Joan ... dia ada di sini. Aku harus lebih waspada.Matanya terus mengawasi ke segala arah. Ia tidak bisa menebak, ada di mana sosok bernama Joan itu. Lalu bagaimana rupanya? Apa akan mirip dengan tubuh yang ditempatinya?Tuk!Luke sontak menoleh saat seorang pria paruh baya membungkuk di dekatnya. Ia berusaha mengambil koinnya yang menggelinding ke dekat kaki Luke."Ah, maaf!" seru Luke sembari mundur.Pria paruh baya itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Luke dengan sorot mata yang tajam. Padahal seingatnya, mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.Setelah pria itu pergi, Luke bergegas ke dekat arena kompetisi. Ia bisa melihat Galiard dan Caroline tengah menonton dengan antusias. Mereka dikelilingi pengawal yang sudah dilengkapi rompi anti peluru."Aku rasa sudah cukup aman," gumamnya.Tapi, selama aku belum melihat rupa Joan, aku masih belum tenang!"Satu ... dua ... tiga! Ya, pemenangnya Christoper dari keluarga Brandon!"Mata Luke sontak menoleh ke arah arena pertandingan. Ia sempat
"Kesatria Luke!""Hei! Sadarlah Kesatria!""Kesatria!!!"Luke sontak menoleh saat terdengar teriakan tepat di telinganya. Ia tidak melihat apa pun selain cahaya berwarna biru. Cahaya itu mulai berputar mengelilingi kepalanya."Bluedious!" seru Luke."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Anda harus menyelesaikan misi!""Bluedious, apa kau melihat Joan bersamaku tadi?""Ya, sekarang Joan sedang menuju ke tempat Galiard! Anda harus cepat!"Secepat mungkin Luke bangkit. Ia sudah kehilangan pedang beserta sarungnya. Pasti Joan yang merampas senjatanya saat ia hilang kesadaran."Pedangku hilang," gumam Luke.Tuk!Mata Luke melebar saat melihat pedang yang sangat mirip dengan miliknya. Secepat mungkin ia mengambil benda tersebut. Ia menoleh ke arah Bluedious sembari tersenyum lebar."Apa ini pedang tiruan?" tanya Luke."Ini pedangmu yang asli. Pedang yang hilang itu hanya tiruan.""Tapi ... pedang tiruan itu bisa bicara!""Memang dibuat seperti itu agar pencurinya terkecoh."Luke terkekeh m
Luke berlari sembari terus menoleh ke segala arah. Sesekali ia menabrak orang yang tengah menonton pertandingan pedang. Begitu tiba di dekat Galiard, pria itu menatapnya dengan sorot tajam. "Kamu meninggalkan arena hanya untuk berlarian seperti ini?" tanya Galiard. Luke reflek menggeleng. "Tidak, Ayah! Ada seseorang yang sedang mengincar Caroline." "Mengincar putriku? Siapa dia? Berani sekali!" "Apa ada perempuan yang datang ke sini, Ayah?" tanya Luke. Galiard terdiam cukup lama. Sampai ia mengingat sosok perempuan yang mengajak Caroline berbincang. Sebelah tangannya terkepal kuat. Sorot matanya seakan siap membunuh siapa pun yang mengganggu. "Apa perempuan itu yang mengincar nyawa Caroline?" "Tidak. Dia hanya ingin menjauhkan Ayah dengan Caroline. Hanya dengan cara itu dia bisa membunuh Ayah dengan mudah." Mata Galiard dibuat membulat sempurna. "Membunuhku?!" "Jadi, ke mana perempuan itu pergi?" Galiard menunjuk ke arah meja minuman. Luke mengangguk pelan. Ia langsung berlal
"Menggadaikan jiwa pada ular di mata air!"Joan tersenyum miring. Ia melempar sabitnya ke depan tubuh. Lalu kedua tangannya bergerak di udara seolah menahan sabit itu agar tidak jatuh."Sabit ular pertama : hujan beracun!"Tiba-tiba saja awan hitam langsung berkumpul di atas kepala Luke. Tetesan air mulai berjatuhan dan mengenai punggung tangannya. Ia dibuat sangat terkejut begitu melihat kulitnya terkelupas, namun rasanya tidak sakit sama sekali.Luke melompat ke belakang untuk menghindari tetesan hujan tersebut. Tiap kali air menetes ke jalan, aspal itu langsung mendidih."Sial! Dia mengikutiku!" rutuk Luke.Sementara itu, perisai yang melindungi tubuh Ciel sudah mulai menipis. Bahkan terlihat sedikit lubang di bagian bawahnya. Ia harus secepat mungkin mengalahkan Joan dan membawa gadis itu pergi."Sebenarnya apa maumu, Joan?" tanya Luke.Joan menunjuk ke arah Ciel. "Gadis itu. Aku ingin membunuhnya."Bruk!Perisai yang melindungi Ciel sudah menghilang hingga membuat tubuh gadis itu
