Selama di mobil, Tamara hanya menjadi pendengar semua percakapan Kirana dan Andin. Ia membuang nafas berkali-kali karena merasa iri. Andin yang tinggal bersamanya selama ini tidak pernah bisa seceria ini saat bersama Kirana. Kenapa dengan Kirana ia bisa tertawa lebar begini, ya? Padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam.
“Aduh, mami capek banget.” Kirana memegangi perutnya sambil terus tertawa. Andin juga tertawa, “Andin juga capek banget." Kirana tersenyum. Ia mengelus rambut Andin dan melirik Tamara, “Eum... Tamara, kamu kenapa diem aja?” Tamara melotot. Ia memperingatkan Kirana dengan memonyongkan mulutnya agar Andin tidak melihat. Meski masih kecil Andin ini pintar dan pemerhati sekali. Jangan sampai Andin membocorkan ini pada Reno, mama, atau suster Tina. “Eh, eum... maksud aku, Kirana.” “Mami tadi kok bisa salah manggil? Tamara ‘kan nama mami.” Kirana tersenyum, “Iya, mami lupa, soalnya udah capek ketawa terus sama kamu.” Andin tersenyum, ia melirik Kirana yang berpenampilan seratus delapan puluh derajat berbeda dengan maminya seperti biasa, “Mami?” “Iya, sayang?” “Mami gak pake bedak ya?” Kirana dan Tamara saling tatap. Tamara melotot. Ia yang sedari tadi sibuk membuat pikirannya tetap waras setelah menerima pertukaran badan dengan Kirana, tidak sadar kalau lawan tubuhnya ini begitu gegabah melewati hari ini. “Iya, lo gak pake bedak?” Kirana menyentuh pipinya, “Pake kok, tapi tipis-tipis.” Tamara menurunkan tangan Kirana dari pipinya, “Jangan sentuh-sentuh, nanti jerawatan pipi gue!” Andin yang berdiri bertumpu kursi depan melirik Tamara, “Tante, mami ‘kan pegang pipinya sendiri, kok tante yang marah?” Tamara melotot. Ia mengatur nafas dan tersenyum ke arah Andin, “Iya, tante lupa. Maksud tante tadi tuh, nanti pipi mamihnya Andin bisa jerawatan kalo dipegang-pegang gitu. Kulitnya mami ‘kan sensitif.” “Oh gitu.” “Iya gitu." Kirana mengambil cermin kecil dari dalam tasnya. Ia melihat wajahnya yang hanya memakai bedak dan lip balm, “Aku pikir karena udah cantik alami, aku gak perlu pake make up tebel, maaf ya.” Tamara hanya mendelikkan matanya kesal, “Lo tuh manager bank! Masa lo menghadapi klien, sesama manager departemen lain, bahkan pak Dirut dengan muka polosan gitu sih. Gak usah ngaco! Gak usah samain gue kayak lo!” “Terus gimana? Aku gak bawa alat makeup.” “Nanti lo minta aja sama Tita.” Kirana mengangguk. “Eh, lo bisa makeup ‘kan?” Kirana menggeleng. Tamara menutup kedua matanya kesal, “Lo minta makeupin Tita.” “Kalo dia curiga?” Tamara meliriknya sinis. Ia juga menginjak rem sekaligus begitu mobilnya sampai di parkiran sekolah, “Anterin dulu tuh Andin ke dalem.” Kirana mengangguk. Ia membuka sealtbelt dan melirik Andin agar lekas membawa tasnya, “Ayo sayang.” “Iya, mih.” Kirana keluar dari mobil lebih dulu untuk bisa membuka pintu untuk Andin. Sebelum turun, Andin menatap Tamara yang fokus melihat suasana sekolah. “Tante, Andin sekolah dulu ya?” Tamara membalikkan badannya, “Oh iya. Yang pinter belajarnya ya, Andin.” Andin mengangguk, “Salim dulu, tante.” Tamara melongo. Ia malah sibuk menatap Andin yang mengulurkan tangan kanannya. Saat ia menjadi dirinya sendiri, Andin memang sering memintanya untuk salim, tapi ia selalu menolaknya dengan alasan buru-buru mau berangkat ke kantor. Ia pikir saat Andin melakukan itu padanya, wajar, karena ia adalah ibunya. Ia tidak menyangka Andin melakukan itu juga pada orang lain. Kirana orang lain, ‘kan? “Tante, aku mau salim, takut kesiangan masuknya.” Andin menggerak-gerakkan tangannya didepan Tamara. “Oh iya, maaf ya, tante lama kasih tangannya.” “Iya, gak papa. Dadah, tante. Makasih ya udah nganterin Andin ke sekolah dan nanti anterin mamih ke tempat kerjanya.” Tamara mengangguk, “Sama-sama.” Andin tersenyum dan keluar dari mobil dituntun Kirana, “Mamih, aku sekolah dulu ya.” Kirana jongkok dan merapikan rambut panjang Andin, “Iya, yang rajin ya belajarnya. Kalo ada apa-apa lapor sama missnya.” “Kalo ada yang nakal aku harus gimana?” “Kalo ada