“Ugh ... nikmat sekali, Mas!” “Aaahh ... aku jadi cemburu padanya. Dia pasti puas sekali kalau lagi sama kamu. Tapi aku pasti lebih menggairahkan, kan?” *** Avrisha menjalani operasi pengangkatan rahim setelah divonis penyakit yang mengancam nyawanya. Demi tetap bisa menjadi seorang ibu, sekaligus tuntutan memberikan keturunan dari mertuanya, ia dan Arion—suaminya—memilih menjalani program bayi tabung. Sel telurnya dibekukan dan ditanamkan ke rahim seorang wanita lain, Kirana, sahabatnya. Hingga suatu malam, ia mendengar suara desahan dari kamar tamu yang dihuni Kirana, serta Arion yang selalu hilang dari kamarnya pada tengah malam. Ia menaruh curiga, tetapi memendam semuanya sampai bayinya lahir. Di tengah kegundahannya, tanpa sengaja ia mendapati dokter kandungan yang menangani Kirana adalah mantan kekasihnya, pria itu kembali menawarkan cinta setelah belasan tahun lamanya. Avrisha dihadapkan dilema, terlebih saat rumah tangganya dilanda keretakan. Mampukah ia menahan semua demi kelahiran anaknya? Atau memilih membagi lagi hatinya dengan sang mantan kekasih?
View More“Ugh ... nikmat sekali, Mas!”
Deg! Avrisha yang berjalan hendak menuju dapur itu sontak mengentikan langkah kakinya kala mendengar suara desahan dari balik kamar tamu. Ia mendekat, menempelkan daun telinga pada pintu agar lebih jelas. “Aaahh ... aku cemburu. Dia pasti puas sekali kalau lagi sama kamu. Tapi aku pasti lebih menggairahkan, kan?” Tawa Kirana tergelak manja disusul desahan panjang. "Eungh... lebih cepat!" Tangannya membekap mulut, matanya membelalak lebar seiring degup jantungnya yang terus berpacu keras. “Kirana sama siapa? Apa dia bawa pacarnya ke sini?” gumamnya lirih. Kamar itu dihuni sahabatnya, calon ibu pengganti yang ia dan sang suami sewa rahimnya. Beberapa bulan lalu, sebelum Avrisha menjalani operasi pengangkatan rahim akibat komplikasi endometriosis berat, dokter kandungannya berhasil mengambil dan membekukan sel telurnya. Proses bayi tabung pun dilakukan, dan Kirana, sahabat sejak SMA yang selama ini hidup sebatang kara dan sering mengeluhkan hidupnya yang serba kekurangan, membuat Avrisha iba dan menawarkannya untuk menjadi surrogate mother dengan upah fantastis. Kini, Kirana tengah mengandung benihnya dan sang suami. Kandungan berusia lima minggu itu sangat ia nantikan selama enam tahun ini. Di balik itu juga ada mertuanya yang terus menuntut keturunan karena suaminya anak tunggal. “Aaahh ....” Keningnya berkerut saat lagi-lagi mendengar suara desahan dari dalam sana. Apa Kirana menyelundupkan pria ke rumahnya? Namun, setahunya selama ini Kirana tidak punya kekasih. “Tapi bisa saja dia punya pacar dan belum cerita sama aku,” gumamnya. Pikiran itu membuat napasnya tercekat. Kalau benar, itu bisa berbahaya. Berhubungan badan di masa awal kehamilan bisa mengancam janin. Ia dan suaminya sudah susah payah melakukan proses ini ke luar negeri, kalau Kirana tidak menjaganya semuanya bisa sia-sia. Dengan perasaan tak menentu, Avrisha akhirnya nekat mengangkat tangan dan mengetuk pintu kamar tamu. Tok! Tok! Tok! Suara desahan langsung berhenti. Hening menggantung begitu dalam, seperti seseorang menahan napas di balik pintu. Avrisha menelan saliva dengan susah. “Kirana?” panggilnya gugup. Tak ada jawaban, perasaannya semakin tidak karuan. Ia mengetuk lagi. “Kirana, kamu masih bangun?” Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat, tergesa. Dan pintu kamar pun terbuka sedikit, menampakkan wajah Kirana yang tampak kacau. Daster yang ia kenakan dikancing asal, sebagian terbuka di bagian dada. Rambut panjangnya berantakan, keringat membasahi dahi dan pelipisnya, meski kamar itu ber-AC. Avrisha mengulas senyum lembut. “Kamu lagi apa?” tanyanya hati-hati. Kirana tampak gelagapan sesaat, tapi cepat memasang senyum tipis. “Eh, a-aku lagi olahraga barusan. Biar sehat dan nggak mual-mual terus. Kalau siang, kan, aku bawaannya ngantuk.” “Olahraga?” Avrisha melirik ke dalam kamar, lalu kembali pada wajah sahabatnya. “Iya, lihat di YouTube gitu. Senam ringan, kan, boleh selama hamil,” jawabnya sambil bergerak pelan menutup pintu. Namun, Avrisha dengan cepat mengangkat tangan menahannya. “Tadi aku dengar kamu ngomong, sama siapa?” Kirana memucat sepersekian detik, tapi buru-buru tertawa kecil. “Oh, itu mungkin suara video senamnya. Pemandunya ada banyak. Suaranya keras banget, ya? Maaf sudah ganggu kamu.” Avrisha mengernyit, jelas-jelas tadi ada panggilan sayang dan suara desahan. Mana mungkin pemandu senam berkata seperti itu? Kenapa Kirana berbohong? Untuk apa? Mereka sahabatan dan sejak dulu selalu berbagi cerita, raut muka itu ia tahu sekali Kirana sedang menyembunyikan sesuatu. Banyak sekali pertanyaan di kepalanya, tetapi tampaknya Kirana mati-matian menyembunyikan darinya. “Tapi aneh banget, lho, malam-malam gini kamu senam.” Avrisha menyipitkan mata, berusaha memancing agar sahabatnya jujur. “Biasanya kamu tidur jam sembilan.” “Eum ... ini juga tumben belum ngantuk, jadi kupikir kenapa nggak gerak dikit. Biar bayinya juga happy, Sha.” Avrisha mengangguk pelan, meski pikirannya belum tenang. Ia mendorong pintu perlahan. “Aku masuk, ya ....” Kirana langsung terlihat panik, mencoba menahan. “Eh, jangan! K-kamarnya berantakan banget, Sha. Aku belum sempat beresin. Lagian ini bau keringat, lho,” jawabnya terbata. Melihat wajah sahabatnya memucat, Avrisha mundur. Kepalanya mengangguk pelan, “Baiklah. Tapi beneran nggak ada apa-apa, kan?” Ia tetap berusaha memancing, tetapi sepertinya Kirana kukuh menyembunyikan dan bersikeras menggelengkan kepala. “Nggak ada apa-apa, Sha. Udah, ya ... udah ngantuk banget aku. Boleh istirahat sekarang? Bayinya juga butuh istirahat, kan?” Kalimat terakhir itu menghantam Avrisha. Kirana adalah satu-satunya harapan untuk menjadi orangtua, ia sadar tidak bisa terlalu mendesak. Kalau Kirana stres, ia juga yang rugi. Dengan napas berat, Avrisha tersenyum kecil, menelan semua kegelisahan yang menggebu di dada. “Iya. Maaf ganggu kamu malam-malam.” Kirana mengangguk cepat, memaksakan senyum yang lebih lebar. “Nggak papa, Sha. Kamu istirahatlah, jangan mikir macam-macam.” Pintu kamar tertutup, Avrisha berbalik ke kamar, meski tidak bisa tidur malam itu. Tubuhnya terbaring diam di atas ranjang, pikirannya berputar cepat, menolak untuk beristirahat. Suara desahan tadi terus terngiang, berpadu dengan ekspresi gugup Kirana. Ia menatap langit-langit dalam gelap, dadanya sakit seperti diikat tali tak kasatmata. “Apa benar hanya aku yang terlalu curiga?” bisiknya pelan, hatinya sendiri tak yakin pada pertanyaannya itu. Hingga suara pintu membuyarkan lamunannya. Arion melangkah pelan masuk ke dalam kamar, dua buah kancing kemejanya terbuka menampakkan bulir keringat di dada. Aroma parfum yang menyusup ke indera penciumannya membuat tubuh Avrisha menegang. Ia baru sadar, aromanya sama dengan yang sempat ia cium samar dari dalam kamar Kirana. “Kebangun, Sayang?” tanya pria itu. Senyum kecut terukir sekadarnya. “Iya, Mas. Kamu dari mana?” Tak langsung menjawab, Arion naik ke ranjang dan mengelus lembut rambut Avrisha, mengecup lembut di kening. “Dari ruang gym, makanya keringetan gini.” Wanita itu mengalihkan pandang. “Malam-malam?” “Pagi tadi, kan, belum sempat. Kalau nggak gym nanti ototnya kendor, kamu nggak suka.” Seringai kecil muncul di sudut bibir merah itu, helaan napasnya terdengar berat. Enggan berdebat dan menambah sesak pikirannya, ia memilih mengangguk saja. “Ya sudah, tidur saja. Aku capek, Mas.” Keesokan Paginya. “Sha! Ayo sini, aku udah siapin sarapan,” serunya ceria, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Avrisha melangkah mendekat ke meja makan. Tatapannya sempat bertabrakan dengan Arion, yang hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan senyum tipis. “Kamu gak usah repot-repot nyiapin beginian, Kirana,” ujar Avrisha datar, menarik kursi tanpa menatap siapa pun. “Gak apa-apa, kok. Mumpung pagi ini gak mual,” sahut Kirana cepat, masih dengan nada ceria, lalu menyendokkan nasi untuk Avrisha. “Lagian aku harus tetap aktif biar gak lemas, kata dokter juga gitu, kan?” Avrisha hanya mengangguk. Ia menerima piring itu tanpa komentar lebih. Diam-diam, matanya terus mengamati. Tangannya bergerak menyendok lauk, tapi ekor matanya menangkap sorotan cepat Kirana pada Arion. Dan Arion, balas memandang dengan kedipan singkat. Meski tak ada senyum, tapi cukup untuk membakar dada Avrisha. Ia menunduk, menyuapkan makanan ke mulut, meski tak terasa apa-apa. Dadanya terasa seperti digerogoti, satu per satu. Ia menoleh ke arah Kirana yang kini sibuk mengambil sambal dan tertawa ringan saat Arion mengomentari rasa tumisannya. Rasa ingin bertanya menggumpal di ujung lidahnya. Namun, ia telan, bersama nasi yang rasanya seperti abu. Ia tidak bisa meledak sekarang. Bayi itu masih ada di dalam kandungan Kirana, bayi dari darah dan dagingnya sendiri. Namun, kenapa keakraban itu memantik firasat lain di hatinya?Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika suara klakson tajam membelah keheningan rumah. Avrisha yang sedang merapikan meja makan sontak menoleh ke jendela, napasnya tertahan saat melihat mobil yang sangat dikenalnya itu.“Itu … mobil Mama, ya?” bisiknya gugup, tangannya yang memegang serbet ikut gemetar.Arion berdiri dari sofa, merapikan kerah kausnya. "Iya, tadi Mama sempat nelpon. Katanya mau lihat Kirana."Avrisha hanya mengangguk pelan, menunduk. Ia menarik napas panjang, mencoba bersikap setenang mungkin.Pintu rumah terbuka. Sang Mama, Renata, dalam balutan dress hitam dan sorot matanya tajam seperti pisau, masuk dengan langkah angkuh. Di belakangnya, Pak Gatra, mengikuti tanpa banyak bicara."Ayo duduk dulu, Pa, Ma, aku sudah masak makan siang buat kita semua nanti,” ujar Avrisha yang berjalan dari ruang makan, sambil mengulas senyum ramah.“Ya,” jawab Gatra datar sambil langsung duduk di sofa.Sementara wanita paruh baya itu hanya menoleh sekilas. “Hmm.”Avrisha menarik n
"Aku mau pulang," ujar Avrisha lirih.Elvareno menoleh dari balik jendela besar, menatap wanita di belakangnya yang kini tampak lebih tenang meski matanya masih sembab."Aku antar," sahut pria itu singkat.Avrisha menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku sendiri aja. Makasih, ya, atas bantuannya."Elvareno menatapnya beberapa detik, tak menjawab langsung. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Avrisha sedikit gelisah."Aku bisa jaga jarak," gumam Elvareno."Jangan, El. Aku masih istri orang," sahut Avrisha pelan, tetapi mampu membuat Elvareno terhentak.Beberapa detik berlalu tanpa satu suara apa pun. Lalu Elvareno mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan ke arah pintu dan membukakannya.Avrisha berdiri, tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia memaksakan langkahnya tetap tegak."Sekali lagi makasih untuk semuanya," katanya, pelan, sebelum melangkah pergi."Hubungi aku, Av".Avrisha menunduk, memejamkan mata dan lantas menggeleng pelan. "Maaf, aku nggak bisa janji. K
