Julia benar-benar telah melupakan kekecewaan yang ia rasakan kepada sang mama. Buktinya di pagi hari ini saja, gadis itu menyapa semua anggota keluarganya dengan riang gembira. Bahkan, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi masing-masing anggota keluarganya.
Meggan yang awalnya berpikir sang anak kesayangan masih marah terhadapnya dan akan kembali membahas masalah kemarin di meja makan, sedikit terkejut melihat keceriaan yang ditampakkan oleh Julia.
Seolah tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka sebelumnya.
Charlie yang tak tahu mengapa Julia begitu bersemangat hari itu hanya tertawa. Julia begitu menggemaskan, seolah tak punya beban pikiran. Putri kecilnya memang sangatlah manis. Charlie bangga kepadanya.
Berbeda dengan reaksi kedua orang tuanya terhadap kehangatan yang diberikan oleh Julia berupa kecupan singkat di pipi, Louis tampak risih dengan bekas bibir sang adik yang ada di pipi sebelah kanannya. Menurut Louis gadis berusia 18 tahun itu tak pantas bersikap kekanak-kanakan dan membuat malu nama keluarga.
Pria berusia 27 tahun itu lalu berupaya keras menghapus jejak yang tertinggal dengan cara mengusap pipinya berulang kali dengan serbet makan. Hingga pipinya memerah akibat tindakan kasar itu.
"Anak gadisku terlihat bahagia sekali." Komentar sang papa membuat pipi Julia bersemu merah, laksana tomat yang siap dipetik. "Sering-seringlah bahagia, agar kau selalu bersinar cerah."
Charlie tergelak melihat sikap Julia sekarang yang begitu manis, berbanding terbalik dengan sikap sang gadis beberapa bulan yang lalu. Gadisnya kini telah tumbuh semakin bersinar laksana bintang, dan akan terus bersinar.
"Benarkah?" Tanya sang gadis sambil terkikik geli begitu mendengar ucapan sang papa. Ia merasa senang sekali begitu mendapat pujian dari Charlie. "Tentu saja! Aku berjanji, akan selalu terlihat bahagia, Pa!"
Kedua orang tua sang gadis tersenyum haru, betapa mereka sangat menyayangi putri kecil mereka. Julia saat ini sedang dalam kondisi hati yang berbunga-bunga, siang ini dia akan bertandang ke rumah Jacob dan hal itu membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak kemarin malam.
Akan tetapi, meski begitu, Julia tak akan melewatkan kebahagiaan ini berlalu begitu saja.
Selesai menghabiskan sarapannya, Julia langsung berpamitan dengan seluruh anggota keluarganya di rumah. Kebetulan, hari ini adalah giliran sang mama untuk mengantarkan Julia pergi ke sekolah. Meski gadis itu sudah menolak, karena Julia lebih senang jalan kaki, tetapi Meggan bersikeras ingin mengantar anak kesayangannya.
Walaupun kegiatan belajar telah habis, dan ujiannya telah selesai, tetapi itu semua tidak membuat Julia tidak menghadiri kegiatan di sekolah. Gadis Peterson masih harus datang ke sekolah untuk menyapa semua teman dan gurunya.
"Semangat, Sayang. Ingat pesan Mama kemarin ya," ucap Meggan begitu anak gadisnya keluar dari dalam mobil. "Kau harus berhati-hati dengan laki-laki, Nak. Jangan terbuai cinta hingga kau menyerahkan harta berharga milikmu."
"Ingat itu, Sayang. Jangan sampai kau hamil hanya karena ulah seorang laki-laki. Jika itu terjadi, Mama tak akan segan-segan menindaklanjutinya dan membawanya ke ranah hukum."
Julia yang awalnya menyunggingkan senyum lebar dengan wajah ceria, seketika hancur segala kebahagiaan yang ia rasakan di pagi hari itu. Mamanya masih saja ... bersikap seperti itu kepadanya. Tak memberinya kesempatan untuk memberitahu dan menjelaskan.
Belum sempat Julia membalas perkataan sang mama, dan mengoreksinya Meggan sudah lebih dulu menjalankan mobilnya dan meninggalkan Julia yang berdiri mematung di depan gerbang sekolah.
