Ardi, pria mapan berusia pertengahan tiga puluhan, menjalani rumah tangga yang terlihat stabil bersama Nisa, istrinya. Namun kesehariannya di kantor berubah saat ia bertemu dengan karyawan baru yang tak lain adalah Rani—sahabat lama Nisa. Awalnya, pertemuan itu terasa biasa. Rani ramah, profesional, dan cepat beradaptasi. Tapi kedekatan kerja yang intens, lembur bersama, hingga percakapan-percakapan personal membuat Ardi merasakan sesuatu yang berbeda. Kehangatan Rani mengisi ruang kosong yang tak pernah berani ia ungkapkan kepada Nisa. Dilema pun muncul: Rani bukan hanya rekan kerja, tapi juga bagian dari lingkaran terdekat rumah tangganya. Di antara rapat, makan siang kantor, dan tatapan-tatapan yang tak terucap, Ardi harus memilih—menjaga kesetiaan pada istrinya, atau menyerah pada godaan yang bisa menghancurkan segalanya. Sementara itu, Rani menyimpan alasan tersembunyi mengapa ia kembali muncul dalam kehidupan Nisa dan Ardi. Alasan yang bisa menjadi jembatan… atau justru bara yang membakar habis persahabatan dan pernikahan.
View MorePagi itu, Ardi menatap layar laptopnya yang penuh dengan angka-angka laporan penjualan. Di luar jendela kantornya, langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis, sisa hujan semalam. Kopi hitam di atas meja sudah dingin, tapi ia belum sempat meneguknya. Pikirannya terlalu penuh dengan rencana rapat besar siang nanti.
Sebagai manajer pemasaran, ia terbiasa menghadapi tekanan. Tapi ada sesuatu yang lain hari ini—perasaan aneh yang tak bisa ia definisikan. Entah mengapa, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat sejak semalam, ketika Nisa, istrinya, memberi kabar singkat. “Mas, besok sahabat lama aku mulai kerja di kantormu. Namanya Rani. Ingat nggak? Dulu sering main ke rumah waktu kita masih pacaran.” Ardi hanya mengangguk saat itu, sambil pura-pura mengingat. Nama Rani memang samar terlintas di kepalanya, tapi wajahnya? Hampir tak ia kenali. Yang ia tahu, Nisa menyebutnya teman dekat sejak kuliah. Tak lebih. Pukul sembilan tepat, pintu ruang kerja terbuka. Seorang perempuan dengan rambut hitam tergerai sebahu melangkah masuk, ditemani staf HR. Senyumnya ramah, namun ada sorot mata tajam yang seolah langsung menembus kesadaran Ardi. “Pak Ardi, ini karyawan baru kita, Rani. Mulai hari ini akan bergabung di tim pemasaran,” ucap staf HR singkat. Ardi berdiri, menyambut dengan jabatan tangan yang formal. “Selamat datang. Semoga cepat beradaptasi.” Namun, saat jemari mereka bertemu, ada hentakan kecil dalam dadanya. Sesuatu yang tak ia duga. “Terima kasih, Pak. Eh… Ardi, ya?” Rani tersenyum tipis. “Aku Rani, sahabatnya Nisa.” Ardi mengerjap. Jadi inikah orangnya? Ingatan samar tiba-tiba menyeruak—gadis yang dulu sering duduk di ruang tamu kos Nisa, tertawa dengan suara renyah. Namun, di hadapannya kini berdiri sosok yang jauh lebih dewasa, anggun, dan… memesona. Hari itu berjalan seperti biasa. Rani diperkenalkan kepada seluruh tim, diberi meja kerja tak jauh dari ruangan Ardi. Ia cepat berbaur, tak canggung menjawab pertanyaan rekan-rekan, bahkan sesekali melontarkan lelucon ringan yang membuat suasana cair. Namun, bagi Ardi, ada yang tidak biasa. Tatapannya sesekali mencari sosok Rani di antara keramaian kantor. Entah kenapa, matanya selalu tertarik kembali pada perempuan itu, meski ia berusaha fokus pada tumpukan dokumen. Menjelang siang, mereka duduk bersebelahan dalam rapat internal. Rani terlihat serius mencatat, sesekali mengangguk. Ardi diam-diam memperhatikan, mencoba menepis perasaan yang mulai tumbuh. Ini hanya rekan kerja. Hanya teman istrimu, batinnya mengingatkan. Namun, ketika rapat usai, Rani menoleh dan tersenyum, senyum yang sama seperti dulu di masa kuliah. “Ardi, boleh aku titip salam buat Nisa? Sudah lama banget nggak ketemu.” “Pasti,” jawab Ardi singkat, berusaha tetap tenang. “Nanti malam aku sampaikan.” Sepulang kerja, Nisa sudah menunggunya di rumah. Ia tampak bersemangat, seperti menanti kabar gembira. “Mas, gimana? Rani masuk kantor kamu, kan? Ketemu dia?” Ardi meletakkan tas kerjanya dan duduk di sofa. “Iya. Dia sekarang di tim pemasaran. Sepertinya cepat beradaptasi.” Nisa tersenyum lebar, matanya berbinar. “Aku seneng banget dia bisa kerja bareng kamu. Dulu waktu kuliah, aku sering cerita ke Mas, kan? Kalau Rani itu kayak saudara sendiri buat aku.” Ardi mengangguk, meski dalam hatinya ada gelombang yang tak bisa ia ceritakan. Ada sesuatu dalam cara Rani melihatnya, sesuatu yang membuat dadanya bergetar aneh. Ia tak ingin Nisa tahu, bahkan tak ingin dirinya tahu lebih jauh. Malam itu, setelah Nisa tertidur, Ardi duduk sendiri di ruang kerja rumahnya. Lampu meja menyala redup, menyinari layar laptop yang terbuka. Namun, pikirannya tak lagi pada laporan atau rencana kerja. Yang muncul justru bayangan Rani—senyumnya, tatapannya, dan suara lembutnya ketika menyebut namanya siang tadi. Ardi menarik napas panjang, mencoba menepis perasaan itu. Ia tahu, garis batas harus jelas. Rani adalah teman istrinya, dan sekarang, bawahannya di kantor. Dua alasan yang seharusnya cukup kuat untuk menjaga jarak. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasakan awal dari sesuatu yang bisa saja berkembang menjadi badai besar. Dan ia tak tahu, badai itu mungkin sudah mulai berhembus sejak hari ini.Sore itu rumah kecil mereka dipenuhi aroma sayur asem dan ikan goreng. Nisa sibuk bolak-balik dari dapur ke meja makan, wajahnya tampak bersemangat. Ardi baru saja pulang kerja, duduk di sofa dengan kemeja yang masih rapi meski terlihat lelah.“Mas,” panggil Nisa sambil tersenyum, “minggu depan kita ada waktu kosong, kan?”Ardi menoleh, sedikit bingung. “Waktu kosong apa?” duduk di sampingnya, membawa buku catatan kecil. “Aku tadi cek kalender. Minggu depan ada long weekend, tiga hari. Aku kepikiran buat kita liburan sebentar.”Ardi menaikkan alis. “Liburan?”“Iya dong.” Nisa membuka catatannya yang penuh coretan. “Ke Bandung. Udah lama banget kita nggak ke sana. Aku kangen udara sejuknya, kangen makan batagor di jalan Dago, kangen suasana malamnya.”Ardi menelan ludah. Bandung—kota yang selama ini jadi saksi diam hubungan terlarangnya dengan Rani. Sekilas bayangan kamar hotel dan tawa Rani muncul di kepalanya, membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Kenapa Bandung?” tanyanya hati-h
Hari itu kantor lebih sepi dari biasanya. Beberapa rekan sudah pulang lebih awal, sementara yang lain masih sibuk di lantai atas. Parkiran basement hanya diterangi lampu neon redup yang sesekali berkelip.Ardi menunggu di dalam mobil hitamnya. Jari-jarinya mengetuk setir gelisah. Hatinya berdetak cepat, bukan karena rapat yang baru saja ia akhiri, tapi karena janji singkat dengan Rani.Tak lama, pintu terbuka. Rani masuk dengan cepat, menutup pintu tanpa suara. Aroma parfumnya memenuhi kabin sempit mobil. Gaun kerjanya masih rapi, tapi mata itu—mata yang sudah terlalu sering menantang Ardi—berkilat penuh api.Rani: berbisik “Kamu lama banget. Aku hampir batal.”Ardi: menarik napas dalam, menatapnya “Aku sengaja nunggu semua agak sepi. Kita nggak boleh sembrono.”Rani: tersenyum nakal “Tapi justru itu yang bikin deg-degan, kan?”Ardi tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu mendekat. Dalam sekejap, bibir mereka sudah bertemu, panas dan terburu-buru. Mobil menjadi ruang kecil yang m
