Brak!
Adi menggebrak meja. Dia meletakkan kedua tangan di atas meja dengan alis yang semakin menegang. Emosi di matanya terlihat rumit "Kurang ajar!" pekik Adi. Dia melemparkan pandangan kepada dua bodyguard. Aldebaran dan Ron baru saja keluar dari ruang kerja Adi. Mereka bisa mendengar kemarahan Adi. Ron memandangi Aldebaran dengan aneh. "Tadi kamu ngomong apa sama Tuan Adi? Kok dia jadi marah kayak gitu?" "Nggak ada," jawab Aldebaran, santai. Tanpa terlihat Ron, Aldebaran tersenyum sinis. Dia sedang mengungkapkan sifat asli Adi Wijaya yang sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Teriakan Adi masih terngiang di telinga Ron. Ron berseru dengan ekspresi serius, "Jangan main api sama Tuan Adi dan keluarganya!" Aldebaran menghela napas berat. "Nggak akan, Ron." Ron berhenti di depan lukisan yang tadi diperhatikan Aldebaran. "Lukisan inikah yang kamu maksud tadi?" tanyanya, penasaran. "Iya," sahut Aldebaran. "Kedua lukisan ini cuma ada satu di dunia dan tersimpan di Art and Co Gallery di Prancis." Ron terbelalak. "Maksud kamu, Tuan Adi mencurinya?!" Aldebaran menatap lukisan itu sejenak, lalu menatap Ron. "Entahlah," jawabnya sambil mengangkat kedua bahu. Ron dan Aldebaran berjalan menuju halaman depan melewati jalan yang sama. Aldebaran melihat-lihat setiap sudut yang dipasang CCTV. Dia tersenyum saat mengingat ucapan Adi. 'Jadi, Tuan Adi udah memantau kedatangan aku lewat CCTV.' Aldebaran terkekeh. Begitu mereka sampai di halaman depan, Ron berseru, "Tunggu di sini! Aku mau ambil mobil." Tidak lama, Ron datang dengan mobilnya. Mereka bergegas pergi dari kediaman Adi. Tidak terasa, hari hampir gelap. Ron telah mengajak Aldebaran berkeliling kota Jakarta. Aldebaran membaca papan nama jalan. "Jalan Haji Nawi Raya 1." Dia menghapalnya dengan cepat. Ron membelokkan mobilnya memasuki area apartemen mewah di bilangan Pondok Indah. Aldebaran memperhatikan lokasi apartemen ini. Dia juga terheran-heran dengan fasilitas yang dimiliki Ron. Tanpa disadari Aldebaran, mobil telah berada di lokasi parkir. "Kamu nggak mau turun, Al?" tanya Ron. "Kamu kenapa bengong aja? Bingung, ya? Kamu harus beradaptasi dengan cepat sama kehidupan kota Jakarta!" "Gila! Duit kamu banyak banget, Ron! Kamu punya mobil mewah ini seharga Rp 2 miliar. Terus, kamu punya apartemen mewah juga." Aldebaran turun dari mobil mengikuti Ron. Mereka berjalan menuju ke lift. Lalu, Ron menekan tombol nomor 3. Aldebaran menatap ponsel canggih di tangannya. "Kamu juga beliin aku HP keluaran terbaru. Seniorku benar-benar hebat!" Ron memukul kepala Aldebaran. "Dasar bodoh! Aku beliin kamu HP buat menunjang kerjaan. Karena kerjaan kita terlalu beresiko. Ngerti, nggak?" Ron benar! Aldebaran bahkan tidak memikirkan konsekuensinya. Dia hanya memikirkan uang, uang dan uang. Terlahir dari keluarga sederhana membuat Aldebaran hanya memikirkan uang. Dia telah berjanji kepada kedua orang tuanya untuk selalu mengirimkan uang. Karena dia ingin mengangkat derajat kedua orang tuanya. Mereka keluar saat pintu lift terbuka. Aldebaran mengikuti Ron pergi. Mereka berdiri di kamar apartemen nomor 32. Ron mengeluarkan kartu akses dan menempelkannya di sensor. "Ayo masuk!" ajak Ron, dia menunjuk pintu dengan kepalanya. Ini adalah pertama kalinya Aldebaran menginjakkan kaki di apartemen mewah. Ron terkekeh melihatnya. "Saat kamu udah dapet bayaran dari sniper, kamu juga bisa punya semuanya kayak aku." Ron mengambil bir kaleng, lalu memberikannya kepada Aldebaran. "Kamu harus hapalin jalanan di ibukota. Kamu juga harus tau keluarga kaya di Jakarta. Sekarang, pergi mandi dan istirahat sana! Nanti malem ikut aku!" *** Setelah makan malam seadanya, Ron mengajak Aldebaran pergi ke suatu tempat. Aldebaran terlihat bersemangat. Suasana malam kota Jakarta membuat Aldebaran terpana. Kota ini