Wajah Aldebaran masam. Dia melihat Ahmed membuang ludah di sampingnya.
Aldebaran mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Dia hendak meraih leher satpam, tetapi niatnya terhalang setelah mendengar seseorang berteriak. Muncul pria jangkung dari dalam rumah. "Udin!" panggil si pria jangkung. "Apaan?" sahut Ahmed. "Ganggu aja!" Si pria jangkung mendekati Ahmed. "Tamu penting Tuan Besar udah dateng belum?" Ahmed mulai mencurigai Aldebaran. "Namanya siapa? Dari tadi nggak ada tamu yang dateng." "Kalau nggak salah, namanya Aldebaran Kellendra," sahut si jangkung. Ahmed tercengang. "Hah?!" Kedua mata Ahmed mengarah kepada Aldebaran. Pria jangkung pun mengikuti arah pandang Ahmed dan dia mengerti. Aldebaran yakin, Ahmed sudah tahu identitasnya sebagai tamu penting Adi Wijaya. Jangkung mendekati Aldebaran. "Apa kamu Aldebaran Kellendra?" "Iya," jawab Aldebaran, santai. "Ayo cepat ikuti saya! Tuan Besar Adi udah nunggu kamu dari tadi pagi." Aldebaran tidak banyak berbicara. Dia menyeringai puas menatap Ahmed yang tampak malu, lalu pergi mengikuti si jangkung. *** Saat mereka melewati koridor sepi, Aldebaran bertanya, "Pak, kamu Ronald Syahputra bukan?" Jangkung menghentikan langkah. Dia berbalik. "Dari mana kamu tau nama saya?" tanya Jangkung, bingung. "Apa Ahmed yang kasih tau?" "Oh, nggak," sanggah Aldebaran. "Apa kamu lupa sama aku?" Ditatapnya Aldebaran lekat-lekat. Pria di depannya ini baru saja dijumpai Ronald di halaman depan. Jadi, Ronald masih saja tidak mengenalinya. Dengan sikap waspada, Ronald bertanya, "Siapa kamu?" "Aku ... Abraham Malik." Aldebaran menjawab dengan setengah berbisik. "Hah?! Abraham Malik?!" Ronald terkejut bukan main. Dia lantas melangkah mundur. Aldebaran menempelkan jari telunjuk di bibir. "Jangan berisik! Nggak ada yang tau identitas asliku, selain kamu." Aldebaran senang bertemu dengan Ronald. Dia adalah seniornya selama di masa pelatihan militer. "Aku tau. Aku juga punya nama samaran kayak kamu," balas Ronald. "Apa? Aku ingin tau." Ronald tersenyum tipis. "Ron Dinata. Kode namaku Red Devil," jawab Ronald. "Ayo buruan! Tuan Besar pasti marah kalo kelamaan nunggu." Aldebaran paham. Seperti dirinya, Aldebaran tidak boleh memanggil Ronald dengan nama aslinya. Aldebaran berjalan mengimbangi langkah Ronald yang semakin cepat. "Bersikaplah sewajarnya dan jangan terlalu dekat denganku!" Saat mengatakannya, Ron menatap Aldebaran sambil diam-diam memikirkannya. Apakah mereka dulunya dekat atau tidak? "Ya," sahut Aldebaran. Mereka melewati ruang bioskop keluarga dengan desain klasik perpaduan warna gold dan krem. Setelah berbelok, mereka menyusuri lorong panjang serba putih. Terpampang beberapa lukisan yang menggantung di sebelah kanan. Aldebaran memperhatikan lukisan-lukisan tersebut. Ada dua buah lukisan yang menarik perhatiannya. Yaitu lukisan dengan aliran impresionisme karya Claude Monet dari Prancis. Aldebaran melihat satu-satunya pintu di paling ujung. Ron sudah berdiri di sana. Aldebaran segera menyusulnya. Ron mengetuk pintunya. "Masuk!" Suara penuh wibawa terdengar dari dalam. Ron membuka pintu diikuti oleh Aldebaran di belakangnya. Terlihat seorang pria berkumis dengan wajah ditekuk. Jika diterka-terka, usianya mencapai 50 tahun atau bahkan lebih. Dia adalah Adi Wijaya. Di samping kanan dan kirinya, terdapat dua bodyguard berkepala plontos. "Tuan Besar, tamu Anda sudah datang," ucap Ron, membungkuk. Adi Wijaya menatap Aldebaran dan mengangguk perlahan. "Kalian semua keluar, kecuali tamu saya!" Adi duduk bersandar. Dia mengusap dagunya pelan sambil memandangi Aldebaran. Setelah semua orang keluar, Adi duduk tegak dengan kedua tangannya di atas meja. "Kamu Aldebaran Kellendra?" Aldebaran tersentak saat mendengar suara berat yang terdengar tegang. Suaranya