Liburan itu akhirnya datang. Ardi meninggalkan rumah dengan alasan rapat luar kota, sementara Rani sudah lebih dulu menunggunya di hotel dekat pantai.Begitu bertemu di lobi, Rani tersenyum sambil berbisik,Rani: “Kamu beneran datang. Aku takut kamu batal di detik terakhir.”Ardi: menggenggam tangannya erat “Mana mungkin aku ninggalin kamu? Aku udah kangen setengah mati.”Mereka masuk kamar, dan begitu pintu terkunci, pelukan panjang menelan semua jarak.Rani: menempelkan wajah di dada Ardi “Aku pengen waktu berhenti di sini, Di. Hanya kita.”Ardi: “Kalau bisa, aku juga mau. Di sini, aku bisa jadi diriku sendiri. Bukan suami siapa pun. Bukan atasan siapa pun.”Rani: menatap matanya lekat “Tapi kamu tetap suami orang. Itu kenyataannya, kan?”Ardi: terdiam sejenak lalu mengelus pipinya “Iya. Tapi setiap sama kamu… aku lupa semua itu.”***Esok paginya mereka berjalan di tepi pantai. Ombak memecah di kaki mereka, sementara angin laut membelai rambut Rani yang terurai.Rani: “Kamu pernah
Hari-hari setelah pertemuan terakhir di rumah Rani seperti membuka pintu baru dalam hidup Ardi. Pintu yang semestinya ia biarkan terkunci rapat, kini terbuka lebar dan mengundangnya masuk lebih dalam.Setiap kali ia bertemu Rani di kantor, debar jantungnya tak pernah berkurang. Justru semakin kuat. Ada semacam magnet yang tak bisa dijelaskan—mereka seolah tak mampu lagi menjaga jarak.***Sore itu, kantor mulai sepi. Beberapa karyawan sudah pulang, meninggalkan gedung yang kian lengang. Ardi masih duduk di ruangannya, pura-pura menatap layar komputer, padahal pikirannya melayang pada sosok yang mungkin saja datang.Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Rani berdiri di sana, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Masih kerja?” tanyanya sambil melangkah masuk.Ardi menelan ludah, menutup laptop perlahan. “Belum selesai. Kamu kenapa belum pulang?”Rani mendekat, suaranya lebih lirih. “Karena aku tahu kamu masih di sini.”Seakan kata-kata itu cukup, mereka saling mendekat. Tak ada lagi pe
Setelah malam itu di rumah Rani, Ardi tahu semuanya sudah berbeda. Ia pulang dengan rasa bersalah yang tak terkira, tapi tubuhnya masih membawa hangat pelukan dan ciuman yang tak bisa ia hapus dari ingatan.Di sisi lain, Rani pun tak lagi berusaha menahan diri. Sejak batas itu dilanggar, ia menjadi lebih berani, lebih terbuka. Dan keduanya, meski tahu resiko besar menanti, justru makin sulit berhenti.***Hari Senin, kantor kembali sibuk. Tim pemasaran menyiapkan laporan hasil proyek, semua orang bergegas. Ardi mencoba menjaga wajah seriusnya sebagai manajer, tapi tiap kali ia menangkap mata Rani dari kejauhan, ada percikan kecil yang membakar dalam dirinya.Siang itu, di ruang rapat kecil, Ardi memanggil Rani untuk membahas revisi data. Pintu ditutup, dan hanya mereka berdua di dalam.“Ini data yang aku perbarui,” kata Rani sambil menyerahkan map.Ardi mengambilnya, tapi tangannya sengaja menyentuh jari Rani. Mereka saling berpandangan, terlalu lama untuk sekadar rekan kerja.“Rani…
Hari itu kantor terasa lebih lengang dari biasanya. Proyek besar baru saja selesai, sebagian besar karyawan pulang lebih cepat. Namun Ardi masih duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang bahkan tidak lagi ia baca. Pikirannya melayang jauh ke peristiwa beberapa hari lalu—ciuman pertamanya dengan Rani.Setiap kali ia mencoba fokus, bayangan itu selalu muncul. Bagaimana bibir Rani menempel pada bibirnya, bagaimana tatapan matanya penuh keberanian dan kerinduan. Ardi tahu ia tak seharusnya mengingat-ingatnya, tapi tubuh dan hatinya tak bisa membohongi diri.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Rani.“Malam ini aku sendirian di rumah. Mau datang? Kita bisa bilang lembur, kalau ada yang tanya.”Ardi menatap layar cukup lama. Jemarinya bergetar, antara ingin mengetik balasan dan ingin menghapus pesan itu. Ia menoleh ke jam dinding, hampir pukul tujuh. Di rumah, Nisa pasti sedang menyiapkan makan malam. Hatinya berperang hebat.Tapi akhirnya, ia menulis: “Aku datang.”***Ruma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments