LOGIN"Tubuhmu candu, aku menginginkannya lagi dan lagi."~ Leonardo Mahaputra Wijaya ~ "Tapi sayangnya, hubungan kita terlarang. Lagipula aku disini bukan karena kamu, Leon!" ~Silvi Kimberly~ *** Silvi berhasil masuk ke dalam keluarga besar Wijaya, dimana sebuah misi rahasia menantinya disana. Berkat kecerdasannya, ia pun ditunjuk sebagai guru privat anak semata wayang dari pemilik perusahaan Lucas Cooporation. Begitu banyak lika-liku yang harus dia hadapi, terlebih muridnya itu sangatlah nakal dan sulit diatur. Sambil menyelam minum air, Silvi melakukan tugasnya dengan baik. Ia juga perlahan mendapatkan semua informasi yang dia butuhkan, suatu keadilan yang akan ia tuntut dari keluarga konglomerat tersebut. Tapi sayangnya, perasaannya pun terlibat disana. Silvi dan Leon semakin dekat dan pada akhirnya, cinta terlarang terjalin diantara keduanya. Lalu, manakah yang harus Silvi pilih?
View MoreKetukan sepatu hak tinggi terdengar menggema di lantai marmer rumah mewah keluarga Wijaya.
Seorang wanita dengan dress ketat berwarna merah marun melangkah anggun melewati para pelayan yang spontan menunduk sopan.
Dialah Silvi Kimberly, guru les baru yang direkrut oleh kepala keluarga Wijaya. Setidaknya, itulah identitas yang ia tunjukkan pada keluarga kaya raya ini.
Di balik kacamata hitamnya, Silvi menahan senyum sinis. 'Akhirnya, aku masuk juga ke rumah ini.'
Pelayan membawanya menuju ruang belajar yang sudah disiapkan. Dari balik pintu kayu yang sedikit terbuka, Silvi melihat seorang pemuda duduk dengan kaki terangkat di atas meja. Seragam putih-abu itu tidak rapi, kancing kemeja terbuka dua, memperlihatkan dada bidangnya. Sebatang rokok elektrik terselip di tangannya.
“Oh, jadi ini bocah tengil yang diceritakan Robert,” bisik Silvi lirih, sebelum mengetuk pintu. “Baiklah... mari kita mulai!”
Tok, tok, tok!
“Siapa? Jangan ganggu, gue lagi mabar!" Suara pemuda itu terdengar cuek. Matanya tak lepas dari ponselnya.
Silvi membuka pintu dan melangkah masuk. Aroma parfum mahalnya langsung memenuhi ruangan. Leon—pemuda itu—mendongak, lalu matanya membesar. Bibirnya bahkan sedikit terbuka ketika melihat sosok wanita dewasa dengan tubuh semampai dan lekuk yang menantang berdiri di ambang pintu.
“Lo siapa? Ani-ani baru bokap gue, ya? Lo salah ruangan! Bokap gue ada di lantai tiga!” ucapnya dengan nada remeh, namun matanya terus tertuju pada belahan dada wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya itu.
Ukuran yang menantang, kulit putih mulus dan leher yang jenjang, siapa yang tidak akan tergoda? Bahkan Leon yang tadinya sibuk dengan game online-nya itu, kini tak mampu mengalihkan pandangannya pada tubuh aduhai seperti gitar Spanyol itu.
Silvi menurunkan kacamata hitamnya, menatap Leon dengan sorot tajam yang bercampur senyum genit. “Kamu Leon, kan? Aku di sini buat kamu.”
Leon mengangkat sebelah alis. “Hah? Maksud lo apaan?”
Wanita itu melangkah makin mendekat, hak tingginya berderap mantap. Ia berhenti tepat di hadapan Leon, lalu menepuk meja dengan ujung jarinya.
“Perkenalkan. Silvi Kimberly. Guru les barumu.”
“Hahaha!” Leon tertawa terbahak. Ia menepuk meja keras, seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Guru les? Serius, nih? Astaga, ini yang paling gokil! Papi sudah gak waras apa? Yang genius aja gak bertahan lama, apalagi spek ani-ani kayak lo.”
Tatapannya nakal, menelusuri tubuh Silvi dari atas hingga bawah. Pemuda itu benar-benar tidak punya sopan santun.
“Penampilan lo kayak model majalah dewasa. Mana mungkin bisa ngajarin gue. Dari pada jadi guru privat, mending layanin gue aja. Sama-sama dibayar, 'kan?” tanyanya sambil menjilat bibirnya sendiri, gayanya benar-benar songong dan kurang ajar.
Alih-alih tersinggung, Silvi justru tersenyum misterius. Ia mendekat, menunduk, hingga wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Leon. Helaan napasnya yang hangat terasa di kulit pemuda itu.
