Julia memandangi kertas yang berada di dalam genggaman tangannya dengan saksama, gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas kusam bertinta emas.
Julia lantas meniup debu yang mungkin saja menempel di kertas pudar tersebut, berharap tulisan di atasnya dapat terlihat dengan jelas. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi, tulisannya masih tetap tak terlihat dan itu membuat Julia sedikit merasa kesal.
Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan kebersihannya hanya untuk mencari tahu asal usul dari benda yang membuatnya penasaran. Julia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa bertangan yang berwarna krim dan mendudukkan bokongnya di sana dengan nyaman.
Sejenak, Julia meluruskan dulu kakinya yang dipaksa berdiri beberapa jam saat bersih-bersih tadi.
Gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi dan tanda tangan yang lagi-lagi ditemukan telah pudar.
"Dokumen, adopsi a ... nak?" Julia terlihat kebingungan ketika membaca kertas kusam di tangannya, ia bahkan mengejanya dengan lambat. "Dokumen adopsi anak? Apa maksudnya?" Gumam sang gadis keheranan.
Julia lalu mengusap lembaran dokumen itu perlahan, terlalu perlahan seolah benda itu sangat rapuh, barangkali tulisannya akan muncul atau terlihat sedikit jika ia melakukan hal itu.
Benar saja, setelah gadis itu mengusapnya dengan hati-hati tulisan di dokumen pun mulai terlihat sedikit.
Tak semua tulisan dapat terlihat, tetapi cukup bagi Julia untuk menghilangkan rasa penasarannya terhadap dokumen yang tidak diketahui pasti apa fungsi awalnya.
Julia menghela napas lega ketika tulisan di dokumen sudah terlihat jelas sekarang. Meski, ada bagian yang tidak bisa dibersihkan dan Julia pun pada akhirnya hanya bisa membiarkannya saja daripada bersusah-susah.
"Mari kita baca," monolog sang gadis seraya mengangkat selembar dokumen usang itu tinggi-tinggi.
"Dokumen Pemindahan Hak Anak Dari Keluarga Stone. Hah, apa ini?" tanya Julia kepada diri sendiri setelah membaca judul dari dokumen itu, yang sayangnya, ia sendiri pun tidak tahu apa jawabannya.
Julia tak mengetahui siapa itu keluarga Stone, mungkinkah itu teman Papa dan Mama? Apakah Stone adalah nama marga dari keluarga itu? Marga yang aneh, pikirnya. Artinya jelas-jelas adalah batu. Julia tak mengerti, dan ia memilih untuk kembali membacanya saja.
"Atas nama ... Stone, diserahkan kepada ...."
Akan tetapi, yang membuat sang gadis gemas sendiri ketika membacanya adalah dokumen itu memiliki lembar kertas yang begitu tipis, sehingga Julia harus berhati-hati saat menyentuh dan mengangkatnya.
Belum lagi ada sebagian tulisan yang tidak bisa dibaca olehnya karena sudah lama pudar dan benar-benar sulit untuk dibersihkan.
"Siapa itu keluarga Stone? Kenapa dokumennya bisa ada di rumahku ...." Bisik Julia keheranan, karena tak kunjung juga menemukan jawaban, akhirnya sang gadis menyimpulkannya sendiri di dalam kepala.
Padahal ia telah berpikir selama beberapa saat, tetapi ia tetap tak bisa memecahkan dokumen apa dan dengan tujuan apa bisa ada di rumahnya.
Julia yang menyerah mencari tahu pun akhirnya memilih untuk mengembalikan dokumen tersebut kembali ke tempatnya, yaitu di dalam buku ensiklopedia bebas bersampul merah.
Akan tetapi, lagi-lagi selembar kertas usang yang sudah sobek kembali jatuh dari dalam buku dan berhasil membuat Julia berdecak karena kesal. "Apa lagi ini?" tanyanya.