Dengan segala perasaan dan suasana hati yang memburuk, gadis itu menatap nanar mobil hitam yang melesat pergi menjauh darinya.
+++++
Beberapa hari kemudian, di saat Julia telah melupakan segala bentuk sakit hatinya kepada sang mama karena ucapan pedasnya, di hari Kamis yang cerah, Jacob benar-benar mengajak Julia ke rumahnya.
Lelaki itu menjemput Julia di taman Testa atas permintaan sang gadis, alasannya karena Julia bersikeras untuk tidak pergi jika Jacob menjemputnya di rumah. Mengingat suasana hati gadis itu yang langsung memburuk ketika membahas keadaan di rumahnya.
Julia tidak mungkin mengatakan kepada sang mama bahwa dia akan pergi ke rumah Jacob. Entah apa lagi yang akan wanita itu katakan kepadanya, ia tak ingin tahu.
Julia yang terlalu senang ketika mendapat ajakan bertamu itupun, nekat pergi tanpa meminta izin kepada anggota keluarganya yang lain. Tidak ada seorang pun yang tahu kemana gadis itu akan pergi.
Julia memilih untuk tidak peduli. Toh, Papa dan Mamanya tak ada di rumah siang hari itu. Hanya ada sang kakak yaitu Louis yang dengan kemurahan hatinya mau mengantarkan Julia pergi ke taman. Sebenarnya, tidak biasanya lelaki itu mau mengantarkan Julia selain ke sekolah, tetapi setidaknya sang kakak bukan tipe orang yang akan mengadu kepada orang tua mereka.
Julia menarik napas panjang-panjang, merasa senang untuk kebebasan sesaat yang ia rasakan. Ia memang naif, hanya saja ... cukup sulit dijelaskan. Menginginkan kebebasan? Mungkin itu hasrat terpendam Julia.
Sesekali menjadi anak yang pembangkang, jelas tidak mengapa, bukan? Julia tidak sedang melakukan dosa besar.
Baru satu kali ini saja ia melakukan pembangkangan. Jadi, menurutnya ini semua tak apa-apa asal tidak berkelanjutan.
Julia yang sedang berada di kursi belakang motor mendekap erat sang kekasih, lantas menyandarkan kepalanya di punggung Jacob yang berbalut jaket hitam. Keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah pria berkulit sedikit gelap, tetapi eksotis dan tampan.
Masih di belakang Jacob yang sibuk berkonsentrasi mengendarai kuda besinya, Julia mengeluskan pipinya secara perlahan di permukaan jaket sang kekasih, lalu kemudian ia terkekeh pelan. Betapa beraninya dia, kemana sikap naifnya selama ini?
Jacob tak berkomentar apa-apa saat tangan Julia yang berada di perutnya lantas berpindah ke atas paha dan mengelusnya secara perlahan.
Dengan gerakan lembut—terkesan erotis—Julia mengusap paha Jacob yang bisa dijangkau oleh tangannya berulang kali. Ketika tak sengaja tangannya merangkak naik ke bagian sensitif milik pria itu, Julia terdiam sesaat sambil sesekali mengingat ajaran yang diberikan oleh Hana beberapa hari yang lalu.
Ketika sedang asyik bercerita dengan sang sahabat, tepat di hari Jacob yang mengajaknya ke rumah, Julia dengan rasa penasarannya yang tinggi pun meminta tips kepada gadis yang tidak pernah berpacaran.
Hana yang memang telah belajar banyak hal dari film-film yang pernah ia tonton pun dengan penuh kesabaran—dan juga semangat—mengajari Julia cara bertamu ke rumah pacar dan berboncengan di motor yang benar kepada sang sahabat.
Julia yang tidak tahu-menahu dengan judul-judul film yang disebutkan Hana hanya diam saja mendengarkan dengan antusias. Mulai sekarang, Hana akan menjadi guru khusus masalah percintaannya. Begitulah kira-kira pemikiran Julia saat itu.
Melihat Jacob hanya diam saja dengan tindakannya, membuat Julia kembali mempraktikkan apa yang dikatakan oleh Hana. Gadis itu dengan lugunya meremas bongkahan di celana sang kekasih sesuai dengan apa yang telah ia pelajari.
"Julia, berhenti melakukan itu," tegur Jacob secara tiba-tiba . Julia tersentak dan langsung menjauhkan tangannya. "Kenapa? Tidak ... boleh ya?" Tanyanya lirih.