yang nakal, jangan dibales, Andin teriak aja minta bantuan miss, oke?” Andin tertawa. “Kenapa ketawa?” “Biasanya mami bilang kalo ada yang nakal aku harus bales. Kalo dia ambil pensil aku, aku dorong aja biar dia gak ganggu lagi.” Kirana refleks melirik Tamara yang menatap mereka. Ia buru-buru tersenyum dan memegangi kedua tangan Andin, “Iya, maaf ya mami mintanya gitu. Sekarang mami minta Andin gak boleh dorong temennya ya?” Andin mengangguk, tangannya lalu mengambil tangan Kirana untuk salim. “Ya udah kamu masuk, mami harus ke kantor sekarang.” “Bentar, mami,” Andin menahan Kirana yang sudah berdiri. “Kenapa, sayang?” “Mami cantik meskipun gak pake bedak sama lipstik kayak biasanya.” Tamara yang mendengar itu merasakan kedua matanya terasa panas. Ia memalingkan wajahnya untuk menatap stir agar Andin atau Kirana tidak melihatnya yang akan menangis. Kirana tersenyum, “Makasih ya, sayang.” Andin mengangguk. Ia langsung berlari sambil melambaikan tangan pada Kirana, “Dadah, mamih.” Kirana merasakan hatinya menghangat. Ia tidak menyangka, bertukar badan dengan Tamara ternyata tidak melulu berisi tentang rewelnya Reno dan mama mertuanya. Ia menemukan kedamaian saat bersama Andin. Dengan cepat, karena tidak mau membuat Tamara menunggu lama, ia masuk ke mobil. Ia tak menyangka, Tamara yang ia sangka sedang diam saja menunggunya, ternyata baru selesai menangis. “Ra,” “Kita berangkat sekarang.” Tamara berusaha tidak menatap Kirana, agar matanya yang sembab tidak dibahas. Kirana mengangguk. Ia duduk dengan tenang memakai sealtbeltnya. Setengah perjalanan menuju kantor, mereka sama-sama masih bergeming. Masing-masing memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi di tempat kerja mereka yang berbeda. “Nanti makan siang gue jemput. Kita butuh banyak latihan buat terbiasa jadi Tamara dan Kirana palsu.” Kirana mengangguk. “Oyah, besok malem ada acara nikahan Adam ‘kan, temen angkatan kita. Lo harus wajib memastikan mas Reno ikut.” Kirana melirik Tamara, “Kalo dia gak mau?” “Ya lo harus melakukan apapun. Kalian harus dateng untuk mempertahankan nominasi couple goals.” Kirana mengangguk, “Kamu juga bakal pergi?” “Iya lah.” Tamara melirik Kirana, “Kenapa?” “Biasanya aku gak dateng ke acara nikahan siapapun.” Tamara menyeringai, “Itu Kirana lama, besok yang dateng Kirana baru.” Kirana mengernyit, “Maksud kamu?”Tamara mengatur nafasnya yang terasa sesak. Ia berusaha tenang dan tak mencurigakan dihadapan Reno, “Oh iya, aku lupa, mas.”“Gak papa, waktu itu kamu lagi... berantakan banget. Karena omongan tante Ira ‘kan?"Tamara mendongak. Tante Ira itu siapa sih? Kenapa banyak orang yang membicarakannya? Ia menjadi sangat penasaran dengan sosok itu.Tamara mengangguk, “Iya, mas.”“Udah, jangan terlalu di ambil hati. Tante Ira gak tahu apa yang terjadi sama kamu.”Tamara membetulkan posisi duduknya, “Mas, aku boleh tanya sesuatu?”“Boleh, kenapa, Ki?”“Eum... menurut kamu perubahan penampilan aku gimana?”Reno diam. Ia hanya menatap manik Tamara datar.“Mas?”“Eum... perubahan kamu?”Tamara mengangguk. Ia begitu menunggu jawaban itu.“Aku agak kaget sih, tapi... ya kalo itu bisa bikin kamu nyaman dan merasa lebih percaya diri aku dukung. Lagian ‘kan kamu berniat mengubah penampilan dari dulu. Jadi aku gak terlalu terkejut. Kemaren waktu liat kamu tiba-tiba full makeup kayak Tamara, ak
Setelah mencari cara untuk tidak ikut liburan ke Bandung bersama ayah dan ibu yang sekalian akan bertemu sanak keluarga yang lain, Tamara memiliki waktu yang lebih leluasa untuk keluar rumah.Menjadi Kirana membuatnya seperti terkurung dalam kasih sayang yang berlebih. Bukan ia tidak suka, terkadang ia hanya jengah dan tak terbiasa. Aturan Reno dan mama saja dirumah sering ia abaikan, kenapa ia harus mengikuti semua aturan ayah dan ibu yang memintanya tidak sering keluar rumah?“Gue harus cari tahu sendiri apa yang sebenernya terjadi antara Kirana sama mas Reno. Kirana gak mungkin ngaku. Dia pasti gak akan pernah jawab pertanyaan gue. Harapan gue cuma sama mas Reno.” monolognya sambil menyetir dengan kecepatan tinggi menuju kantor advertising milik Reno.Tidak butuh waktu lama, karena jalanan tidak seramai biasanya, mobil Tamara cepat sampai di kantor Reno. Ia memarkirkan mobilnya dan berjalan kesal karena menahan amarah yang teramat pada Kirana.Begitu berada di lobbi, Tamara yan
