100 Langkah Melupakan Kisah Kita

100 Langkah Melupakan Kisah Kita

By:  Orion Hunter  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
2 ratings
96Chapters
5.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Alena pikir kembali ke Jakarta adalah pilihan terbaik baginya sekaligus untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Namun, semua tidak seperti yang direncanakannya. Gamma, seseorang yang diharapkannya selama ini, ternyata sudah memiliki pacar baru. Rasa tidak suka pun muncul dan membuat Alena melakukan hal konyol yang justru membuat Gamma semakin membencinya. Di sisi lain, Auriga yang sedang berusaha mencoba melupakan masa lalunya justru mengetahui rencana Alena. Auriga memperingati Alena untuk tidak melakukan tindakan di luar batas, tapi Alena selalu mengabaikan Auriga. Akankah Auriga berhasil mencegah Alena atau malah membiarkan gadis itu? Lalu apa yang akan Alena lakukan ketika Auriga mengetahui rencananya? Akankah Alena berhenti atau malah bertindak lebih jauh lagi? “Gue masih mencintainya.” “Tapi dia udah nggak mencintai lo. So, berhenti dan lupakan dia.”

View More
100 Langkah Melupakan Kisah Kita Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
default avatar
kudaponi1
Ceritanya menarik. Semangat updatenya thor
2022-08-02 06:24:36
0
default avatar
kudaponi1
baru baca prolognya ternyata bagus. gass otw lanjut baca
2022-07-06 18:01:51
0
96 Chapters
Prolog
Prolog “Kamu jadi berangkat besok?” Pertanyaan itu berhasil menghentikan rutinitas sore seorang gadis berambut pirang yang sedang menyiram bunga. Gadis itu mematikan keran air dan meletakkan selang berwarna biru di bawah keran, lalu mendudukkan dirinya di lantai teras rumah. Di sebelahnya, ada seorang laki-laki berkaus hitam polos sedang berbaring telentang dengan pandangan terkunci pada langit berawan. “Iya, besok pagi aku berangkat,” jawab gadis itu. “Pagi, ya?” gumam laki-laki itu seperti sedang berpikir, lalu melanjutkan ucapannya, “Oke, kalau begitu besok pagi aku antar kamu ke bandara.” Gadis itu menoleh cepat lalu menggeleng. “Nggak usah, Bar! Kamu besok kan ada lomba, nanti kamu capek kalau harus ngantar aku ke bandara. Lagi pula besok udah ada orang tua kamu juga. Jadi, lebih baik kamu fokus aja sama lomba kamu,” tolak gadis berkaus garis-garis hitam putih bak zebra itu. Rasanya, selama di sini ia sudah banyak merepotkan laki-laki itu. Makanya, kali ini ia tidak mau mer
Read more
1. Hari Kedua di Jakarta
“Oh My God, kamar gue!” “Gila! Ini kamar udah kayak medan perang aja. Bisa kena omel Pak Budi nih, gue. Dasar, Alena bego!” gerutu Alena seraya mengambil beberapa potong pakaian yang tersebar di atas ranjang lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor. Alena menatap miris kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Satu dari dua koper di samping pintu kamar terbuka dan isinya mencuat keluar, tiga buah kardus berukuran sedang di samping koper, jaket warna maroon tersampir asal di meja belajar, dan juga seprei yang salah satu sisinya berada di lantai. Kemarin Alena tidak sempat membereskannya. Ralatㅡbukannya tidak sempat, tapi karena ia kelelahan. Bahkan untuk sekadar duduk saja, ia benar-benar tidak kuat saking lelahnya. Pasalnya penerbangan yang seharusnya memakan waktu sekitar dua jam, harus molor karena delay. Ditambah lagi ia memang tidak suka perjalanan jauh. Mabuk, katanya. Dua jam sudah Alena berku
Read more
2. Bertemu Kembali
