Share

Who are you (Indonesia)
Who are you (Indonesia)
Author: G-NaHyun

Bukan Perkenalan

Tidak ada yang disebut luka abadi, 

semua akan bahagia pada waktunya

Menyedihkan ternyata melihat kenyataan bahwa aku tak tau kalau jatuh cinta akan semenyakitkan ini, dia yang selalu kupuja di depan Tuhan adalah bom waktu yang membuatku mati seketika. 

“Maaf Dit, orang tuaku tak setuju dengan pernikahan kita.” ucapnya tanpa basa basi

“Lho Put, bukannya kita udah tunangan? Kenapa harus memutuskan sepihak seperti ini?” tanyaku masih bingung pada Putri.

“Maaf banget, aku tuh butuh kamu selalu ada buat aku. Setelah tunangan kita, aku merasa kamu perlahan menjadi berbeda bukan seperti Adit yang kukenal.”

“Maksud kamu apa Putri?” Tanyaku dengan nada kecewa

“Maaf ya Dit, hubungan kita udahan yaa..” jawabnya sembari meninggalkanku.

Entah bagaimana rasanya seolah tersambar petir yang disiang bolong, laksana anak panah yang menghujam tepat diseluruh relung hatiku. Layaknya teroris dia pergi begitu saja setelah menghancurkanku menjadi abu. 

Tanpa sepatah katapun, dia berjalan melewatiku. Nafasku masih sesak melihatnya perlahan pergi begitu saja, hangat mengalir kurasakan ada tetesan air membasahi pipi.

Aku masih diam seribu bahasa berharap semua apa yang dia katakan adalah mimpi atau drama yang sedang aku pentaskan diatas panggung.

Tapi tidak! Ini terlalu nyata.

Aku ingin mengucap sepatah dua patah kata namun seolah bibirku terkunci rapat dan kau yang membuang kunci itu entah kemana. Kaki yang seharusnya melangkah untuk mengejarmu pergi kini seolah tertancap paku sangat dalam diatas tanah.

Saat semua harapan dan mimpiku hancur hanya karena aku yang katanya kurang perhatian padahal tidak bisakah dia mengerti bahwa aku bekerja siang dan malam untuk menjadikan dia satu-satunya perempuan yang kuistimewakan, namun balasanya sungguh tak berkemanusiaan! Dia dengan tegas mengatakan untuk mengakhiri semuanya, disini. 

Ku diam, membeku dan terbujur kaku, masih dipersimpangan jalan saat aku dan dia memutuskan untuk bertemu. Semua orang yang berlalu lalang melihatku dengan tatapan aneh. Tiba-tiba hujan turun sangat deras seolah mengisyaratkan aku untuk menangislah.

Akupun berlari kearah rumah tua yang sudah tak berpenghuni diseberang sana untuk berteduh.

Sesampainya didepan rumah tua itu ponselku berbunyi 

Tutt tutt

Ada pesan masuk

Maaf Dit, bukan maksud aku menyakitimu tapi aku memang merasa udah ga cocok lagi sama kamu dan aku cerita semuanya sama orang tuaku. Tapi respon mereka malah menjodohkanku dengan pria lain.

Duarr! Rasanya seperti aku telah mati namun teganya dia menguliti jenazahku. 

Engkau seorang tuan Putri nan ramah dan penuh senyuman ternyata lebih kejam dari perempuan manapun yang kukenal! Teganya dirimu lebih memilih pergi meninggalkanku karena lelaki lain yang lebih gagah, lebih mapan dan lebih berharta dibandingkan denganku. 

Bagimu tak ada artinya menjaga kesucian cinta selama 5 tahun ini hanya karena perihal aku kurang perhatian katamu.

Seolah waktu berhenti didepan mata saat semua persiapan untuk menikahinya yang telah aku siapkan secara diam-diam hanya sebatas mimpi dan angan. Tak terbayangkan sebelumnya jika dia yang ku percayai berkhianat atas nama cinta dan ketampanan.

Aku memanglah anak udik yang miskin, terlihat hina didepan matamu setelah sosok yang lebih gagah, yang lebih berharta datang membawa semua janji untuk menjadikanmu tuan putri di istananya, saat ini didepan matamu aku adalah anjing kecil yang menggonggong tepat diraut wajahmu. 

Kau acuhkan dan kau tak peduli terhadap perjuangan kita dulu, kau berjalan tegap seolah dirimulah satu-satunya tuan putri yang beruntung akan bergandeng dengan pangeran yang antah berantah itu.

Semua atas nama perjodohan katamu? Bukankah kau yang menerimanya dengan suka rela?

Kau berkhianat atas nama perjodohan? Itu tidak mungkin! Seharusnya kau menolak lamaranku dulu, bukan sekarang saat semuanya sudah kususun rapih untukmu.

Tidakkah kau peduli dengan janji kita saat itu? Kau berkata padaku kau mencintaiku apa adanya dan kau akan menungguku entah seberapa lama.

Namun seolah Tuhan menunjukkan padaku bahwa dirimu bukanlah seorang yang layak untuk kuperjuangkan.

Suka tidak suka, mau tidak mau aku memang harus merelakanmu

Dunia tidak berpihak padaku saat ini, bolehkah aku menangis sekarang hai awan.

___

Seutas senyum yang menjulang dikala kita pertama kali bertemu, hujan bersaksi atas diam dan aku memaknai sorotan matamu yang penuh pilu.

10 oktober 2017

Kulihat seorang perempuan menangis diseberang sana dibawah rinai hujan, membasahi sekujur tubuhnya seolah menutupi bahwa perempuan itu baik-baik saja. 

Tak bisa kualihkan pandangan menyaksikan betapa kesedihan yang selalu datang dengan kesendirian, melihat perempuan itu seolah aku melihat diriku sendiri diversi yang berbeda. 

Wajah perempuan itu kian pucat sekujur tubuhnya mulai bergetar merasakan kedinginan, langkah kakinya pun seolah tak berdaya. Ia berjalan perlahan menghampiri tempatku saat ini. 

Dibawah rumah tua aku berteduh sendirian memastikan hujan untuk segera pergi dan membawa segala kemarahan, kekecewaan dan dendam yang menyelimutiku.

“Mas, kira-kira hujannya makin deras ga ya?” suara perempuan yang terdengar lirih menyadarkanku dari lamunan

“Owh iya mba, sepertinya masih lama deh. Makin deres soalnya” jawabku sambil tersenyum mencoba seramah mungkin terhadapnya.

“Aduh.. “ jawabnya terdengar penuh kekhawatiran.

Perempuan itu terlihat semakin gelisah dan khawatir dengan sesuatu.

“Emang mbaknya mau kemana? Sepertinya gugup sekali.” tanyaku memulai percakapan

“Mau pulang mas.” jawabnya singkat

“Baru pulang kerja ya mba?” tanyaku

“Engga, tadi habis dari rumah temen.” jawabnya singkat

Percakapan singkat setelah itu membuat kita membisu, hanya terdengar suara petir yang menyambar diatas langit ditambah hujan semakin deras menyaksikan seolah-olah kita ditakdirkan bertemu dengan luka kita masing-masing.

Adakah hal yang lebih menyedihkan dari hujan setelah pertemuan kita ini?

Hujan mulai reda, angin dan petir perlahan pergi bersama dengan perginya perempuan itu.

Aku tersadar dari lamunan, apakah dia akan baik-baik saja setelah ini?

Kuberjalan perlahan dengan kaki yang masih lemas membawa hati yang penuh luka dan tentunya kekecewaan pada Putri yang lebih memilih lelaki lain.

Adakah perpisahan yang tidak meninggalkan luka?

Meskipun aku bukan seorang jawara, aku harus menjadi lelaki yang kuat untuk diriku sendiri.

Setelah kejadian ini aku harus mencoba untuk belajar ikhlas dan melupakannya, entah akan membutuhkan waktu seberapa lama yang terpenting bagiku saat ini adalah harus bangkit dari luka yang menenggelamkanku.

Jalanku masih sempoyongan menelusuri jalan yang biasa kulewati untuk pulang.

Sesampainya digubuk tua yang kusebut rumah, aku harus bersikap seolah tak terjadi apapun didepan semua keluargaku. Tak mungkin kukucurkan air mata didepan mereka yang selalu bahagia menyambut kepulanganku.

“Assalamu’alaikum.” ucapku sambil membuka pintu

“Wa’alaikumsalam, mas udah pulang.” sapa Toni menghampiriku

“Sudah dong, Toni udah makan belum?” jawabku penuh senyum

“Belum mas, Toni dari tadi nungguin Mas Adit pulang biar bisa makan bareng hehe.” Jawab Toni dengan menarik lenganku masuk kedalam rumah.

Anak inilah yang membuatku harus selalu kuat dan tegar demi menjadi seorang kakak yang baik untuknya, jangan sampai raut wajah yang masih polos ini mengetahui bahwa aku adalah seorang lelaki lemah dan menyedihkan.

“Dit, mandi dulu sebelum makan biar ga masuk angin.” Tiba-tiba Nenek menghampiriku dan menyuruhku mandi terlebih dahulu karena aku basah kuyup karena hujan

“Owh iya nek.” 

“Toni, mas mandi dulu yaa kamu makan dulu aja gapapa?” tanyaku sambil membelai rambut Toni

“Ah engga, Toni nunggu Mas Adit aja biar bisa makan bareng.” Jawab Toni dengan penuh semangat.

“Yaudah, sebentar ya.” jawabku sembari mencubit pipinya

Apapun yang terjadi hari ini aku masih belum bisa menyangkanya, tak bisa kubayangkan gadis yang kucintai sejak lama yang kukenal sebagai gadis yang penurut dan perhatian bisa melakukan hal sekejam itu terhadapku.

Ku rebahkan tubuhku diatas kasur empuk mencoba untuk memejamkan mata perlahan. Berharap semua akan baik-baik saja setelah hari ini berlalu.

Namun tiba-tiba Fika mengetok pintu kamarku

“Mas Adit, ini ada paket.” 

“Paket dari siapa Fik? Perasaan Mas ga pesen online deh?” Tanyaku bingung

“Ngga tau mas, tadi ada didepan pintu tapi ada namanya Mas Adit, jadi Fika kira itu buat Mas Adit.” jawab Fika kemudian meninggalkanku.

Ada paket atas namaku tetapi tidak ada nama pengirimnya?

Akupun penasaran dan membuka isi paket itu, ternyata didalamnya hanyalah sebuah surat entah dari siapa ini penulisnya.

Aku benar-benar sangat terkejut dari apa yang telah ku baca dari surat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status