"Bukan, karena kita sudah sampai." Bersamaan dengan ucapan itu, Jacob melambatkan laju kendaraannya dan berhenti tepat di depan sebuah gerbang rumah minimalis berwarna biru yang terlihat nyaman.
Julia turun dari motor dengan hati-hati, lalu menatap rumah sang kekasih dengan antusias.
Jacob yang telah selesai menyimpan motor besar kesayangannya di bagasi kecil yang terpisah dari rumah, lantas menghampiri sang kekasih seraya menyodorkan tangannya kepada Julia. "Ayo, masuk."
Julia menerima uluran tangan tersebut dengan perasaan riang.
+++++
Jacob mengajak Julia mengelilingi rumah satu lantai yang berhasil ia beli setelah berjuang untuk menabung selama tujuh tahun lamanya.
Desain luar rumah yang terlihat sederhana, tetapi ternyata sangat elegan di dalam, suasana tiap ruangan yang terasa hangat, belum lagi perapian yang menambah kesan indah dari istana kecil milik kekasihnya.
Membuat Julia menjadi sangat senang dan tidak menyesal karena telah pergi tanpa memberitahukan kedua orang tuanya. Gadis itu benar-benar sudah jatuh terlalu dalam.
"Aku sudah tinggal di rumah kecil ini sejak umurku menginjak 17 tahun." Ucapan Jacob berhasil mengejutkan Julia yang sedang mengamati interior rumah.
"Orang tuamu?" Tanya Julia seketika, sungguh ia tak tahu jika pertanyaannya itu akan membuat Jacob kembali mengingat masa lalunya yang kelam.
Jacob tersenyum tipis, gurat kesedihan tampak di wajah tampannya. Lelaki dengan anting di telinga kanannya itu lalu menggeleng pelan. "Aku sudah tak lagi mempunyai orang tua," ucap Jacob dengan tenang, tetapi berhasil mengejutkan Julia.
"Maaf," bisik sang kekasih dengan penuh penyesalan, Julia lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Gadis itu takut kekasihnya marah, dan ekspresi memelas gadis itu membuat Jacob yang melihatnya tersenyum tipis. Ia merasa tak ada yang salah dengan pertanyaan Julia, karena itu semua adalah pertanyaan biasa.
Pria itu lalu memberantakan rambut panjang berwarna cokelat gelap milik Julia sampai tidak lagi terlihat rapi. "Tak perlu minta maaf, karena hidup harus tetap berjalan, bukan?"
Julia yang sebelumnya menundukkan kepala, sontak menengadah dan menatap iris mata yang serupa dengannya. Jantung gadis itu berdegup kencang. Mungkinkah sekarang adalah saat yang tepat untuknya mencoba ajaran Hana yang baru?
Gadis itu menggeleng cepat, hingga menimbulkan tanda tanya bagi Jacob yang sedari tadi memperhatikan. Ini bukan saatnya untuk mencoba. Julia harus membangun suasana yang pas dulu, ia harus mencari waktu yang tepat.
"Ada apa?" Tanya Jacob. Wajahnya terlalu dekat dengan sang kekasih, hingga menyebabkan wajah kekasihnya itu bersemu merah.
Julia menjawab, "Ti-tidak. Bukan apa-apa."
Jacob lalu mengajak Julia ke dapur, untuk membuatkannya minuman. Kemudian pria berbadan tegap dengan pundak lebar membawa kekasihnya ke ruang tamu. "Kau mau nonton film, Julia?" Tanyanya sambil membongkar kotak DVD.
Julia yang sudah duduk di sofa panjang, lantas menatap pria yang berjongkok di bawah televisi. Memperhatikan dengan saksama tubuh sang kekasih dari belakang. Benar-benar terbentuk. Seksi. Idaman.
Gadis itu jadi teringat dengan ucapan Hana, sahabat pirangnya pernah mengatakan bahwa lelaki idaman itu adalah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang ideal dan nyaman untuk dipeluk. Julia waktu itu sempat sangsi, sebab Hana belum pernah memiliki kekasih.
Kini, ia justru mengiyakan ucapan sang sahabat dan percaya dengan kata-kata yang sebelumnya pernah ia remehkan. Kekasihnya itu ... sungguh seksi. Benar-benar lelaki sejati.
