Semenjak kejadian lucu di taman hiburan Gloove World dan kehangatan yang diberikan oleh Jacob berupa kecupan di kening dan bibirnya, Julia jadi sibuk mempersiapkan acara yang akan diselenggarakannya setelah pengumuman kelulusan.
Acara itu rencananya akan berlangsung minggu depan, tetapi persiapannya sudah dimulai sejak sekarang.
Gadis itu berniat mengundang seluruh teman-teman di sekolahnya dan juga teman-teman bermainnya sewaktu kecil.
Pesta itu bertujuan agar tidak ada seorang pun temannya yang akan melupakan kebaikan gadis Peterson selama mengenal sang gadis. Perayaan ini jelas bukan keinginan Julia, mustahil gadis itu melakukannya. Semua ide pesta ini murni dari buah pikiran sang mama.
Di sela-sela kegiatannya dalam mempersiapkan pesta, Julia terbayang wajah tampan kekasihnya—Jacob.
Baru tiga hari berselang sejak keduanya berpisah dari taman hiburan, Julia sudah sangat merindukan pria berbibir penuh itu.
Sepintas ide pun lewat di kepalanya, membuat sang gadis beriris mata cokelat gelap berani mendekati sang mama dan mengajukan pertanyaan, "Ma, bolehkah aku ... mengundang seseorang untuk hadir di pestaku ini?"
Sang gadis tersipu atas pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Meggan yang sedang sibuk menulis daftar nama dari teman-teman sang anak—yang akan ditulisnya di undangan—pun menoleh, dan memandangi Julia selama beberapa detik.
"Siapa yang ingin kau undang ke sini, Sayang?" tanya sang mama seraya meraih bolpoin baru, sebab bolpoin hitam yang berada di tangannya sudah kehabisan tinta di dalamnya.
Julia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, pipi sang gadis merona dengan alasan yang tidak diketahui apakah gerangan. "Itu, emm ... seseorang, Ma," jawabnya malu-malu.
Meggan langsung menghentikan kegiatannya menulis, agak tidak suka dengan gaya bicara anaknya yang terbata-bata. "Siapa, Sayang? Apakah dia teman sekolahmu?" tanya Meggan dengan tatapan menyelidik.
Julia menggeleng cepat. "Bukan, Ma," jawabnya sambil tersenyum manis kepada wanita yang kini memusatkan perhatiannya hanya kepada Julia. "Tapi, dia kekasihku."
Meggan tampak begitu terkejut saat mendengar ucapan putri kesayangannya dan Charlie itu, bahwasanya sang gadis telah memiliki seorang kekasih. Anak gadisnya telah tumbuh semakin dewasa, tetapi bukan hal itu yang mengejutkan wanita paruh baya dengan rambutnya yang berwarna cokelat terang.
Anaknya itu tumbuh semakin cepat dan itu berarti Julia akan pergi meninggalkan keluarga mereka setelah menikah dengan seseorang. Itu pertanda buruk.
Meggan tentu belum siap untuk semua hal itu. Ia belum siap ditinggalkan oleh sang anak menikah, dan karena itu pulalah anak perempuan yang sangat ia sayangi sebaiknya nanti saja memiliki seorang kekasih, agar ia tidak menikah dengan cepat.
Wanita itu lalu tersenyum setelah menemukan kalimat yang pas untuk menolak permintaan Julia. "Tidak bisa, Sayang. Kau tidak bisa mengundang orang lain ke pesta ini. Bukankah perayaan ini khusus hanya ditujukan kepada teman-temanmu saja?" Jawab Meggan seraya menyunggingkan senyum termanisnya.
"Tapi dia bukan orang lain, Ma," ucap Julia. "Dia kekasihku, orang yang aku cintai."
Meggan kembali menggeleng, tidak setuju. Wanita itu lantas berkata, "Tetap tidak bisa, Sayang. Kau tidak boleh mengundangnya."
Julia yang awalnya berharap permintaannya akan diperbolehkan oleh sang mama, mendadak murung saat mendapat jawaban yang terasa sangat tidak adil baginya.
