Aku tidak bergemung, walaupun mulutku ingin berteriak tapi mulutku tetap tidak bereaksi sama sekali.
"Diamnya seorang wanita pertanda setuju," ungkap mama Anita.Saat ini mulutku seperti dijahit, jangankan untuk menolak, bahkan lidah ini terasa sangat kelu dan tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dalam diamku."Baiklah, karena kedua belah pihak telah setuju, kalau begitu kami pamit undur diri."Ustadz Fahri dan keluarganya berpamitan pulang dengan senyum indah yang tergambar di wajah mereka, tapi tidak denganku, rasa dongkol dan kesal membuatku murka.Aku bahkan tidak mengantarkan tamu yang datang sampai di depan pintu, tapi lebih memilih diam, duduk di kursi seperti patung hingga sang tamu meninggalkan rumah kami."Kania, Papa dan Mama ingin berbicara, Nak," ucap papa Gunawan dengan nada suara lembut."Nak, Papa dan Mama sudah tidak muda lagi, kami ingin sekali melihatmu menikah dan kami rasa Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk mendampingimu."Sebuah harapan dari orang tua yang menginginkan anak perempuannya berumah tangga membuat hatiku seperti teriris sembilu."Nak, terima ya niat baik Ustadz Fahri," ucap mama Anita dengan penuh harap."Terserah Mama saja!"Tanpa sopan santun, aku langsung bangkit dari tempat dudukku, memasang wajah masam dengan sejuta amarah yang kubawa bersamaku.Aku berjala cepat dan membanting pintu kamarku dengan keras. Aku mengurung diri di kamar dan tidak ingin menemui siapapun, aku hanya ingin tidur dan memejamkan mataku agar aku bisa melupakan kejadian hari ini, tapi semakin aku menutup mata semakin mata ini tidak ingin dipejamkan. Bahkan sampai satu minggu aku seperti mayat hidup, antara hidup segan, mati tidak mau. Hari-hariku terasa sangat hampa dan tidak berdaya, bahkan ketika berada di kantor pun aku tidak berkonsentrasi sama sekali.[Jelek, jalan yuk!]Pesan singkat dari Arya tidak kupedulikan.Pandanganku tertuju pada langit yang terlihat mendung, seolah hujan lebat akan turun mengguyur bumi.Seketika aku menoleh ke arah jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wib, waktu dimana tugasku sebagai seorang abdi negara telah usai.Namun, entah mengapa hari ini rasanya hatiku tidak tenang, seolah ada sesuatu yang mengganjal, hingga rasanya terlalu berat melangkahkan kaki kembali ke rumah. Tapi, mau tidak mau suka tidak suka, aku tetap harus pulang karena aku tidak ingin membuat orang tuaku khawatir.Dengan motor metic kesayangan, aku kembali ke rumah dengan sejuta gundah di hatiku.'Apakah ada acara hari ini?' ucapku di dalam hati.Seketika hati ini terkejut ketika sampai di depan rumah, aku melihat sudah banyak kendaraan berjejeran, tarlihat juga famili dan orang-orang yang kukenal berkumpul sembari bercanda tawa."Kania, kamu sudah pulang, Nak?"Mama Anita menghampiriku yang tengah memarkirkan motorku dengan senyum semeringah yang tergambar jelas di wajah cantiknya."Ma, apa ada acara spesial hari ini?" tanyaku dengan wajah kebingungan.Mama menggandeng tanganku berjalan menuju kamar dengan sejuta rasa bahagia yang beliau bawa bersamanya. Sementara orang-orang tersenyum ramah kepadaku, seolah aku adalah ratu yang sangat dipuja hari ini."Nak, bersiaplah, hari ini keluarga Ustadz Fahri akan datang melamarmu secara resmi, kalian akan bertunangan.""Bertunangan, Ma? Dengan lelaki yang seminggu yang lalu datang ke rumah kita?"Dengan seluruh tubuh yang gemetar, aku mencoba memastikan kalau lelaki yang akan menjadi tunaganku adalah lelaki yang waktu itu datang ke rumahku."Iya, Sayang, Ustadz Fahri adalah lelaki yang baik dan tepat untuk menjadi suamimu."Mama Anita tersenyum sembari membelai pipiku dengan lembut. Namun tidak denganku, jiwaku serasa tidak lagi di ragaku, seolah malaikat izrail datang untuk mencabut nyawaku. Seluruh tubuhku menggigil, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah nyawa akan meninggalkan badanku. Aku kedinginan seperti berada di kutup utara, mulutku kaku seolah bisu."Sayang, setelah isya keluarga calon tunanganmu akan datang, jadi bersiaplah!"Mama Anita meninggalkanku dengan senyum indah yang terlihat menawan, wanita seperuh baya itu memang sangat mengharapkanku menikah, jadi hari seperti ini adalah hari yang telah beliau tunggu sejak lama.Aku sadar, usiaku memeng sudah sangat matang untuk berumah tangga, bahkan teman-teman seusiaku telah menggendong anak-anak mereka. Selain itu, aku selalu menjadi bahan pergunjingan dan tranding topik di lingkunganku. Mereka mengatakan perkataan yang menyinggungku, mulai dari hinaan, sindiran bahkan sesuatu yang membuat mentalku remuk. Percuma saja cantik dan sukses tapi belum menikah, percuma punya banyak pacar tapi hanya dijadikan permainan bahkan sampai ditinggal nikah, bahkan yang parahnya mereka mengatakan kalau aku adalah wanita yang sangat pemilih dalam mencari pasangan. Ya, aku akui, aku memang memilih lelaki terbaik yang tidak hanya menjadi imamku di dunia, tetapi juga menjadi imamku di surga kelak. Rasanya sangat wajar jika seorang wanita mengharapkan lelaki baik-baik untuk menjadi suaminya karena Tuhan juga telah berjanji bahwa wanita baik-baik diciptakan untuk lelaki baik-baik dan begitu sebaliknya, lelaki baik-baik juga diciptakan untuk perempuan baik-baik, karena jodoh itu cermin diri dan jodoh telah ditetapkan karena setiap insan ciptaan Tuhan diciptakan berpasang-pasangan.Perjalanan cinta yang panjang, terjal dan berliku telah kulewati, tapi apalah dayaku, aku hanya manusia biasa yang hanya bisa berusaha dan berdoa, tetap keputusan akhirnya Tuhan yang menentukan dan Tuhan belum menetapkan waktu terbaik untukku bertemu dengan jodohku. Bukan tidak ada yang melamarku, tapi tetap saja hatiku belum terbuka dan bergetar untuk menerimanya. Pernah aku memaksakan diri menerima lamaran dari lelaki yang tidak kusukai karena ingin lari dari pertanyaan kapan menikah, tapi yang namanya bukan jodoh, tetap saja ada jalan Tuhan untuk memisahkan.'Kania, bukankah lelaki dengan pemahaman agama yang tinggi seperti Ustadz Fahri yang selama ini kamu doakan?'Ucapan bergejolak di dalam hatiku membuat kepalaku terasa teramat pusing seperti ingin pecah.Ingin rasanya aku menghantamkan kepala ini ke dinding agar aku amnesia dan tidak merasakan sakit lagi, ingin juga aku berteriak dan memaki sangat keras, tapi aku bukanlah wanita yang tidak punya sopan santun hingga mempermalukan diriku dan keluargaku di khalayak ramai.Ah, apapun alasannya tetap saja aku tidak bisa menerima perjodohan ini. Ya, kali ini kedua orang tuaku kelewatan, bagaimana mungkin beliau menentukan hari pertunanganan tanpa meminta pendapatku.Hatiku semakin sakit dan hancur hingga rasanya ingin mati saja. Hidup yang kumiliki kini tidak lagi menjadi milikku, bahkan pendapat dan keinginanku tidak lagi didengar oleh kedua orang tuaku.Aku masuk ke kamarku, membanting pintu kamar, kemudian menghempaskan tubuhku di ranjang dalam keadaan hati yang berkecamuk.Aku merasa tidak berdaya, tidak kuasa menanggung rasa sakit ini sendirian, hingga kesedihan ini kucurahkan lewat butiran-butiran air mata yang mengalir