Tamara tak berselera makan. Sepulangnya dari rumah bertemu Kirana dan mendapati ia sudah melakukan hal itu dengan Reno membuatnya enggan melakukan apapun termasuk makan bersama ibu dan ayah. Ia terus duduk termenung di dalam kamar.Ibu dan ayah yang mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit merasa keheranan. Tadi pagi anak semata wayangnya begitu bersemangat memberikan oleh-oleh untuk teman barunya, Tamara, kenapa kini jadi seperti ini?“Ayah gak salah denger, bu? Kirana temenan sama orang yang bully dia waktu kuliah?” ayah melotot kaget ketika ngobrol berdua dengan ibu setelah mengintip Tamara yang sedang sedih.Ibu mengangguk, “Yah, sekarang orangnya udah berubah. Dia udah tahu kesalahannya dan menyesal. Emang apa salahnya mereka jadi temen?”“Bu, kita sama-sama tahu sifat Kirana bagaimana. Kalau ternyata Kirana hanya dimanfaatkan sama yang namanya Tamara-Tamara itu gimana?”“Ayah jangan berprasangka buruk sama Tamara. Anakny
Pov KiranaSepulangnya mengantar Tamara pulang dan berbincang dengan ibu sebentar membuat Kirana memiliki energi lebih sore ini. Ia terus tersenyum bahagia karena kini ia punya cara untuk terus bertemu ibu.Reno yang baru bangun tidur melirik istrinya tanpa henti, “Sayang?"“Hm?"“Kamu kenapa senyum-senyum?”“Gak papa.”Reno bangkit dari posisi tidurannya, ia duduk disebalah Kirana, “Aku mau.”“Hm? Mau apa, mas?”Reno menggenggam tangan Kirana, “Andin ‘kan udah gede, udah saatnya kita kasih adek buat dia.”Kirana melotot, “Mas, jangan dulu.”“Kenapa?”“Eum... aku lagi banyak kerjaan. Aku harus beresin kerjaan aku.”“Sayang, ini ‘kan sabtu. Besok aja kelarinnya, oke?”Kirana tak punya alasan lagi. Ia diam saja saat Reno menciumi pipi dan lehernya. Ia tidak bisa menolak gejolak ini, apalagi ia sering membayangkan ini terjadi sedari dulu.Reno meremas kedua buah mochi Kirana, “Kita pindah ke kamar mandi yuk. Udah lama kita gak main disana.”Kirana tak menjawab, tapi ia ber
Tamara tak menyerah, ia terus mencari keberadaan nenek-nenek cantik namun aneh itu kemana-mana. Ia bahkan menghampiri dapur, barangkali nenek itu nyasar kesini.“Ada yang bisa kami bantu, mbak?” tanya pramusaji yang melihat Tamara kebingungan.“Eum...”“Mbak kehilangan anak mbak?”Tamara menggeleng, “Mbak, saya cari orang, tapi bukan anak saya. Saya cari... saya bisa lihat rekaman cctv dimana ya?”“Untuk itu mohon maaf, mbak, kami tidak bisa memberikan rekaman cctv sembarangan.”Tamara yang baru buka mulut melihat kedatangan manager kafe yang menghampiri mereka.“Ada apa ini?”Tamara menatap manager kafe yang seumuran dengan Reno itu, “Mas, saya lagi cari orang, dia... keluarga jauh saya, dia udah pikun. Saya takut dia... menghilang.’“Menghilang?”“Eum maksudnya.... dia nenek-nenek, umurnya sekitar tujuh puluh tahun. Neneknya udah agak pikun, jadi... mas ngerti ‘kan? Saya perlu cek c
Acara semalam berjalan dengan baik. Meskipun ada pertengakaran kecil antara Tamara dan Kirana karena lagi-lagi mereka membuat kesalahan di depan Erik dan Reno, setidaknya mereka bisa mengatasinya. Tamara sudah mengirimkan detail semua tentang dirinya pada Kirana, begitupun sebaliknya. Mereka terus berlatih sehingga sudah hari ke-empat akhirnya mereka terbiasa menjadi Tamara dan Kirana.Tamara kini tengah bersiap pergi bersama Kirana untuk membicarakan rencana mereka kedepannya.Tok-Tok-Tok“Sayang?”“Iya, bu?”“Itu temen kamu udah jemput.”Tamara mengernyit, “Temen gue ngejemput? Perasaan gue gak ada janji sama siapapun lagi deh."Dengan cepat Tamara membawa tasnya dan keluar dari kamar, “Siapa, bu?”“Namanya Tamara.”“Hah? Eum... oh, Tamara.”Ibu mengangguk, “Eum, sayang, sebelumnya ibu boleh tanya gak?”“Boleh, bu, kenapa?”“Tamara itu.. bukannya orang