Mengapa Julia tidak boleh mengundang Jacob ke pestanya sendiri?
Mengapa gadis itu tidak bisa membawa sang kekasih ke dalam perayaan besarnya ini?
Apa keinginan Meggan sebenarnya?
"Dengar, Julia. Kau itu masih kecil, Sayang. Belum saatnya kau menjalin hubungan khusus dengan seorang laki-laki," ucap Meggan seraya memandang wajah sendu Julia. "Sebaiknya kau putus saja dulu, laki-laki itu berbahaya, Nak."
Pesan sang mana sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat Julia yang telah dipenuhi dengan kecintaannya kepada sang kekasih. Gadis itu lalu mengajukan pertanyaan lagi, tetapi kali ini, dengan pembawaan sifat lamanya yang dingin dan terkesan tidak peduli.
"Oh? Mengapa tidak boleh, Ma? Sedangkan kalian dulu memperbolehkan Kak Louis menjalin hubungan dengan seseorang."
Julia lalu tersenyum miring. Jika ia sudah bersikap seperti ini, itu berarti perkataannya akan sulit dicegah. Meggan sedikit terkejut melihat sifat anaknya yang menjengkelkan itu kembali lagi di saat yang kurang tepat.
Julia dulu memang adalah anak yang suka menyahut perkataan orang tuanya, tetapi gadis itu sama sekali tidak pernah membantah perintah mereka.
"Julia! Kakakmu itu tidak lagi berhubungan dengan mantan kekasihnya," ucap Meggan, ia mencoba tenang dalam menyikapi perubahan sikap sang anak. "Lagipula, Louis sekarang tidak memiliki seorang wanita di dekatnya. Kau tahu itu kan?"
"Tapi, Ma. Aku juga ingin pacarab. Anakmu ini bisa menjaga batasannya sendiri," terang Julia kepada sang mama. "Tidak seperti Kak Louis yang melampiaskan rasa sakitnya dengan cara memperkosa orang lain."
"Julia!" seru Meggan tanpa sadar, ia lalu menatap putri kecilnya dengan tatapan tajam. "Jangan mengungkit masa lalu keluarga kita!"
"Tapi, itu semua fakta, Ma!" Tanpa sadar Julia ikut menaikkan intonasi suaranya.
Meggan menggeleng, anaknya mulai tidak penurut sekarang. Wanita itu lalu berkata, "Berhenti menjadi seorang pembangkang, Sayang. Sekali Mama katakan tidak, artinya adalah tidak!"
"Ma," bisik Julia lirih. Wajahnya tampak sendu, tanda ia sedang bersedih. "Aku tidak sedang membangkang pada Mama. Aku hanya ingin menyampaikan isi hatiku saja."
Julia menarik napas panjang, sebelum kembali bersuara, "Mengapa aku tidak boleh mengajak kekasihku sendiri untuk datang ke pesta perayaan kelulusanku, Ma? Sedangkan dulu ... Kak Louis kalian perbolehkan ...."
"Julia ... Anakku Sayang ...." Meggan beranjak dari tempat duduknya, ia singkirkan dulu semua kartu undangan pesta sang anak dan berangsur mendekati Julia yang hampir menangis.
"Lelaki itu berbahaya, Nak. Bisa melakukan 'itu' dan membuatmu hamil," terang sang mama. "Jadi, Mama harap Julia berpacarannya nanti saja, karena kau belum terlalu dewasa saat ini, kamu itu masih labil."
Julia langsung merasa perasaannya sesak. Kemana perginya sang mama yang begitu menyayanginya? Kenapa Mamanya seolah menganggap Julia akan melakukan hal-hal yang kurang benar?
"Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak akan hamil," bisik Julia. Air matanya jatuh menetes. Entah mengapa ia yang tidak pernah beradu mulut dengan sang mama, menjadi mengencangkan urat saraf hanya karena perbedaan pendapat.
Akan tetapi, bagi Julia ... ini semua penting. Julia akan mempertahankan haknya untuk membawa Jacob dan bertandang ke rumahnya
Gadis itu mundur perlahan, tetapi Meggan yang hafal tabiat sang anak yang akan menghindar darinya dengan cepat menahan sang anak. "Julia!" panggilnya tegas. "Mama melakukan ini semua semata-mata hanya untuk kamu seorang, Sayang!"
Meggan lalu mengelus mahkota kepala anak gadisnya, sambil berkata, "Percayalah, semua lelaki yang mendekatimu itu begitu berbahaya, Anakku. Apalagi, kau belum mempunyai pengalaman apa-apa."
Julia mendengkus pelan, hidungnya memerah dan genangan air tampak di sudut matanya. "Jadi, kekasihku itu berbahaya ya, Ma?" tanyanya sarkastis.
"Ya, dia pasti berbahaya. Anak yang bahkan kau sendiri tidak tahu asal-usulnya. Dia berasal dari keturunan yang tidak jelas, bukan?" Sang mama melontarkan pertanyaan balik.
Dalam hati, Julia kesal terhadap sang mama. Begitu mudahnya wanita paruh baya itu mengatakan hal-hal buruk tentang Jacob. "Kalau begitu ... berarti Mama bisa berhenti bandingkan kekasihku ini dengan para pengusaha kenalan Mama," ucapnya lagi dengan dingin.
Meggan menghela napas gusar. Anaknya ini ... jadi keras kepala. Seharusnya dia bersikap tegas sejak awal. "Maafkan Mama, Sayang. Tapi kau harus mendengarkan Mama. Ini pesta bukan untuk orang luar, pesta ini untuk teman-temanmu," ucap Meggan seraya mengusap wajah cantik Julia.
Kenapa kekasihnya tidak boleh? Julia marah. "Dia bukan orang luar, Ma. Dia lelaki yang anakmu cintai," desis Julia sebelum pergi meninggalkan sang mama sendirian, dan menatap kepergiannya.
Meggan mengurut keningnya perlahan. Kepalanya berdenyut-denyut nyeri. "Julia ... Julia! Kau itu berbeda, Sayang. Tidak bisa disamakan dengan kakakmu—Louis. Sebab itulah kami sangat menjagamu," bisik Meggan dengan sendu.
Putri kecilnya semakin lama sifatnya semakin mirip saja dengan Louis. Terkadang bisa menjadi seorang pembangkang hanya karena urusan sepele.
+++++
Julia mengurung diri dalam kamar, gadis itu benar-benar kecewa terhadap sang mama. Marah dan kesal semua menjadi satu dan ia tak tahu harus bersikap apalagi.
Di saat itu, pikirannya langsung tertuju kepada sang kekasih. Dengan cepat, Julia pun menghubungi Jacob dan menceritakan ihwal permasalahan yang tengah ia alami.
Semua, dari awal sampai akhir, dan Jacob dengan setia mendengarkan seluruh curahan hati Julia.
"Kau tahu? Mama tak biasanya seperti ini. Dia melarangku, sebuah kebiasaan yang sangat jarang ia lakukan. Hanya karena aku akan mengundangmu ke dalam pesta," gerutu Julia. "Bukankah itu menyebalkan?"
Jacob yang sedang sarapan pagi bersama Javier, mencoba untuk tetap menyimak kata demi kata yang dilontarkan oleh sang kekasih. Gerutuan Julia dari ponsel sang kakak yang terdengar di tengah meja makan, membuat Javier risih.
"Kak, dia siapa? Berisik sekali," ungkapnya sambil memasang ekspresi tidak suka. Jacob hanya tersenyum maklum. Adiknya memang sedikit tak menyukai gadis yang banyak bicara. "Tenanglah, dia calon kakak iparmu," bisik Jacob seraya menyuruh adiknya untuk diam.
Jacob yang menaruh ponselnya di atas meja makan pun langsung mengambil kembali ponsel dan mendekatkannya ke telinga, setelah mendapat pelototan tajam dari sang adik.
"Ya, itu memang menyebalkan. Tetapi kau tidak boleh seperti itu kepada Mamamu, Sayang. Itu tidak baik, " pesan Jacob kepada sang kekasih di seberang telepon sana. "Lagipula ... jangan mudah percaya. Sebab, adakalanya kepercayaan itu mengkhianati kita."
