketemu dan ngobrol sama gue. Iya, kan?”

“Gam, nggak gitu—”

“Stop, Al. Berhenti ganggu gue dan kehidupan gue. Ada hati yang harus gue jaga. Gue nggak mau Nada salah paham kalau lihat gue sama lo,” potong Gamma. Kilatan amarah terpancar jelas di matanya. Seolah gadis di hadapannya adalah musuh yang tidak boleh diberi ampun. 

Hati Alena mencelos. “Secepat itu kamu ngelupain aku, Gam? Asal kamu tahu, ya, aku mau balik ke Jakarta itu karena kamu, Gam. Karena aku pengin ketemu kamu lagi. Aku pengin memperbaiki semuanya yang terjadi di antara kita,” ungkap Alena. Pandangannya mengarah pada Gamma. 

“Aku minta maaf. Aku akui semua yang dulu aku lakuin adalah kesalahan besar. Nggak seharusnya aku bohongin kamu kalau aku sering pergi bersama Riga, padahal kalian sepupuan. Aku benar-benar minta maaf sama kamu, Gam. Aku juga minta maaf karena aku nggak ada di samping kamu waktu Papa kamu meninggal. Maafin aku, Gam.”

Entah sejak kapan pandangan gadis itu tertunduk. Tidak berani bertukar pandang dengan Gamma. Kesalahannya di masa lalu terlalu besar dan sekarang ia sangat menyesalinya. Di saat perasaan Gamma tulus kepadanya, ia justru menganggap biasa saja. Tidak menggebu seperti perasaan remaja pada umumnya saat berpacaran. Bahkan meskipun sudah berpacaran dengan Gamma, ia merasa tidak ada bedanya. Yang membedakan hanya statusnya saja. Dari teman—ralat, sahabat menjadi pacar. Bukankah begitu?

Namun, saat hubungan mereka sudah berakhir, Alena justru merasa kehilangan. Perasaannya ternyata tumbuh tanpa ia sadari. Semakin lama semakin besar hingga ia menyadari bahwa apa yang telah pergi terasa begitu berharga. 

Ya, ia salah besar sudah menyia-nyiakan ketulusan Gamma dan sekarang ia menyesal. 

“Gue udah lupain semuanya. Jadi, lo nggak perlu repot-repot ungkit masalah itu. Anggap aja nggak pernah ada cerita di antara kita.”

“Nggak bisa gitu dong, Gam. Kita pernah pacaran. Jadi, mana bisa kamu bilang kalau kita nggak pernah ada cerita?”

“Kenyataannya emang begitu, kan? Lo lebih milih bohongin gue dan pergi jalan-jalan sama Riga?” Gamma menghela napas. “Gue sadar, Al dari dulu gue emang selalu kalah sama Riga. Gue nggak pernah bisa seperti dia yang terbaik dalam segala hal. Itu kenapa gue setuju pas lo ngajak putus. Karena supaya lo bisa terus sama Riga dan perasaan dia nggak bertepuk sebelah tangan.”

Detik itu juga Alena tersentak. Kalimat terakhir Gamma langsung memenuhi pikirannya. Jadi, selama ini ...

“Riga suka sama aku?”

“Dan lo nggak sadar itu?” Gamma berdecak. “Gue heran bisa-bisanya Riga ngejar-ngejar cewek kayak lo. Dia itu terlalu tulus buat lo mainin.”

“Aku nggak pernah mainin perasaan Riga,” sahut Alena tak terima. 

“Terserah lo mau ngomong apa, gue nggak peduli. Satu pesan gue, jangan pernah ganggu kehidupan gue lagi.”

Setelahnya, tanpa menunggu respons Alena, Gamma melangkah pergi. Meninggalkan Alena yang masih terdiam di posisinya sambil menatap punggung Gamma yang perlahan menjauh. 

Pikirannya seperti benang kusut sekarang. Perkataan Gamma tadi menyentil hatinya. Jika benar selama ini Riga memiliki perasaan lebih padanya, itu berarti ia sudah melukai hati Riga karena berpacaran dengan Gamma yang notabenenya adalah sepupu Riga. 

Jika semua itu benar, artinya pula ia sudah melukai perasaan dua laki-laki sekaligus. Dua laki-laki yang juga merupakan sahabatnya. 

Mungkin sebuah kutipan yang menuliskan bahwa persahabatan lawan jenis itu tidak benar-benar murni, adalah benar adanya. Karena nyatanya selalu ada rasa yang tumbuh pada salah satu di antara mereka atau bisa jadi rasa itu tumbuh di hati keduanya. Semua hanya tentang waktu dan kebiasaan. 

Dan sekarang, Alena merasa ada yang salah dengan hatinya kali ini. Semua perkataan Gamma tadi terngiang jelas dalam ingatannya, bahkan tidak berhenti memenuhi pikirannya.  

Mungkin Gamma benar, Riga seharusnya tidak pantas mengejar dirinya. Riga itu laki-laki yang baik dan dia yang paling bisa diandalkan dalam segala hal. 

Ah, ia jadi teringat saat dulu pernah iseng bertanya kepada Riga, apakah laki-laki itu punya perempuan yang disukai? Riga hanya menjawab, “Iya” tanpa mengatakan siapa nama perempuan tersebut.

Harusnya juga dari dulu ia sadar akan semua sikap Riga padanya, laki-laki itu memperlakukannya lebih dari seorang sahabat. Sikap yang pada akhirnya membuat hubungannya dengan Gamma merenggang dan kemudian berakhir. Sekarang, karena semua itu, Alena harus memperbaiki semuanya. Tidak hanya dengan Gamma, tapi juga dengan Riga. 

“Loh, Nada kok malah makan sama Gamma, bukan sama Riga?”

Alena tersentak. Ia mengikuti arah pandang Via dan netranya menangkap dua orang yang dikenalnya itu duduk satu meja. Oh, bahkan meja mereka hanya berjarak empat meja dari tempatnya dan Via. Hanya sekilas, ia kembali menatap Via. 

“Emangnya kenapa kalau mereka makan bareng?” Alena bertanya dengan polosnya.

“Oh iya, lo kan murid baru. Gini, Len, anak-anak sini tuh udah pada tahu kalau Riga sama Nada sering banget barengan. Ya, pedekate gitu lah soalnya katanya Riga itu suka sama Nada. Mereka itu udah kayak perfect couple. Satunya ganteng, satunya cantik. Bahkan ada yang bilang juga kalau mereka mungkin udah jadian,” jelas Via. Matanya sesekali menatap dua orang yang dibicarakan. 

Alena tak menjawab. Fakta yang baru saja didengarnya kembali menyita ruang di pikirannya. Benang-benang kusut di kepalanya yang belum sepenuhnya tersusun rapi, kini semakin kusut.

Jika Riga memang benar suka sama Nada, tapi Nada malah pacaran dengan Gamma, bukankah itu berarti sejarah kembali terulang?

Astaga! Kenapa dua orang itu lagi-lagi menyukai gadis yang sama?

“Kenapa harus Nada? Kenapa harus cewek yang bahkan penampilannya lebih di bawahnya?”

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status