sangat berbeda dengan suara wibawa yang Aldebaran dengar sebelumnya. "Ya." Tegas. Itulah kesan pertama yang Aldebaran tunjukan kepada Adi. "Apa yang buat kamu lama sampai di sini? Apa alamat saya nggak cukup jelas?" "Bukan. Bukan begitu, Tuan," jawab Aldebaran. "Sayaー" Adi tahu, pria yang berdiri di depannya adalah sniper terbaik yang dimiliki pasukan rahasia negeri ini. Jadi, dia sangat penasaran dengan kemampuan Aldebaran. "Kamu nggak perlu jawab. Ron akan mengantarkan kamu ke tempat tinggal sementara sampai mendapatkan misi pertama. Saya ingin kamu membuktikan omongan Erick Sanjaya kalo kamu adalah sniper terbaik mereka." Aldebaran menyipitkan mata. "Anda kenal sama Komandan saya?" Adi merasa tidak senang. Ekspresi wajahnya berubah masam. "Apa Ron nggak ngasih tau kamu?! Nggak ada seorang pun yang boleh bertanya. Semua orang di sini hanya berbicara kalo ditanya. Selebihnya, semua orang harus membungkam mulut mereka!" Aldebaran terdiam. Kemudian, mengangguk. Adi memanggil Ron dan kedua bodyguard. Saat mereka masuk, Adi menatap Ron. "Ron, kasih tau dia tentang peraturan di sini dan pantau dia!" perintah Adi. "Saya nggak suka ada kesalahan." "Baik, Tuan." Ron menoleh kepada Aldebaran. "Ayo ikut aku!" Saat Adi menatapnya, Aldebaran langsung membungkuk. Dia menyunggingkan senyum tipis. "Tuan Adi, saya benar-benar kagum sama Anda. Sama seperti kekaguman saya terhadap dua lukisan karya Claude Monet yang menggantung di lorong." Aldebaran berjalan mengikuti Ron keluar dari ruang kerja Adi. Aldebaran ingin tahu reaksi Adi setelah dia menyinggungnya.Aldebaran dengan setia tetap berada di sisiZoya. Tidak hanya itu, dia menyuapi Zoya dengan penuh kesabaran."Sup ini bener-bener buatan kamu?""Apa rasanya nggak sesuai sama lidah kamu, Nona?""Enak, kok."Selesai makan, Aldebaran melihat Zoya mengantuk.Aldebaran meletakkan mangkuk kembali ke atas meja. "Gimana kalo sekarang kamu tidur?""Bukannya kamu janji nggak bakalan pergi ke mana-mana?""Aku suruh kamu tidur bukan berarti aku mau pergi," sangkal Aldebaran, mengusap pucuk kepala Zoya. "Jadi, gimana perasaan kamu sekarang?"Zoya kembali mengerucutkan bibirnya. Dia membuka gorden sedikit lalu berkata, "Aku mau lihat bintang dari atas balkon."Aldebaran mengikuti arah pandang Zoya dan mengerti, dia merasa kesepian."Ya udah, ayo!"Aldebaran membuka pintu kamar Zoya yangmengarah ke balkon. Zoya mengikutinya."Kamu mau teh chamomile, nggak? Teh ini sangat baik diminum sebelum tidur.""Hmm, ya, aku mau," jawab Zoya tersenyum."Tunggu di sini? Aku akan kembali secepatnya."Zoya meng
Tidak hanya Brisma—koki yang dipekerjakan keluarga Alexander, Aldo dan satu pelayan wanita terpana dengan kepandaian memasak Aldebaran. Aroma sup krim jagung memenuhi seluruh dapur."Kamu benar-benar pandai masak, Tuan Kells," kata Aldo, memperhatikan setiap gerakan Aldebaran."Jangan rendahin aku kayak gitu di depan Koki terkenal!" seru Aldebaran. Aldebaran menuangkan sup krim jagung ke mangkuk keramik putih. "Ayo dicoba!"Brisma, Aldo dan Maria mengambil sendok sup dan mencobanya.Suara menyeruput Brisma terdengar. Kedua matanya mengarah pada mangkuk di hadapannya."Kamu bahkan bisa buat sup krim jagung selezat ini, Tuan Kells!"Baik Aldo maupun Maria menoleh ke arah Brisma. Seorang koki handal seperti Brisma memuji Aldebaran? Sungguh kejadian yang langka!Aldebaran tersenyum. Lalu, berkata, "Thanks, Chef."Aldebaran langsung meletakkan mangkuk sup di atas nampan. Dia bersiap membawanya ke kamar Zoya."Aku mau anterin sup ini buat Nona Zoya. Katanya hari ini, dia nggak makan sama