"Dia aku sewa untuk jadi ibu pengganti, kenapa tega-" Avrisha kembali ke ranjangnya dengan langkah goyah. Ia baru saja mendengar pengkhianatan paling menyakitkan dari dua orang yang paling ia percaya, suaminya dan sahabatnya sendiri. Setibanya di ranjang, ia langsung menarik selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala. Ia membenamkan wajahnya di bantal, menggigit ujung kain itu agar suara tangisnya tak terdengar. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan gejolak amarah dan luka yang tak terlukiskan. Beberapa jam lalu, tubuhnya disentuh pria yang ia cintai. Beberapa jam lalu, bibir suaminya menciumnya seolah hanya dirinya wanita satu-satunya. Namun nyatanya, ciuman itu adalah kamuflase. Seluruh kelembutan Arion malam tadi adalah kedok dari pengkhianatan yang menjijikkan. "Kamu kejam, Mas! Kamu jahat ...," bisiknya pelan dalam isakan. Ia memaksa tidur dengan seluruh tubuh menggigil. Pikiran kacau, dan hatinya koyak. Hingga pagi menyapa dengan sinar matahari yang mulai me
"Aku mau nyusul ke lab," ucap Avrisha seraya membalik badan hendak keluar ruangan, tetapi tiba-tiba lengannya ditarik, tubuhnya diputar dan dalam sepersekian detik, bibir Elvareno sudah mendarat di bibirnya. "El ...!" ucapnya tertahan, terbungkam oleh ciuman basah dan cengkeraman tangan kekar di bahunya. Tubuh Avrisha membeku, matanya membelalak. Kedua tangannya meronta, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Namun, Elvareno tak bergeming, bahkan kian menekan tubuhnya ke dinding, menenggelamkan bibir mereka dalam ciuman yang membuat nyaris tak bisa bernapas. Avrisha mendesah tertahan, tangis kecil pecah dari tenggorokannya. Suaranya tercekat, perlahan tubuhnya melemah dalam dekapan sang mantan kekasih. Elvareno akhirnya melepaskan ciuman itu setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad. Bibir Avrisha basah, napasnya terengah-engah dan wajahnya pucat. Matanya basah, air mata jatuh satu per satu, tanpa suara. "Kau-" Suaranya bergetar hebat. "Kau gila, El!" Ia mendorong tubuh
“Kamu siap-siap aja, nanti siang ke dokter. Aku mau beres-beres dulu,” ucap Avrisha setelah mengantarkan suaminya berangkat. Kirana yang duduk manis di sofa ruang tamu sontak mengangguk, tapi tak juga beranjak dan tetap asyik bermain ponsel. Avrisha tak mau ambil pusing, ia segera membereskan pekerjaan karena ART kebetulan sedang pulang kampung. Mulai dari kamarnya, beberapa ruangan lain hingga terakhir kamar di lantai bawah yang dihuni Kirana. Ia masuk kamar itu, tampak tempat tidur tapi dan aroma pewangi ruangan berganti bau bunga segar. “Lho, beda kayak semalam?” gumamnya heran. Helaan napas menderu berat, ia segera menghampiri meja kecil sambil tangannya menenteng penyedot debu kecil. Ada botol minum, handuk kecil, dan sebuah jam tangan mewah berwarna hitam dengan detail perak yang menarik perhatiannya. Matanya menyipit. Avrisha tahu betul jam itu, persis seperti yang ia hadiahkan kepada suaminya saat anniversary mereka yang kelima. Jarinya mengambil jam tersebut, meng
“Ugh ... nikmat sekali, Mas!” Deg! Avrisha yang berjalan hendak menuju dapur itu sontak mengentikan langkah kakinya kala mendengar suara desahan dari balik kamar tamu. Ia mendekat, menempelkan daun telinga pada pintu agar lebih jelas. “Aaahh ... aku cemburu. Dia pasti puas sekali kalau lagi sama kamu. Tapi aku pasti lebih menggairahkan, kan?” Tawa Kirana tergelak manja disusul desahan panjang. "Eungh... lebih cepat!" Tangannya membekap mulut, matanya membelalak lebar seiring degup jantungnya yang terus berpacu keras. “Kirana sama siapa? Apa dia bawa pacarnya ke sini?” gumamnya lirih. Kamar itu dihuni sahabatnya, calon ibu pengganti yang ia dan sang suami sewa rahimnya. Beberapa bulan lalu, sebelum Avrisha menjalani operasi pengangkatan rahim akibat komplikasi endometriosis berat, dokter kandungannya berhasil mengambil dan membekukan sel telurnya. Proses bayi tabung pun dilakukan, dan Kirana, sahabat sejak SMA yang selama ini hidup sebatang kara dan sering mengeluhkan hidupn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments