Sosok yang mulanya berjalan sekitar 20 langkah dari Julia, mendadak semakin dekat saja dengannya. Julia tidak ingin berpikiran buruk dan menuduh yang tidak-tidak kepada orang yang mengenakan jaket bertudung di atas kepala.
Akan tetapi sebenarnya, Julia merasa ada sedikit yang mengganjal pikirannya. Menurut Julia, penampilan orang itu memang terlihat sedikit aneh dan tidak cocok di pertengahan musim panas seperti sekarang. Mengapa ia harus memakai jaket tebal seperti itu?
Julia tak mengetahui seperti apa wajah orang yang berjalan di belakangnya, sebab sosok misterius bertudung itu terus menundukkan kepala dan terlihat sangat menakutkan di mata gadis Peterson yang sedari tadi memperhatikan.
Itu sikap yang wajar ditunjukkan olehnya. Ia hanya bersikap lebih berhati-hati saja, sebab ini adalah zaman di mana kejahatan merajalela.
Terlebih lagi di zaman seperti inj, kita tak tahu apa yang orang lain pikirkan bukan? Entah itu baik atau buruk.
Julia kembali melangkah dengan kecepatan sedang, tak ingin terlalu lambat ataupun cepat. Dalam hati ia berharap, semoga apa yang terbayang di kepalanya hanyalah ilusi semata.
"Halo." Julia tersentak di tempat saat ada suara yang menyapa. Ketika ia menoleh, jantungnya langsung berdegup kencang hingga terasa sakit di relung dadanya. Orang yang berjalan beberapa meter darinya itu, kini sudah berada di belakangnya—sambil tersenyum lebar.
Tidak, Julia salah. Itu jelas bukan wajahnya.
Sosok misterius itu mengenakan topeng dari salah satu tokoh film terkenal di masanya—Joker. Memang tak terlalu mengerikan, hanya saja Julia merasa ada sesuatu yang memancing ketakutan tak berdasarnya ketika ia memandang topeng itu.
Perasaan yang mampu membuat sang gadis bergidik ngeri.
"I-iya?" sahut Julia. Untuk kesopanan, setidaknya ia harus menanggapi sapaan orang asing tersebut. Gadis itu pun mundur beberapa langkah, menjaga jarak aman dari orang tak dikenal.
Sosok itu diam, tak terlihat apa yang ingin ia lakukan atau sedang berekspresi apa di dalam sana sebab wajahnya tertutup oleh topeng. Julia bahkan tak tahu apa orang di depannya ini sedang tersenyum atau tidak.
"Saya hanya ingin minta tolong sebentar saja," jawab orang asing tersebut seraya melangkah mendekat, Julia pun kembali mundur selangkah demi selangkah secara hati-hati.
"Minta tolong apa?" tanyanya lagi. Perasaan gadis itu tiba-tiba memburuk. Firasatnya mendadak berubah tidak enak, dan ia tidak tahu mengapa.
"Tolong...." Ungkap sosok itu dengan suaranya yang terdengar sedikit serak. Julia mengerutkan kening dan memasang sikap waspada. Netra cokelat yang tajam milik sang gadis kelahiran Luksemburg memperhatikan gerak-gerik orang yang berdiri di depannya dengan saksama.
Tiba-tiba, secara tidak terduga orang itu merogoh sesuatu dari dalam jaketnya dan mengeluarkan pisau besar yang langsung ia arahkan pada Julia yang refleks berkelit dan mundur ke belakang.
Gadis itu terbelalak di tempat, syok dibuatnya.
"Kenapa menghindar?" tanya sosok mengerikan tersebut, ia terkekeh melihat ekspresi gadis di depannya.
Julia merasa suaranya tercekat, tertahan di tenggorokan. Belum lagi, lidahnya mendadak kelu saat menatap bola mata cokelat terang yang menatapnya dengan tatapan tajam. Gadis itu dapat merasakan seluruh bulu di tubuhnya meremang.