Javier menyodorkan roti panggang kepada sang kakak, menyuruh Jacob untuk sarapan dulu daripada menaruh perhatian kepada gadis yang terdengar seperti anak manja—dan Javier tidak setuju jika anak itulah yang menjadi kakak iparnya nanti.
Jacob menggigit sedikit rotinya, lalu kembali berucap, "Hanya karena kepercayaan yang terlalu besar dan kita terlalu berharap, jangan sampai membuat kita mengabaikan isi hati sendiri."
"Utarakan saja, tetapi jangan sampai marah. Jika tidak disetujui, biarlah." Jacob menelan habis roti panggangnya dalam sekali suap, membuat Javier memelotot ke arahnya.
"Lagipula ... aku tidak mempermasalahkannya, Sayang. Baik kau undang aku ataupun tidak, semua sama saja," tukas Jacob. Ia lalu mengusap kepala sang adik dengan gemas, mengakibatkan Javier terkikik geli.
Julia yang mendengarkan semua perkataan kekasihnya, merasa itu ada benarnya. Dia tak seharusnya marah kepada sang mama jika kata hatinya tidak didengar. Dia hanya perlu bersabar saja.
"Tapi, Sayang! Mama sempat berbicara hal buruk tentangmu!" ucap Julia lagi seraya mengingat perkataan sang mama. "Mama berkata bahwa kau adalah anak yang tidak jelas asal-usulnya, dan itu membuatku marah!"
Ingatannya yang sedikit buram membuat Julia salah membuat kalimat. Padahal sang mama tidak berucap seperti itu.
Jacob diam, memahami perkataan sang kekasih. Javier yang duduk di sebelah kakaknya yang sedang melamun itu lalu berdecak kesal. "Kak, abaikan saja dia!" Bisik Javier seraya berusaha merebut ponsel dari tangan Jacob.
Sang kakak menggeleng, dan berupaya menenangkan adiknya dengan berucap, "Tak apa, Javi."
Jacob berdeham sesaat, sebelum berbicara di telepon. "Sayang, aku harap kau tidak mudah tersulut emosi seperti ini lagi ke depannya. Ucapan Mamamu mungkin benar, kau sendiri bahkan belum tahu asal-usulku dengan jelas, bukan?" Jelas Jacob kepada Julia.
"Lagipula ... kulit luar seseorang bisa dengan mudah dibentuk, kan? Jangan percaya sesuatu dengan cepat."
Jacob menghela napas panjang, ia sebenarnya tidak sebaik apa yang terlihat, tetapi ia pun bukanlah orang jahat. "Kata-kata seseorang tidak selalu mencerminkan siapa dia sebenarnya, karena karakter luar bisa dibuat, begitu pula denganku," bisik Jacob di media telepon.
"Jadi ... dengan alasan itu aku ingin mengundangmu ke rumahku, Julia. Agar kau tahu seperti apa kehidupanku yang sebenarnya."
Julia langsung memekik senang begitu mendapat ajakan bertamu ke rumah sang kekasih, sedikit mengabaikan nasihat panjang Jacob karena hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan.
Rasa kecewa terhadap sang mama hilang, berganti dengan perasaan berdebar.
