Share

7. Bahagia dan Harapan

“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”

Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat. 

Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point. 

“Nada?” Riga bertanya memastikan. 

“Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”

“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”

Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu. 

“Jadi, lo belum tahu soal ini?”

“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu. 

“Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”

“Pacaran?” Alena mengangguk cepat. Riga mendengus. “Dapat gosip dari mana? Lo tuh baru beberapa hari sekolah di sini udah dapat gosip nggak jelas dari mana-mana.”

“Ih ini tuh bukan gosip, Ri. Gamma yang bilang sendiri ke gue kalau dia pacaran sama Nada.”

Alena pun mau tak mau akhirnya menceritakan semuanya pada Riga. Tentang pertemuan tak sengajanya dengan Gamma di toko buku hingga apa yang dilihatnya di depan minimarket kemarin. 

“Kalau memang mereka pacaran, ya gue nggak masalah. Gue bisa mundur. Seenggaknya gue bisa lihat orang yang gue suka bahagia sama pilihannya. Gue cuma nggak mau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.”

“Berhenti nyalahin diri lo sendiri, Riga!”

“Kenyataannya emang gitu, kan, gue yang salah? Iya, gue sadar pengin terus bareng sama lo padahal gue tahu lo pacaran sama Gamma. Gue jahat, Al. Gue nyakitin sepupu gue sendiri.” Riga menggeram frustrasi. Kedua tangannya mengepal kuat. 

“Udah berapa kali gue bilang kalau itu bukan kesalahan lo doang? Itu kesalahan kita, Ri. Kita berdua sama-sama salah. Gue juga salah karena sering bohongin dia dan gue nggak bisa menghargai ketulusan dia.”

“Tapi kalau aja waktu itu gue nggak egois, mungkin hubungan kalian masih berlanjut sampai sekarang, Al.”

“Itu masa lalu, Ri. Tapi sekalipun hubungan gue dan Gamma berakhir, perasaan gue ke dia masih terus tumbuh. Riga, gue cemburu lihat Gamma akrab sama Nada daripada sama gue,” aku Alena. Kepalanya tertunduk. Sorot matanya meredup. 

Riga menghela napas. “Al, biarin Gamma sama Nada. Gamma berhak bahagia atas pilihannya. Dan anggap aja, sikap Gamma adalah karma buat kita atas apa yang udah kita lakuin ke dia dulu.”

“Nggak bisa, Ri. Gue justru berharap mereka putus dan Gamma balik lagi ke gue,” ujar Alena terdengar yakin. Namun, hal itu dipatahkan langsung oleh Riga. 

“Jangan pernah berharap sesuatu yang nggak berguna.”

***

Prakiraan cuaca di ponselnya ternyata salah. Hari ini hujan tidak turun sedikit pun dan sinar matahari malah terasa dua kali lebih panas dari biasanya. Padahal sekarang sudah sore dan seharusnya sinar matahari mulai meredup. 

Matahari terbenam masih sekitar dua jam lagi, sedangkan bosan menyelimuti Alena. Alhasil, di sinilah ia sekarang. Berdiri di depan sebuah butik dengan perasaan bahagia. Di tangannya, ada sebuah paper bag berisi sekotak kue bolu yang baru saja ia beli di toko kue di seberang butik. 

Sebelum ini, Alena sempat menceritakan pada Riga tentang Gamma yang datang ke butik ini dan ternyata Alena baru tahu jika butik ini adalah milik ibunya Gamma. Riga juga bilang, butik ini dibangun sekitar dua tahun lalu. Itu berarti butik ini dibangun beberapa bulan setelah kepindahannya ke Balikpapan.  

Alena tidak melihat motor Gamma di parkiran. Jadi, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam butik. Takutnya, Gamma tahu dan sudah pasti laki-laki itu tidak mengizinkan ia masuk. 

Butik ini tidak terlalu besar, tapi tata ruangan yang bagus membuat tempat ini terlihat begitu luas dan besar. 

“Selamat sore, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?” Seorang perempuan dengan postur tubuh lebih tinggi dari Alena, menyapanya. 

“Sore, Mbak. Maaf, saya ingin bertemu Bu Farah—pemilik butik ini. Apakah beliau ada?” tanya Alena. 

“Oh, Bu Farah? Iya, beliau ada di ruangannya. Kalau begitu mari saya antar, lewat sini, Mbak.”

Alena pun mengikuti arahan wanita tadi. Namun, mendadak perasaannya tidak enak saat melihat beberapa orang berkerumun di depan pintu ruangan yang ia tuju. Dengan cepat, Alena menyelinap di antara kerumunan. Matanya membola seketika saat mendapati seorang wanita terbaring dengan wajah pucat. 

“Ya ampun, Tante Farah! Tante ... bangun, Tante. Mbak, bisa minta tolong panggil ambulans ke sini? Biar saya telepon anaknya Bu Farah.”

Salah seorang karyawan butik itu menyetujui permintaan Alena dan segera melangkah pergi. Sedangkan Alena langsung menelepon Gamma. Untungnya, ia sudah punya nomor laki-laki itu. Panggilan tersebut langsung dijawab. 

“Halo, ini siapa?”

“Gamma, ini aku Alena. Mama kamu pingsan di butik dan sekarang mau dibawa ke rumah sakit. Kamu langsung ke rumah sakit, ya? Nanti aku kasih tahu Mama kamu dibawa ke rumah sakit mana.”

Sungguh, Alena tidak pernah sepanik ini sekarang. Mungkin karena ia melihat langsung Farah yang pingsan di depan ruangannya dan lagi, ia mencemaskan Gamma. Laki-laki itu pasti sangat mencemaskan keadaan Farah. 

