Luke berlari sembari terus menoleh ke segala arah. Sesekali ia menabrak orang yang tengah menonton pertandingan pedang. Begitu tiba di dekat Galiard, pria itu menatapnya dengan sorot tajam. "Kamu meninggalkan arena hanya untuk berlarian seperti ini?" tanya Galiard. Luke reflek menggeleng. "Tidak, Ayah! Ada seseorang yang sedang mengincar Caroline." "Mengincar putriku? Siapa dia? Berani sekali!" "Apa ada perempuan yang datang ke sini, Ayah?" tanya Luke. Galiard terdiam cukup lama. Sampai ia mengingat sosok perempuan yang mengajak Caroline berbincang. Sebelah tangannya terkepal kuat. Sorot matanya seakan siap membunuh siapa pun yang mengganggu. "Apa perempuan itu yang mengincar nyawa Caroline?" "Tidak. Dia hanya ingin menjauhkan Ayah dengan Caroline. Hanya dengan cara itu dia bisa membunuh Ayah dengan mudah." Mata Galiard dibuat membulat sempurna. "Membunuhku?!" "Jadi, ke mana perempuan itu pergi?" Galiard menunjuk ke arah meja minuman. Luke mengangguk pelan. Ia langsung berlal
"Menggadaikan jiwa pada ular di mata air!"Joan tersenyum miring. Ia melempar sabitnya ke depan tubuh. Lalu kedua tangannya bergerak di udara seolah menahan sabit itu agar tidak jatuh."Sabit ular pertama : hujan beracun!"Tiba-tiba saja awan hitam langsung berkumpul di atas kepala Luke. Tetesan air mulai berjatuhan dan mengenai punggung tangannya. Ia dibuat sangat terkejut begitu melihat kulitnya terkelupas, namun rasanya tidak sakit sama sekali.Luke melompat ke belakang untuk menghindari tetesan hujan tersebut. Tiap kali air menetes ke jalan, aspal itu langsung mendidih."Sial! Dia mengikutiku!" rutuk Luke.Sementara itu, perisai yang melindungi tubuh Ciel sudah mulai menipis. Bahkan terlihat sedikit lubang di bagian bawahnya. Ia harus secepat mungkin mengalahkan Joan dan membawa gadis itu pergi."Sebenarnya apa maumu, Joan?" tanya Luke.Joan menunjuk ke arah Ciel. "Gadis itu. Aku ingin membunuhnya."Bruk!Perisai yang melindungi Ciel sudah menghilang hingga membuat tubuh gadis itu
"Dia ada di sana. Tepat di belakangmu, Joan."Luke mengikuti arah telunjuk Caroline. Perlahan rahangnya mengeras dengan sebelah tangan terkepal kuat. Sosok Christoper Brandon tengah berdiri menatap mereka sembari bersandar di dinding."Jangan ikut campur, Joan.""Ternyata semua ini memang sudah kau rencanakan ya?"Christoper maju satu langkah, ia meregangkan otot tubuhnya diikuti tawa pelan. Setelah melihat pria itu berdiri tegak, barulah Luke menyadari kalau Christoper memakai peralatan tempur yang lengkap. Pedang di pinggangnya seakan siap ditarik kapan saja. Tidak hanya itu, belati serupa juga ada di saku kemeja pria tersebut."Rupanya kau sudah siap, Christoper," ujar Luke."Aku siap jika kau siap, Joan."Luke menarik Caroline hingga berada di belakangnya. Perlahan ia menarik pedang dari pinggangnya. Sebisa mungkin ia meminimalisir gerakan agar Chistoper terlambat menyadarinya. Namun ia melupakan fakta jika Kesatria Zack berada ditingkatan yang sama dengannya."Sembunyilah, Caroli
"Tentu saja! Karena dia lebih berguna dari pada kau!"Caroline tersentak. Ia ingin membalas ucapan Luke, namun mulutnya seakan terbungkam. Ia tidak mampu melakukan apa pun. Matanya mulai berkaca-kaca dan dadanya terasa sesak. Ucapan Luke begitu menusuk dadanya."Baiklah kalau menurutmu begitu."Caroline langsung melewati Luke. Ia sama sekali menoleh atau berhenti. Langkahnya tegas menjauh. Luke mengepalkan sebelah tangannya menatap punggung gadis tersebut. Penyesalan karena mengucapkan kalimat itu mulai menyelimutinya."Caroline!" seru Luke.Melihat gadis itu tidak kunjung menoleh, Luke bergegas mengejarnya. Namun sebelah tangannya langsung ditahan oleh Ciel. Gadis itu terlihat sudah sangat lemah. Bahkan untuk berjalan saja tidak sanggup.Secepat mungkin Luke menggendong Ciel. Tubuh gadis itu dua kali lebih ringan dari biasanya. Mungkin karena dia sudah menggunakan semua mananya untuk mengeluarkan kekuatan dari dalam tanah."Aku akan mengantarmu pulang Ciel," bisik Luke.Ciel mengembu
