"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
“Keputusan ku sudah bulat,” ujar Saga.Satu bundle kertas disodorkan kepada Lian, perempuan yang sudah ia nikahi selama lima tahun. Lian menaruh sendok makannya dan meraih kertas tersebut. Di atasnya tertera nama sebuah rumah sakit besar dan ada identitas nama suaminya. Perempuan itu lalu membacanya perlahan, mencoba memahami data yang tertulis rapi di sana. Sayangnya, ia sama sekali tidak mengerti, meski tulisan itu menggunakan bahasa Indonesia.“Apa ini mas?” tanya Lian dengan kening yang mengernyit dan menatap suaminya.“Hasil medical check up dan beberapa tes untuk tindakan Vasektomi, satu bulan lagi.” Saga menjawab dengan begitu santainya seolah ini hanya persoalan flu.“Apa?!” Lian menolak paham, informasi macam apa ini?“Aku sudah riset dan banyak membaca jurnal dan artikel. Aku juga sudah konsultasi dengan dokter berpengalaman. Ini akan banyak manfaatnya, Lian, kita tidak perlu khawatir soal kebobolan dan kamu tidak perlu minum pil KB yang mungkin suatu hari akan mempunyai dam
"Jangan telepon lagi! Bukankah kemarin aku sudah bilang, rescedule jadwalku seminggu ke depan, apa kamu masih kurang paham?!" "Hey, hello! Lian sayang, kenapa kamu pagi-pagi sudah marah-marah? Baru PMS? Atau semalam tidak menyenangkan bersama Saga?"Lian mendengus di balik telepon itu. Mood-nya memang sangat buruk pagi ini, tentu saja ini adalah dampak persoalan semalam dengan Saga. Ia bahkan baru bangun di pukul sebelas pagi karena semalaman ia habiskan untuk menangis."Pokoknya jangan ganggu aku hari ini. Masalah kerjaan kita obrolkan lain kali saja!" protes Lian dan menutup sambungan telepon itu sepihak tanpa mau mendengarkan Hana —managernya— lebih lanjut.Ia melemparkan ponselnya di atas ranjang, mengucir rambutnya asal dan berjalan ke wastafel untuk mencuci muka. Matanya sungguh membengkak dan wajahnya mirip seperti zombie. Ia mengusap kedua pipinya yang kusam karena tidak memoleskan skincare malamnya.Saat ia keluar kamar dan mau ke dapur untuk mengambil minum, ia menemukan Sa
"Nah itu!!" ujar Anggi sampai Lian kaget."Iya, tapi apa?" tanya Lian dengan wajah sedikit putus asa."Hmm ... Mengingat karakter Saga yang begitu, kamu sepertinya harus bekerja keras untuk meluluhkan batu karang itu. Coba kamu ajak Saga ngobrol baik-baik. Atau rayu dia dulu supaya mau membatalkan niatnya. Siapa tahu kalian hanya butuh mengobrol.""Bagaimana jika tidak mempan? Dia susah dipengaruhi dan selalu pada pendiriannya. Kadang aku kesal bicara dengannya."Anggi mengangkat Miko dari baby chair dan memangkunya. "Itu tugas kamu mencari strategi jitu. Ah! Atau begini saja jika memang Saga susah diajak bicara dan kekeh dengan keputusannya, fokus dulu dengan tujuanmu. Kamu mau punya anak kan darinya?"Lian mengangguk setelah mengelus pipi gembul Miko. "Ya sudah, targetkan itu sebelum Saga benar-benar melakukan vasektomi. Satu bulan itu waktu yang lama, Lian!" Anggi memancing Lian untuk berpikir lebih luas.Lian terdiam sejenak, memahami maksud Anggi. Lalu satu ide kembali muncul. "
Lian adalah fighter sejati. Ia ingat perjuangannya menjadi model seperti sekarang tidaklah semulus jalan tol. Ada banyak halangan dan rintangan yang terjadi. Mulai dari ditolak puluhan agensi, ditipu agensi, hampir dilecehkan oleh salah satu kru mesum sampai latihan fisik berminggu-minggu hingga tipes. Belum lagi beban menghadapi senior yang suka membully dan memfitnahnya.Saat akhirnya Lian berhasil mendapatkan kerjaan pertama menjadi model sebuah iklan produk, ia diharuskan pergi ke luar kota beberapa hari. Dan saat itu juga, Anggi mengabari jika mamanya meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya, karir Lian semakin melejit. Ia dipercaya menjadi brand ambassador beberapa produk dan menjadi bintang sampul majalah wanita terpopuler. Lagi-lagi, ia tidak bisa melihat saat-saat terakhir papanya karena harus pemotretan di puncak dan susah sinyal. Ia pulang dan mendapati papanya sudah tiada. Jika tahu kesuksesannya di model harus mengorbankan waktu untuk bersama kedua orang tuanya disaat-s
Setelah makan siang, Lian memilih untuk ikut Saga menemui karyawannya yang kini masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sepertinya ini lebih baik daripada ia harus terkurung di dalam kabin kecil itu dan merasa bosan.Sebagai iktikad baik mewakili perusahaan, Saga mau meminta maaf dan memberikan santunan. Mereka pergi dengan penanggung jawab lapangan dan dua pengawal yang biasanya bersama Saga. Sesampainya di rumah sakit, Lian cukup sedih melihat kondisi tiga karyawan itu terbaring dengan kaki yang diperban, dengan kepala yang diperban dan juga tangan. Lian memang tidak tahu cerita detailnya, tapi dari yang Saga katakan, ketiga karyawan ini terhantam alat berat saat sedang bekerja. "Putra rencananya hari ini di operasi pak kakinya. Kalau Deni tangannya sudah baikan dan Aji tinggal pemulihan kepalanya setelah dijahit dua puluh jahitan."Lian menghela napasnya, sedih mendengar itu.Saga mengangguk menerima informasi dari penanggung jawab