Tamara menyikut Kirana. Ia memintanya untuk menjelaskan pada Reno bahwa mereka sedang membicarakan orang lain atau apapun yang masuk akal.
“Eum... itu... kita lagi ngomongin tokoh novel, mas.” Tamara bicara buru-buru, karena nampaknya pikiran Kirana masih ruwet efek pertukaran badan mereka pagi ini. Reno menatap Kirana, “Kamu suka novel?" Kirana melirik Tamara lalu menatap Reno, “Iya, semenjak ketemu Tamara, eh Kirana, aku jadi suka novel, mas." “Kalian... beneran udah akur ‘kan?” Tamara dan Kirana saling tatap. Tamara tertawa, “Akur dong, mas. Kita udah baikkan ya?” Kirana mengangguk, “Kita udah baikkan, mas.” Reno mengangguk-angguk, “Syukur deh kalo emang udah baikkan. Ya udah, yuk, kita berangkat, Andin udah siap berangkat sekolah.” Saat Kirana hendak mengangguk, Tamara menarik lengan Kirana, “Kita ‘kan mau berangkat ke kantor bareng! Lo lupa ya?” Kirana menatap Tamara bingung. Beberapa menit lalu tidak ada pembicaraan itu perasaan. “Ayo ajak Andin berangkat sama kita aja. Kasian mas Reno, nanti kesiangan. Dia ‘kan paling gak suka telat sampe kantor.” terang Tamara gamblang. Reno mengernyit, “Kamu tahu dari mana?” Tamara melongo. Ia membetulkan kaca matanya dan tersenyum kikuk, “Keliatan dari garis wajahnya.” Reno tertawa. Tawanya membuat Tamara kaget. Sepuluh tahun pernikahan mereka, ia hanya melihat tawa suaminya beberapa kali. “Kamu ada-ada aja. Ya udah aku panggil Andin dulu ya.” Tamara mengangguk. “Aku juga udah kabarin bis jemputan dari sekolah, kalo hari ini Andin berangkat sama maminya.” “Iya, mas.” jawab Tamara cepat. Kirana yang sadar badan mereka tertukar mengkode Tamara yang lupa bahwa mereka harus bertukar peran mulai dari hari ini entah sampai kapan. “Eum, maksud aku... aku mewakili jawaban Tamara asli.” Kening Reno mengkerut, “Tamara asli?” Tamara melotot. Ia ingin sekali memukul mulutnya yang terus salah bicara hingga membuat Reno berkali-kali memprotes, “Eum, Tamara aja maksudnya.” “Aku panggil Andin dulu.” Kirana mengangguk. Setelah memastikan Reno masuk ke dalam rumah, Tamara menyeret Kirana, “Lo tuh yang tanggap dong, Na! Gue capek di curigain terus sama mas Reno!” Kirana menarik tangannya dari Tamara, “Iya, maaf. Aku cuma belum terbiasa sama pertukaran badan kita, Ra.” “Ya lo pikir gue terbiasa gitu? Lo mikir dong, jangan bengong terus!” Kirana mengangguk. “IPK kita ‘kan cuma beda koma sekian, tapi gue ngerasa lo tuh.... ah, gak usah di bahas.” Andin berlari menghampiri Kirana, “Mamiii.” Tamara yang melihat itu kebingungan. Kenapa Andin terasa dekat dan senang sekali pada Kirana yang terjebak dalam badannya? Kirana berjongkok untuk menyamai tinggi badannya dengan Andin, “Anak mami yang cantik ini udah siap sekolah?” Andin mengangguk sambil tertawa riang memamerkan giginya yang ompong. “Bukunya ada yang ketinggalan gak?” Andin menggeleng, “Udah semua.” “Pinter. Bekel yang mami siapin juga udah?” Andin mengangguk, “Udah dong.” Kirana mencolek hidung Andin gemas, “Ya udah kita berangkat sekarang ya biar gak telat.” “Iya, mami.” Kirana menatap suster Tina, sitter yang mengurus semua keperluan Andin dirumah, “Sus, makasih banyak ya. Saya anterin Andin sekolah dulu. Nanti pulangnya juga saya jemput.” Suster Tina bergeming. Ia bingung karena merasa majikannya yang tidak seperhatian ini berubah menjadi ibu yang hangat, “Iya, bu.” Kirana berdiri, ia yang siap menuntun Andin ke mobil dihentikan Reno. Ia menoleh, “Kenapa, mas?” Reno menggeleng, “Ini tas kamu.” Tamara memperhatikan cara Reno menatap Kirana. Tatapannya beda dari hari-hari biasanya. “Makasih, mas, aku hampir aja lupa.” Reno menggangguk. “Sayang, salim dulu sama papi sama suster Tina juga.” Andin menurut. Ia salim pada Reno dan suster Tina, “Andin sekolah dulu ya, pih, sus.” Reno mengangguk dan mengelus rambut Andin pelan, “Belajarnya yang pinter ya anak papi.” “Pasti dong. Dadah papih, dadah, sus.” Suster