“Sayangnya, Tuan Roberto membayarku mahal. Aku bisa menjadi guru, motivator… atau bahkan mimpi burukmu, Tuan Muda. Aku juga bisa melayanimu. Tergantung situasi,” ucapnya sambil menyeringai.
Leon menelan ludah, namun berusaha tetap tenang. Ia menyandarkan tubuh di kursi dengan gaya sok santai. “Oke, kalau lo memang guru, buktikan. Coba bikin gue tertarik belajar.”
Silvi melangkah ke papan tulis putih di dinding, tapi bukannya menuliskan rumus, ia justru mengambil spidol merah dan menuliskan kata besar: ‘Gift’.
"Gift? Apa maksudnya?" Leon mengernyit.
Wanita cantik dan seksi itu menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. "Sebuah hadiah yang akan kau terima jika lulus tahun ini."
Leon nampak tidak tertarik. "Hadiah? Kau pikir aku ini anak kecil? Ya Tuhan, papi benar-benar nggak waras. Usahanya bakal sia-sia."
Silvi tersenyum tipis sambil melangkah lagi ke arahnya. Kali ini ia duduk di tepi meja, hanya sejengkal dari Leon. Wanita itu menyilangkan kaki, rok mininya tersingkap sedikit, cukup untuk membuat Leon menoleh cepat dan mengalihkan pandangan.
Leon melotot. Jakunnya naik turun. Ia laki-laki normal. Bahkan di usianya yang belum matang, ia sering melakukan hubungan yang tidak seharusnya dengan para cegil di sekolahnya.
Memiliki wajah tampan, membuatnya menjadi seorang playboy. Wanita manapun bisa dia dapatkan dengan mudah. Tapi kali ini, pesona guru les barunya itu benar-benar membuatnya tegang.
Silvi tersenyum miring, seolah bisa membaca pikiran kotor pemuda di hadapannya itu. “Aku akan memberikan hadiah yang tidak pernah kau duga, Leon. Umurmu bahkan hampir menginjak 20 saat ini. Kau seharusnya sudah duduk di bangku kuliah. Aku akan memastikan kau lulus tahun ini. Dan jika kau berhasil, aku akan memberikan sesuatu yang paling berharga dalam diriku. Bagaimana?"
Glek!
Leon terbelalak. Matanya terus menatap ke arah belahan dada yang begitu menantang dari dress ketat yang dipakai Silvi.
“Gue gak bisa percaya sama cewek kayak lo. Gue yakin, jika pun nanti lulus, lo bakal ingkar. Ck, kalau cuman mau nikmatin tubuh seperti punya lo, gue bisa dapetin dengan mudah. So, gue gak tertarik," ucap Leon seraya membuang pandangannya, menyembunyikan rasa gugup yang membuat si Junior di bawah sana juga tegang.
Silvi mendekat sedikit lagi, kali ini berbisik di telinganya. Bisikan yang membuat Leon makin tak bisa menahan diri.
“Aku berbeda dari wanita lain, Leon. Kau bakal ketagihan. Tak sulit untuk mendapatkan aku, cukup belajar dan berikan hasil terbaikmu. Aku tidak akan ingkar.”
Bulu kuduk Leon meremang. Ada aura dominan dalam suara Silvi yang tak pernah ia rasakan dari wanita manapun sebelumnya. Silvi benar-benar dewasa dan menantang.
Leon mendengus, mencoba menutupi kegugupannya. “Oke, gue terima tantangan lo, Tante. Tapi gara-gara lo terus menggoda, gue jadi gak tahan. Gue mau sekarang ju—"
Sssttt!
Silvi menghentikan kata-kata pemuda itu dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir merah muda Leon.
"Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Leon. Aku bisa saja memberikan apa yang kamu mau sekarang, tapi dengan satu syarat," ucap Silvi yang membuat Leon penasaran sekaligus bersemangat.
Dengan senyum lebar, Leon bertanya dengan nada angkuh, "Syarat apa? Mau duit tambahan dari gue, mobil atau apa? Katakan saja!" Remaja tengil itu kembali menunjukkan keangkuhannya. Mentang-mentang ia lahir dari keluarga konglomerat, dia pikir bisa mendapatkan apapun dengan uang.
Silvi menggelengkan kepalanya, ia berjalan menuju tas miliknya kemudian mengeluarkan beberapa kertas berisi materi pembelajaran serta LJK dan bolpoin.
"Biasanya aku tak melakukan ini di sesi pertama pembelajaran. Apalagi kita baru berkenalan. Tapi khusus buatmu, aku akan lakukan sebagai hadiah jika kau berhasil. Jadi hari ini, aku akan berikan materi awal, setelah itu kau isi 10 pertanyaan yang nanti aku berikan. Dan jika jawabannya benar, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan," ucap Silvi yang membuat Leon mulai tertarik.