"Dia ada di sana. Tepat di belakangmu, Joan."Luke mengikuti arah telunjuk Caroline. Perlahan rahangnya mengeras dengan sebelah tangan terkepal kuat. Sosok Christoper Brandon tengah berdiri menatap mereka sembari bersandar di dinding."Jangan ikut campur, Joan.""Ternyata semua ini memang sudah kau rencanakan ya?"Christoper maju satu langkah, ia meregangkan otot tubuhnya diikuti tawa pelan. Setelah melihat pria itu berdiri tegak, barulah Luke menyadari kalau Christoper memakai peralatan tempur yang lengkap. Pedang di pinggangnya seakan siap ditarik kapan saja. Tidak hanya itu, belati serupa juga ada di saku kemeja pria tersebut."Rupanya kau sudah siap, Christoper," ujar Luke."Aku siap jika kau siap, Joan."Luke menarik Caroline hingga berada di belakangnya. Perlahan ia menarik pedang dari pinggangnya. Sebisa mungkin ia meminimalisir gerakan agar Chistoper terlambat menyadarinya. Namun ia melupakan fakta jika Kesatria Zack berada ditingkatan yang sama dengannya."Sembunyilah, Caroli
"Tentu saja! Karena dia lebih berguna dari pada kau!"Caroline tersentak. Ia ingin membalas ucapan Luke, namun mulutnya seakan terbungkam. Ia tidak mampu melakukan apa pun. Matanya mulai berkaca-kaca dan dadanya terasa sesak. Ucapan Luke begitu menusuk dadanya."Baiklah kalau menurutmu begitu."Caroline langsung melewati Luke. Ia sama sekali menoleh atau berhenti. Langkahnya tegas menjauh. Luke mengepalkan sebelah tangannya menatap punggung gadis tersebut. Penyesalan karena mengucapkan kalimat itu mulai menyelimutinya."Caroline!" seru Luke.Melihat gadis itu tidak kunjung menoleh, Luke bergegas mengejarnya. Namun sebelah tangannya langsung ditahan oleh Ciel. Gadis itu terlihat sudah sangat lemah. Bahkan untuk berjalan saja tidak sanggup.Secepat mungkin Luke menggendong Ciel. Tubuh gadis itu dua kali lebih ringan dari biasanya. Mungkin karena dia sudah menggunakan semua mananya untuk mengeluarkan kekuatan dari dalam tanah."Aku akan mengantarmu pulang Ciel," bisik Luke.Ciel mengembu
"Selesai!"Viola langsung mengalihkan pandangannya ke arah Luke. Ia termenung sejenak menatap hasil rangkaian bunga pria tersebut. Detik berikutnya, ia mulai mengernyit."Saat ada bunga mawar, mengapa kau memilih geranium untuk dirangkai?" tanya Viola.Luke menatap bunga geranium yang sudah terangkai rapi di dalam vas. Senyumnya perlahan terbit. Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya pada Viola."Itu pertanyaan yang bagus, Ibu."Viola mendengus pelan. "Kalau begitu, silakan jawab pertanyaanku.""Saya memilih geranium karena bunga ini memiliki arti harapan baik. Sesuai dengan semua yang saya harapkan," jelas Luke."Apa yang kau harapkan?""Saya harap keluarga ini akan hidup dengan baik tanpa masalah sedikit pun. Saya selalu mengharapkan yang terbaik, bahkan setelah saya pergi."Mata Viola membulat. "Kau ... mau pergi?"Luke langsung tersenyum kaku. Sebisa mungkin ia merekatkan bibirnya agar tidak terbuka lagi. Untung saja di waktu yang tepat, Caroline dan Galiard datang dari arah pin
Luke memandangi lemarinya cukup lama. Cahaya dengan warna yang sulit ditebak membuatnya bingung. Hingga dalam satu helaan napas, ia langsung membukanya.Nampak tiga surat dengan warna berbeda. Dua surat berwarna biru dan satu surat merah. Sebenarnya Luke sedikit merinding saat melihat surat berwarna merah. Sebab biasanya surat itu berisi misi yang sulit."Baiklah, kita mulai dari yang biru. Semoga bukan misi yang merepotkan. Karena sudah malam," gumam Luke.Sebelah tangan Luke langsung menyambar salah satu surat berwarna biru. Jantungnya berdegup cepat, ia sibuk menerka apa yang ada di dalam sana.Begitu surat dibuka, senyum Luke langsung mengembang. Rupanya surat itu berisi informasi kalau ia sudah menyelesaikan misi SSS yakni melindungi Ayah Caroline saat kompetisi pedang."Kalau begitu, poinku sekarang 21. Wah, sekarang aku bisa membeli kekuatan lain!" ujar Luke dengan bahagia.Pandangan Luke tertuju pada surat biru lainnya. Secepat mungkin ia membuka surat tersebut. Senyumnya lagi