"Si-siapa kau? Kenapa mengikutiku?" Julia kembali mundur secara perlahan seraya mengawasi pergerakan orang di depannya. "Apa maumu?"
"Aku? Aku bukan siapa-siapa dan memang sudah tugasku mengikutimu. Dan ... aku hanya ingin minta tolong saja denganmu," jawabnya. Sosok yang dari suaranya sudah jelas seorang pria itu kembali terkekeh, sebelum melanjutkan ucapannya, "tolong bantu aku ... mencoba ketajaman pisau ini!"
"AAA!" Julia menjerit saat pisau besar yang biasa digunakan untuk memotong daging di arahkan tepat kepadanya. Spontan ia menghindar dengan gerakan cepat. Ia terus mundur ke belakang. "Apa yang kau lakukan!?" teriak Julia di depan sang penguntit.
"Menajamkan pisau ini, apa lagi?"
Sosok itu kembali mengarahkan pisau kepada Julia dan mengayunkannya dengan cepat. Julia yang ketakutan bergegas lari meninggalkan tempat itu. Peluh bercucuran dari kening Julia hingga membasahi lehernya yang putih. Bibir gadis itu memutih, pucat laksana kertas.
Ini tidak bagus, ia harus lari secepat mungkin.
Sosok asing dan memegang pisau memang tidak mengejar Julia seperti yang sebelumnya gadis itu pikirkan, tetapi dapat Julia rasakan bahwa sosok itu sedang mengawasi gadis yang tengah berlari dengan paniknya.
Julia terus berlari, seraya memaki—sebuah kebiasaan baru selama beberapa waktu ini ketika marah menguasai—jalan yang terasa sangat panjang di dalam hati.
Hingga gadis itu melihat jalan keluar di ujung sana, wajahnya yang sudah memucat langsung berseri, tetapi ia tak boleh senang begitu saja. Sebab ia masih diikuti.
Julia menoleh ke belakang dan langsung terbelalak ketika sosok itu mulai mengejarnya. Mula-mulanya pria bertopeng itu melangkah lambat, lalu kecepatannya bertambah hingga ia hampir mencapai Julia. Gadis itu benar-benar panik dan ketakutan saat orang aneh itu mengarahkan pisau lagi ke arahnya.
Julia melihat sebuah taksi berwarna kuning terparkir di dekat jalan keluar gang. Ia langsung mengucap syukur dalam hati.
Begitu keluar dari dalam gang, Julia lantas masuk ke dalam taksi dan menghirup udara sebanyak-banyaknya bahkan terkesan rakus. Napasnya yang terengah-engah membuat sang sopir bertanya dengan keheranan, "Ada apa, Dik?"
"Hhh ... tak apa. Hhh, ja-jalan dulu saja, Pak."
Julia menyentuh tangannya di dada, jantungnya berdetak sangat cepat. Ia meringis, lalu menyeka keringat dengan punggung tangan. Gadis itu lalu membenarkan posisi duduknya dan menolehkan kepala ke belakang.
Hanya untuk melihat apa yang dilakukan pria gila yang tiba-tiba saja menyerangnya.
Sosok itu berhenti mengejar Julia, ia berhenti sebelum mencapai jalan keluar dari gang. Awalnya Julia merasa lega, karena terhindar darinya. Akan tetapi, ketakutan Julia yang semula reda kini muncul kembali saat sosok itu melambaikan tangan kepadanya.
Julia melotot tajam.
Awalnya pria yang mengenakan tudung jaket itu hanya melakukan gerakan melambai biasa, tetapi kemudian berubah menjadi gerakan menggorok leher menggunakan pisau di tangannya.
Sontak saja, Julia memutar tubuh dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Keringat kembali membasahi sekujur tubuhnya.
Hampir, hampir saja dia menjadi korban amukan dari pisau jagal itu. Julia menangis di tempat duduknya.
"Dik, hendak pergi ke mana?" Pertanyaan sopir taksi membuyarkan lamunan Julia, gadis itu langsung menyeka air matanya yang mengalir jatuh. "Lurus saja dulh, Pak," jawabnya dengan suara serak. Sopir itu mengangguk dan kembali menatap lurus ke depan.
Sebenarnya, lelaki paruh baya itu tak tahu apa yang terjadi kepada penumpangnya. Ia hanya tahu bahwa gadis itu masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, seperti ada sesuatu yang mengejarnya.
Akan tetapi, ia tak punya hak untuk bertanya masalah pribadi penumpangnya yang kini menangis di kursi belakang. Tugasnya hanyalah mengantar gadis malang itu menuju alamat yang baru saja dikatakan oleh sang gadis berambut cokelat.
Sementara itu, Julia menahan isak tangisnya agar tidak keluar dan menganggu konsentrasi sang sopir taksi. Ia masih dilanda ketakutan yang teramat sangat.
Mengapa Julia diganggu orang aneh? Apa salahnya? Mengapa dia yang harus mendapat ketidakberuntungan seperti tadi?
Gadis itu mengusap hidungnya yang memerah dan berair. Pipinya basah.
Tak seharusnya ia menangis di saat ia sudah selamat dari maut. Orang itu berniat mencelakainya. Ia tahu itu.
Julia lalu memeriksa tas dan melihat isinya. Beruntung, sewaktu ia lari tadi ia sama sekali tidak melepas pegangannya pada tas berwarna abu-abu yang kini berada di pangkuannya.
Julia lalu mengambil ponsel dan mencari nama Jacob di daftar kontak, ia berniat menghubungi pria itu dan menceritakan pengalaman buruknya. Barangkali, rasa takutnya akan sedikit hilang setelah berbagi dengan sang kekasih. Namun, setelah berpikir selama sesaat, gadis itu mengurungkan niatnya.
Julia tidak ingin Jacob khawatir padanya.
"Dik." Julia mengangkat wajah dan melihat sebuah kotak tisu disodorkan di hadapannya, sopir taksi yang masih menatap ke depan kembali berucap, "Ambil ini dan hapuslah air matamu."
Julia mengulum senyum haru, ia mengangguk dan mengambil beberapa lembar tisu dari sopir yang baik hati. "Terima kasih banyak, Pak."
"Saya memang tidak tahu apa yang kau alami, tapi setidaknya saya tidak ingin kau bersedih."
Maka pecahlah tangisan Julia, gadis itu menutup wajah dan terisak sebentar di sana. Hingga kemudian ia mengusap wajah dan mengangguk mantap. "Ba-baik, terima kasih."
Julia bersyukur, setidaknya masih ada orang-orang baik yang peduli kepadanya di situasi buruk seperti sekarang.
+++
Setiba di rumah, Julia langsung bergegas naik dan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ia menutup pintu kamar berwarna cokelat itu rapat-rapat, seolah tidak ingin ada seorang pun yang menganggunya di sana.
Gadis itu hanya ingin menenangkan pikirannya selama beberapa waktu, sebelum ia siap menghirup udara dari dunia bebas lagi.
Julia benar-benar syok terhadap apa yang dialami olehnya, dan itu sangat mengerikan.
Bayangan ketika orang aneh itu melayangkan pisau besar kepadanya sungguh membuat Julia tidak akan pernah bisa melupakannya.
Untuk sekarang, biarlah dia menunggu waktu berlalu hingga ia memiliki keberanian untuk keluar dari rumah.
+++
Julia benar-benar tidak keluar dari rumah selama beberapa hari. Hal itu menimbulkan kekhawatiran dari papa dan mamanya yang baru saja pulang dari negara tirai bambu untuk urusan bisnis.
Gadis itu memang keluar dari dalam kamar, tetapi hanya sekadar untuk mengisi perutnya saja. Jelas itu membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Meggan kepada putrinya di hari ketiga sejak Julia mengalami kejadian mengerikan. Julia dengan cepat mengangguk, dan menjawab, "Tentu saja aku baik, Ma. Tidak perlu khawatir."
Terang saja jawabannya itu membuat Meggan menghela napas panjang. Meggan lalu mengelus surai cokelat sang anak kesayangan dengan penuh kelembutan.
Anaknya memang sudah tiga hari tidak masuk ke sekolah, meski mereka sudah membuat keterangan bahwa Julia sedang sakit, tetapi tetap saja Meggan harus tahu alasan apa di baliknya.
"Jika ada sesuatu yang menganggumu, katakan dan berterus teranglah kepada kami, Sayang."
Julia yang sedang menggigit roti tawar, terdiam seketika. Dengan gerakan lambat, ia mengangguk. "Baik, Ma," jawabnya.
"Aku sudah selesai." Louis yang sudah menyelesaikan sarapannya beranjak dari kursi. Julia memperhatikan punggung kakaknya yang mulai menjauh. "Kak Louis tidak bekerja, Ma?" tanyanya kepada Meggan yang sedang mengoleskan selai nanas di roti.
Meggan menjawab, "Dia tidak ingin lagi bekerja mengurus restoran yang pernah Papa berikan dulu padanya."
Julia yang telah menghabiskan sarapannya, lantas meraih segelas susu. "Kenapa Kakak tidak mau? Bukankah sejak dulu Kakak ingin bekerja mandiri ya?" tanya Julia seraya meminum susunya.
Meggan menggeleng, ia sendiri juga tidak tahu alasan pasti mengapa anak sulungnya berhenti bekerja di restoran. Namun, ia tahu apa keinginan Louis yang sebenarnya.
"Ya, sudah, Ma. Aku naik lagi ke atas. Bye, Mama."
Julia menaiki anak tangga dengan cepat, menyisakan pandangan heran dari sang mama yang memandang kepergiannya.
+++
Jacob memandangi ponselnya dengan tatapan sendu. Kekasihnya—Julia—selama beberapa hari ini tidak bisa dihubungi. Sulit baginya mendapat kabar dari sang gadis jika pesannya saja tidak dibaca oleh Julia.
Ingin mendatangi sang kekasih, tetapi sayangnya ia tidak tahu di mana rumah Julia. Jacob merasa gagal menjadi kekasih yang baik untuk gadis itu.
"Kak, apa kau sibuk?"
Jacob menolehkan kepalanya ke muka pintu kamar dan mendapati adik laki-lakinya tengah berdiri dengan menyandarkan punggung di sana. "Kak, ayo kita pergi makan-makan di luar," ajak Javier sambil menunjukkan dompetnya.
Jacob menghela napas sesaat sebelum menjawab, "Baiklah."
Untuk sekarang, ia hanya perlu menunggu sang kekasih memberinya kabar walau hanya satu pesan saja.
"Hoi, Javier tidak belajar ya? Bukankah bulan depan dia ujian?" Javier yang baru saja datang dari minimarket dengan membawa empat botol soda di tangannya, langsung tertawa geli saat mendengar pertanyaan teman masa kecilnya—Mark. "Untuk apa belajar?" tukas Javier terdengar meremehkan. Mark seketika tergelak begitu mendengar ucapan sang sahabat, sedangkan Jacob hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya. "Belajar itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri saja," ucap Javier lagi seraya terkekeh geli, membuat Daniel yang duduk di sebelah Jacob memukul punggung lelaki itu sambil mengeluarkan gelak tawa yang keras. "Adikmu sudah gila rupanya. Hahahaha." Javier lantas memberikan minuman kepada masing-masing orang, lalu duduk sembari membuka minumannya. "Kudengar kau berhenti dari pekerjaanmu sekarang, kenapa?" tanya Javier tanpa menunjuk dan memandang siapa-siapa. Saat Javier sedang bersiap-siap meneguk sodanya, Mark melayangkan pertanyaan. "Kau bertanya kep
Julia yang sudah pulih dari ketakutannya yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan berlebih itu mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Gadis itu kembali masuk ke sekolah seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya, dan itu membuat Hana—sahabatnya—merasa sangat bahagia. Tentu saja, apa yang terjadi kepada Julia waktu itu memang sangat menakutkan, tetapi hidup harus terus berjalan. Tak sepantasnya rasa takut itu menjadikan segalanya bertambah semakin buruk dengan tak masuk ke sekolah selama berhari-hari."Julia, kau kemana saja beberapa hari ini?" tanya salah seorang gadis begitu Julia mendudukkan dirinya di atas sebuah kursi kelas. Disusul oleh pertanyaan serupa lainnya dari teman-teman sebaya."Julia, kau sakit?" tanya Melia. Yang disusul pertanyaan serupa dari kembarannya—Mesia. "Ya, kau terlihat pucat. Sakit apa kau, Julia?""Kenapa kau baru datang ke sekolah hari ini, Julia? Minggu depan kita kan sudah ujian," ucap Nancy."Iya! Tugas dan catatan kita ada banyak sekali! Untunglah, p
Julia memandangi kertas yang berada di dalam genggaman tangannya dengan saksama, gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas kusam bertinta emas. Julia lantas meniup debu yang mungkin saja menempel di kertas pudar tersebut, berharap tulisan di atasnya dapat terlihat dengan jelas. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi, tulisannya masih tetap tak terlihat dan itu membuat Julia sedikit merasa kesal. Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan kebersihannya hanya untuk mencari tahu asal usul dari benda yang membuatnya penasaran. Julia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa bertangan yang berwarna krim dan mendudukkan bokongnya di sana dengan nyaman. Sejenak, Julia meluruskan dulu kakinya yang dipaksa berdiri beberapa jam saat bersih-bersih tadi. Gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi d
Semenjak kejadian lucu di taman hiburan Gloove World dan kehangatan yang diberikan oleh Jacob berupa kecupan di kening dan bibirnya, Julia jadi sibuk mempersiapkan acara yang akan diselenggarakannya setelah pengumuman kelulusan. Acara itu rencananya akan berlangsung minggu depan, tetapi persiapannya sudah dimulai sejak sekarang. Gadis itu berniat mengundang seluruh teman-teman di sekolahnya dan juga teman-teman bermainnya sewaktu kecil. Pesta itu bertujuan agar tidak ada seorang pun temannya yang akan melupakan kebaikan gadis Peterson selama mengenal sang gadis. Perayaan ini jelas bukan keinginan Julia, mustahil gadis itu melakukannya. Semua ide pesta ini murni dari buah pikiran sang mama. Di sela-sela kegiatannya dalam mempersiapkan pesta, Julia terbayang wajah tampan kekasihnya—Jacob. Baru tiga hari berselang sejak keduanya berpisah dari taman hiburan, Julia sudah sangat merindukan pria berbibir penuh itu. Sepintas ide pun lewat di kepalanya, membuat sang gadi
Julia benar-benar telah melupakan kekecewaan yang ia rasakan kepada sang mama. Buktinya di pagi hari ini saja, gadis itu menyapa semua anggota keluarganya dengan riang gembira. Bahkan, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi masing-masing anggota keluarganya. Meggan yang awalnya berpikir sang anak kesayangan masih marah terhadapnya dan akan kembali membahas masalah kemarin di meja makan, sedikit terkejut melihat keceriaan yang ditampakkan oleh Julia. Seolah tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka sebelumnya. Charlie yang tak tahu mengapa Julia begitu bersemangat hari itu hanya tertawa. Julia begitu menggemaskan, seolah tak punya beban pikiran. Putri kecilnya memang sangatlah manis. Charlie bangga kepadanya. Berbeda dengan reaksi kedua orang tuanya terhadap kehangatan yang diberikan oleh Julia berupa kecupan singkat di pipi, Louis tampak risih dengan bekas bibir sang adik yang ada di pipi sebelah kanannya. Menurut Louis gadis berusia 18 tahun itu tak pantas bers
Jantung yang terus berdetak kencang mengantarkan perasaan aneh di dada Julia, napasnya menderu atas sebuah alasan yang tidak diketahui penyebabnya setelah mereka selesai menonton film. Ada rasa panas yang terus menggelayutinya, membuatnya bergejolak, penasaran. Bagian tubuh lainnya terasa panas, membuatnya duduk dengan gelisah. Gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindari tatapan mata sang kekasih yang akan semakin membuatnya berpikiran macam-macam. Mata cokelat gelap yang mampu membuat Julia tenggelam begitu dalam, dan sulit untuk kembali naik ke permukaan. Mata Jacob sungguh menghipnotis Julia! Kelopak matanya yang tidak sipit, dan tidak juga tebal terlihat pas dengan mata setajam elang. Alis ulat bulunya yang rapi, serta bulu mata yang panjang dan lebat. Semua membuat Julia luluh. Padahal dia sudah berguru kepada Hana! Agar tidak gugup di saat seperti ini. Ketika dia hanya berduaan saja dengan pria seksi yang tampan, tetapi apa mau dikata ... Ju
Kejadian yang menurut Julia begitu memalukan tersebut, agaknya membuat sang gadis menjadi sedikit pendiam ketika ditanya ada apa dengan sikapnya yang mendadak berubah siang hari itu. Jacob sendiri, sempat dibuat kebingungan saat ia menanyakan Julia ingin makan apa. Gadis itu hanya diam saja seraya mengetik sesuatu di ponselnya. Begitu selesai, sang gadis menunjukkannya kepada Jacob. Tulisan yang berbunyi, 'Aku tidak lapar' itu membuat Jacob batal membuatkan makanan istimewa untuk sang gadis. Ini semua terjadi setelah insiden di dalam kamar. Awalnya Jacob hanya berkeinginan untuk meminta sang kekasih untuk geser sedikit ke sebelah kiri, sebab gadis itu menghalangi pintu lemari pakaiannya dan Jacob jadi kesulitan mengambil baju dari lubang yang tercipta di depan lemari. Bahkan hingga kedatangan sang kekasih di rumahnya sekali pun, Jacob tak sempat memasang kaca untuk menutup lubang yang terletak di belakang Julia—pada saat kejadian di mana ia meminta sang gadis untuk ming
Jacob menggenggam erat tangan sang kekasih yang berbaring di depannya, tatapan penuh cinta dilayangkan Julia, membuat perasaan sang lelaki menghangat. Kasih sayang Julia memberi harapan kembali dalam hidupnya, Julia bagaikan cahaya yang menyinari langkahnya. Membawanya dari tempat gelap, ke tempat yang terang benderang. Mereka saling bertatapan, tidak ada yang berkedip selama beberapa saat di antara keduanya. Hingga akhirnya Julia tersenyum lucu dan disusul oleh Jacob yang tak tahan lagi, tak lama kemudian mereka berdua pun tertawa lepas bersama-sama. "Sayang, kau kalah!" Julia tertawa bahagia ketika melihat Jacob adalah orang terakhir yang mengedipkan mata. Itu berarti, gadis bersurai cokelat lah yang memenangkan pertandingan menatap tanpa berkedip. "Nanti traktir aku es krim!" Jacob tergelak sesaat, tak kuasa menahan tawa. Gadisnya memang sangatlah menggemaskan. Ia langsung mencubit hidung Julia dengan gemas. "Apa pun untukmu, Tuan Putri," bisik Jacob penuh perhatian.