Tadi, Alena sudah memberitahu Gamma ke rumah sakit mana ibunya dibawa. Sekarang, ia hanya tinggal menunggu kedatangan laki-laki itu. Pintu ruang UGD belum terbuka sejak tadi. 

“Gimana keadaan Mama?” tanya Gamma. 

Alena menoleh, menatap prihatin penampilan Gamma yang berantakan. Bahkan seragamnya pun sedikit kusut. Wajah laki-laki itu menyiratkan kekhawatiran berlebih. 

Alena tidak tahu bagaimana keadaan Farah sekarang karena dokter yang menangani belum keluar dari ruangan di hadapannya. Jadi, ia tidak punya pilihan lain selain meyakinkan Gamma bahwa ibunya akan baik-baik saja. 

Gamma bertanya bagaimana ibunya bisa pingsan dan Alena pun menceritakan apa yang terjadi. Tentang kedatangannya yang ingin memberikan kejutan untuk Farah, tapi saat sampai di sana ia justru menemukan wanita itu sudah pingsan. 

Gamma menghela napas dan mendudukkan diri di kursi panjang yang ada di dekat ruangan itu. Raut wajah Gamma benar-benar membuat perasaan Alena campur aduk. Gamma pasti menghadapi sesuatu yang berat selama ini. 

Memberanikan diri, Alena bertanya Gamma sudah makan atau belum, dan ketika tahu Gamma ternyata belum makan, Alena pun segera beranjak dari kursi. Alena pergi ke kantin guna membeli makanan untuk Gamma. 

Saat kembali, Alena tidak menemukan Gamma di depan ruang UGD. Pintu ruangannya terbuka, tapi Alena tidak menemukan Gamma dan ibunya. Tunggu, tidak mungkin kan Gamma dan ibunya sudah pulang? 

Alena memutuskan bertanya kepada salah satu perawat di meja informasi. Alena menghela napas lega ketika perawat itu memberitahukan bahwa Farah sudah dipindahkan ke ruang rawat. Gadis itu pun mengucapkan terima kasih dan segera menuju ruang rawat Farah. 

Tiba di depan ruang rawat Farah, Alena melihat pintu ruangannya terbuka sedikit. Ia pikir sedang ada dokter atau perawat di dalam sana, tapi ternyata tidak. Hanya ada Gamma dan ibunya yang sedang terbaring lemah di bed pasien. Karena itu Alena memutuskan untuk masuk. Namun, suara sendu yang terdengar berhasil mengurungkan niat Alena untuk masuk. 

“Pa, Ares gagal jagain Mama.”

Dipandanginya punggung laki-laki di dalam ruangan itu. Kalimat yang diucapkan Gamma barusan berhasil menyentil perasaan Alena. Sungguh, setelah semua sikap Gamma padanya, sekarang Alena seperti dibawa ke masa lalu. Punggung itu seperti punggung anak laki-laki dua tahun lalu. Terlihat kuat, tapi sebenarnya rapuh.

Alena menghela napas pelan, kemudian memilih masuk ke ruang rawat tersebut. Ia lalu memberikan sekotak nasi goreng yang tadi dibelinya. Gamma menerimanya dan mereka pun makan bersama di ruangan itu. 

Sayangnya, ada satu yang tidak luput dari pandangan Alena. Gamma ... kenapa ekspresinya begitu datar hanya karena nasi goreng saja? Atau mungkin karena ada sesuatu yang sedang dipikirkan laki-laki itu? Atau mungkin ini ada hubungannya dengan Nada?

Entah, ia sendiri tidak tahu. Barangkali memang sedang ada yang dipikirkan laki-laki itu dan sifatnya rahasia. 

Namun, satu hal yang tidak pernah Alena duga setelah semua sikap Gamma padanya. Hari ini, tiba-tiba saja Gamma mengiriminya pesan singkat. Dalam pesan singkat itu tertulis, bahwa Gamma akan menjemputnya pulang sekolah nanti karena Farah ingin bertemu dengannya. 

Alena senang bukan main. Lagi pula, siapa juga yang tidak senang dijemput mantan tersayang dan akan bertemu dengan orang tuanya pula? 

Rasa senang itu membuat Alena memutuskan untuk buru-buru keluar kelas begitu bel pulang berbunyi. Ia juga tidak mempermasalahkan perihal Gamma yang bukan menjemputnya di depan gerbang, melainkan di warung dekat sekolah. Tidak apa, Alena tahu pasti Gamma menjaga perasaan Nada.

Gamma mengantar Alena pulang dulu ke rumah untuk berganti baju, baru kemudian mereka berangkat ke rumah sakit. Alena sungguh tidak menyangka setelah sekian lama ia pergi dari Jakarta, ternyata Farah masih mengingatnya dengan baik. Wanita cantik itu juga masih meminta Alena untuk memanggilnya “Mama” seperti dulu.

Dan nyatanya, dari semua hal itu, Alena sangat merindukan pelukan hangat dari Farah—pelukan yang tidak akan lagi ia dapatkan dari sosok ibu. 

Sore itu, Alena seperti diajak mengulang ke masa lalu. Bagaimana dulu ia sering mengobrol berbagai topik dengan wanita cantik itu. Bagaimana mereka yang kemudian berujung membicarakan aib Gamma. Sekarang, semua ini kembali terjadi. 

Kebahagiaan Alena kini berlipat ganda dan ia berharap kebahagiaan seperti ini tidak akan pernah hilang dari dalam hidupnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status