Karena terlalu frustasi memikirkan Zoya, Aldebaran memutuskan untuk mandi. Setelah itu, dia mengobati luka yang ada di dada dan perutnya. Bagian terparah berada di wajah. Aldebaran meraih alkohol yang akan digunakan sebagai antiseptic dan kapas yangtersimpan di kotak obat berwarna putihtepat di atas wastafel. Dengan cekatan, dia mulai mengobati lukanya."Aarggh ...."Aldebaran mencoba menahan sakit yang di sekujur tubuhnya. Dia terus mengobati luka hingga ke bagian kaki."Bagian yang paling sakit bukan kepala karena dibenturkan ke dinding sama Tuan Sultan. Tapi hati aku jauh lebih sakit. Karena Zoya melihat pemandangan nggak menyenangkan.Aku takut dia depresi lagi."Aldebaran melihat pantulan dirinya sendiri di cermin besar. Terlihat beberapa luka memenuhi bagian perut.Saat itu juga, seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Uhh, siapa yang datang?"Dengan kaki yang masih sakit, Aldebaran berjalan pelan menuju pintu."Tuan Fernando?""Bisa saya masuk?""Silakan!"Aldebaran menutup p
Jantung Aldebaran berdebar-debar ketika Zoya mengatakan kalimat yang menurutnya ambigu. Benaknya melayang ke antah berantah. Namun dia tidak ingin kehilangan secuil harapan cintanya akan terbalaskan.'Zoya mau ngomong apa, sih?'"Kells, aku ... aku ...."Aldebaran melihat Zoya kesulitan berkata-kata. Dia menunggu dengan sabar. Berulang kali, Zoya menarik napas dalam-dalam. Namun tetap tidak membuahkan hasil. Suaranya tetap tidak keluar. "Entahlah," ujar Zoya pada akhirnya. Dia hendak berdiri dan melepaskan genggaman tangan Aldebaran. Tapi, Aldebaran tidak akan membiarkannya."Tunggu, Nona!" seru Aldebaran, mempererat genggaman tangannya dengan tangan Zoya."Eh?" Zoya tercengang melihat tangan Aldebaran yang menggenggam erat tangan kanannya. "A-apa? Lepasin!""Tangan ini ... tangan yang aku genggam ini, nggak akan aku lepasin."Dua pasang manik mata berwarna coklat bertemu. Perasaan saling memiliki yang mereka rasakan membuat keduanya terikat. Itu benar! Sebab, kita tidak akan per
Aldebaran memandang Zoya yang sedang memohon pada Sultan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Zoya terus menerus merengek pada ayahnya. Terlihat kesedihan di raut wajah cantiknya. Aldebaran sangat tidak tega menyaksikan itu. Namun, dia tidak memiliki kuasa apapun di kediaman keluarga Alexander."Pa, Papa tahu apa yang udah dilakukan Kells untukku?" Dengan nada tinggi, Zoya mencoba meyakinkan Sultan.Aldebaran tahu, Zoya mulai frustasi dengan apa yang terjadi. Itu sebabnya, dia mencoba menenangkan Zoya agar tidak tersulut api emosi. "No-Nona ...." Aldebaran mengulurkan tangannya ke arah Zoya.Sultan dan Zoya menoleh bersamaan. "Ya?" Zoya segera melepaskan tangannya dari Sultan dan bergegas menghampiri Aldebaran. "Kells, kamu terluka parah!""Nona, tahan diri kamu! Jangan membantah Tuan Sultan! Biar gimanapun Beliau adalah orang tua Anda," ujar Aldebaran pelan. Dia menahan perih di sekujur tubuhnya yang dipenuhi luka."Pa, panggil Dokter untuk mengobati Kells," pinta ZoyaZoya
Brak!Sultan memukul sisi pinggir kursi yang didudukinya sambil berdiri. Kedua matanya bergantian menatap Aldebaran dan Keenan."Apa itu benar, Kells?" tanya Sultan dengan tatapan intimidasi.Aldebaran berhenti memukuli Keenan dan mengutuknya. 'Sial! Si pria tua ini mulai menjerumuskan aku!'Tap tap tap!Sultan berjalan cepat menghampiri Aldebaran dan mendorongnya ke dinding.Buk!Aldebaran tidak bisa mengelak lagi karena serangan Sultan begitu kuat. Sultan meraih kepala Aldebaran, lalu membenturkannya ke dinding beberapa kali. Matanya merah dan begitu juga dengan wajahnya. Sultan menggerakkan giginya dan berkata, "Apa yang mau kamu jelasin pada saya? Hah? Kamu benar-benar menguji kesabaran saya!"Sultan menghajar Aldebaran habis-habisan. Karena rasa bersalah yang begitu besar terhadap keluarga Alexander, Aldebaran tidak membalas perlakuan Sultan padanya."Pria kurang ajar! Saya sudah salah menilai kamu!" teriak Sultan lantang."Bu-bukan cuma itu, Tuan. Nona Zoya pun telah berada di