Jacob menggenggam erat tangan sang kekasih yang berbaring di depannya, tatapan penuh cinta dilayangkan Julia, membuat perasaan sang lelaki menghangat. Kasih sayang Julia memberi harapan kembali dalam hidupnya, Julia bagaikan cahaya yang menyinari langkahnya. Membawanya dari tempat gelap, ke tempat yang terang benderang. Mereka saling bertatapan, tidak ada yang berkedip selama beberapa saat di antara keduanya. Hingga akhirnya Julia tersenyum lucu dan disusul oleh Jacob yang tak tahan lagi, tak lama kemudian mereka berdua pun tertawa lepas bersama-sama. "Sayang, kau kalah!" Julia tertawa bahagia ketika melihat Jacob adalah orang terakhir yang mengedipkan mata. Itu berarti, gadis bersurai cokelat lah yang memenangkan pertandingan menatap tanpa berkedip. "Nanti traktir aku es krim!" Jacob tergelak sesaat, tak kuasa menahan tawa. Gadisnya memang sangatlah menggemaskan. Ia langsung mencubit hidung Julia dengan gemas. "Apa pun untukmu, Tuan Putri," bisik Jacob penuh perhatian.
Jacob berjalan seorang diri di sebuah lorong gelap yang asing. Tangannya lantas meraba-raba dinding yang ia sandari dengan hati-hati, berusaha agar tidak tersandung sesuatu di tengah kegelapan pekat yang sedang menyelimutinya. Sebuah perasaan aneh hinggap di relung hati pria itu. Ada di manakah dia sekarang? Tempat gelap itu begitu asing baginya. Jacob terus melangkah dengan perlahan, menunduk sesekali walau tak bisa melihat kakinya sendiri. Ia terus berjalan lurus, hingga di depan sana terlihatlah sebuah pintu yang mengeluarkan cahaya terang yang sedang terbuka lebar. Sepertinya sebuah ruangan, pikir Jacob kala melihat cahaya di depan. Ia lalu mendekat. Satu-satunya tempat yang terang benderang di tempat asing itu. Begitu tiba di depan pintu, Jacob menutup setengah wajahnya dengan tangan. Ruangan itu begitu terang sekali hingga membuat matanya silau. Setelah menyesuaikan retina matanya terhadap cahaya, Jacob pun masuk secara perlahan. Langkahnya begitu lambat, teta
Jacob tengah bersiap-siap di dalam kamarnya untuk kencannya bersama Julia yang entah sudah berapa kali mereka berdua lakukan bulan itu. Untuk yang ke sekian kalinya, ia akan kembali menjemput Julia di taman Testa. Rencananya hari ini, mereka berdua akan pergi makan-makan di sebuah restoran di kota mereka. Walau tak terlalu terlihat keantusiasannya dalam kencan ini, sesungguhnya Jacob merasa senang sekali di dalam hatinya. Sejak kecil, dia memang tak pandai mengekspresikan kata-kata. Dengan celana jeans panjang warna hitam legam dan dipadukannya dengan kaos putih selengan bergambar band rock asal Amerika—The Rolling Stones, Jacob telah siap menemui sang kekasih. Buru-buru pemuda itu mengambil kunci motor dan keluar dari dalam kamarnya. Semoga cuaca hari ini mendukung aktivitas mereka. Langkahnya begitu cepat, seolah tak ada yang bisa mencegatnya, hingga kemudian ia berpapasan dengan sang adik di dekat pintu keluar. "Ah, Kakak! Kakak mau pergi kemana?" Javier bertanya. Sorot
"Javi, kau sudah menyiapkan bahan video kita hari ini?" Jacob berjalan menghampiri meja kerja adiknya. Lengan panjang kaos biru tuanya ia lipat sampai siku, kemudian ia bersedekap di depan dada setelah tiba di depan sang adik. "Sudah," jawab Javier tanpa menatap sang kakak, ia masih menekuni komputernya. "Aku akan menyerahkannya sebentar lagi. Kakak hanya tinggal membaca dan memahaminya saja lagi, oke?" Jacob tersenyum tipis, lalu mengelus rambut ikal berwarna cokelat terang sang adik dengan lembut. "Baiklah, terima kasih, Adikku," ucapnya. "Kakak ke bawah dulu. Kau bisa di sini lebih lama, jangan lupa matikan lampu setelah keluar dari ruangan ya." Javier hanya melirik singkat sang kakak, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Beruntung, ia hanya perlu menyalin artikel dari internet dan tinggal memperbaiki di beberapa bagian saja, maka materi malam itu akan selesai. Hingga tak beberapa lama berselang kemudian, sebuah dering telepon masuk memecah konsentrasi bungsu keluarga L
Mark terkesiap seketika, mulutnya menganga begitu lebar. Ia segera menoleh ke samping dan menyikut Javier berulangkali. "Hei! Hei! Javi, ternyata itu kau? Hebat sekali, Javi!" ucapnya terdengar antusias. Bahkan melebihi apa yang tengah Javier rasakan kini. Daniel menepuk-nepuk pelan punggung sang sahabat. "Itu hebat, cepat naiklah ke atas. Peresmiannya akan berlangsung malam ini juga, hm, sepertinya," imbuh Daniel terdengar kurang yakin. "Apa pun itu, naiklah ke panggung." Javier menghela napas sebelum merapikan mantel kerah tinggi yang ia beli dua tahun yang lalu di sebuah mall. Langkahnya terlihat begitu yakin saat ia berjalan menaiki setiap anak tangga. Semua mata tertuju hanya padanya. Tak terkecuali sang master, yang sebelumnya menghubungi Javier dengan alasan pertemuan penting. Lampu sorot yang begitu terang seketika menyinari setiap langkahny
"Wah, Javi! Aku tak menyangka, jika master kita yang baru itu adalah kau!" ucap Mark seraya memeluk sahabat sejak taman kanak-kanaknya itu dengan erat, ia ikut merasa bahagia sekaligus bangga atas pencapaian yang pemuda Leckner itu dapatkan. Javier tersenyum dan membalas pelukan Mark. "Terima kasih, sobat," balasnya sambil menepuk punggung Mark beberapa kali. Daniel bersedekap di depan dada, lalu berucap, "Well, selamat. Aku bangga padamu, hanya saja aku tak menyangka mereka mengujimu dengan cara yang sangat konyol seperti malam tadi." Mark langsung mendorong Javier hingga pelukan keduanya terlepas begitu saja, ia lalu menyahut cepat, "Ya! Aku juga ikut panik saat itu! Aku pikir Anthonius sudah benar-benar menggila! Ternyata semua hanya ujian untuk Javier saja." Javier tertawa pelan saat mendengar keluhan
Julia berjalan sendirian di pinggir jalanan kota New York yang ramai. Sesuatu yang sangat jarang ia lakukan, sebab ia terbiasa pergi keluar rumah dengan ditemani oleh seseorang—misalnya sang kakak. Walau kakaknya menemaninya dengan setengah terpaksa, tetapi itu saja sudah merupakan sesuatu yang bagus. Namun, karena hari itu Louis terlihat begitu sibuk, sehingga dia tidak bisa keluar dari kamar dan pergi menemani sang adik jalan-jalan di luar.Julia sangat paham dengan kesibukan sang kakak, dan tidak ingin menganggu pekerjaan yang digeluti olehnya. Kakaknya itu memang sedang menyiapkan sebuah kegiatan amal di salah satu panti asuhan di dekat balai kota, yang berarti lokasinya juga tidak terlalu jauh dari kantor gubernur.Sebuah lokasi yang pas untuk sebuah tempat yang sering dilalui oleh orang-orang. Apalagi Louis begitu senang ketika bepergian ke sana, tidak terlihat seperti dirinya yang biasanya. Di s
Julia terus berlari, tak memedulikan kakinya yang terluka, tak peduli dengan dadanya yang lagi-lagi terasa sesak. Walaupun harus memaksakan dirinya sendiri untuk terus berlari dari kejaran dua orang misterius yang begitu bersemangat mengejarnya. Ia harus segera pergi dari sini. Walau dengan lutut yang masih terluka dan terus mengeluarkan darah, tetapi Julia tidak ingin menyerah begitu saja. Sudah cukup ketakutannya di hari itu, sudah cukup trauma yang ia rasakan kala itu di waktu dan dengan orang yang berbeda. Julia tidak ingin lagi mengalaminya! Satu di antara kedua orang bertopeng itu tiba-tiba saja menghentikan larinya. Dia lalu berdiri diam menatap kepergian Julia bersama pria bertopeng hitam yang masih sibuk mengejar sang gadis Peterson. Ia lalu menyimpan kembali alat setrum listriknya, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melump