Share

BAB 6 - Jadi Begini

Tamara menyikut Kirana. Ia memintanya untuk menjelaskan pada Reno bahwa mereka sedang membicarakan orang lain atau apapun yang masuk akal.

“Eum... itu... kita lagi ngomongin tokoh novel, mas.” Tamara bicara buru-buru, karena nampaknya pikiran Kirana masih ruwet efek pertukaran badan mereka pagi ini.

Reno menatap Kirana, “Kamu suka novel?"

Kirana melirik Tamara lalu menatap Reno, “Iya, semenjak ketemu Tamara, eh Kirana, aku jadi suka novel, mas."

“Kalian... beneran udah akur ‘kan?”

Tamara dan Kirana saling tatap.

Tamara tertawa, “Akur dong, mas. Kita udah baikkan ya?”

Kirana mengangguk, “Kita udah baikkan, mas.”

Reno mengangguk-angguk, “Syukur deh kalo emang udah baikkan. Ya udah, yuk, kita berangkat, Andin udah siap berangkat sekolah.”

Saat Kirana hendak mengangguk, Tamara menarik lengan Kirana, “Kita ‘kan mau berangkat ke kantor bareng! Lo lupa ya?”

Kirana menatap Tamara bingung. Beberapa menit lalu tidak ada pembicaraan itu perasaan.

“Ayo ajak Andin berangkat sama kita aja. Kasian mas Reno, nanti kesiangan. Dia ‘kan paling gak suka telat sampe kantor.” terang Tamara gamblang.

Reno mengernyit, “Kamu tahu dari mana?”

Tamara melongo. Ia membetulkan kaca matanya dan tersenyum kikuk, “Keliatan dari garis wajahnya.”

Reno tertawa. Tawanya membuat Tamara kaget. Sepuluh tahun pernikahan mereka, ia hanya melihat tawa suaminya beberapa kali.

“Kamu ada-ada aja. Ya udah aku panggil Andin dulu ya.”

Tamara mengangguk.

“Aku juga udah kabarin bis jemputan dari sekolah, kalo hari ini Andin berangkat sama maminya.”

“Iya, mas.” jawab Tamara cepat.

Kirana yang sadar badan mereka tertukar mengkode Tamara yang lupa bahwa mereka harus bertukar peran mulai dari hari ini entah sampai kapan.

“Eum, maksud aku... aku mewakili jawaban Tamara asli.”

Kening Reno mengkerut, “Tamara asli?”

Tamara melotot. Ia ingin sekali memukul mulutnya yang terus salah bicara hingga membuat Reno berkali-kali memprotes, “Eum, Tamara aja maksudnya.”

“Aku panggil Andin dulu.”

Kirana mengangguk.

Setelah memastikan Reno masuk ke dalam rumah, Tamara menyeret Kirana, “Lo tuh yang tanggap dong, Na! Gue capek di curigain terus sama mas Reno!”

Kirana menarik tangannya dari Tamara, “Iya, maaf. Aku cuma belum terbiasa sama pertukaran badan kita, Ra.”

“Ya lo pikir gue terbiasa gitu? Lo mikir dong, jangan bengong terus!”

Kirana mengangguk.

“IPK kita ‘kan cuma beda koma sekian, tapi gue ngerasa lo tuh.... ah, gak usah di bahas.”

Andin berlari menghampiri Kirana, “Mamiii.”

Tamara yang melihat itu kebingungan. Kenapa Andin terasa dekat dan senang sekali pada Kirana yang terjebak dalam badannya?

Kirana berjongkok untuk menyamai tinggi badannya dengan Andin, “Anak mami yang cantik ini udah siap sekolah?”

Andin mengangguk sambil tertawa riang memamerkan giginya yang ompong.

“Bukunya ada yang ketinggalan gak?”

Andin menggeleng, “Udah semua.”

“Pinter. Bekel yang mami siapin juga udah?”

Andin mengangguk, “Udah dong.”

Kirana mencolek hidung Andin gemas, “Ya udah kita berangkat sekarang ya biar gak telat.”

“Iya, mami.”

Kirana menatap suster Tina, sitter yang mengurus semua keperluan Andin dirumah, “Sus, makasih banyak ya. Saya anterin Andin sekolah dulu. Nanti pulangnya juga saya jemput.”

Suster Tina bergeming. Ia bingung karena merasa majikannya yang tidak seperhatian ini berubah menjadi ibu yang hangat, “Iya, bu.”

Kirana berdiri, ia yang siap menuntun Andin ke mobil dihentikan Reno. Ia menoleh, “Kenapa, mas?”

Reno menggeleng, “Ini tas kamu.”

Tamara memperhatikan cara Reno menatap Kirana. Tatapannya beda dari hari-hari biasanya.

“Makasih, mas, aku hampir aja lupa.”

Reno menggangguk.

“Sayang, salim dulu sama papi sama suster Tina juga.”

Andin menurut. Ia salim pada Reno dan suster Tina, “Andin sekolah dulu ya, pih, sus.”

Reno mengangguk dan mengelus rambut Andin pelan, “Belajarnya yang pinter ya anak papi.”

“Pasti dong. Dadah papih, dadah, sus.”

Suster Tina melambaikan tangannya, “Hati-hati ya.”

“Iya. Mamih ayo.” Andin menarik tangan Kirana. Ia mengacuhkan Tamara yang berdiri menunduk karena merasa sikap Reno dan Andin pada Kirana sangat baik, tidak seperti padanya.

“Tante, ayo. Tante jadi ‘kan anterin aku sama mamih ke kantor?”

Tamara melotot. Ia tidak terbiasa dipanggil tante oleh Andin. Ia mengangguk lalu menatap Reno, “Mas, aku permisi.”

Reno mengangguk, “Hati-hati ya. Makasih juga tawaran buat nganterin Andin sama Tamara.”

Tamara mengangguk. Ia berjalan membuntut dibelakang Andin dan Kirana yang sudah jalan lebih dulu sambil bersenandung menyanyikan lagu Bintang Kecil.

“Sayang, pegangan sama tante.” pinta Kirana.

Andin mengangguk. Tangannya menarik lengan Tamara erat, “Tante, namanya siapa?”

Tamara menatap Kirana, “Eum... nama tante Kirana.”

“Oh, namanya cantik, sama kayak orangnya.”

Sudut bibir Tamara naik. Andin baik sekali. Padahal selama ini ia tidak pernah mengajarkan hal-hal seperti itu padanya. Sejak bayi hingga kini anaknya berusia lima tahun, Andin di asuh suster Tina. Mereka tidak dekat. Bukan, tapi Tamara yang enggan terlalu dekat dengan Andin.

“Ayo masuk, sayang.” Kirana membuka ‘kan pintu belakang mobil untuk Andin.

Andin masuk dan duduk dengan tenang di jok belakang.

Setelah Kirana menutup pintu mobil, Tamara menarik lengan Kirana, “Ikut gue dulu!”

“Kenapa, Ra?”

Tamara melepaskan lengan Kirana, “Inget, ya, Na, mas Reno dan Andin itu milik gue! Jangan karena badan kita ketuker lo bisa seenaknya ambil mereka.”

Kirana menggeleng, “Aku gak ngambil siapa-siapa, Ra. Aku cuma menjalankan peran kamu sebagai seorang istri dan ibu dirumah, itu aja.”

“Jangan bersikap berlebihan sama mereka. Dan satu hal yang harus lo inget. Nanti malem, jangan sampe lo tidur berdua sama mas Reno!”

“Ta-tapi, kalo mas Reno curiga gimana?”

“Ya lo bilang apa kek, lagi pengen tidur sendiri atau apa terserah lo. Jangan pernah sentuh sedikitpun suami gue!”

Kirana mengangguk, “Oke. Kalo gitu aku juga minta jangan pernah sentuh sedikit pun ibu aku.”

Tamara mundur. Entah ia bisa memenuhi pinta Kirana atau tidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status