Sambil berusaha menenangkan diri, karena teringat dengan salah satu pesan Hana yaitu jangan agresif dan bersikap tenang saja, membuat Julia hanya duduk diam memandangi Jacob.
Bosan menunggu kekasihnya selesai memilah kaset, Julia lantas mengedarkan pandangannya ke sekitar. Mereka berdua memang berada di ruang tamu, tetapi ruangan itu tidak terasa seperti ruang untuk menjamu tamu.
Sama sekali tak ada bingkai foto berisi potret anggota keluarga di dinding ruang tamj. Padahal itu adalah ciri khas dari setiap rumah. "Sayang, kenapa rumahmu tak punya gantungan foto di dinding?" Tanya Julia penasaran.
"Oh, itu ya?" Jacob yang telah selesai mencari film yang bagus untuk ditonton, beranjak mendatangi sang kekasih, kemudian duduk di sampingnya. "Karena adikku tak pernah menyukainya. Jadi, untuk menjaga perasaan masing-masing, kami tidak pernah memasang foto di dinding."
Julia mengangguk mengerti, lalu kembali bertanya, "Jadi ... adikmu sekarang di mana?"
Jacob yang hendak menunjukkan film yang ingin ia tonton bersama Julia segera menoleh ke arah sang kekasih. "Adikku? Ah, tadi dia pergi terburu-buru. Padahal aku ingin mengenalkanmu padanya," jawab Jacob dengan tenang. "Kau mau menonton ini?"
"Apa itu?" Julia berangsur merapat pada Jacob, seraya menatap DVD berjudul Shame di tangan kekasihnya. "Seperti apa filmnya? Apakah seru?" Tanyanya ingin tahu.
Jacob mengedikkan bahu. "Aku belum pernah menontonnya, tapi adikku pernah," jawab lelaki itu dengan tenang. "Kau mau menonton ini?"
Melihat sampul depan DVD yang tampak sedikit mencolok karena pemerannya yang tampan, membuat Julia penasaran terhadap isi dari film yang judulnya hanya terdiri dari lima kata. "Boleh," jawab sang gadis.
Jacob pun berdiri dan memutar kaset film tersebut. Keduanya lalu menonton dengan tenang. Semula, filmnya berjalan lancar hingga tiba di adegan di mana sang pemeran utama bercinta. Kontan saja Julia terperangah, dan Jacob dengan sigap menutup mata sang kekasih.
"Ah, tak apa kok!" Seru Julia dengan panik. Pembelajarannya dengan Hana akan gagal total, jika ia tak bisa melihat film seperti yang terpampang jelas di depannya. Gadis itu perlu contoh dan film ini memberikannya sebuah gambaran yang bagus.
Untuk pertama kalinya, Julia menonton film yang ternyata memiliki banyak sekali adegan erotis di dalamnya, gadis itu dapat mengambil kesimpulan bahwa film ini bercerita tentang kehidupan di kota New York yang cenderung rumit.
Dengan tingkat stres orang-orangnya yang tinggi, hubungan seks dianggap sebagai jalan keluar. Tetapi di balik semua itu, film yang sedang mereka saksikan ini ternyata ingin mengajarkan bahwa terlalu banyak berhubungan seks justru bisa jadi hal yang memalukan.
Sejauh menonton film di depannya, Julia dapat merasakan emosinya naik turun, bersamaan dengan perasaan bergejolak yang tidak ia ketahui berasal dari mana.
Julia lalu menoleh ke arah Jacob yang ternyata juga memandang dirinya. Keduanya lalu bertatapan cukup lama.
Sepasang kekasih itu terlihat sama-sama sibuk mengantarkan perasaan panas dan penuh gejolak ke hati masing-masing.
Jantung yang terus berdetak kencang mengantarkan perasaan aneh di dada Julia, napasnya menderu atas sebuah alasan yang tidak diketahui penyebabnya setelah mereka selesai menonton film. Ada rasa panas yang terus menggelayutinya, membuatnya bergejolak, penasaran. Bagian tubuh lainnya terasa panas, membuatnya duduk dengan gelisah. Gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindari tatapan mata sang kekasih yang akan semakin membuatnya berpikiran macam-macam. Mata cokelat gelap yang mampu membuat Julia tenggelam begitu dalam, dan sulit untuk kembali naik ke permukaan. Mata Jacob sungguh menghipnotis Julia! Kelopak matanya yang tidak sipit, dan tidak juga tebal terlihat pas dengan mata setajam elang. Alis ulat bulunya yang rapi, serta bulu mata yang panjang dan lebat. Semua membuat Julia luluh. Padahal dia sudah berguru kepada Hana! Agar tidak gugup di saat seperti ini. Ketika dia hanya berduaan saja dengan pria seksi yang tampan, tetapi apa mau dikata ... Ju
Kejadian yang menurut Julia begitu memalukan tersebut, agaknya membuat sang gadis menjadi sedikit pendiam ketika ditanya ada apa dengan sikapnya yang mendadak berubah siang hari itu. Jacob sendiri, sempat dibuat kebingungan saat ia menanyakan Julia ingin makan apa. Gadis itu hanya diam saja seraya mengetik sesuatu di ponselnya. Begitu selesai, sang gadis menunjukkannya kepada Jacob. Tulisan yang berbunyi, 'Aku tidak lapar' itu membuat Jacob batal membuatkan makanan istimewa untuk sang gadis. Ini semua terjadi setelah insiden di dalam kamar. Awalnya Jacob hanya berkeinginan untuk meminta sang kekasih untuk geser sedikit ke sebelah kiri, sebab gadis itu menghalangi pintu lemari pakaiannya dan Jacob jadi kesulitan mengambil baju dari lubang yang tercipta di depan lemari. Bahkan hingga kedatangan sang kekasih di rumahnya sekali pun, Jacob tak sempat memasang kaca untuk menutup lubang yang terletak di belakang Julia—pada saat kejadian di mana ia meminta sang gadis untuk ming
Jacob menggenggam erat tangan sang kekasih yang berbaring di depannya, tatapan penuh cinta dilayangkan Julia, membuat perasaan sang lelaki menghangat. Kasih sayang Julia memberi harapan kembali dalam hidupnya, Julia bagaikan cahaya yang menyinari langkahnya. Membawanya dari tempat gelap, ke tempat yang terang benderang. Mereka saling bertatapan, tidak ada yang berkedip selama beberapa saat di antara keduanya. Hingga akhirnya Julia tersenyum lucu dan disusul oleh Jacob yang tak tahan lagi, tak lama kemudian mereka berdua pun tertawa lepas bersama-sama. "Sayang, kau kalah!" Julia tertawa bahagia ketika melihat Jacob adalah orang terakhir yang mengedipkan mata. Itu berarti, gadis bersurai cokelat lah yang memenangkan pertandingan menatap tanpa berkedip. "Nanti traktir aku es krim!" Jacob tergelak sesaat, tak kuasa menahan tawa. Gadisnya memang sangatlah menggemaskan. Ia langsung mencubit hidung Julia dengan gemas. "Apa pun untukmu, Tuan Putri," bisik Jacob penuh perhatian.