Tina melambaikan tangannya, “Hati-hati ya.” “Iya. Mamih ayo.” Andin menarik tangan Kirana. Ia mengacuhkan Tamara yang berdiri menunduk karena merasa sikap Reno dan Andin pada Kirana sangat baik, tidak seperti padanya. “Tante, ayo. Tante jadi ‘kan anterin aku sama mamih ke kantor?” Tamara melotot. Ia tidak terbiasa dipanggil tante oleh Andin. Ia mengangguk lalu menatap Reno, “Mas, aku permisi.” Reno mengangguk, “Hati-hati ya. Makasih juga tawaran buat nganterin Andin sama Tamara.” Tamara mengangguk. Ia berjalan membuntut dibelakang Andin dan Kirana yang sudah jalan lebih dulu sambil bersenandung menyanyikan lagu Bintang Kecil. “Sayang, pegangan sama tante.” pinta Kirana. Andin mengangguk. Tangannya menarik lengan Tamara erat, “Tante, namanya siapa?” Tamara menatap Kirana, “Eum... nama tante Kirana.” “Oh, namanya cantik, sama kayak orangnya.” Sudut bibir Tamara naik. Andin baik sekali. Padahal selama ini ia tidak pernah mengajarkan hal-hal seperti itu padanya. Sejak bayi hingga kini anaknya berusia lima tahun, Andin di asuh suster Tina. Mereka tidak dekat. Bukan, tapi Tamara yang enggan terlalu dekat dengan Andin. “Ayo masuk, sayang.” Kirana membuka ‘kan pintu belakang mobil untuk Andin. Andin masuk dan duduk dengan tenang di jok belakang. Setelah Kirana menutup pintu mobil, Tamara menarik lengan Kirana, “Ikut gue dulu!” “Kenapa, Ra?” Tamara melepaskan lengan Kirana, “Inget, ya, Na, mas Reno dan Andin itu milik gue! Jangan karena badan kita ketuker lo bisa seenaknya ambil mereka.” Kirana menggeleng, “Aku gak ngambil siapa-siapa, Ra. Aku cuma menjalankan peran kamu sebagai seorang istri dan ibu dirumah, itu aja.” “Jangan bersikap berlebihan sama mereka. Dan satu hal yang harus lo inget. Nanti malem, jangan sampe lo tidur berdua sama mas Reno!” “Ta-tapi, kalo mas Reno curiga gimana?” “Ya lo bilang apa kek, lagi pengen tidur sendiri atau apa terserah lo. Jangan pernah sentuh sedikitpun suami gue!” Kirana mengangguk, “Oke. Kalo gitu aku juga minta jangan pernah sentuh sedikit pun ibu aku.” Tamara mundur. Entah ia bisa memenuhi pinta Kirana atau tidak.Tamara mengatur nafasnya yang terasa sesak. Ia berusaha tenang dan tak mencurigakan dihadapan Reno, “Oh iya, aku lupa, mas.”“Gak papa, waktu itu kamu lagi... berantakan banget. Karena omongan tante Ira ‘kan?"Tamara mendongak. Tante Ira itu siapa sih? Kenapa banyak orang yang membicarakannya? Ia menjadi sangat penasaran dengan sosok itu.Tamara mengangguk, “Iya, mas.”“Udah, jangan terlalu di ambil hati. Tante Ira gak tahu apa yang terjadi sama kamu.”Tamara membetulkan posisi duduknya, “Mas, aku boleh tanya sesuatu?”“Boleh, kenapa, Ki?”“Eum... menurut kamu perubahan penampilan aku gimana?”Reno diam. Ia hanya menatap manik Tamara datar.“Mas?”“Eum... perubahan kamu?”Tamara mengangguk. Ia begitu menunggu jawaban itu.“Aku agak kaget sih, tapi... ya kalo itu bisa bikin kamu nyaman dan merasa lebih percaya diri aku dukung. Lagian ‘kan kamu berniat mengubah penampilan dari dulu. Jadi aku gak terlalu terkejut. Kemaren waktu liat kamu tiba-tiba full makeup kayak Tamara, ak
Setelah mencari cara untuk tidak ikut liburan ke Bandung bersama ayah dan ibu yang sekalian akan bertemu sanak keluarga yang lain, Tamara memiliki waktu yang lebih leluasa untuk keluar rumah.Menjadi Kirana membuatnya seperti terkurung dalam kasih sayang yang berlebih. Bukan ia tidak suka, terkadang ia hanya jengah dan tak terbiasa. Aturan Reno dan mama saja dirumah sering ia abaikan, kenapa ia harus mengikuti semua aturan ayah dan ibu yang memintanya tidak sering keluar rumah?“Gue harus cari tahu sendiri apa yang sebenernya terjadi antara Kirana sama mas Reno. Kirana gak mungkin ngaku. Dia pasti gak akan pernah jawab pertanyaan gue. Harapan gue cuma sama mas Reno.” monolognya sambil menyetir dengan kecepatan tinggi menuju kantor advertising milik Reno.Tidak butuh waktu lama, karena jalanan tidak seramai biasanya, mobil Tamara cepat sampai di kantor Reno. Ia memarkirkan mobilnya dan berjalan kesal karena menahan amarah yang teramat pada Kirana.Begitu berada di lobbi, Tamara yan
Tamara tak berselera makan. Sepulangnya dari rumah bertemu Kirana dan mendapati ia sudah melakukan hal itu dengan Reno membuatnya enggan melakukan apapun termasuk makan bersama ibu dan ayah. Ia terus duduk termenung di dalam kamar.Ibu dan ayah yang mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit merasa keheranan. Tadi pagi anak semata wayangnya begitu bersemangat memberikan oleh-oleh untuk teman barunya, Tamara, kenapa kini jadi seperti ini?“Ayah gak salah denger, bu? Kirana temenan sama orang yang bully dia waktu kuliah?” ayah melotot kaget ketika ngobrol berdua dengan ibu setelah mengintip Tamara yang sedang sedih.Ibu mengangguk, “Yah, sekarang orangnya udah berubah. Dia udah tahu kesalahannya dan menyesal. Emang apa salahnya mereka jadi temen?”“Bu, kita sama-sama tahu sifat Kirana bagaimana. Kalau ternyata Kirana hanya dimanfaatkan sama yang namanya Tamara-Tamara itu gimana?”“Ayah jangan berprasangka buruk sama Tamara. Anakny
Pov KiranaSepulangnya mengantar Tamara pulang dan berbincang dengan ibu sebentar membuat Kirana memiliki energi lebih sore ini. Ia terus tersenyum bahagia karena kini ia punya cara untuk terus bertemu ibu.Reno yang baru bangun tidur melirik istrinya tanpa henti, “Sayang?"“Hm?"“Kamu kenapa senyum-senyum?”“Gak papa.”Reno bangkit dari posisi tidurannya, ia duduk disebalah Kirana, “Aku mau.”“Hm? Mau apa, mas?”Reno menggenggam tangan Kirana, “Andin ‘kan udah gede, udah saatnya kita kasih adek buat dia.”Kirana melotot, “Mas, jangan dulu.”“Kenapa?”“Eum... aku lagi banyak kerjaan. Aku harus beresin kerjaan aku.”“Sayang, ini ‘kan sabtu. Besok aja kelarinnya, oke?”Kirana tak punya alasan lagi. Ia diam saja saat Reno menciumi pipi dan lehernya. Ia tidak bisa menolak gejolak ini, apalagi ia sering membayangkan ini terjadi sedari dulu.Reno meremas kedua buah mochi Kirana, “Kita pindah ke kamar mandi yuk. Udah lama kita gak main disana.”Kirana tak menjawab, tapi ia ber
Tamara tak menyerah, ia terus mencari keberadaan nenek-nenek cantik namun aneh itu kemana-mana. Ia bahkan menghampiri dapur, barangkali nenek itu nyasar kesini.“Ada yang bisa kami bantu, mbak?” tanya pramusaji yang melihat Tamara kebingungan.“Eum...”“Mbak kehilangan anak mbak?”Tamara menggeleng, “Mbak, saya cari orang, tapi bukan anak saya. Saya cari... saya bisa lihat rekaman cctv dimana ya?”“Untuk itu mohon maaf, mbak, kami tidak bisa memberikan rekaman cctv sembarangan.”Tamara yang baru buka mulut melihat kedatangan manager kafe yang menghampiri mereka.“Ada apa ini?”Tamara menatap manager kafe yang seumuran dengan Reno itu, “Mas, saya lagi cari orang, dia... keluarga jauh saya, dia udah pikun. Saya takut dia... menghilang.’“Menghilang?”“Eum maksudnya.... dia nenek-nenek, umurnya sekitar tujuh puluh tahun. Neneknya udah agak pikun, jadi... mas ngerti ‘kan? Saya perlu cek c
Acara semalam berjalan dengan baik. Meskipun ada pertengakaran kecil antara Tamara dan Kirana karena lagi-lagi mereka membuat kesalahan di depan Erik dan Reno, setidaknya mereka bisa mengatasinya. Tamara sudah mengirimkan detail semua tentang dirinya pada Kirana, begitupun sebaliknya. Mereka terus berlatih sehingga sudah hari ke-empat akhirnya mereka terbiasa menjadi Tamara dan Kirana.Tamara kini tengah bersiap pergi bersama Kirana untuk membicarakan rencana mereka kedepannya.Tok-Tok-Tok“Sayang?”“Iya, bu?”“Itu temen kamu udah jemput.”Tamara mengernyit, “Temen gue ngejemput? Perasaan gue gak ada janji sama siapapun lagi deh."Dengan cepat Tamara membawa tasnya dan keluar dari kamar, “Siapa, bu?”“Namanya Tamara.”“Hah? Eum... oh, Tamara.”Ibu mengangguk, “Eum, sayang, sebelumnya ibu boleh tanya gak?”“Boleh, bu, kenapa?”“Tamara itu.. bukannya orang