“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah.
Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi.
Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya.
Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda.
Jika Nada memiliki wajah judes, tapi aslinya baik hati. Lain dengan Manda. Gadis penyuka makanan manis itu wajahnya terlihat polos, tapi ternyata punya selera humor yang receh.
Alena memasukkan potongan baksonya ke dalam mulut. Gadis itu menggeleng kecil saat melihat Nada menyedot es jeruk di gelas kedua yang Nada pesan. Alena sama sekali tidak menyangka ternyata di balik wajah judes Nada, gadis itu adalah seseorang yang doyan makan.
Benar rupanya kata orang, kalau orang kurus itu makannya banyak.
“Habis, Nad?” tanya Alena di sela kegiatannya memotong bakso. Sekarang hanya tinggal ia dan Nada saja, sedangkan Manda sedang pergi ke toilet.
“Iya nih, Len. Haus banget soalnya,” jawab Nada seraya menggeser gelas di hadapannya yang sudah kosong.
“Makan lo banyak juga, ya ternyata?” Alena terkekeh, yang langsung disambut tawa oleh Nada.
“Nggak usah kaget, Len. Ini cuma bakso, belum yang lain. Nih ya gue kasih tau, gue itu cinta mati banget sama nasi goreng.”
“Heh, serius? Terus kenapa tadi lo nggak pesan nasi goreng aja?”
Nada menggeleng. “Enggak lah. Gue mau cari aman aja. Habis ini kan pelajarannya Pak Kumis. Gue nggak mau aja dihukum gara-gara tidur di kelas. Sumpah ya, horor banget kalau sampai kena hukuman dari Pak Kumis.” Nada bergidik ngeri membayangkan hukuman apa yang diberikan gurunya itu kalau ketahuan tidur di kelas saat pelajarannya berlangsung.
“Pantesan! Eh, tapi memangnya lo pernah dihukum sama beliau?”
“Gue?” Nada menunjuk dirinya sendiri. “Ya, pernah lah,” jawab Nada lalu tertawa.
“Kok bisa?” Alena mulai tertarik dengan cerita hukuman Nada. Ia sedikit mengubah posisi duduknya menghadap Nada.
“Jadi, waktu itu gue telat. Nggak telat banget, sih soalnya pas gue datang, satpamnya baru mau nutup gerbang. Gue udah pelan-pelan cari aman, takut ketahuan guru yang lagi patroli. Nah, pas sembunyi di dekat tangga, ada orang yang di belakang gue. Orang itu nanya-nanya ke gue, gelagatnya sama kayak orang telat dan ikutan sembunyi juga. Jadi, gue masih bersikap biasa aja dan lo tau apa yang terjadi selanjutnya?”
“Apa?”
“Orang itu tiba-tiba berdeham gitu, terus pas gue balik badan ternyata itu Pak Kumis, astaga! Kaget banget gue. Gue diceramahin habis-habisan terus pakai dihukum lari keliling lapangan sepuluh kali. Bayangin, Len. Lapangan segitu gedenya dan gue disuruh lari sepuluh kali. Gila aja! Lari dua kali putaran doang aja, gue udah megap-megap kayak ikan, lah itu malah sepuluh kali. Gempor dong kaki gue!”
“Sumpah, Nad. Gila! Parah banget dong? Ternyata ada, ya guru kayak gitu.”
“Ada! Pak Kumis, buktinya. Makanya jangan sampai lo berurusan sama Pak Kumis, deh. Atau Anda akan menyesal kemudian.”
Alena menggeleng cepat. “Nggak, gue nggak mau berurusam sama beliau. Ngeri!”
Mereka tertawa hingga membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. Alena segera menangkupkan kedua telapak tangan, untuk meminta maaf. Alena tidak menyangka mengobrol dengan Nada ternyata bisa membuatnya lupa sekitar.
Alena menghela napas, berusaha mengontrol tawanya lagi. “Oh iya, Nad, gue mau nanya sama lo.”
“Mau nanya apa?”
Alena tak langsung menjawab. Ia ragu, tapi ia juga penasaran. Pada akhirnya, ia memilih menuntaskan rasa penasarannya.
“Sorry, ya gue mau nanya. Lo udah lama kenal sama Gamma?”
Nada menatapnya dengan alis terangkat. “Kenapa?” Gadis itu balik bertanya.
