Dari semua hal yang di sekolah, bel pulang menjadi sesuatu yang paling ditunggu oleh semua murid dan mungkin para guru juga. Jika bel istirahat seperti oase di tengah gurun pasir, bel pulang seperti lautan luas yang ditemukan setelah perjalanan jauh melewati gurun pasir tersebut. Murid-murid akan berhamburan keluar kelas setelah bel pulang berbunyi.
Sama seperti yang terjadi di kelas Alena sekarang. Bel berbunyi dan guru mata pelajaran terakhir baru saja keluar, tapi teman-teman sekelasnya sudah ramai keluar kelas. Beberapa lainnya masih sibuk bersiap-siap di bangku masing-masing.“Len, lo dijemput, kan? Ayo ke depan bareng.”Ajakan Via langsung disetujui oleh Alena. Gadis itu segera memasukkan buku dan alat tulisnya ke tas, lalu mencangklong tasnya seraya beranjak dari kursinya. “Ayo, Vi.”Alena ingin cepat pulang juga. Tadi pagi papanya bilang kalau beliau akan pulang cepat dari kantornya dan mengajak Alena makan di luar. Lagian, siapa pula yaHujan di pagi hari selalu berhasil membangkitkan hawa malas bagi kebanyakan orang. Dinginnya udara membuat mereka lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut tebal daripada bangun dan melakukan rutinitas masing-masing.Hal itu juga yang dilakukan Riga sekarang. Hujan yang mengguyur kota sejak dini hari tadi—bertepatan dengan ia akan pergi tidur setelah menyelesaikan PR Biologi—membuat laki-laki enam belas tahun itu kembali menarik selimutnya hingga menutupi leher. Riga kembali terlelap dengan dengan nyaman.Masa bodoh dengan sarapan, yang penting sekarang ia ingin tidur. Lagi pula, siapa yang akan memarahinya hanya karena tidur di hari libur yang hujan ini? Tidak ada. Lebih tepatnya, tidak ada orang di rumahny, selain ia sendiri, sampai beberapa hari ke depan.Setidaknya itu yang Riga yakini sebelum suara ketukan pintu terdengar berulang dan disusul decitan pintu yang dibuka secara tidak sabar, mengusik ketenangan paginya.“Ayah&h
Awan hitam menggantung di langit, siap untuk menumpahkan semua air yang ditampungnya. Setelah gagal mengajak Nada pulang bersama, Riga melajukan motornya menuju salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Tidak, bukan untuk belanja, tapi untuk bekerja. Riga bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang dikelola oleh tantenya sendiri. Star Café, Namanya.Jika ada yang bertanya apa Riga malu bekerja di kafe? Laki-laki itu pasti menjawab tidak. Bagi Riga, daripada pergi jalan-jalan tidak jelas dengan uang dari orang tua, lebih baik ia bekerja di kafe saja. Lumayan, bisa untuk mencari pengalaman kerja dan gajinya bisa untuk ditabung.“Hai, Riga. Baru datang, ya?” Seorang laki-laki bertubuh kurus dan berambut cepak, menyapa Riga di depan kafe. Laki-laki bernama Tama itu sedang membersihkan salah satu meja yang baru saja ditinggalkan pembeli.“Iya, baru pulang sekolah tadi. Gue masuk dulu, ya, Bang. Mau ganti baju,” pamit Riga yang langsung diac
Riga sadar semakin hari perasaannya untuk Nada semakin besar. Ia benar-benar menyukai Nada. Karenanya, berbekal saran dari teman-teman kerjanya, Riga ingin mencari peruntungan untuk bisa semakin dekat dengan gadis itu. Ia ingin membuat Nada benar-benar nyaman bersamanya.Hari ini, Riga berencana mengajak Nada pulang bersama. Sayangnya, ketika ia akan menyampaikan ajakannya tersebut, seseorang justru lebih dulu mengajak Nada pulang bersama. Awalnya Riga merasa tidak yakin Nada akan menerima ajakan tersebut, tapi ternyata gadis itu menerimanya tanpa paksaan.Sial! Ia kalah cepat dari Gamma.Lebih yang lebih sialnya lagi, Pak Ganjar justru memanggilnya ke ruang guru hanya untuk membantu mengembalikan buku ke perpustakaan. Mau tak mau Riga mengiakan permintaan gurunya tersebut walaupun dalam hati ia ingin tahu ke mana perginya Nada dan Gamma tadi.Setelah mengembalikan semua buku tadi, Riga bergegas pulang. Suasana hatinya yang tidak cukup baik karena pemanda