"Termasuk tidur denganmu?" Leon memastikan.
Silvi tersenyum menggoda. Anggap saja ini sebuah tantangan dan cara supaya membuat remaja nakal itu semangat untuk belajar. Meskipun caranya tidak mendidik, tapi ia yakin ini adalah cara ampuh. Terlebih dia yakin, Leon tidak akan mampu menjawab soal-soal itu.
"Tentu. Jika kau bisa mendapatkan nilai 100 dari 10 soal yang aku berikan, maka malam ini juga aku akan melayanimu."
Leon tersenyum lebar. Baru kali ini ada guru modelan seperti ini. Tutor hot ini tentu membuatnya sangat bersemangat.
"Setuju! Aku setuju untuk melakukan sesi belajar pertama denganmu. Ayo, cepat dimulai!" seru Leon tidak sabar. Ia terlihat sangat antusias. Pria itu begitu percaya diri. Hal tersebut membuat Silvi menahan tawa sambil geleng-geleng kepala.
"Dasar. Kau benar-benar anak nakal," ucapnya kemudian bergegas untuk mempersiapkan pembelajaran.
Leon sangat yakin, ia bisa menjawab semua pertanyaan itu. Jadi tidak perlu menunggu lama untuk bisa menikmati tubuh guru cantik dan seksi barunya ini.
"Papi benar-benar terbaik. Seperti memberi makanan lezat buat gue malam ini. Kalau cara belajarnya gini sih, gue bakal semangat," batin Leon, penuh percaya diri.
Silvi melirik sekilas Leon yang masih menatapnya sambil tersenyum genit. Ia tahu apa yang ada dalam pikiran bocah tengil itu. Namun bukannya takut, ia malah semakin tertantang. Perlu cara ekstrim dan nyeleneh untuk menghadapi murid tengil seperti Leon ini.
Di saat Leon sudah mulai mengerjakan soal-soal yang dia berikan, Silvi dengan gerakan lembut membuka tas miliknya. Mengeluarkan sebuah foto yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Wanita itu tersenyum menatap foto tersebut, dalam hatinya membatin, "Akhirnya aku ada di sini. Aku akan pastikan, semua berjalan sesuai rencana!"
***
Bersambung …
Roberto menatap Leon dengan wajah keras, namun ada semburat panik yang ia sembunyikan. Emily di belakangnya menggigit bibir, jelas bingung dengan posisinya. Wanita itu tidak menyangka jika keluarga Wijaya yang terhormat ini menyimpan masalah yang begitu pelik atas hubungan ayah dan anak itu.Sedangkan Silvi… masih berdiri mematung, napasnya terputus-putus, tak mampu memutuskan apakah ini mimpi buruk atau awal dari segala kekacauan. Ia tidak menduga jika Leon akan seserius ini.Leon bergerak, melepaskan genggaman tangannya dari tangan Silvi, lalu melangkah maju, menantang ayahnya.“Aku serius,” katanya lagi. “Dan aku tidak meminta restu. Aku hanya memberi tahu.”Nada itu begitu dingin dan tegas. Roberto mengusap wajahnya dengan kasar. “Leon, kau sudah kehilangan akal sehatmu. Silvi itu—”“Wanita yang membuatku tenang.” Leon memotong cepat. “Dan itu cukup.”Silvi memejamkan mata sesaat. Kata-kata itu menampar hatinya keras. Ia tahu Leon jarang bicara soal perasaan, apalagi secara terbuk
"Wow, kejutan sekali. Akhirnya kau mau pulang juga," ucap Silvi sambil tersenyum ketika Leon membawanya pulang ke rumah, bukan ke penthouse.Langit sore tampak pucat saat mobil Leon berhenti di depan rumah megah ayahnya, bangunan luas bergaya Eropa modern dengan jendela-jendela tinggi dan pilar kokoh yang biasanya memancarkan wibawa. Meski mesin mobil mati, Leon tidak langsung turun. Jemarinya mengetuk ringan setir, tanda gugup yang jarang sekali ia perlihatkan.Silvi memperhatikan gerakan itu. “Kamu masih ragu untuk pulang? Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak nyaman."Leon menghela napas pendek, matanya lurus ke depan. “Aku benci ada dia di dalam.”“Emily?”Leon mengangguk kecil namun penuh tekanan. “Dan… anak itu.”Silvi menyentuh punggung tangannya. “Leon… kamu bisa tetap tidak suka, tapi jangan menyiksa dirimu sendiri.”Leon melirik Silvi. “Aku tidak menyiksa diri. Papi yang memaksakan semua ini.”Silvi tak menjawab. Ia tahu luka antara Leon dan ayahnya tidak sederhana. Ada ba