membasahi pipi bulatku.Aku memikirkan berbagai cara agar pertunanganan ini bisa dibatalkan, tapi aku berada di jalan buntu dimana jurang yang menjadi akhirnya. Jika aku melangkah maju maka keluargaku akan malu muka, jika aku menerima maka aku akan dihadapkan pada pernikahan yang tidak aku inginkan seumur hidupku.Aku bukan anak durhaka yang akan menghancurkan hati dan perasaan kedua orang tuaku sebab memikirkan perasaanku sendiri, karena surgaku di dunia adalah kedua orang tuaku, restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua. Namun bagaimanapun aku berpikir, tetap saja aku tidak bisa menjalankan ibadah terpanjang dengan lelaki yang tidak kusukai. Bagaimana mungkin aku akan melayani suamiku kelak sementara aku tidak bisa menatap wajahnya, bagaimana rumah tangga yang akan kubangun kelak sementara aku tidak memiliki pondasi yang sangat kokoh untuk ditegakkan.Dilema hati membuatku tidak mampu melakukan apa-apa selain pasrah dengan ketetapan-Nya, karena segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sudah diatur oleh Allah di lauh mahfudz beratus-ratus rahun sebelum manusia terlahir ke dunia.Huft ...Aku menarik nafas panjang, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki aku bangkit dari pembaringanku, aku menghapus air mata yang jatuh membasahi pipiku. Aku masih memiliki waktu dan kesempatan untuk merubah takdir hidupku dan salah satu cara terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan merayu Tuhanku lewat jalur langit. Ya, jika manusia sudah tidak lagi bisa melakukan sesuatu, maka jalani dan pasrahkan saja kepada sang pencipta, karena jika memang apa yang terjadi dalam kehidupanku sekarang adalah takdir terbaik untukku maka hati ini akan lapang dan ikhlas untuk menerimanya, namun jika apa yang terjadi sekarang hanya ujian untuk menaikkan level keimananku dihadapan Tuhanku, maka Tuhan akan memberikan kejutan yang tidak kusangka-sangka nantinya.Beruntungnya aku, karena pertunanganan ini dilangsungkan secara adat, jadi hanya keluarga dari kedua belah pihak saja yang datang untuk saling bertukar cincin, hingga ini menjadi kesempatan bagiku untuk mengadu kepada Rabb-ku.Kugelar sajadahku, membawa semua beban dan permasalahan yang kutanggung dalam sujudku, mengadu dan memohon kepada sang pencipta agar Tuhan menolongku.Samar terdengar kedua belah pihak keluarga tengah menentukan tanggal baik untuk pernikahan kami.'Sebulan lagi? Secepat itukah?' batinku semakin teriris dan terasa sangat sakit.Aku tidak bisa membayangkan akan menikah sebulan lagi dengan lelaki yang tidak kukenal, hingga air mata terus mengalir menggenangi pipi bulat ku, air mata ini jatuh bersama hujan yang mengguyur bumi, seolah langit ikut menangis bersamaku. Sungguh, aku lemah dan tidak berdaya. Namun, aku percaya Tuhan mendengar doaku hingga akhirnya secara adat pernikahan akhirnya disepakati dan direncanakan terjadi enam bulan lagi, tepatnya setelah lebaran idul adha.'Alhamdulillah,' batinku.Leganya hati ini membuatku tidak hentinya mengucap syukur, setidaknya aku masih punya kesempatan selama 180 hari lagi untuk menjernihkan pikiran ku, entah untuk membatalkan atau untuk melanjutkan. Kring ..., Kring ..., Kring ....Suara ponsel ku berbunyi dan dengan bergegas aku langsung mengambil ponsel itu.[Assalamualaikum, Kania] Sapaan halus dan lembut yang dikirimkan oleh ustadz Fahri lewat pesan singkat terbaca di notif ponsel ku. Pesan dari seseorang yang tidak kuinginkan, pesan yang membuat seluruh tubu
Batinku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku memang sangat ingin menikah akan tetapi aku juga tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan bagaimanapun hati ini terus menolak bahwa bukan pernikahan seperti ini yang ku harapkan.'Enam bulan? Itu artinya aku masih punya 180 hari lagi untuk mengatur strategi, ini adalah kesempatan yang bagus,' ucap ku di dalam hati dengan secercah harapan yang kujadikan peluang.Aku bangkit dari pembaringan ku, ku hapus air mata yang terus menggenangi pipi ku, aku merasa Tuhan sedang memberi ku kesempatan untuk merubah takdir ku. Ya, aku pernah mendengar ceramah seorang ustadz kalau jodoh itu adalah takdir Allah yang bisa diusahakan dengan ikhtiar dan doa, jadi aku menggenggam suatu keyakinan penuh bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak, hanya dengan mengatakan, 'Kun Fayakun,' semua akan terjadi.Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Jika Tuhan memberikan ujian atau cobaan kepada
"Aw, sakit!"Aku merasa seluruh tubuhku kesakitan ketika terhempas ke aspal, sehingga rasanya terlalu sulit untuk bangkit dan berdiri. Beruntung jalan raya sepi sehingga aku bisa bernafas lega karena tidak harus terburu-buru bangkit."Kania, kamu tidak apa-apa?" Aku mendengar sosok yang sangat kukenal datang menghampiriku dengan sejuta kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah tampannya."Arya, kamu disini?" ucap ku dengan nada suara lembut karena menanggung kesakitan saat ini."Kamu ingin mati, Kania?" bentak Arya.Mata Arya melotot, pipinya memerah, ia terlihat marah bercampur kecewa kepadaku. Sementara aku, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam tertunduk. Aku memang salah, bahkan perjodohan sialan itu membuatku tidak lagi menghargai hidupku yang berharga, aku benar-benar tidak berdaya seolah bumiku terlah runtuh ditimpa langit."Ayo bangun!" Arya menggotong tubuhku, membantuku bangkit, namun rasanya seluruh tenagaku habis hingga aku merasa tidak sanggup untuk berdiri, hingga
Aku menatap wajah Arya dengan seksama, lelaki tampan itu terlihat salah tingkah dengan wajah memerah yang tertunduk. Arya adalah lelaki cuek yang tidak akan pernah mengungkapkan bagaimana perasaannya, tapi kali ini jelas ketara kalau saat ini Arya sedang menunjukkan sikap berbeda dari biasanya."Arya, kamu tidak cemburu 'kan?Mobil yang melaju tiba-tiba berhenti di tepi jalan."Aku ingin mencari angin!"Arya keluar dari mobil sembari membanting pintu mobil dengan sangat keras.Bruk ...Tamparan keras pintu membuatku syok. Spontan tangan ini langsung memegang dada yang bergetar luar biasa, bukan karena jatuh cinta tapi karena terkejut, seolah akan kena serangan jantung mendadak."Kenapa sih dia, marah-marah nggak jelas."Arya memang suka sekali marah-marah tidak jelas, emosinya memang masih tidak stabil bahkan dalam keadaan seperti ini akulah yang selalu minta maaf dan membujuknya agar tidak merajuk.Umur memang tidak menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, tapi umur juga mempengaruhi
Aku mendengar suara Arya tengah memanggil-manggil namaku dengan rasa khawatir yang teramat sangat, bahkan sebelum aku menutup mata ini, aku melihat wajah Arya terlihat teramat sangat panik sekali, ia seolah takut hal buruk terjadi kepadaku atau mungkin ia takut kehilangan ku. Ya, ada pancaran kekhawatiran yang berbeda dari sorot mata lelaki itu, perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Mata itu terlihat khawatir melebihi rasa khawatir seorang sahabat.Sungguh, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen seperti ini. Rasanya aku tidak ingin menutup mataku karena aku tidak ingin membuat Arya mengkhawatirkan ku, tapi apalah daya ku, aku sudah tidak lagi bertenaga untuk tetap membuka mata. Selain itu, kendali hidup dan matiku sepenuhnya milik Allah, dan andai saja hari ini Tuhan mengambil nyawaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Ya, menerima takdir, meskipun banyak hal di dunia ini yang belum kudapatkan, salah satunya keinginan untuk menyempurnakan agama."Kania, bangun! Aku tidak b