Hujan masih belum berniat berhenti. Embusan angin menyusup langsung ke pori-pori kulit sepasang remaja yang masih berdiri di balkon lantai dua. Manik mata mereka beradu, tapi si laki-laki lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut. “Lo tahu kan Gamma itu orangnya gimana? Dia sabar, dia yang paling ngertiin orang di sekitarnya. Tapi sejak kejadian hari itu, Gamma terang-terangan menghindar dan dia juga seolah nggak mau kenal kita lagi. Kenapa? Ya karena dia udah terlanjur kecewa … sama kita.” “Gue minta maaf. Maaf karena udah bikin kekacauan di antara kita bertiga terus pergi gitu aja tanpa menyelesaikannya.” “Lo udah terlalu sering minta maaf, tapi hasilnya apa? Masih tetap sama, kan? Jadi, gue mohon jangan tanya lagi kenapa hubungan gue dan Gamma masih belum membaik sampai sekarang.” “Iya, gue nggak akan tanya soal itu lagi. Maaf,” ucap Alena. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Riga. “Hujannya udah agak reda. Lo mau pul
“Kita mau ke mana?” Alena kembali melempar pertanyaan kepada Riga. Ia sedikit mengeraskan nada suaranya supaya laki-laki di depannya ini bisa mendengar pertanyaannya.Hingga motor yang dikemudikan Riga sudah menjauhi kompleks perumahannya sejak beberapa menit lalu, tapi Alena masih tetap tidak tahu ke mana Riga mengajaknya pergi. Laki-laki itu tidak memberitahu tujuannya kepada Alena. Riga hanya berkata, “Nanti lo juga tahu.”Dua puluh menit perjalanan, motor Riga akhirnya berbelok ke sebuah toko bunga. Re’s Florist, namanya. Bagian luar toko itu tidak terlalu banyak tanaman yang dipajang, tapi berbeda dengan bagian dalamnya yang memajang banyak bunga-bunga cantik. Konsep dan penataan toko yang bagus membuat tempat ini terlihat sedap dipandang. Alena yakin pemilik toko ini adalah orang yang menyukai keindahan.“Lo suka yang mana?” Pertanyaan Riga menginterupsi kegiatan Alena mengagumi bunga-bunga di sini. Gadis itu menol
Setelah mengantar Alena pulang, Riga pun langsung memacu motornya menuju rumah. Jangan berharap bisa tiba di rumah dalam waktu singkat, sebab jalanan yang padat kendaraan dan pedagang kaki lima, membuat Riga tidak bisa seenaknya menambah laju kecepatan motornya. Terlalu gegabah, yang ada bisa-bisa sesuatu hal buruk terjadi.Riga tiba di rumah bersamaan dengan sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Itu mobil sang ayah. Riga memarkir motornya tepat di samping mobil.“Tadi Alena beneran kamu anterin pulang, kan?” tanya Seno seraya menyerahkan kunci rumah kepada Riga.Laki-laki muda itu menerimanya. Dimasukkannya kunci tersebut ke lubang kunci, lalu memutarnya berlawanan jarum jam. “Iya, udah aku anter pulang. Kenapa, Yah?”“Enggak, Ayah agak kaget aja pas lihat kamu bawa teman perempuan ke rumah Tante kamu tadi. Ayah takut aja kamu nggak anterin Alena pulang ke rumahnya. Takutnya malah kamu turunin di mana gitu d
Sejak panggilan tengah malam itu, hubungan Riga dan Alena sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Sekarang mereka bisa disebut sebagai teman yang cukup akrab. Sikap Riga sudah tidak sekaku seperti saat awal-awal kepindahan Alena ke Jakarta lagi. Jika dulu Alena hanya berani mengajak Riga pulang bersama, kini ia sudah berani mengajak laki-laki itu berangkat sekolah bersama. Riga juga tidak menolaknya. Beberapa kali pula, Alena dan Riga ke kantin bersama.Kedekatan mereka tentu saja memancing tanda tanya bagi sebagian besar murid di kelas mereka. Bagaimana tidak, di sini status Alena adalah murid baru, tapi belum genap dua bulan kepindahannya, gadis itu sudah dekat dengan Riga. Padahal semua murid kelas 11 jurusan IPA tahu jika Riga tidak pernah kelihatan akrab dengan murid perempuan. Oh, kecuali Nada.Entah sudah kali ke berapa, Alena menjadi bahan perbincangan karena datang bersama Riga. Awalnya, Alena bingung, tapi lama-kelamaan ia tidak peduli. Alena dengan terang-te
“Tadi ngomongin apa aja sama Nada?”Pertanyaan Riga membuyarkan fokus Alena dari layar ponsel. Keduanya sedang berada di warung mie ayam depan sekolah, menunggu pesanan mereka yang sedang disiapkan. Hujan sudah reda sejak sepuluh menit lalu.Alena mendongak. Ponselnya diletakkan di atas meja. “Ngomong apa? Gue sama Nada cuma ngobrol, biasalah cewek kalau ketemu kan suka ngerumpi.”“Iya? Bukannya topik obrolannya nggak jauh-jauh dari Gamma, ya?”Seorang laki-laki yang datang mengantar pesanan mereka, membuat Alena mengurungkan niatnya menjawab pertanyaan Riga. Kini, dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh manis tersaji di meja mereka.“Kata siapa? Lo salah, Ri,” jawab Alena. Gadis itu mulai menambahkan sambal dan kecap, juga saus ke mangkuk saat Riga lengah. Lalu mencampurnya dengan rata.“Lo tahu kan akhir-akhir ini kita sering banget berangkat dan pulang bareng?” Riga berdehem si