Alena sontak menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue ngerasa Gamma beruntung banget bisa dapetin lo. Padahal kesan awal ketemu lo, gue pikir lo cewek judes dan nggak gampang bergaul, tapi ternyata gue salah. Lo justru orangnya asik. Sorry ya, kalau gue sempat mikir kayak gitu.”
Bukannya marah, Nada malah tertawa. Hal itu membuat Alena menatapnya bingung. “Santai aja, Len. Semua orang juga punya pemikiran sama kayak lo pas pertama kali ketemu gue. Mereka bilang gue cuek, judes, gitu-gitulah pokoknya. Padahal kalau udah kenal, gue nggak judes-judes amat.”
“Iya, lo benar, Nad. Pantes aja Gamma milih lo jadi pacarnya. Lo itu orangnya unik, sih. Baik, seru juga.”
“Padahal gue biasa aja, loh. Cantik enggak, judes iya,” jawab Nada. “Eh iya, lo kan juga kenal sama Gamma. Kalian udah lama kenal? Kayaknya waktu itu gue lihat lo akrab banget sama Gamma.”
Alena terkesiap. Sudah menduga, Nada akan menanyakan tentang hal ini. Meski begitu, tetap saja ia tidak kuasa menahan rasa gugupnya.
Gamma mantan gue.
Alih-alih berhasil menyerukan tiga kata yang ada di pikirannya, Alena justru menjawab hal lain. “Gamma temen SMP gue. Orangnya lucu, sih, cuma ya gitu kadang suka ngeselin. Eh, tapi dia aslinya baik, kok.”
“Tapi pas kelas delapan, gue pindah ke Balikpapan karena Papa pindah tugas ke sana. Terus sekarang pas gue balik ke Jalarta lagi, nggak nyangka banget bisa satu sekolah lagi sama dia. Sumpah, gue seneng banget, Nad!”
Ya, semua tentang Gamma selalu bisa membuat jantung Alena berdebar kencang. Bahkan binar di matanya selalu menyala setiap kali membicarakan laki-laki itu.
Alena menatap Nada bingung karena tidak ada respons dari cewek itu. Kerutan samar tercetak di wajahnya saat melihat Nada terus-terusan menatapnya. Telapak tangannya perlahan melambai di depan wajah Nada.
“Nada!”
Nada tersentak kaget. Gadis itu mengerjap beberapa kali. “Hah, iya? Kenapa, Len?”
“Yee, malah ngelamun! Mikir apa, sih?” tanya Alena seraya menatap Nada penuh selidik. Namun, kemudian satu pemikiran terlintas di benak Alena.
“Nad, lo nggak lagi cemburu sama gue, kan?”
Tepat! Tidak salah lagi.
“C-cemburu? Hah? E-enggak kok. Ngapain gue cemburu sama lo?” jawab Nada gelagapan.
Fix! Lo cemburu sama gue, Nada.
“Ya, siapa tau lo cemburu sama gue?”
“Nggak. Gue nggak cemburuan, kok.”
“Syukurlah. Sorry, kalau misalnya ada kalimat gue yang salah. Tapi jujur gue emang seneng banget ketemu temen lama gue.”
“Iya, santai aja, Len.”
**
Bel pulang baru saja berbunyi, tapi koridor lantai dua sudah ramai seperti orang mau demo. Katanya biar lebih cepat mendinginkan kepala setelah dipaksa melahap berbagai jenis rumus.
Memang, di SMA Angkasa ini terbilang unik. Di hari Senin sampai Kamis, pelajaran utama jurusan diletakkan di jam pertama sampai keempat dan di jam ketujuh sampai jam kedelapan atau jam pelajaran terakhir. Sedangkan pada hari Jumat, mata pelajaran utama hanya diletakkan di jam pelajaran pertama dan kedua saja.
“Lo dijemput, Len?”
Pertanyaan Manda mengalihkan gerakan Alena yang sedang memasukkan buku ke tas. Alena menatap sekitar. Kelas sudah kosong. Hanya tersisa ia dan dua sahabat itu, ada juga Riga yang baru saja keluar kelas.
“Oh, iya gue dijemput. Kalian pulang bareng?”
“Iya, Nada nebeng gue. Sekalian mau mampir ke rumahnya dia.”
“Oh, gitu. Ya udah gue balik duluan, ya?”
“Oke.”
Alena melangkah cepat di koridor yang mulai sepi. Pandangannya sesekali menyapu sekitar mencari seseorang, tapi dari tadi objek yang dicari tidak ada.