Pagi itu, kota masih basah oleh sisa hujan semalam. Langit kelabu menggantung rendah, seolah ikut muram memandang berita-berita yang beredar tentang Starlite International. Kasus yang terjadi semalam langsung meledak di media sosial, menjadi topik panas di televisi, bahkan di grup-grup eksklusif komunitas orang kaya Jakarta.“Skandal Guru Predator di Sekolah Elite! Seorang CEO muda Turun Tangan!”“Para Korban Diduga Dibungkam Selama Bertahun-tahun.”“Sekolah Ditutup Sementara, Ratusan Wali Murid Panik dan Marah.”Semua headline itu berseliweran di layar ponsel Silvi saat ia duduk di kursi penumpang mobil Leon. Ia hanya menghela napas pelan.“Paman Handoyo pasti sibuk setengah mati hari ini,” gumam Silvi.Leon melirik sekilas, satu tangan memegang kemudi, tangan lainnya menggenggam tangan Silvi tanpa melepaskannya.“He’ll handle it. Fokus saja ke dirimu hari ini,” ucap Leon tegas, seperti biasanya—pendek, dingin, tapi perhatian. "Aku merasa risih. Pasti gara-gara kasus itu, para wartaw
Leon berdiri di ambang pintu. Tatapannya tajam, menusuk, dingin seperti baja yang baru diasah. Cahaya dari luar menyorot wajahnya, membentuk siluet sempurna dari seorang pria yang dulu memiliki predikat siswa abadi di sekolah itu.“Silvi,” ucapnya pelan. “Menjauh.”Namun belum sempat Silvi bergeser, Evan sudah mengayunkan pisaunya.Leon berlari, menepis dengan cepat.Trang!Pisau terhempas dan menancap ke dinding logam. Gerakan Leon cepat.Edward menyerbu dari sisi kanan dengan batang besi, tapi Leon lebih sigap. Ia merunduk, lalu memutar tubuhnya, menendang lutut Edward dengan keras. Suara ‘krek’ terdengar jelas. Edward terhuyung, meringis kesakitan, tapi belum tumbang.Evan kembali maju, berusaha menusuk dari belakang. Leon memutar diri, menahan pergelangan tangan pria itu, lalu menghantamnya ke meja besi.Brak!Darah memercik dari bibir Evan, tapi pria itu masih berusaha bangkit.“Kau pikir kau siapa, hah?!” teriaknya.Leon tak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan dingin, lalu mele
Evan menurunkan sabuk kulit dari tangannya, menatap Silvi yang kini terlihat seperti hadiah terbaik yang pernah muncul di ruangan itu. Edward berdiri di sisi lain, senyumnya gelap dan penuh ambisi. Elena hanya memelototkan mata, tak suka Silvi menjadi pusat perhatian.Silvi menyandarkan tubuhnya pada kursi besi, posisi yang tampak pasrah—padahal bukan itu tujuannya. Ia menyilangkan kaki perlahan, sengaja membuat pergerakannya sensual dan menantang. Lampu kuning yang redup menyorot lekuk tubuhnya, menciptakan siluet yang membuat Evan dan Edward sulit bernapas.“Kalau kalian benar-benar mau aku ikut bermain,” ucap Silvi lembut, menyusupkan nada menggoda dalam setiap kata, “aku perlu tahu aturan mainnya dulu.”Evan mengangkat dagunya, seolah tengah menunjukkan kemenangannya. “Aturan main?”Silvi menatapnya tajam, mata setengah menyipit. “Tentu saja. Aku tidak mau ikut permainan murahan. Seriuslah… kalian pasti punya metode. Pola. Strategi. Bagaimana kalian memilih… mangsa kalian. Jujur,
Suara langkah mereka menjauh dari keramaian, Evan terus menggenggam tangan Silvi dengan erat, sesekali mengelusnya. Ia benar-benar mencari kesempatan dalam kesempitan.Silvi sebenarnya jengah, beberapa kali menoleh ke belakang, mencari sosok Leon. Ia yakin kekasihnya itu pasti memperhatikan dan tengah menatapnya geram."Kita mau kemana?" tanyanya penasaran, karena mereka sudah benar-benar jauh dari aula. Jalan semakin gelap, bahkan Silvi belum menjelajah gedung sekolah elit itu sepenuhnya. Dan tidak menyangka jika di bagian belakang gedung yang tampak megah itu, terlihat begitu menyeramkan."Sebentar lagi sampai. Kita aman disana. Ini lebih asyik daripada main di hotel atau club malam, kau akan suka tempat itu, Silvi," ucap Evan sambil tersenyum. Ia percaya begitu saja jika malam ini Silvi benar-benar menginginkannya.Silvi hanya tersenyum, hingga tak lama mereka pun tiba. Gudang itu berada di sisi paling belakang kompleks Starlite—bangunan tua yang tidak pernah dipakai lagi kecuali u
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments