Share

5. Masih Tentang Gamma

“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah.

Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi.

Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya.

Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda.

Jika Nada memiliki wajah judes, tapi aslinya baik hati. Lain dengan Manda. Gadis penyuka makanan manis itu wajahnya terlihat polos, tapi ternyata punya selera humor yang receh.

Alena memasukkan potongan baksonya ke dalam mulut. Gadis itu menggeleng kecil saat melihat Nada menyedot es jeruk di gelas kedua yang Nada pesan. Alena sama sekali tidak menyangka ternyata di balik wajah judes Nada, gadis itu adalah seseorang yang doyan makan.

Benar rupanya kata orang, kalau orang kurus itu makannya banyak.

“Habis, Nad?” tanya Alena di sela kegiatannya memotong bakso. Sekarang hanya tinggal ia dan Nada saja, sedangkan Manda sedang pergi ke toilet.

“Iya nih, Len. Haus banget soalnya,” jawab Nada seraya menggeser gelas di hadapannya yang sudah kosong.

“Makan lo banyak juga, ya ternyata?” Alena terkekeh, yang langsung disambut tawa oleh Nada.

“Nggak usah kaget, Len. Ini cuma bakso, belum yang lain. Nih ya gue kasih tau, gue itu cinta mati banget sama nasi goreng.”

“Heh, serius? Terus kenapa tadi lo nggak pesan nasi goreng aja?”

Nada menggeleng. “Enggak lah. Gue mau cari aman aja. Habis ini kan pelajarannya Pak Kumis. Gue nggak mau aja dihukum gara-gara tidur di kelas. Sumpah ya, horor banget kalau sampai kena hukuman dari Pak Kumis.” Nada bergidik ngeri membayangkan hukuman apa yang diberikan gurunya itu kalau ketahuan tidur di kelas saat pelajarannya berlangsung.

“Pantesan! Eh, tapi memangnya lo pernah dihukum sama beliau?”

“Gue?” Nada menunjuk dirinya sendiri. “Ya, pernah lah,” jawab Nada lalu tertawa.

“Kok bisa?” Alena mulai tertarik dengan cerita hukuman Nada. Ia sedikit mengubah posisi duduknya menghadap Nada.

“Jadi, waktu itu gue telat. Nggak telat banget, sih soalnya pas gue datang, satpamnya baru mau nutup gerbang. Gue udah pelan-pelan cari aman, takut ketahuan guru yang lagi patroli. Nah, pas sembunyi di dekat tangga, ada orang yang di belakang gue. Orang itu nanya-nanya ke gue, gelagatnya sama kayak orang telat dan ikutan sembunyi juga. Jadi, gue masih bersikap biasa aja dan lo tau apa yang terjadi selanjutnya?”

“Apa?”

“Orang itu tiba-tiba berdeham gitu, terus pas gue balik badan ternyata itu Pak Kumis, astaga! Kaget banget gue. Gue diceramahin habis-habisan terus pakai dihukum lari keliling lapangan sepuluh kali. Bayangin, Len. Lapangan segitu gedenya dan gue disuruh lari sepuluh kali. Gila aja! Lari dua kali putaran doang aja, gue udah megap-megap kayak ikan, lah itu malah sepuluh kali. Gempor dong kaki gue!”

“Sumpah, Nad. Gila! Parah banget dong? Ternyata ada, ya guru kayak gitu.”

“Ada! Pak Kumis, buktinya. Makanya jangan sampai lo berurusan sama Pak Kumis, deh. Atau Anda akan menyesal kemudian.”

Alena menggeleng cepat. “Nggak, gue nggak mau berurusam sama beliau. Ngeri!”

Mereka tertawa hingga membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. Alena segera menangkupkan kedua telapak tangan, untuk meminta maaf. Alena tidak menyangka mengobrol dengan Nada ternyata bisa membuatnya lupa sekitar.

Alena menghela napas, berusaha mengontrol tawanya lagi. “Oh iya, Nad, gue mau nanya sama lo.”

“Mau nanya apa?”

Alena tak langsung menjawab. Ia ragu, tapi ia juga penasaran. Pada akhirnya, ia memilih menuntaskan rasa penasarannya.

“Sorry, ya gue mau nanya. Lo udah lama kenal sama Gamma?”

Nada menatapnya dengan alis terangkat. “Kenapa?” Gadis itu balik bertanya.

Alena sontak menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue ngerasa Gamma beruntung banget bisa dapetin lo. Padahal kesan awal ketemu lo, gue pikir lo cewek judes dan nggak gampang bergaul, tapi ternyata gue salah. Lo justru orangnya asik. Sorry ya, kalau gue sempat mikir kayak gitu.”

Bukannya marah, Nada malah tertawa. Hal itu membuat Alena menatapnya bingung. “Santai aja, Len. Semua orang juga punya pemikiran sama kayak lo pas pertama kali ketemu gue. Mereka bilang gue cuek, judes, gitu-gitulah pokoknya. Padahal kalau udah kenal, gue nggak judes-judes amat.”

“Iya, lo benar, Nad. Pantes aja Gamma milih lo jadi pacarnya. Lo itu orangnya unik, sih. Baik, seru juga.”

“Padahal gue biasa aja, loh. Cantik enggak, judes iya,” jawab Nada. “Eh iya, lo kan juga kenal sama Gamma. Kalian udah lama kenal? Kayaknya waktu itu gue lihat lo akrab banget sama Gamma.”

Alena terkesiap. Sudah menduga, Nada akan menanyakan tentang hal ini. Meski begitu, tetap saja ia tidak kuasa menahan rasa gugupnya.

Gamma mantan gue.

Alih-alih berhasil menyerukan tiga kata yang ada di pikirannya, Alena justru menjawab hal lain. “Gamma temen SMP gue. Orangnya lucu, sih, cuma ya gitu kadang suka ngeselin. Eh, tapi dia aslinya baik, kok.”

“Tapi pas kelas delapan, gue pindah ke Balikpapan karena Papa pindah tugas ke sana. Terus sekarang pas gue balik ke Jalarta lagi, nggak nyangka banget bisa satu sekolah lagi sama dia. Sumpah, gue seneng banget, Nad!”

Ya, semua tentang Gamma selalu bisa membuat jantung Alena berdebar kencang. Bahkan binar di matanya selalu menyala setiap kali membicarakan laki-laki itu.

Alena menatap Nada bingung karena tidak ada respons dari cewek itu. Kerutan samar tercetak di wajahnya saat melihat Nada terus-terusan menatapnya. Telapak tangannya perlahan melambai di depan wajah Nada.

“Nada!”

Nada tersentak kaget. Gadis itu mengerjap beberapa kali. “Hah, iya? Kenapa, Len?”

“Yee, malah ngelamun! Mikir apa, sih?” tanya Alena seraya menatap Nada penuh selidik. Namun, kemudian satu pemikiran terlintas di benak Alena.

“Nad, lo nggak lagi cemburu sama gue, kan?”

Tepat! Tidak salah lagi.

“C-cemburu? Hah? E-enggak kok. Ngapain gue cemburu sama lo?” jawab Nada gelagapan.

Fix! Lo cemburu sama gue, Nada.

“Ya, siapa tau lo cemburu sama gue?”

“Nggak. Gue nggak cemburuan, kok.”

“Syukurlah. Sorry, kalau misalnya ada kalimat gue yang salah. Tapi jujur gue emang seneng banget ketemu temen lama gue.”

“Iya, santai aja, Len.”

**

Bel pulang baru saja berbunyi, tapi koridor lantai dua sudah ramai seperti orang mau demo. Katanya biar lebih cepat mendinginkan kepala setelah dipaksa melahap berbagai jenis rumus.

Memang, di SMA Angkasa ini terbilang unik. Di hari Senin sampai Kamis, pelajaran utama jurusan diletakkan di jam pertama sampai keempat dan di jam ketujuh sampai jam kedelapan atau jam pelajaran terakhir. Sedangkan pada hari Jumat, mata pelajaran utama hanya diletakkan di jam pelajaran pertama dan kedua saja.

“Lo dijemput, Len?”

Pertanyaan Manda mengalihkan gerakan Alena yang sedang memasukkan buku ke tas. Alena menatap sekitar. Kelas sudah kosong. Hanya tersisa ia dan dua sahabat itu, ada juga Riga yang baru saja keluar kelas.

“Oh, iya gue dijemput. Kalian pulang bareng?”

“Iya, Nada nebeng gue. Sekalian mau mampir ke rumahnya dia.”

“Oh, gitu. Ya udah gue balik duluan, ya?”

“Oke.”

Alena melangkah cepat di koridor yang mulai sepi. Pandangannya sesekali menyapu sekitar mencari seseorang, tapi dari tadi objek yang dicari tidak ada.

Pasrah, Alena pun segera menuju gerbang. Papanya baru saja memberitahunya bahwa beliau sudah di depan. Benar saja, sebuah mobil CRV hitam tengah berhenti tepat di seberang gerbang sekolah.

“Loh, kamu kenapa? Pasti lari-larian, ya tadi?” tanya Budi saat Alena baru menutup pintu penumpang bagian belakang. Gadis itu duduk di sebelah papanya. Tak lama mobil pun melaju.

Jogging tipis-tipis doang, Pa. Udah lama nggak olahraga juga.”

“Udah, Len. Jangan aneh-aneh kamu. Habis ini nggak ada jogging segala macem, kesehatan kamu harus dijaga. Papa nggak mau kamu kecapekan terus sakit.”

“Papa, ih kebiasaan! Papa jangan terus-terusan memperlakukan aku kayak gini dong. Yang bisa kontrol tubuh Alena, ya Alena sendiri. Papa tenang aja, jangan terlalu khawatir sama Alena. Kalau Papa terus kayak gini yang ada nanti malah Alena nggak bisa ngapa-ngapain dong. Bosen tau, Pa.”

Dari dulu memang Alena tak suka jika Budi memperlakukannya seperti ini. Padahal ia bukan orang sakit yang butuh perhatian khusus.

“Alena jangan membantah Papa.”

Alena kembali mengatupkan bibirnya lagi. Jika papanya sudah memanggil namanya seperti ini, artinya memang sudah tidak bisa dibantah.

“Pak, berhenti depan situ, ya? Alena mau beli Boba dulu,” ujar Alena pada sopirnya. “Papa mau dibeliin sekalian?”

“Enggak, kamu aja yang beli,” jawab Budi lembut. Emosinya sudah kelihatan lebih stabil dari sebelumnya.

Sembari menunggu pesanannya, Alena menyapukan pandang ke sekitar. Jalanan sedikit lengang, padahal ini jam pulang sekolah. Saat menoleh ke kiri, matanya membola seketika melihat pemandangan di depannya.

Di depan sana, Gamma sedang mengobrol bersama Nada. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Alena bisa melihat sikap Gamma yang perhatian. Dari gelagatnya, Gamma minta Nada menunggu di teras minimarket, tapi gadis itu menolak.

Hatinya terasa teriris melihat pemandangan itu. Ada rasa tidak suka muncul ke permukaan. Harusnya ia yang berada di posisi Nada. Harusnya ia yang sekarang bersama Gamma bukan malah Nada.

Cemburu? Mungkin.

Tak lama kemudian Gamma masuk ke minimarket. Alena masih tetap mengamati gerak-gerik Nada hingga tanpa sengaja ia melihat gadis itu menuju ke sebuah restoran dengan terburu-buru.

“Lena, masih lama?”

“Eh, ini udah kok, Pa,” jawab Alena. Setelah membayar pesanannya, cewek itu segera masuk mobil.

Namun, tetap saja pandangannya tak lepas dari restoran di seberang jalan. Tak lama kemudian, matanya melihat Gamma berlari menyusul Nada yang sudah lebih dulu masuk.

“Mereka ngapain, sih di sana?” cicit Alena.

“Siapa, Len?”

“Oh, itu tadi ada anak jalanan masuk restoran. Kayaknya mau ngamen, deh.”

“Oh, kirain apa.”

Perlahan mobil yang mereka tumpangi pun melaju pelan. Belum sempat sampai di belokan perempatan, matanya kembali membola.

Oh My God! Itu Manda.”

*

Bara

[Cuaca lagi nggak bagus. Jangan lupa jaga kesehatan. Makan dan istirahat yang teratur. Vitaminnya juga jangan lupa diminum.]

Alena

[Kamu chat kayak gini pasti abis dikasih tau Papa, ya? Ish kebiasaan! Lain kali kalo papa chat gak usah dibalas.]

Bara

[Durhaka dong! Iya, tadi Om Budi chat ngasih tau soal tadi siang aja.]

Alena

[Papa protektif banget. Padahal aku cuma lari tipis doang, takut papa nunggu lama juga. Lagian jaraknya deket kok.]

Bara

[Itu semua demi kamu, Alena. Ingat kamu gak boleh sampai kecapekan. Tubuh kamu bisa drop lagi. Inget, ya di sana kamu cuma sama Papa kamu. Sahabat kamu belum tentu bisa jagain kamu kayak dulu. Jadi, bisa kan kontrol diri kamu sendiri? Jangan terlalu memforsir tubuh kamu?]

Alena

[Bara ish! Sejak kapan sih jadi kayak Papa?]

Bara

[Alena Titania.]

Alena

[Iya iya. Oke aku bakalan berusaha kontrol diri aku. Makasih, petuahnya Bapak Aldebaran yang terhormat.]

Bara

[Heh! Awas aja ya kalo ketemu. Udah sana tidur. Night, Len.]

Alena

[Night too, Bar.]

Alena menatap layar ponselnya lagi. Tak ada balasan dari Bara. Mungkin cowok itu sudah tidur.

“Kamu terlalu baik buat orang kayak aku, Bar. Maaf.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status