Dengan sedikit penasaran dan kesal, Julia pun membuka lembar demi lembar buku tersebut dan menaruh lembaran sobek buku di dalamnya. Di saat penyusunan halaman itu, tak sengaja ia menemukan selembar dokumen usang yang lagi-lagi terselip di tengah-tengah halaman.
Juga sebuah foto yang di dalamnya terdapat potret diri dari dua orang anak perempuan yang sedang duduk bersebelahan. Julia kembali mengernyitkan kening. Sebuah foto lama milik siapa ini? Tanyanya dalam hati, yang tak kunjung mendapat jawaban.
Julia kembali memperhatikan dokumen yang kembali ia temukan, kali ini tulisannya terlihat cukup jelas daripada yang ia temukan sebelumnya.
Di sana tertulis, akta kelahiran.
"Kenapa dokumen sepenting ini bisa ada di dalam sini?" tanya Julia penasaran.
Mungkinkah buku ensiklopedia berukuran besar yang terselip dokumen-dokumen penting di dalamnya itu adalah milik orang lain, yang entah dengan cara apa bisa ada di rak bukunya?
Julia lalu melihat foto di tangan kirinya. Dua wajah berseri yang cantik milik anak-anak perempuan di dalam foto tersebut membuat Julia tersenyum. Sepertinya mereka kakak-beradik, pikir Julia dalam hati.
Memandang foto lama orang lain membuat perasaan Julia tiba-tiba saja menghangat. Apa pun itu, pastilah dokumen-dokumen yang ia temukan ini adalah milik salah satu dari anak di dalam foto.
Merasa tugas bersih-bersihnya terabaikan, membuat sang gadis buru-buru mengembalikan dokumen dan foto asing tersebut ke dalam buku dan menaruhnya kembali di tempatnya yaitu di lemari tua.
"Julia Sayang, apa kau sudah selesai membersihkan ruangan ini?" Suara keibuan dan penuh kelembutan menyapa indra pendengaran Julia. "Jika sudah, tolong bantu Mama membersihkan dapur ya."
Gadis yang dipanggil namanya pun menoleh ke arah pintu masuk, di mana di sana berdiri Meggan—sang mama sambil tersenyum manis kepada putri kesayangannya. Julia balas tersenyum kepada sang mama.
"Sedikit lagi selesai, Ma. Mama duluan saja ya, nanti Julia akan menyusul Mama ke dapur," ucapnya sembari mengedipkan sebelah mata, yang langsung membuat sang mama tertawa geli.
"Baiklah, cepat ya, Sayang. Setelah ini Papamu mau mengajak kita jalan-jalan sekeluarga," ucap Meggan seraya berlalu meninggalkan ruangan di mana anaknya berada.
Julia menganggukkan kepalanya dengan patuh, tanpa menoleh gadis itu pun menjawab, "Baik, Ma!"
+++++
Setelah pulang dari acara jalan-jalannya bersama keluarga, Julia bergegas membersihkan dirinya sekali lagi dengan cara mandi.
Gadis itu mendapat ajakan kencan lagi oleh sang kekasih. Bersyukur Julia telah sedikit bebas dan punya banyak waktu karena ujiannya berjalan dengan baik. Ya, ujiannya sudah selesai.
Oleh karena itu, mengabaikan letih yang ia rasa sebab baru saja pulang dari mall, Julia bersiap-siap untuk bertemu Jacob di taman bermain.
Sang kakak—Louis, memperhatikan adiknya yang tengah mematut diri di muka cermin. Pintu kamar yang terbuka lebar membuat Louis yang kebetulan lewat di depan kamar dapat melihatnya dengan jelas, bagaimana tingkah sang adik yang kini sedang berputar dengan riangnya di depan cermin.
Louis pun masuk ke dalam kamar adiknya, ia lalu menyandarkan punggung besar dan lebarnya di dinding kamar, dan menatap datar sang adik.
"Mau kemana?" tanya Louis, sekadar berbasa-basi. Julia yang sedang memasang anting di telinga kirinya, sontak tersentak dan menolehkan kepalanya ke belakang. "Ah, Kak Louis," ucapnya sambil tersenyum.
"Aku akan ke Gloove World, Kak," ucap Julia lagi seraya menunjukkan tiket masuk ke tempat wisata itu. Louis mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti.
"Cepatlah pulang, dan jangan terlalu sore." Selepas mengatakan itu, Louis pun berangsur pergi meninggalkan kamar adiknya dan Julia pun langsung merapikan riasan di wajahnya sebelum meraih tas selempang dan melangkah keluar dari dalam kamar dengan riang gembira.
+++++
"Kita hendak pergi ke wahana apa dulu yang pertama?" Tanya Jacob seraya meraih tangan kanan sang kekasih, Julia tampak berpikir sebentar, sebelum berkata, "Kita ke wahana rumah hantu saja."
"Oke." Jacob tersenyum dan membawa Julia pergi ke wahana permainan yang dimaksud.
Gloove World adalah tempat wisata yang menyediakan banyak sekali permainan dan atraksi interaktif dari para petugas taman hiburan tersebut. Taman hiburan yang dibangun sejak tahun 20xx ini begitu populer di kalangan masyarakat luas.
Salah satu wahana permainan di sana yang menarik perhatian sepasang kekasih dengan tinggi badan yang jauh berbeda adalah Gloove Horror. Julia penasaran dengan pertunjukan dan suasana seram di dalam tempat yang dibuat menyerupai rumah sakit terbengkalai itu.
"Kalau kau takut, berpegangan saja padaku," pesan Jacob kepada Julia.
"Aku tidak takut hantu kok," jawab Julia percaya diri, dan membuat Jacob mengacak-acak poni sang gadis sampai berantakan. "Ahh, jangan! Rambutku jadi berantakan kan!"
Jacob hanya tertawa renyah. Betapa lucunya kekasihnya ini.
"Ayo, masuk." Jacob pun menarik pergelangan tangan sang kekasih dengan lembut, keduanya lalu memasuki Gloove Horror dengan perasaan senang.
Mulanya saat masuk ke dalam wahana Gloove Horror, Julia merasa biasa saja. Suasananya memang persis seperti rumah sakit yang telah lama ditinggalkan. Lantai yang kotor, lampu dengan cahaya redup, kaca penuh debu dan lain sebagainya.
Belum lagi ketika mereka berdua melewati deretan kamar pasien, kondisi yang sunyi dan udara yang lembap di lorong rumah sakit wahana itu memaksa Julia untuk sedikit merasa takut. Terdengar derit roda yang berasal entah darimana, Julia bergidik saat mendengarnya.
"Psst, kudengar wahana ini dibuat dari peralatan rumah sakit yang memiliki sejarah berhantu yang asli." Ucapan Jacob membuat Julia terbelalak. "Ja-jadi? Di sini akan ada hantu yang muncul?" tanya Julia takut-takut. Ekspresinya yang sebelumnya biasa saja, kini mendadak memucat.
Jacob tak bisa mengontrol ekspresi di wajahnya untuk tidak tertawa begitu melihat tingkah polos sang kekasih. "Tidak, aku hanya bercanda," ucapnya yang langsung mendapat cubitan kesal dari Julia.
Mereka lalu meneruskan perjalanan seraya memasuki tiap bangsal dengan langkah-langkah kaki yang lambat.
"Sayang, kau takut?" tanya Jacob sambil tersenyum lucu. Julia menggeleng cepat. "Aku tidak!" Ucapnya panik.
"Kau takut kan? Tenang saja, sebentar lagi hantunya akan muncul ...."
Perkataan penuh godaan dari kekasihnya itu membuat Julia merasa kesal, ia memukuli punggung Jacob beberapa kali dengan gemas. Hingga ketika mereka berdua melewati sebuah kamar tanpa pintu, keduanya dikejutkan oleh sesosok bertopeng dan pakaiannya berdarah-darah.
Sosok dengan penampilan yang mengerikan itu berusaha menggapai Julia dengan tangan yang dilumuri darah segar.
"HUWAAA!" jerit Julia dengan sangat nyaring. Sang gadis yang panik lantas mengambil tas selempangnya dan memukulkannya kepada sosok yang telah berani mengejutkannya dengan penampilan seram seperti itu, sampai sosok itu terjatuh.
"MINGGIR, HUWAA!" Julia terus memukul sosok yang merupakan salah seorang dari staf wahana Gloove Horror tersebut dengan tasnya. Tak peduli jika sang staf mengiba dan memohon ampun darinya dari atas lantai.
"Julia, tenanglah!" seru Jacob berusaha menghentikan sang gadis dengan cara menarik Julia ke dalam pelukannya.
Ketika gadis yang berstatus kekasihnya itu sudah tenang, staf yang memakai kostum pembunuh berantai di film thriller 'Jigsaw' tersebut segera berlari meninggalkan mereka.
Hal itu langsung membuat Julia dan Jacob dipanggil oleh petugas taman hiburan tersebut, atas tuduhan penganiayaan.
"Saya terkejut! Karena itu dengan refleks saya memukulnya!" terang Julia di hadapan manajer Gloove World yang meminta keterangan dari gadis yang kabarnya telah memukul salah seorang karyawan mereka.
Setelah perundingan selama beberapa jam, akhirnya mereka berdua dipinta oleh sang manajer Gloove World untuk pulang saja ke rumah dan kembali ke sana lain hari.
Jelas saja hal itu membuat Julia kesal. Kencannya yang seharusnya menyenangkan, malah berakhir merusak suasana hatinya.
"Maaf," ucap Jacob tidak seperti penyesalan. Pria itu malah tertawa begitu melihat ekspresi Julia. "Lain kali, jangan asal pukul wajah seseorang ya, Sayang."
Julia berdecak kesal, wajahnya tampak merah padam karena malu. "Aku tidak memukul wajahnya! Itu semua refleks!"
Lagi-lagi Jacob tertawa, suara gelak tawanya yang khas sontak membuat beberapa gadis yang lewat di dekat mereka dibuat terpana selama sesaat, dan Julia yang kebetulan melihat itu semua merasa panas dingin.
"Berhentilah tertawa!"
Jacob terkekeh. "Kenapa harus berhenti?" tanyanya.
Julia menggelengkan kepalanya dengan cepat, suasana hatinya makin memburuk saja. "Tak apa! Lupakan saja!"
Tanpa disangka, Jacob meraih tangan Julia dan membawa gadis itu ke dalam pelukan. Secara perlahan, Jacob mencium kening sang kekasih lalu mengecup singkat bibir ranumnya.
"Aku hanya milikmu, kau tahu itu, kan?"
Semua kekhawatiran yang Julia rasakan beberapa saat yang lalu seketika luruh dan berganti menjadi perasaan senang. Jacob memang hanya miliknya seorang.
Semenjak kejadian lucu di taman hiburan Gloove World dan kehangatan yang diberikan oleh Jacob berupa kecupan di kening dan bibirnya, Julia jadi sibuk mempersiapkan acara yang akan diselenggarakannya setelah pengumuman kelulusan. Acara itu rencananya akan berlangsung minggu depan, tetapi persiapannya sudah dimulai sejak sekarang. Gadis itu berniat mengundang seluruh teman-teman di sekolahnya dan juga teman-teman bermainnya sewaktu kecil. Pesta itu bertujuan agar tidak ada seorang pun temannya yang akan melupakan kebaikan gadis Peterson selama mengenal sang gadis. Perayaan ini jelas bukan keinginan Julia, mustahil gadis itu melakukannya. Semua ide pesta ini murni dari buah pikiran sang mama. Di sela-sela kegiatannya dalam mempersiapkan pesta, Julia terbayang wajah tampan kekasihnya—Jacob. Baru tiga hari berselang sejak keduanya berpisah dari taman hiburan, Julia sudah sangat merindukan pria berbibir penuh itu. Sepintas ide pun lewat di kepalanya, membuat sang gadi
Julia benar-benar telah melupakan kekecewaan yang ia rasakan kepada sang mama. Buktinya di pagi hari ini saja, gadis itu menyapa semua anggota keluarganya dengan riang gembira. Bahkan, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi masing-masing anggota keluarganya. Meggan yang awalnya berpikir sang anak kesayangan masih marah terhadapnya dan akan kembali membahas masalah kemarin di meja makan, sedikit terkejut melihat keceriaan yang ditampakkan oleh Julia. Seolah tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka sebelumnya. Charlie yang tak tahu mengapa Julia begitu bersemangat hari itu hanya tertawa. Julia begitu menggemaskan, seolah tak punya beban pikiran. Putri kecilnya memang sangatlah manis. Charlie bangga kepadanya. Berbeda dengan reaksi kedua orang tuanya terhadap kehangatan yang diberikan oleh Julia berupa kecupan singkat di pipi, Louis tampak risih dengan bekas bibir sang adik yang ada di pipi sebelah kanannya. Menurut Louis gadis berusia 18 tahun itu tak pantas bers
Jantung yang terus berdetak kencang mengantarkan perasaan aneh di dada Julia, napasnya menderu atas sebuah alasan yang tidak diketahui penyebabnya setelah mereka selesai menonton film. Ada rasa panas yang terus menggelayutinya, membuatnya bergejolak, penasaran. Bagian tubuh lainnya terasa panas, membuatnya duduk dengan gelisah. Gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindari tatapan mata sang kekasih yang akan semakin membuatnya berpikiran macam-macam. Mata cokelat gelap yang mampu membuat Julia tenggelam begitu dalam, dan sulit untuk kembali naik ke permukaan. Mata Jacob sungguh menghipnotis Julia! Kelopak matanya yang tidak sipit, dan tidak juga tebal terlihat pas dengan mata setajam elang. Alis ulat bulunya yang rapi, serta bulu mata yang panjang dan lebat. Semua membuat Julia luluh. Padahal dia sudah berguru kepada Hana! Agar tidak gugup di saat seperti ini. Ketika dia hanya berduaan saja dengan pria seksi yang tampan, tetapi apa mau dikata ... Ju
Kejadian yang menurut Julia begitu memalukan tersebut, agaknya membuat sang gadis menjadi sedikit pendiam ketika ditanya ada apa dengan sikapnya yang mendadak berubah siang hari itu. Jacob sendiri, sempat dibuat kebingungan saat ia menanyakan Julia ingin makan apa. Gadis itu hanya diam saja seraya mengetik sesuatu di ponselnya. Begitu selesai, sang gadis menunjukkannya kepada Jacob. Tulisan yang berbunyi, 'Aku tidak lapar' itu membuat Jacob batal membuatkan makanan istimewa untuk sang gadis. Ini semua terjadi setelah insiden di dalam kamar. Awalnya Jacob hanya berkeinginan untuk meminta sang kekasih untuk geser sedikit ke sebelah kiri, sebab gadis itu menghalangi pintu lemari pakaiannya dan Jacob jadi kesulitan mengambil baju dari lubang yang tercipta di depan lemari. Bahkan hingga kedatangan sang kekasih di rumahnya sekali pun, Jacob tak sempat memasang kaca untuk menutup lubang yang terletak di belakang Julia—pada saat kejadian di mana ia meminta sang gadis untuk ming
Jacob menggenggam erat tangan sang kekasih yang berbaring di depannya, tatapan penuh cinta dilayangkan Julia, membuat perasaan sang lelaki menghangat. Kasih sayang Julia memberi harapan kembali dalam hidupnya, Julia bagaikan cahaya yang menyinari langkahnya. Membawanya dari tempat gelap, ke tempat yang terang benderang. Mereka saling bertatapan, tidak ada yang berkedip selama beberapa saat di antara keduanya. Hingga akhirnya Julia tersenyum lucu dan disusul oleh Jacob yang tak tahan lagi, tak lama kemudian mereka berdua pun tertawa lepas bersama-sama. "Sayang, kau kalah!" Julia tertawa bahagia ketika melihat Jacob adalah orang terakhir yang mengedipkan mata. Itu berarti, gadis bersurai cokelat lah yang memenangkan pertandingan menatap tanpa berkedip. "Nanti traktir aku es krim!" Jacob tergelak sesaat, tak kuasa menahan tawa. Gadisnya memang sangatlah menggemaskan. Ia langsung mencubit hidung Julia dengan gemas. "Apa pun untukmu, Tuan Putri," bisik Jacob penuh perhatian.
Jacob berjalan seorang diri di sebuah lorong gelap yang asing. Tangannya lantas meraba-raba dinding yang ia sandari dengan hati-hati, berusaha agar tidak tersandung sesuatu di tengah kegelapan pekat yang sedang menyelimutinya. Sebuah perasaan aneh hinggap di relung hati pria itu. Ada di manakah dia sekarang? Tempat gelap itu begitu asing baginya. Jacob terus melangkah dengan perlahan, menunduk sesekali walau tak bisa melihat kakinya sendiri. Ia terus berjalan lurus, hingga di depan sana terlihatlah sebuah pintu yang mengeluarkan cahaya terang yang sedang terbuka lebar. Sepertinya sebuah ruangan, pikir Jacob kala melihat cahaya di depan. Ia lalu mendekat. Satu-satunya tempat yang terang benderang di tempat asing itu. Begitu tiba di depan pintu, Jacob menutup setengah wajahnya dengan tangan. Ruangan itu begitu terang sekali hingga membuat matanya silau. Setelah menyesuaikan retina matanya terhadap cahaya, Jacob pun masuk secara perlahan. Langkahnya begitu lambat, teta
Jacob tengah bersiap-siap di dalam kamarnya untuk kencannya bersama Julia yang entah sudah berapa kali mereka berdua lakukan bulan itu. Untuk yang ke sekian kalinya, ia akan kembali menjemput Julia di taman Testa. Rencananya hari ini, mereka berdua akan pergi makan-makan di sebuah restoran di kota mereka. Walau tak terlalu terlihat keantusiasannya dalam kencan ini, sesungguhnya Jacob merasa senang sekali di dalam hatinya. Sejak kecil, dia memang tak pandai mengekspresikan kata-kata. Dengan celana jeans panjang warna hitam legam dan dipadukannya dengan kaos putih selengan bergambar band rock asal Amerika—The Rolling Stones, Jacob telah siap menemui sang kekasih. Buru-buru pemuda itu mengambil kunci motor dan keluar dari dalam kamarnya. Semoga cuaca hari ini mendukung aktivitas mereka. Langkahnya begitu cepat, seolah tak ada yang bisa mencegatnya, hingga kemudian ia berpapasan dengan sang adik di dekat pintu keluar. "Ah, Kakak! Kakak mau pergi kemana?" Javier bertanya. Sorot
"Javi, kau sudah menyiapkan bahan video kita hari ini?" Jacob berjalan menghampiri meja kerja adiknya. Lengan panjang kaos biru tuanya ia lipat sampai siku, kemudian ia bersedekap di depan dada setelah tiba di depan sang adik. "Sudah," jawab Javier tanpa menatap sang kakak, ia masih menekuni komputernya. "Aku akan menyerahkannya sebentar lagi. Kakak hanya tinggal membaca dan memahaminya saja lagi, oke?" Jacob tersenyum tipis, lalu mengelus rambut ikal berwarna cokelat terang sang adik dengan lembut. "Baiklah, terima kasih, Adikku," ucapnya. "Kakak ke bawah dulu. Kau bisa di sini lebih lama, jangan lupa matikan lampu setelah keluar dari ruangan ya." Javier hanya melirik singkat sang kakak, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Beruntung, ia hanya perlu menyalin artikel dari internet dan tinggal memperbaiki di beberapa bagian saja, maka materi malam itu akan selesai. Hingga tak beberapa lama berselang kemudian, sebuah dering telepon masuk memecah konsentrasi bungsu keluarga L