Share

Bab 0003

Kumandang azan subuh menggema di seluruh penjuru bak alarm bagi seluruh umat muslim untuk meninggalkan belaian alam mimpi dan segera menghadap sang pencipta. Begitu pula di sebuah kamar kos sederhana yang sudah ditempati seorang pemuda bernama Narendra Setyadji selama 4 tahun terakhir.

Seorang mahasiswa tingkat akhir di universitas bergengsi di Bandung yang berada tak jauh dari kosan tersebut. Yang juga merupakan seorang karyawan di sebuah perusahaan besar.

Usai shalat subuh, lelaki tampan yang akrab disapa Adji itu gegas bersiap. Hari ini, dia hanya 2 jam bekerja dan selepasnya akan segera bertolak ke kampung halaman yang berada di pinggiran kota Bandung untuk bertemu dengan keluarga yang sudah beberapa bulan tak ia temui.

Menaiki transportasi umum menuju ke kantor dengan membawa tas ransel berisi barang bawaannya di punggung. Ia begitu antusias menunggu hari ini tiba, karena sudah tak sabar untuk ia segera pulang ke rumah kedua orang tuanya.

"Selamat pagi, Pak Muhtar. Adji nitip tas di sini ya, Pak!" sapanya pada security perusahaan besar itu.

"Selamat pagi juga, Mas Adji. Iya, Mas, pasti saya jagain. Kok tumben bawa tas ransel?" heran lelaki bertubuh tinggi tegap itu.

"Iya, Pak. Saya mau pulang kampung pagi ini." jawabnya tersenyum lebar. Nampak sekali binar bahagia di wajah tampannya.

"Loh, ini kok masih masuk?"

"Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan dulu sebelum ditinggal pulang, Pak." jawabnya lalu pamit untuk segera masuk ke dalam kantor.

Melangkah dengan pasti, menaiki lift untuk menuju lantai 7 dimana ruangan kerjanya berada.

"Dji, jadi pulang kampung?" tanya Irfan, rekan kerjanya. Begitu melihat Adji datang dan segera berkutat dengan pekerjaannya.

"Jadi, Fan. Udah gak sabar sebenarnya, tapi ya, mau gimana lagi, ini harus kelar hari ini juga." sahutnya tanpa menoleh.

"Kata siapa?" heran Irfan dengan kening berkerut.

"Bu Silvia." sahutnya menyebut atasan mereka.

"Halah, itu modusnya Bu Silvia aja, Dji. Kamu beneran enggak tahu kalau Bu Silvia itu naksir kamu?"

"Jangan su'udzon, Fan. Siapa tahu memang klien minta ini segera. Kan, aku ambil cuti sampai 1 minggu, takutnya kerjaan aku keteteran entar. Yang repot kamu juga, kan, akhirnya."

"Dji, Adji! Polos banget sih, kamu." gelak Irfan menepuk bahu rekan kerjanya itu.

Adji memilih terus larut dalam pekerjaannya, mempersingkat waktu agar segera bisa pulang ke rumah.

Tepat pukul 10 pagi, pekerjaannya telah selesai. Ia segera bangkit berdiri dan menuju ruangan manajer yang juga merupakan putri pemilik perusahaan tempatnya bekerja selama 2 tahun ini.

"Permisi, Bu!" Adji mengetuk pintu kaca sebelum masuk.

"Masuk!" titah Silvia begitu melihat Adji di luar pintu kaca.

"Ini berkas yang sudah saya kerjakan, Bu. Dan untuk pekerjaan lain sudah saya kirimkan melalui email, Ibu. Jadi selama saya cuti, insya Allah pekerjaan saya sudah beres semua." ujarnya menyodorkan beberapa map berisi pekerjaannya.

Silvia menerima pekerjaan Adji dengan senyum terkembang. Gadis yang 2 tahun lebih tua dari Adji itu memeriksa sesaat, hanya sebagai formalitas saja sebab dia begitu yakin jika pekerjaan Adji selalu memuaskan.

"Jadi pulang kampung kamu, Dji?" tanyanya mengalihkan fokus pada pekerjaan.

"Jadi, Bu." sahutnya singkat.

"Naik apa?"

"Naik, bus kota."

"Berapa lama sampai di kampung kalau naik bus?"

"Sekitar 4-5 jam, itu kalau tidak macet, dilanjut naik ojeg sampai kampung sekitar 1 jam. Jadi total perjalanan hampir 6 jam, Bu." jelas Adji santun.

Silvia mangut-mangut mengerti. Tatapannya tak lepas dari pemuda tampan di hadapannya itu. Santun, lembut tutur bahasanya, baik akhlaknya dan yang jelas tampan parasnya. Benar yang dikatakan Irfan kalau dirinya menaruh hati pada Adji. Mahasiswa yang bahkan belum menyandang gelar sarjana.

"Em, kalau begitu pakai mobil kantor saja. Biar Pak Jayus mengantarmu sampai tujuan, untuk mempersingkat waktu perjalanan." putusnya membuat Adji mendongak menatap bosnya itu.

"Tapi, Bu--"

"Ini perintah! Tidak ada penolakan!" tegas Silvia.

"Masya Allah, terimakasih, Bu! Maaf, jadi merepotkan." ujar Adji sungkan.

"Sejak pertama kerja di sini, belum pernah sekali pun kamu ijin. Jadi, anggap saja ini bonus untuk absensi kamu." terangnya mengulas senyum. Sembari menahan getaran di dalam dadanya kala bersitatap dengan lelaki tampan itu.

"Masya Allah ... " syukur Adji mengulas senyum. Ia jadi bisa menyisihkan uang yang sejatinya akan ia pakai sebagai ongkos untuk ia berikan pada ibunya nanti.

"Dan ini, bonus kamu selama beberapa bulan ini karena kamu berhasil menggaet beberapa klien besar yang pada akhirnya mereka puas dengan kinerja perusahaan kita." lanjutnya lagi menyodorkan amplop tebal yang ia ambil dari laci meja kerjanya.

Adji menatap amplop cokelat itu dan Silvia bergantian. Ia masih belum bisa mencerna penjelasan bis cantiknya itu.

"Ambilah!" titah Silvia saat melihat Adji hanya termangu menatapnya.

"Ini, buat saya, Bu?" gagap Adji.

"Bukan! Buat orang tua kamu!" sahut Silvia enteng lalu terkekeh pelan. "Ya, buat kamulah, Dji!" lanjutnya lagi.

"Alhamdulillah! Terimakasih, Bu, terimakasih banyak." girangnya menggenggam erat amplop coklat yang sangat tebal itu.

"Sebenarnya bisa saja langsung saya tranfer barengan sama gaji kamu, tapi saya tahu kamu butuh uang cash selama di kampung nanti. Jadi, saya kasih langsung saja."

"Ya Allah, terimakasih banyak, Bu Silvia."

"Dan setelah kamu masuk nanti, kamu akan bergabung dengan tim inti IT perusahaan. Jadi, tidak sama saya lagi di marketing."

"Tim IT?" kejut Adji terbelalak tak percaya. Silvia mengangguk pasti.

"Masya Allah, ini beneran, Bu?" girangnya dan lagi-lagi Silvia mengangguk.

"Terimakasih banyak, Bu!"

"Ini bukan dari saya, tapi dari kinerja kamu sendiri melalui perusahaan kita. Jadi, jangan pikir saya mengistimewakan kamu karena saya ada perasaan sama kamu, seperti gosip yang beredar. Ini murni karena kinerja kamu yang benar-benar bagus di perusahaan ini. Juga untuk loyalitas yang kamu berikan!" jelas Silvia tegas dan lugas membuat Adji tak mampu lagi berkata-kata selain dari terus mengucapkan syukur dan terimakasih.

"Sudah, kamu boleh pulang. Selamat berlibur dan salam untuk keluarga kamu di kampung. Saya akan hubungi Pak Jayus, kamu bisa tunggu di lobi." titah Silvia sembari mengulas senyum lebar.

Dengan ucapan terimakasih bertubi-tubi, Adji segera melenggang keluar dari ruangan manajernya itu. Berpamitan sebentar pada rekan-rekan kerjanya lalu segera keluar untuk pulang ke kampung halaman.

***

Sepanjang perjalanan terlewati dengan hati berbunga-bunga, perjalanan yang biasanya ditempuh dengan 4-5 jam itu kini bisa ia tempuh hanya dalam 3 jam saja. Setelah 2 jam di perjalanan, kini ia sudah sampai di pasar kabupaten tempatnya tinggal. Tinggal sedikit lagi saja untuk sampai ke kampungnya.

"Pak, saya turun di sini saja tidak usah sampai kampung, kasihan nanti Bapak capek harus balik lagi ke kota." ujar Adji tak enak hati jika harus terus diantar sampai rumah sedangkan supir kantor yang tak lagi muda itu pun nanti harus kembali lagi ke kota.

"Eh, mana bisa begitu, Mas? Nanti Bu Silvia marah sama saya kalau gak antar Mas Adji sampai rumah." tolak Pak Jayus.

"Ya jangan bilang atuh, bilang saja sudah sampai rumah dengan selamat begitu. Toh, tinggal sedikit lagi saja, kok." sahut Adji mengulas senyum.

"Jangan, Mas, saya takut."

"Tak apa, Pak. Nanti Bapak bisa mampir ke mana dulu gitu,"

"Benar ini, Mas? Sampai sini saja?"

"Iya, Pak. Bapak teh pasti juga capek, mana masih harus jalan 2 jam lagi, loh."

"Yasudah kalau gitu, Mas. Bener gak papa, nih?"

"Iya, Pak, bener. Lagian, saya mau belanja dulu buat orang rumah."

"Yasudah kalau gitu, kita cari masjid dulu buat sholat zuhur. Nanti saya antar lagi ke sini kalau Mas Adji mau belanja dulu."

Keduanya lantas menuju masjid yang tak jauh dari pasar tersebut. Usai sholat, Adji diantar kembali menuju pasar sekalian Pak Jayus jalan pulang.

Membawa langkahnya menemui teman semasa SMA yang kini menjadi pedagang toko kelontong besar di pasar tersebut. Adji berniat membeli berbagai kebutuhan yang akan ia bawa pulang ke rumah.

"Assalamualaikum, San?" sapanya pada Ihsan, teman sekolahnya dulu.

"Walaikumsalam ... Masya Allah, Adji! Duh, orang kota kapan datang?" girangnya melihat teman baiknya dulu berdiri gagah di depan tokonya. Segera mengalihkan pekerjaan pada karyawannya dan ia segera menyambut Adji.

"Gimana kabarnya, Bro? Kapan datang?" peluk hangat Ihsan sang juragan toko kelontong.

"Alhamdulillah, sehat, San. Ini aku baru sampai. Makin sukses kawanku ini!" balas Adji berkelakar. Keduanya berbincang sesaat lalu Adji memulai sesi belanjanya.

"Wah bujang kota mau nglarisin daganganku inih!"

"Kamu bisa aja, San. Buat ibu di rumah."

"Ya, ya, ya ... Jadi mau belanja apa? Sebutkan biar aku sendiri yang layanin kamu."

Adji lantas menyebutkan apa-apa saja yang akan ia beli, dengan senang hati Ihsan melayaninya. Sesekali diselingi obrolan tentang masa lalu.

Setelah semua tersedia, segera merampungkan proses pembayaran.

"Ini bisa diantar, kan, San?" tanya Adji yang kebingungan melihat belanjaannya yang tak mungkin ia bawa dengan ojeg.

"Spesial buat kamu teh bisa, Dji! Tapi tunggu supir aku datang dari antar barang dulu, ya!" sahut Ihsan menerbitkan senyum di wajah Adji.

"Siap, masih ingat rumah aku, kan, San?" gelak Adji ditanggapi gelak yang sama oleh Ihsan.

"Ya masih atuh, belum pindah, kan? Kecuali udah pindah ke kota, baru aku enggak tahu!" gelak Ihsan.

"Masihlah, soalnya aku enggak bisa bareng ini barang. Masih ada keperluan lain, San."

"Siap, Bos! Nanti aku sendiri yang akan antarkan barang ini."

Setelahnya Adji pamit undur diri karena masih ada keperluan yang akan dia beli, teruntuk keluarganya tentunya.

Menyelesaikan apa yang menjadi tujuannya dengan cepat setelahnya memanggil ojeg untuk mengantarnya pulang ke rumah. Ia sempat mengirim pesan pada sang adik bahwa dia akan sampai lepas maghrib. Ia berniat akan memberi kejutan untuk keluarganya.

Sampai di gerbang desa hatinya begitu berdebar tak tentu, sudah bisa ia perkirakan bahwa ia akan sampai rumah sebelum ibunya berangkat bekerja. Dan ia sudah tak sabar untuk itu.