Jacob berjalan seorang diri di sebuah lorong gelap yang asing. Tangannya lantas meraba-raba dinding yang ia sandari dengan hati-hati, berusaha agar tidak tersandung sesuatu di tengah kegelapan pekat yang sedang menyelimutinya. Sebuah perasaan aneh hinggap di relung hati pria itu. Ada di manakah dia sekarang? Tempat gelap itu begitu asing baginya. Jacob terus melangkah dengan perlahan, menunduk sesekali walau tak bisa melihat kakinya sendiri. Ia terus berjalan lurus, hingga di depan sana terlihatlah sebuah pintu yang mengeluarkan cahaya terang yang sedang terbuka lebar. Sepertinya sebuah ruangan, pikir Jacob kala melihat cahaya di depan. Ia lalu mendekat. Satu-satunya tempat yang terang benderang di tempat asing itu. Begitu tiba di depan pintu, Jacob menutup setengah wajahnya dengan tangan. Ruangan itu begitu terang sekali hingga membuat matanya silau. Setelah menyesuaikan retina matanya terhadap cahaya, Jacob pun masuk secara perlahan. Langkahnya begitu lambat, teta
Jacob tengah bersiap-siap di dalam kamarnya untuk kencannya bersama Julia yang entah sudah berapa kali mereka berdua lakukan bulan itu. Untuk yang ke sekian kalinya, ia akan kembali menjemput Julia di taman Testa. Rencananya hari ini, mereka berdua akan pergi makan-makan di sebuah restoran di kota mereka. Walau tak terlalu terlihat keantusiasannya dalam kencan ini, sesungguhnya Jacob merasa senang sekali di dalam hatinya. Sejak kecil, dia memang tak pandai mengekspresikan kata-kata. Dengan celana jeans panjang warna hitam legam dan dipadukannya dengan kaos putih selengan bergambar band rock asal Amerika—The Rolling Stones, Jacob telah siap menemui sang kekasih. Buru-buru pemuda itu mengambil kunci motor dan keluar dari dalam kamarnya. Semoga cuaca hari ini mendukung aktivitas mereka. Langkahnya begitu cepat, seolah tak ada yang bisa mencegatnya, hingga kemudian ia berpapasan dengan sang adik di dekat pintu keluar. "Ah, Kakak! Kakak mau pergi kemana?" Javier bertanya. Sorot
"Javi, kau sudah menyiapkan bahan video kita hari ini?" Jacob berjalan menghampiri meja kerja adiknya. Lengan panjang kaos biru tuanya ia lipat sampai siku, kemudian ia bersedekap di depan dada setelah tiba di depan sang adik. "Sudah," jawab Javier tanpa menatap sang kakak, ia masih menekuni komputernya. "Aku akan menyerahkannya sebentar lagi. Kakak hanya tinggal membaca dan memahaminya saja lagi, oke?" Jacob tersenyum tipis, lalu mengelus rambut ikal berwarna cokelat terang sang adik dengan lembut. "Baiklah, terima kasih, Adikku," ucapnya. "Kakak ke bawah dulu. Kau bisa di sini lebih lama, jangan lupa matikan lampu setelah keluar dari ruangan ya." Javier hanya melirik singkat sang kakak, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Beruntung, ia hanya perlu menyalin artikel dari internet dan tinggal memperbaiki di beberapa bagian saja, maka materi malam itu akan selesai. Hingga tak beberapa lama berselang kemudian, sebuah dering telepon masuk memecah konsentrasi bungsu keluarga L
Mark terkesiap seketika, mulutnya menganga begitu lebar. Ia segera menoleh ke samping dan menyikut Javier berulangkali. "Hei! Hei! Javi, ternyata itu kau? Hebat sekali, Javi!" ucapnya terdengar antusias. Bahkan melebihi apa yang tengah Javier rasakan kini. Daniel menepuk-nepuk pelan punggung sang sahabat. "Itu hebat, cepat naiklah ke atas. Peresmiannya akan berlangsung malam ini juga, hm, sepertinya," imbuh Daniel terdengar kurang yakin. "Apa pun itu, naiklah ke panggung." Javier menghela napas sebelum merapikan mantel kerah tinggi yang ia beli dua tahun yang lalu di sebuah mall. Langkahnya terlihat begitu yakin saat ia berjalan menaiki setiap anak tangga. Semua mata tertuju hanya padanya. Tak terkecuali sang master, yang sebelumnya menghubungi Javier dengan alasan pertemuan penting. Lampu sorot yang begitu terang seketika menyinari setiap langkahny
"Wah, Javi! Aku tak menyangka, jika master kita yang baru itu adalah kau!" ucap Mark seraya memeluk sahabat sejak taman kanak-kanaknya itu dengan erat, ia ikut merasa bahagia sekaligus bangga atas pencapaian yang pemuda Leckner itu dapatkan. Javier tersenyum dan membalas pelukan Mark. "Terima kasih, sobat," balasnya sambil menepuk punggung Mark beberapa kali. Daniel bersedekap di depan dada, lalu berucap, "Well, selamat. Aku bangga padamu, hanya saja aku tak menyangka mereka mengujimu dengan cara yang sangat konyol seperti malam tadi." Mark langsung mendorong Javier hingga pelukan keduanya terlepas begitu saja, ia lalu menyahut cepat, "Ya! Aku juga ikut panik saat itu! Aku pikir Anthonius sudah benar-benar menggila! Ternyata semua hanya ujian untuk Javier saja." Javier tertawa pelan saat mendengar keluhan