tidak pernah sepi. Dia memandangi wajah Kota Jakarta yang dihiasi gedung pencakar langit, jalan layang, lampu-lampu jalan dan berbagai graffiti yang menghiasi terowongan kota. Sesuai dengan janji Ron sore tadi, mereka sudah sampai di sebuah klub malam yang berada di kawasan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Malam ini adalah Ladies Night Party. Tentu saja banyak wanita cantik dan seksi di sini. Aldebaran dan Ron masih berada di dalam mobil. Ron tidak bisa menahan tawanya saat melihat Aldebaran menatap sekumpulan gadis. "Kamu tau nggak, Al?" Ron mengelus stir mobil. "Mobil sport buatan Jerman ini cuma ada 7 unit di dunia. 3 unitnya ada di Indonesia." Aldebaran tercengang. Dia tidak menyangka bisa menaiki salah satu mobil termahal di dunia. Aldebaran bertanya, "Selain kamu, siapa dua orang lagi yang punya?" "Tuan Muda Leo dari keluarga Alexander dan Nona Shania," jawab Ron, antusias. Aldebaran merasa asing dengan nama-nama yang disebutkan Ron. Selama ini, dia tidak pernah memedulikan hal lain, selain cita-citanya menjadi seorang sniper. Aldebaran menatap orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. "Siapa keluarga Alexander?" "Kamu nggak kenal mereka?" Ron terkejut. Bagaimana bisa ada seseorang yang tidak mengenal keluarga Alexander yang segitu hebatnya? Aldebaran menggeleng diikuti suara gelak tawa Ron. "Keluarga Alexander adalah keluarga terkaya dari 9 keluarga lainnya di Indonesia. Kamu harus tahu itu, Al!" Aldebaran mengangguk. "Aku ngerti. Terus, siapa Nona Shania?" Ron melepaskan sabuk pengaman. "Dia sepupu Tuan Muda Leo." "Ayo turun!" ajak Ron. Aldebaran kebingungan. "Tempat apa ini?"Aldebaran dengan setia tetap berada di sisiZoya. Tidak hanya itu, dia menyuapi Zoya dengan penuh kesabaran."Sup ini bener-bener buatan kamu?""Apa rasanya nggak sesuai sama lidah kamu, Nona?""Enak, kok."Selesai makan, Aldebaran melihat Zoya mengantuk.Aldebaran meletakkan mangkuk kembali ke atas meja. "Gimana kalo sekarang kamu tidur?""Bukannya kamu janji nggak bakalan pergi ke mana-mana?""Aku suruh kamu tidur bukan berarti aku mau pergi," sangkal Aldebaran, mengusap pucuk kepala Zoya. "Jadi, gimana perasaan kamu sekarang?"Zoya kembali mengerucutkan bibirnya. Dia membuka gorden sedikit lalu berkata, "Aku mau lihat bintang dari atas balkon."Aldebaran mengikuti arah pandang Zoya dan mengerti, dia merasa kesepian."Ya udah, ayo!"Aldebaran membuka pintu kamar Zoya yangmengarah ke balkon. Zoya mengikutinya."Kamu mau teh chamomile, nggak? Teh ini sangat baik diminum sebelum tidur.""Hmm, ya, aku mau," jawab Zoya tersenyum."Tunggu di sini? Aku akan kembali secepatnya."Zoya meng
Tidak hanya Brisma—koki yang dipekerjakan keluarga Alexander, Aldo dan satu pelayan wanita terpana dengan kepandaian memasak Aldebaran. Aroma sup krim jagung memenuhi seluruh dapur."Kamu benar-benar pandai masak, Tuan Kells," kata Aldo, memperhatikan setiap gerakan Aldebaran."Jangan rendahin aku kayak gitu di depan Koki terkenal!" seru Aldebaran. Aldebaran menuangkan sup krim jagung ke mangkuk keramik putih. "Ayo dicoba!"Brisma, Aldo dan Maria mengambil sendok sup dan mencobanya.Suara menyeruput Brisma terdengar. Kedua matanya mengarah pada mangkuk di hadapannya."Kamu bahkan bisa buat sup krim jagung selezat ini, Tuan Kells!"Baik Aldo maupun Maria menoleh ke arah Brisma. Seorang koki handal seperti Brisma memuji Aldebaran? Sungguh kejadian yang langka!Aldebaran tersenyum. Lalu, berkata, "Thanks, Chef."Aldebaran langsung meletakkan mangkuk sup di atas nampan. Dia bersiap membawanya ke kamar Zoya."Aku mau anterin sup ini buat Nona Zoya. Katanya hari ini, dia nggak makan sama
Karena terlalu frustasi memikirkan Zoya, Aldebaran memutuskan untuk mandi. Setelah itu, dia mengobati luka yang ada di dada dan perutnya. Bagian terparah berada di wajah. Aldebaran meraih alkohol yang akan digunakan sebagai antiseptic dan kapas yangtersimpan di kotak obat berwarna putihtepat di atas wastafel. Dengan cekatan, dia mulai mengobati lukanya."Aarggh ...."Aldebaran mencoba menahan sakit yang di sekujur tubuhnya. Dia terus mengobati luka hingga ke bagian kaki."Bagian yang paling sakit bukan kepala karena dibenturkan ke dinding sama Tuan Sultan. Tapi hati aku jauh lebih sakit. Karena Zoya melihat pemandangan nggak menyenangkan.Aku takut dia depresi lagi."Aldebaran melihat pantulan dirinya sendiri di cermin besar. Terlihat beberapa luka memenuhi bagian perut.Saat itu juga, seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Uhh, siapa yang datang?"Dengan kaki yang masih sakit, Aldebaran berjalan pelan menuju pintu."Tuan Fernando?""Bisa saya masuk?""Silakan!"Aldebaran menutup p
Jantung Aldebaran berdebar-debar ketika Zoya mengatakan kalimat yang menurutnya ambigu. Benaknya melayang ke antah berantah. Namun dia tidak ingin kehilangan secuil harapan cintanya akan terbalaskan.'Zoya mau ngomong apa, sih?'"Kells, aku ... aku ...."Aldebaran melihat Zoya kesulitan berkata-kata. Dia menunggu dengan sabar. Berulang kali, Zoya menarik napas dalam-dalam. Namun tetap tidak membuahkan hasil. Suaranya tetap tidak keluar. "Entahlah," ujar Zoya pada akhirnya. Dia hendak berdiri dan melepaskan genggaman tangan Aldebaran. Tapi, Aldebaran tidak akan membiarkannya."Tunggu, Nona!" seru Aldebaran, mempererat genggaman tangannya dengan tangan Zoya."Eh?" Zoya tercengang melihat tangan Aldebaran yang menggenggam erat tangan kanannya. "A-apa? Lepasin!""Tangan ini ... tangan yang aku genggam ini, nggak akan aku lepasin."Dua pasang manik mata berwarna coklat bertemu. Perasaan saling memiliki yang mereka rasakan membuat keduanya terikat. Itu benar! Sebab, kita tidak akan per
Aldebaran memandang Zoya yang sedang memohon pada Sultan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Zoya terus menerus merengek pada ayahnya. Terlihat kesedihan di raut wajah cantiknya. Aldebaran sangat tidak tega menyaksikan itu. Namun, dia tidak memiliki kuasa apapun di kediaman keluarga Alexander."Pa, Papa tahu apa yang udah dilakukan Kells untukku?" Dengan nada tinggi, Zoya mencoba meyakinkan Sultan.Aldebaran tahu, Zoya mulai frustasi dengan apa yang terjadi. Itu sebabnya, dia mencoba menenangkan Zoya agar tidak tersulut api emosi. "No-Nona ...." Aldebaran mengulurkan tangannya ke arah Zoya.Sultan dan Zoya menoleh bersamaan. "Ya?" Zoya segera melepaskan tangannya dari Sultan dan bergegas menghampiri Aldebaran. "Kells, kamu terluka parah!""Nona, tahan diri kamu! Jangan membantah Tuan Sultan! Biar gimanapun Beliau adalah orang tua Anda," ujar Aldebaran pelan. Dia menahan perih di sekujur tubuhnya yang dipenuhi luka."Pa, panggil Dokter untuk mengobati Kells," pinta ZoyaZoya
Brak!Sultan memukul sisi pinggir kursi yang didudukinya sambil berdiri. Kedua matanya bergantian menatap Aldebaran dan Keenan."Apa itu benar, Kells?" tanya Sultan dengan tatapan intimidasi.Aldebaran berhenti memukuli Keenan dan mengutuknya. 'Sial! Si pria tua ini mulai menjerumuskan aku!'Tap tap tap!Sultan berjalan cepat menghampiri Aldebaran dan mendorongnya ke dinding.Buk!Aldebaran tidak bisa mengelak lagi karena serangan Sultan begitu kuat. Sultan meraih kepala Aldebaran, lalu membenturkannya ke dinding beberapa kali. Matanya merah dan begitu juga dengan wajahnya. Sultan menggerakkan giginya dan berkata, "Apa yang mau kamu jelasin pada saya? Hah? Kamu benar-benar menguji kesabaran saya!"Sultan menghajar Aldebaran habis-habisan. Karena rasa bersalah yang begitu besar terhadap keluarga Alexander, Aldebaran tidak membalas perlakuan Sultan padanya."Pria kurang ajar! Saya sudah salah menilai kamu!" teriak Sultan lantang."Bu-bukan cuma itu, Tuan. Nona Zoya pun telah berada di