"Selesai!"Viola langsung mengalihkan pandangannya ke arah Luke. Ia termenung sejenak menatap hasil rangkaian bunga pria tersebut. Detik berikutnya, ia mulai mengernyit."Saat ada bunga mawar, mengapa kau memilih geranium untuk dirangkai?" tanya Viola.Luke menatap bunga geranium yang sudah terangkai rapi di dalam vas. Senyumnya perlahan terbit. Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya pada Viola."Itu pertanyaan yang bagus, Ibu."Viola mendengus pelan. "Kalau begitu, silakan jawab pertanyaanku.""Saya memilih geranium karena bunga ini memiliki arti harapan baik. Sesuai dengan semua yang saya harapkan," jelas Luke."Apa yang kau harapkan?""Saya harap keluarga ini akan hidup dengan baik tanpa masalah sedikit pun. Saya selalu mengharapkan yang terbaik, bahkan setelah saya pergi."Mata Viola membulat. "Kau ... mau pergi?"Luke langsung tersenyum kaku. Sebisa mungkin ia merekatkan bibirnya agar tidak terbuka lagi. Untung saja di waktu yang tepat, Caroline dan Galiard datang dari arah pin
Suara gemuruh dari langit diikuti petir yang menyambar membuat suasana di sekitar tambah mencekam. Seorang pria berambut merah terang nampak tergeletak di atas rerumputan dengan lubang di perutnya. Darah tidak kunjung mengering dan malah mengalir semakin deras. "Inilah akhir kisahmu, Kesatria Luke! Kematian akan segera menjemputmu!" seru Naga emas generasi kedua. Luke, kesatria pemburu naga emas itu masih terus berusaha bangkit. Namun rupanya petir yang kuat kini diarahkan tepat ke tubuh pria tersebut. Hingga kesatria terakhir dalam sejarah pemburu naga emas Rumania itu kehilangan nyawanya. Tidak ... masih belum. Aku harus membunuh naga lemah itu! Luke langsung membuka matanya lebar-lebar. Kini ia berada di tempat yang gelap sendirian. Ia menoleh ke segala arah dengan wajah bingung. Hingga setitik cahaya datang menghampirinya. "Wahai kesatria yang penuh penyesalan. Mengapa Anda menolak untuk pergi ke alam sana?" Luke mengerutkan dahinya. "Siapa? Siapa yang berbicara?" "Saya ada
Sudah satu minggu sejak Luke tersesat di dunia yang asing ini. Ia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan. Hanya saja ia masih belum bisa menerima satu hal.Tubuhnya.Luke mematung sembari memandangi tubuhnya yang kurus seperti hewan kelaparan. Otot kekar dan perut 6 kotak yang semula menjadi ciri khasnya, kini sudah menghilang."Apa yang harus ku lakukan pada orang ini? Tubuhnya seperti mayat hidup," gumam Luke.Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Luke berbalik dan mendapati sosok Caroline yang sudah mendelik. Gadis itu melempar pakaian yang ada di tangannya ke arah Luke."Beraninya kau telanjang di depanku!" jerit Caroline.Luke mengerutkan dahinya. Ia melirik ke arah tubuh telanjangnya. Lalu ia mulai mendekati gadis itu."Memangnya kau belum pernah melihat tubuhku? Kita 'kan sudah bertunangan."Sebelah tangan Luke mulai bergerak menyentuh rambut gadis tersebut. Mata sendunya menatap lurus ke arah daun kering yang menempel di sana. Secepat mungkin Caroline mundur hingga tubuhnya
Luke kembali memasuki ruangan yang beberapa detik ditinggalkannya. Begitu tiba di dalam, ia langsung dihadiahi tatapan penuh kebencian, terutama dari Bran."Untuk apa kau datang ke sini lagi?" tanya Bran.Luke menaikkan sebelah alisnya. "Aku tunangan Caroline. Apa kau butuh alasan lain mengapa aku ada di sini?"Caroline sontak bangun dari tempat duduknya. "Cukup, Joan! Jangan buat keributan!"Akhirnya Luke menuruti ucapan gadis itu dan duduk di kursinya. Ia menatap tajam ke arah Bran. Pria itu nampak sudah sangat akrab dengan kedua orang tua Caroline. Berbeda jauh dengan dirinya.Tiba-tiba saja saat Luke hendak mengambil gelas miliknya, Bran dengan sengaja menyenggol gelas tersebut hingga jatuh ke lantai. Pecahan gelas berserakan ke mana-mana. Viola, ibu Caroline, terlihat sangat marah."Cepat bereskan kekacauan yang kau buat! Dasar orang miskin!" bentak Viola.Luke mengerutkan dahinya. Ia hendak membuka mulutnya, namun melihat tatapan merendahkan dari semua orang, membuatnya memilih