Pasrah, Alena pun segera menuju gerbang. Papanya baru saja memberitahunya bahwa beliau sudah di depan. Benar saja, sebuah mobil CRV hitam tengah berhenti tepat di seberang gerbang sekolah.
“Loh, kamu kenapa? Pasti lari-larian, ya tadi?” tanya Budi saat Alena baru menutup pintu penumpang bagian belakang. Gadis itu duduk di sebelah papanya. Tak lama mobil pun melaju.
“Jogging tipis-tipis doang, Pa. Udah lama nggak olahraga juga.”
“Udah, Len. Jangan aneh-aneh kamu. Habis ini nggak ada jogging segala macem, kesehatan kamu harus dijaga. Papa nggak mau kamu kecapekan terus sakit.”
“Papa, ih kebiasaan! Papa jangan terus-terusan memperlakukan aku kayak gini dong. Yang bisa kontrol tubuh Alena, ya Alena sendiri. Papa tenang aja, jangan terlalu khawatir sama Alena. Kalau Papa terus kayak gini yang ada nanti malah Alena nggak bisa ngapa-ngapain dong. Bosen tau, Pa.”
Dari dulu memang Alena tak suka jika Budi memperlakukannya seperti ini. Padahal ia bukan orang sakit yang butuh perhatian khusus.
“Alena jangan membantah Papa.”
Alena kembali mengatupkan bibirnya lagi. Jika papanya sudah memanggil namanya seperti ini, artinya memang sudah tidak bisa dibantah.
“Pak, berhenti depan situ, ya? Alena mau beli Boba dulu,” ujar Alena pada sopirnya. “Papa mau dibeliin sekalian?”
“Enggak, kamu aja yang beli,” jawab Budi lembut. Emosinya sudah kelihatan lebih stabil dari sebelumnya.
Sembari menunggu pesanannya, Alena menyapukan pandang ke sekitar. Jalanan sedikit lengang, padahal ini jam pulang sekolah. Saat menoleh ke kiri, matanya membola seketika melihat pemandangan di depannya.
Di depan sana, Gamma sedang mengobrol bersama Nada. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Alena bisa melihat sikap Gamma yang perhatian. Dari gelagatnya, Gamma minta Nada menunggu di teras minimarket, tapi gadis itu menolak.
Hatinya terasa teriris melihat pemandangan itu. Ada rasa tidak suka muncul ke permukaan. Harusnya ia yang berada di posisi Nada. Harusnya ia yang sekarang bersama Gamma bukan malah Nada.
Cemburu? Mungkin.
Tak lama kemudian Gamma masuk ke minimarket. Alena masih tetap mengamati gerak-gerik Nada hingga tanpa sengaja ia melihat gadis itu menuju ke sebuah restoran dengan terburu-buru.
“Lena, masih lama?”
“Eh, ini udah kok, Pa,” jawab Alena. Setelah membayar pesanannya, cewek itu segera masuk mobil.
Namun, tetap saja pandangannya tak lepas dari restoran di seberang jalan. Tak lama kemudian, matanya melihat Gamma berlari menyusul Nada yang sudah lebih dulu masuk.
“Mereka ngapain, sih di sana?” cicit Alena.
“Siapa, Len?”
“Oh, itu tadi ada anak jalanan masuk restoran. Kayaknya mau ngamen, deh.”
“Oh, kirain apa.”
Perlahan mobil yang mereka tumpangi pun melaju pelan. Belum sempat sampai di belokan perempatan, matanya kembali membola.
“Oh My God! Itu Manda.”
*
Bara
[Cuaca lagi nggak bagus. Jangan lupa jaga kesehatan. Makan dan istirahat yang teratur. Vitaminnya juga jangan lupa diminum.]
Alena
[Kamu chat kayak gini pasti abis dikasih tau Papa, ya? Ish kebiasaan! Lain kali kalo papa chat gak usah dibalas.]
Bara
[Durhaka dong! Iya, tadi Om Budi chat ngasih tau soal tadi siang aja.]
Alena
[Papa protektif banget. Padahal aku cuma lari tipis doang, takut papa nunggu lama juga. Lagian jaraknya deket kok.]