Aku tidak bisa berpikir jernih, yang terbayang olehku hanyalah menghilang dan kabur sejauh mungkin agar aku bisa menghindari masalah hidupku. Bahkan, walaupun ke ujung dunia adalah tempat terbaik untuk menghindar maka aku akan diam-diam lari kesana agar tidak ada seorang pun yang menemukanku.Sungguh, dari dahulu hingga saat ini, impianku masih belum berubah. Aku ingin menikah dengan konsep mewah layaknya seorang putri kerajaan dalam cerita-cerita di negeri dongeng, dengan gaun pengantin berwarna putih mengelilingi kota dengan menubggangi kereta kencana bersama suamiku sembari berpegangan tangan. Tapi kenyataannya kisahku malah seperti Siti Nurbaya, dijodohkan dengan lelaki yang tidak kucintai. Bahkan mirisnya, perjodohan itu bukan karena uang atau harta benda, bukan pula karena terlalu muda, tapi karena aku sudah dianggap perawan tua dan aib keluarga. Sungguh, lingkungan di sekitarku akan menganggap dosa, jika seorang wanita yang umurnya menjelang kepala tiga masih belum menikah. Miri
Terbayang olehku kata-kata mamaku, kalau Arya bukanlah lelaki baik, ia tidak benar-benar tulus bersahabat denganku, ia hanya memanfaatkan kebaikan hatiku, ia hanya ingin bermain-main denganku. Parahnya lagi, mungkin lelaki itu hanya penasaran denganku. Sungguh, tidak ada penilaian dan kata-kata baik yang mama lontarkan untuk Arya."HP-ku mana?" Karena tanganku sedang terluka, aku tidak bisa bergerak sesuka hatiku, jadi tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya kepada Arya."Kamu perlu diobati terlebih dahulu, nanti aku akan mengambilkan HP-nya," ucap Arya dengan nada suara datar. Sungguh, kepeduliannya saat ini terdengar seperti sebuah basa-basi yang mengandung toxic. Tapi, aku tidak ingin berpikir negatif karena akan menambah energi yang merusak mood dan perasaanku."Aku ingin menelpon sekarang!" Dengan nada suara tinggi, aku membentak Arya, mengungkapkan isi hati dan amarahku karena sikapnya yang tidak peduli dengan perasaan orang tuaku. Sungguh, lelaki itu bersikap seolah-olah
Mama Anita terlihat emosi dan marah besar, matanya membelalak dengan rona wajah yang berubah masam ketika mendengar nama Arya disebut. Bahkan, ini kali pertamanya aku melihat mamaku semarah itu mendengarkan nama orang lain yang tidak pernah berhubungan dengannya.Aku tidak tahu kesalahpahaman apa yang terjadi antara Arya dengan mama Anita, tetapi mama selalu emosi dan marah mendengar nama Arya kusebut, padahal saat pertama kali aku menceritakan perkenalan pertamaku dengan Arya, mama adalah orang pertama yang sangat antusias ingin dikenalkan kepada lelaki itu."Mama, sudah, ini rumah sakit, jangan ribut-ribut disini," ucap papaku sembari mengelus-elus lembut punggung mama."Mama tidak suka mendengar nama lelaki tidak bernyali itu, Pa," celoteh mama Anita yang terdengar sudah sedikit melunak dari sebelumnya, tapi entah mengapa aku merasakan ketidaksukaan atas sikap yang mama tunjukkan."Mama, jangan membenci secara berlebihan begitu, Arya bukan lelaki yang jahat," jawabku yang akhirnya m