Namun, sampai belokan menuju rumahnya, ia melihat orang yang ia rindukan tengah berjalan dengan tergesa dari arah rumah neneknya. Bahkan, bapaknya tak menoleh lagi dan segera menuju ke rumah.

"Mang, saya turun di sini saja." pinta Adji menepuk bahu mamang ojeg. Mang ojeg segera menepikan motornya selang 2 rumah dari rumah Adji.

Usai membayar, Adji menenteng barang bawaannya menuju ke rumah dengan mengendap-endap. Sengaja ia memilih lewat pintu belakang agar kedua orang tuanya tak mengetahui kedatangannya. Berniat memberi kejutan malah justru dirinya yang dibuat terkejut begitu ia berhasil masuk melalui pintu belakang.

Melihat ibunya menangis dalam pelukan bapaknya di hadapan wadah penanak nasi, sedikit banyak sudah menjelaskan alasan apa sehingga ibunya menangis demikian. Ia melihat dengan jelas bagaimana bapaknya memberikan uang lusuh pada ibunya yang masih sesenggukan. Ia pun juga mendengar apa yang merekan bicarakan sesaat sebelum mereka berlalu keluar tanpa melihat keberadaan dirinya yang masih terpaku di pintu pembatas antara dapur dan ruang tengah.

Air matanya mengalir begitu saja melihat keadaan dapur yang demikian memprihatinkan. Tak ada kompor gas sebagaimana layaknya di rumah orang-orang pada umumnya, ia tatap dengan nanar tungku api sederhana yang nenemani ibunya sehari-hari. Ia letakkan barang bawaannya pada meja di samping tungku lalu membawa langkah menuju meja dimana magic com berada.

Dadanya sesak, bahunya bergetar hebat karena tangis yang coba ia tahan sekuat tenaga. Melihat isi dalam kantong kresek yang menjadi alasan ibunya menangis tadi.

"Ya Allah, Ibu, Bapak!" isaknya terduduk lemas di kursi kayu samping tubuhnya. Mengepalkan tangan kuat-kuat untuk menyalurkan amarah dalam dadanya.

Ia lalu bergegas bangkit, mencari-cari apa yang ada dalam pikirannya. Di semua sudut, tetapi nihil. Tak ada apapun ia temukan. Hanya ada singkong yang telah dingin dalam lemari tempat penyimpanan makanan itu. Kembali air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Tak ada sedikitpun beras di rumah itu, tak ada barang sepotong pun bawang dalam wadah pun dengan minyak yang tak ia jumpai di sana.

"Ibu, Bapak ... Kenapa menutupi keadaan kalian dari Aa'?" ratapnya menangisi keadaan orang tuanya.

Lantas ia merogoh ponsel dalam saku celananya, menghubungi Ihsan untuk menambah belanjaan agar sekalian diantarkan ke rumahnya.

"Halo, San, sudah berangkat?" burunya saat panggilan telah terhubung.

"Ini baru dinaikkan barangnya? Naon, Dji?"

"Bisa tambah belanjaan tidak? Nanti bayar di rumah."

"Bisa atuh, apa saja?"

"Tolong belikan kompor gas dua tungku lengkap sama tabungnya, bisa?"

"Bisa, dong, apa lagi?"

Adji segera menyebutkan lagi belanjaan yang harus ditambahkan. Setelah Ihsan paham, ia segera meminta untuk dikirimkan barang-barangnya.

"Kurang dari 1 jam sudah harus sampai, San, usahakan harus bisa." ujarnya setengah memaksa.

"Siap, Bos! Kami segera berangkat!"

Sembari menunggu barang datang, Adji membersihkan rumah lebih dulu. Menyiapkan tempat untuk meletakkan kompor nanti. Ia juga sedikit merubah posisi tungku agar dapur itu terkesan lebih luas. Usai berbenah ia beralih pada daging ayam yang tadi ia beli dan masih di dalam kantong, segera mengambil wadah dan mencucinya agar tidak bauk.

Tak seberapa lama, Ihsan datang dengan berbagai barang pesananannya. Dibantu karyawan Ihsan, mereka memasukkaan barang-barang itu ke dalam rumah.

"Aku langsung, ya, Dji. Ini masih mau antar barang lagi," pamit Ihsan setelah menghitung uang dari Adji.

"Gak mampir dulu, San?" tawar Adji basa-basi.

"Kapan-kapan saja."

Sepeninggal Ihsan, Adji segera bersiap memasak untuk keluarganya. Membuat api di tungku yang rupanya tak semudah yang ia bayangkan. Entah sudah berapa kali api itu padam dan menimbulkan asap pekat.

Terdengar deru motor sang ayah yang rupanya sudah kembali dari menjemput adik semata wayangnya. Ia hanya mengintip dari balik kaca jendela, dan benar saja sang ayah tidak segera masuk tetapi harus kembali bekerja. Ia mendengar ucapan ayahnya yang akan menyelesaikan pekerjaannya segera agar bisa membeli beras. Runtuh ketegaran Adji mendengarnya, sebegitu beratkah kehidupan mereka selama ini? Tetapi kenapa mereka menyembunyikannya? Dengan cepat ia kembali ke belakang saat Santi mulai masuk ke dalam rumah. Air matanya masih saja tak mau berhenti menetes meski sudah ia tahan sekuat tenaga.

Ia tak tahan lagi saat ini. Ingin sekali memburu Santi lalu memeluknya erat sama seperti kala dulu setiap ia pulang dari sekolah dan Santi sudah menunggunya di teras rumah.

Dan saat sang adik sudah menyadari kedatangannya, ia tak melewatkan kesempatan itu untuk memeluk adik satu-satunya itu. Adik yang selalu ia gendong jika pulang bermain, adik yang manja dan sangat cerewet namun sangat ia sayangi itu. Kembali menangis mendapati sang adik yang dulu kecil dan kini telah tumbuh dewasa.

"Neng, kenapa Enng bohong sama Aa'?" cecarnya kala Santi telah berganti pakaian dan bersiap membantunya memasak.

"Bohong apa atuh, A'?" tanyanya dengan polosnya.

"Kenapa Neng enggak pernah bilang kalau sering makan singkong saja? Kenapa Neng gak cerita kalau Bapak sama Ibu sering kesulitan sekedar untuk beli beras? Kenapa, Neng?" tangisnya pecah lagi di hadapan sang adik yang juga membeku di tempatnya dengan menunduk. Tak sanggup bersitatap dengan kakak lelaki yang sekarang dalam keadaan hati yang hancur.

"Sejak kapan Neng makan singkong saja?" ucapnya dengan suara parau, meraih tubuh sang adik dalam pelukannya lagi. Sang adik tak menjawab tetapi isak tangisnya sudah mewakili apa yang ingin Adji dengar. Memeluk tubuh kakak lelakinya dengan erat, ia pun sama hancurnya dengan sang kakak, tapi ia tak mampu berbuat sesuatu selain menurut dan tak banyak menuntut agar tak menambah beban pikiran orang tuanya.

"Sekarang, Neng makan dulu. Aa' tadi beli kue, ganjal perut dulu sambil nunggu nasinya matang. Gak papa, kan, Neng?" ucapnya pada sang adik yang hanya mengangguk sambil menghapus jejak air matanya sendiri.

Adji segera mencari aneka kue yang ia maksud, menyodorkannya kepada sang adik yang baru pulang sekolah. Lalu membuatkan susu sebagai teman kue agar bisa kenyang lebih lama.

"Makasih, A'," ujarnya menerima segelas susu hangat darinya.

Adji mengulas senyum, mengusap kepala adiknya dengan sayang.

"Habiskan, Neng! Biar kenyang."

"Enggak muat atuh, A', sebanyak ini suruh habiskan." kelakar sang adik mengurai kesedihan keduanya. Lalu keduanya tertawa.

Bersama, saling bahu membahu menyiapkan masakan spesial untuk kedua orang tuanya. Diselingi canda tawa dan juga cerita keseharian mereka. Kehidupan sang adik dan kedua orang tuanyalah yang lebih banyak ia tanyakan.

Dalam hati ia berjanji, akan mengganti air mata mereka yang tertumpah selama mereka menahan lapar karena tak mampu sekedar membeli beras. Ia akan buat tangisan itu menjadi senyuman bahagia. Sama seperti senyum sang adik saat ini.

Comments (10)
goodnovel comment avatar
amel
aku mewek thorrt..... T_T
goodnovel comment avatar
amel
aku mewek thorrr.... T_T
goodnovel comment avatar
YM
sangat dalam.....nggak bahaya taa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status