Bara
[Itu semua demi kamu, Alena. Ingat kamu gak boleh sampai kecapekan. Tubuh kamu bisa drop lagi. Inget, ya di sana kamu cuma sama Papa kamu. Sahabat kamu belum tentu bisa jagain kamu kayak dulu. Jadi, bisa kan kontrol diri kamu sendiri? Jangan terlalu memforsir tubuh kamu?]
Alena
[Bara ish! Sejak kapan sih jadi kayak Papa?]
Bara
[Alena Titania.]
Alena
[Iya iya. Oke aku bakalan berusaha kontrol diri aku. Makasih, petuahnya Bapak Aldebaran yang terhormat.]
Bara
[Heh! Awas aja ya kalo ketemu. Udah sana tidur. Night, Len.]
Alena
[Night too, Bar.]
Alena menatap layar ponselnya lagi. Tak ada balasan dari Bara. Mungkin cowok itu sudah tidur.
“Kamu terlalu baik buat orang kayak aku, Bar. Maaf.”
***
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka. “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya. Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat.Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point.“Nada?” Riga bertanya memastikan.“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu.“Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu.“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya.Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya
Hujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h
Awan hitam menggantung di langit, siap untuk menumpahkan semua air yang ditampungnya. Setelah gagal mengajak Nada pulang bersama, Riga melajukan motornya menuju salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tidak, bukan untuk belanja, tapi untuk bekerja. Riga bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang dikelola oleh tantenya sendiri. Star Café, Namanya.Jika ada yang bertanya apa Riga malu bekerja di kafe? Laki-laki itu pasti menjawab tidak. Bagi Riga, daripada pergi jalan-jalan tidak jelas dengan uang dari orang tua, lebih baik ia bekerja di kafe saja. Lumayan, bisa untuk mencari pengalaman kerja dan gajinya bisa untuk ditabung.“Hai, Riga. Baru datang, ya?” Seorang laki-laki bertubuh kurus dan berambut cepak, menyapa Riga di depan kafe. Laki-laki bernama Tama itu sedang membersihkan salah satu meja yang baru saja ditinggalkan pembeli.“Iya, baru pulang sekolah tadi. Gue masuk dulu, ya, Bang. Mau ganti baju,” pamit Riga yang langsung diac
Riga sadar semakin hari perasaannya untuk Nada semakin besar. Ia benar-benar menyukai Nada. Karenanya, berbekal saran dari teman-teman kerjanya, Riga ingin mencari peruntungan untuk bisa semakin dekat dengan gadis itu. Ia ingin membuat Nada benar-benar nyaman bersamanya.Hari ini, Riga berencana mengajak Nada pulang bersama. Sayangnya, ketika ia akan menyampaikan ajakannya tersebut, seseorang justru lebih dulu mengajak Nada pulang bersama. Awalnya Riga merasa tidak yakin Nada akan menerima ajakan tersebut, tapi ternyata gadis itu menerimanya tanpa paksaan.Sial! Ia kalah cepat dari Gamma.Lebih yang lebih sialnya lagi, Pak Ganjar justru memanggilnya ke ruang guru hanya untuk membantu mengembalikan buku ke perpustakaan. Mau tak mau Riga mengiakan permintaan gurunya tersebut walaupun dalam hati ia ingin tahu ke mana perginya Nada dan Gamma tadi.Setelah mengembalikan semua buku tadi, Riga bergegas pulang. Suasana hatinya yang tidak cukup baik karena pemanda
Hujan masih belum berniat berhenti. Embusan angin menyusup langsung ke pori-pori kulit sepasang remaja yang masih berdiri di balkon lantai dua. Manik mata mereka beradu, tapi si laki-laki lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut. “Lo tahu kan Gamma itu orangnya gimana? Dia sabar, dia yang paling ngertiin orang di sekitarnya. Tapi sejak kejadian hari itu, Gamma terang-terangan menghindar dan dia juga seolah nggak mau kenal kita lagi. Kenapa? Ya karena dia udah terlanjur kecewa … sama kita.” “Gue minta maaf. Maaf karena udah bikin kekacauan di antara kita bertiga terus pergi gitu aja tanpa menyelesaikannya.” “Lo udah terlalu sering minta maaf, tapi hasilnya apa? Masih tetap sama, kan? Jadi, gue mohon jangan tanya lagi kenapa hubungan gue dan Gamma masih belum membaik sampai sekarang.” “Iya, gue nggak akan tanya soal itu lagi. Maaf,” ucap Alena. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Riga. “Hujannya udah agak reda. Lo mau pul