Julia benar-benar telah melupakan kekecewaan yang ia rasakan kepada sang mama. Buktinya di pagi hari ini saja, gadis itu menyapa semua anggota keluarganya dengan riang gembira. Bahkan, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi masing-masing anggota keluarganya. Meggan yang awalnya berpikir sang anak kesayangan masih marah terhadapnya dan akan kembali membahas masalah kemarin di meja makan, sedikit terkejut melihat keceriaan yang ditampakkan oleh Julia. Seolah tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka sebelumnya. Charlie yang tak tahu mengapa Julia begitu bersemangat hari itu hanya tertawa. Julia begitu menggemaskan, seolah tak punya beban pikiran. Putri kecilnya memang sangatlah manis. Charlie bangga kepadanya. Berbeda dengan reaksi kedua orang tuanya terhadap kehangatan yang diberikan oleh Julia berupa kecupan singkat di pipi, Louis tampak risih dengan bekas bibir sang adik yang ada di pipi sebelah kanannya. Menurut Louis gadis berusia 18 tahun itu tak pantas bers
Jantung yang terus berdetak kencang mengantarkan perasaan aneh di dada Julia, napasnya menderu atas sebuah alasan yang tidak diketahui penyebabnya setelah mereka selesai menonton film. Ada rasa panas yang terus menggelayutinya, membuatnya bergejolak, penasaran. Bagian tubuh lainnya terasa panas, membuatnya duduk dengan gelisah. Gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindari tatapan mata sang kekasih yang akan semakin membuatnya berpikiran macam-macam. Mata cokelat gelap yang mampu membuat Julia tenggelam begitu dalam, dan sulit untuk kembali naik ke permukaan. Mata Jacob sungguh menghipnotis Julia! Kelopak matanya yang tidak sipit, dan tidak juga tebal terlihat pas dengan mata setajam elang. Alis ulat bulunya yang rapi, serta bulu mata yang panjang dan lebat. Semua membuat Julia luluh. Padahal dia sudah berguru kepada Hana! Agar tidak gugup di saat seperti ini. Ketika dia hanya berduaan saja dengan pria seksi yang tampan, tetapi apa mau dikata ... Ju
Kejadian yang menurut Julia begitu memalukan tersebut, agaknya membuat sang gadis menjadi sedikit pendiam ketika ditanya ada apa dengan sikapnya yang mendadak berubah siang hari itu. Jacob sendiri, sempat dibuat kebingungan saat ia menanyakan Julia ingin makan apa. Gadis itu hanya diam saja seraya mengetik sesuatu di ponselnya. Begitu selesai, sang gadis menunjukkannya kepada Jacob. Tulisan yang berbunyi, 'Aku tidak lapar' itu membuat Jacob batal membuatkan makanan istimewa untuk sang gadis. Ini semua terjadi setelah insiden di dalam kamar. Awalnya Jacob hanya berkeinginan untuk meminta sang kekasih untuk geser sedikit ke sebelah kiri, sebab gadis itu menghalangi pintu lemari pakaiannya dan Jacob jadi kesulitan mengambil baju dari lubang yang tercipta di depan lemari. Bahkan hingga kedatangan sang kekasih di rumahnya sekali pun, Jacob tak sempat memasang kaca untuk menutup lubang yang terletak di belakang Julia—pada saat kejadian di mana ia meminta sang gadis untuk ming
Jacob menggenggam erat tangan sang kekasih yang berbaring di depannya, tatapan penuh cinta dilayangkan Julia, membuat perasaan sang lelaki menghangat. Kasih sayang Julia memberi harapan kembali dalam hidupnya, Julia bagaikan cahaya yang menyinari langkahnya. Membawanya dari tempat gelap, ke tempat yang terang benderang. Mereka saling bertatapan, tidak ada yang berkedip selama beberapa saat di antara keduanya. Hingga akhirnya Julia tersenyum lucu dan disusul oleh Jacob yang tak tahan lagi, tak lama kemudian mereka berdua pun tertawa lepas bersama-sama. "Sayang, kau kalah!" Julia tertawa bahagia ketika melihat Jacob adalah orang terakhir yang mengedipkan mata. Itu berarti, gadis bersurai cokelat lah yang memenangkan pertandingan menatap tanpa berkedip. "Nanti traktir aku es krim!" Jacob tergelak sesaat, tak kuasa menahan tawa. Gadisnya memang sangatlah menggemaskan. Ia langsung mencubit hidung Julia dengan gemas. "Apa pun untukmu, Tuan Putri," bisik Jacob penuh perhatian.