Seruan itu menghentikan obrolan keduanya. Keduanya menoleh cepat. Alangkah terkejutnya Alena saat mendapati siapa pemilik suara barusan. Tubuhnya mendadak kaku saat matanya bertubrukan dengan iris cokelat milik orang itu. Orang yang kini berdiri beberapa meter di depannya, tepat di belakang gadis bernama Nada tersebut. “Gamma?” ucapnya memastikan penglihatannya. Tubuh tinggi dan tegap, wajah tampan meski dengan kulit sawo matang seketika membius Alena. “Gamma, ini beneran kamu? Astaga, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Gimana kabar Mama Farah?” tanyanya beruntun. Tak lupa seulas senyum terukir di bibir Alena. Senang rasanya, ia bisa bertemu Gamma di tempat ini, tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk kencan. Raut terkejut laki-laki itu berubah datar. Gamma terdiam sejenak. “Oh, gue baik-baik aja. Kabar Mama juga baik. Lo sendiri gimana? Kapan pulang?” Hati Alena mencelos mendengar Gamma menggunakan ‘gue-lo’, padahal dulu lak
Read more
3. Murid Baru
Ini bukan kali pertama Alena pindah sekolah, lebih tepatnya ini yang keempat kalinya. Kelas 2 SD pindah ke Bandung hingga kenaikan kelas 6 ia pindah ke Jakarta. Pertengahan kelas 8 SMP, ia pindah ke Balikpapan dan sekarang ia pindah lagi ke Jakarta. Sebenarnya Alena tidak suka dengan keadaan seperti ini. Namun, pekerjaan Budi yang hanya karyawan di sebuah perusahaan swasta, membuat Alena mau tak mau harus mengikuti ke mana pun papanya dipindahtugaskan. Alena belajar menerima, toh, papa bekerja untuk dirinya. Namun, sejak mama dan kakaknya meninggal, papa jadi lebih protektif padanya. Mengiriminya pesan hingga menelepon berkali-kali jika ia terlambat pulang. Lebih parah lagi, papa sering minta tolong pada temannya yang dikenalnya untuk membantu mengawasi. Seperti Riga kemarin, contohnya. Papa meminta tolong laki-laki itu untuk mengawasinya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah karena jawaban Riga. “Om Budi nitipin lo ke gue,” ucap Riga saat di perjalanan pulang
Read more
4. Toko Roti dan Kekecewaan
Sekotak donat sudah berpindah dari tangan penjaga toko roti ke tangan Alena. Sekarang, ia ingin segera pulang. Membaca buku sambil ditemani sekotak donat pasti menyenangkan, begitu rencananya. Namun, baru saja tangannya mendorong keluar pintu, pandangannya langsung tertuju pada sebuah butik yang terletak tepat di seberang toko roti, tempatnya berada sekarang. Ralat, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berjaket abu-abu yang sedang memarkir motornya di pelataran parkir butik tersebut. Ponsel yang rencana digunakan untuk memesan ojek online pun segera ia masukkan ke dalam tas dan tanpa membuang waktu lagi, Alena berlari menuju butik tersebut. Masa bodoh dengan donatnya yang terombang-ambing karena dibawanya berlari. Toh, sekalipun nanti topping-nya tercampur, donatnya masih enak dimakan. “Gam! Gamma!” Dua kali, panggilannya tidak mendapat respons. Laki-laki yang dipanggilnya itu malah melangkah menuju pintu butik setelah menyapa
Read more
5. Masih Tentang Gamma
“Gila, panas banget! Kipas anginnya kenapa pakai mati segala, sih? Bisa gosong dong gue,” keluh Manda seraya mengipaskan kedua telapak tangannya ke wajah. Cuaca hari ini begitu panas, bahkan terasa lebih panas dari biasanya, padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hal ini membuat Alena bersama dua teman barunya—Nada dan Manda— langsung ke kantin tepat sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sebenarnya Alena masih canggung bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Namun, Nada—pacar Gamma— terus membujuknya supaya mau ke kantin. Katanya biar mereka bisa lebih akrab sekalian mengobrol, ditambah lagi Via, teman sebangkunya tidak masuk, jadi mau tak mau Alena pun menyetujuinya. Alena pikir ia akan cukup sulit berteman dengan mereka, mengingat Nada adalah pacar dari orang yang disukainya. Namun, ternyata ia salah. Berteman dengan dua gadis itu ternyata bukan pilihan yang buruk. Mereka sama-sama bisa mencairkan suasana, terutama Manda. Jika Na
Read more
6. Sejarah Terulang
“Gimana sekolah kamu?” tanya Budi suatu pagi di tengah kegiatan sarapan mereka.  “Lancar, Pa. Cuma lagi banyak tugas aja,” jawab Alena lalu memasukkan potongan kornet ke mulutnya.  Budi menanggapinya dengan anggukan, paham. “Jangan terlalu diforsir ya, Len. Kalau sekiranya kamu merasa nggak enak badan, langsung istirahat biar nggak sampai drop. Terus jangan lupa vitaminnya diminum.” Alena meraih gelas air putih di hadapannya dan meneguknya sedikit. “Papa dan Bara tuh sama aja, ya? Sama-sama suka nyuruh Lena ini itu. Padahal tanpa disuruh pun, aku juga akan kontrol aktivitasku sendiri kok, Pa. Kondisi Lena, cuma Lena sendiri yang tahu. Dan Papa seharusnya juga nggak perlu kasih tahu Bara tentang kemarin. Sekarang, dia jadi ikutan ngomelin aku, Pa.” “Bagus, dong kalau begitu. Setidaknya Bara bisa jadi wakil Papa kalau omelan Papa sama sekali nggak kamu dengerin.” Awalnya Alena merasa biasa saja dengan sikap Bara tersebut. Namun, ia tid
Read more
7. Bahagia dan Harapan
“Riga, ada yang mau gue omongin sama lo.”Riga yang tengah membereskan buku-bukunya pun menoleh. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Alena dan Riga saja. Laki-laki itu menatap Alena dengan alis terangkat. Alena berdeham sebentar lalu kembali menatap Riga. “Lo suka sama Nada?” tanyanya to the point. “Nada?” Riga bertanya memastikan. “Iya. Lo suka sama dia, kan? Ngaku aja, deh.”“Kalau gue suka sama Nada, kenapa?”Pertanyaan Riga sontak membuat Alena tersentak kaget. Entah harus senang atau sedih, ia sendiri bingung. Mendadak ia teringat sesuatu. “Jadi, lo belum tahu soal ini?”“Itu apa sih, Al? Kalau ngomong yang jelas.” Riga kesal sendiri, ia benar-benar tidak mengerti ke mana arah pembicaraan gadis itu. “Lo nggak tahu kalau Nada pacaran sama Gamma?”“Pacaran?” Alena mengangguk cepa
Read more
8. Ucapan Terima Kasih
Entah kenapa, perasaan Alena pagi ini jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Mungkin karena efek bisa menghabiskan waktu bersama Gamma di luar jam sekolah, ia jadi merasa sesenang ini. Oh, terima kasih kepada Tante Farah yang sudah menyuruh Gamma menjemputnya pulang sekolah, demi bisa bertemu dengannya.  Langkah kakinya begitu ringan menyusuri jalanan paving menuju gedung sekolah. Sebenarnya, Alena ingin langsung ke kelas, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Nada duduk sendirian di salah satu meja kantin. Alena pun menghampirinya. Nada memakan makanannya tanpa minat. Akhir-akhir ini Alena memang sering melihat Nada sedikit murung, begitu juga dengan Manda. Entah apa yang sudah terjadi di antara kedua sahabatnya itu, ia sama sekali tidak tahu. Baik Nada ataupun Manda, mereka tidak mengatakan tentang masalah apa yang sedang mereka hadapi sekarang.  Alena pun menemani Nada di kantin. Alena memilih
Read more
9. Ada Yang Salah
Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi. Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing. “Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula ya
Read more
DMCA.com Protection Status