Jacob berjalan seorang diri di sebuah lorong gelap yang asing. Tangannya lantas meraba-raba dinding yang ia sandari dengan hati-hati, berusaha agar tidak tersandung sesuatu di tengah kegelapan pekat yang sedang menyelimutinya. Sebuah perasaan aneh hinggap di relung hati pria itu. Ada di manakah dia sekarang? Tempat gelap itu begitu asing baginya. Jacob terus melangkah dengan perlahan, menunduk sesekali walau tak bisa melihat kakinya sendiri. Ia terus berjalan lurus, hingga di depan sana terlihatlah sebuah pintu yang mengeluarkan cahaya terang yang sedang terbuka lebar. Sepertinya sebuah ruangan, pikir Jacob kala melihat cahaya di depan. Ia lalu mendekat. Satu-satunya tempat yang terang benderang di tempat asing itu. Begitu tiba di depan pintu, Jacob menutup setengah wajahnya dengan tangan. Ruangan itu begitu terang sekali hingga membuat matanya silau. Setelah menyesuaikan retina matanya terhadap cahaya, Jacob pun masuk secara perlahan. Langkahnya begitu lambat, teta
Jacob tengah bersiap-siap di dalam kamarnya untuk kencannya bersama Julia yang entah sudah berapa kali mereka berdua lakukan bulan itu. Untuk yang ke sekian kalinya, ia akan kembali menjemput Julia di taman Testa. Rencananya hari ini, mereka berdua akan pergi makan-makan di sebuah restoran di kota mereka. Walau tak terlalu terlihat keantusiasannya dalam kencan ini, sesungguhnya Jacob merasa senang sekali di dalam hatinya. Sejak kecil, dia memang tak pandai mengekspresikan kata-kata. Dengan celana jeans panjang warna hitam legam dan dipadukannya dengan kaos putih selengan bergambar band rock asal Amerika—The Rolling Stones, Jacob telah siap menemui sang kekasih. Buru-buru pemuda itu mengambil kunci motor dan keluar dari dalam kamarnya. Semoga cuaca hari ini mendukung aktivitas mereka. Langkahnya begitu cepat, seolah tak ada yang bisa mencegatnya, hingga kemudian ia berpapasan dengan sang adik di dekat pintu keluar. "Ah, Kakak! Kakak mau pergi kemana?" Javier bertanya. Sorot
"Javi, kau sudah menyiapkan bahan video kita hari ini?" Jacob berjalan menghampiri meja kerja adiknya. Lengan panjang kaos biru tuanya ia lipat sampai siku, kemudian ia bersedekap di depan dada setelah tiba di depan sang adik. "Sudah," jawab Javier tanpa menatap sang kakak, ia masih menekuni komputernya. "Aku akan menyerahkannya sebentar lagi. Kakak hanya tinggal membaca dan memahaminya saja lagi, oke?" Jacob tersenyum tipis, lalu mengelus rambut ikal berwarna cokelat terang sang adik dengan lembut. "Baiklah, terima kasih, Adikku," ucapnya. "Kakak ke bawah dulu. Kau bisa di sini lebih lama, jangan lupa matikan lampu setelah keluar dari ruangan ya." Javier hanya melirik singkat sang kakak, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Beruntung, ia hanya perlu menyalin artikel dari internet dan tinggal memperbaiki di beberapa bagian saja, maka materi malam itu akan selesai. Hingga tak beberapa lama berselang kemudian, sebuah dering telepon masuk memecah konsentrasi bungsu keluarga L
Mark terkesiap seketika, mulutnya menganga begitu lebar. Ia segera menoleh ke samping dan menyikut Javier berulangkali. "Hei! Hei! Javi, ternyata itu kau? Hebat sekali, Javi!" ucapnya terdengar antusias. Bahkan melebihi apa yang tengah Javier rasakan kini. Daniel menepuk-nepuk pelan punggung sang sahabat. "Itu hebat, cepat naiklah ke atas. Peresmiannya akan berlangsung malam ini juga, hm, sepertinya," imbuh Daniel terdengar kurang yakin. "Apa pun itu, naiklah ke panggung." Javier menghela napas sebelum merapikan mantel kerah tinggi yang ia beli dua tahun yang lalu di sebuah mall. Langkahnya terlihat begitu yakin saat ia berjalan menaiki setiap anak tangga. Semua mata tertuju hanya padanya. Tak terkecuali sang master, yang sebelumnya menghubungi Javier dengan alasan pertemuan penting. Lampu sorot yang begitu terang seketika menyinari setiap langkahny