Share

Bukan Istana tapi Neraka

Sepanjang perjalanan ke tempat yang dimaksud Zen, Lea hanya duduk sambil menatap nyalang pada pria tersebut. Wanita itu sama sekali tidak tahu ke mana tujuan Zen.

"Aku akan membayarmu. Katakan saja berapa yang kau mau," ujar Zen.

Pria itu tampak sangat tenang. Entah apa pekerjaannya, tapi Lea bisa melihat kalau uang bukanlah sesuatu yang berarti untuk Zen.

"Aku tidak menginginkan uangmu, Berengsek!" tolak Lea mentah-mentah.

Jika bukan karena apa yang telah dilakukan Zen padanya, bisa jadi sekarang Lea akan dengan senang hati menyebut nominal yang dia inginkan. Namun, dengan sejarah pertemuan mereka, wanita itu tidak akan sudi menerima uang dari pria tersebut.

Zen terkekeh. Meski berkali-kali Lea mengumpat di depan wajahnya, pria itu tetap terlihat santai. Lea bukan wanita bodoh. Bertahun-tahun hidup dengan ayah tirinya, membuat Lea sedikit banyak memahami karakter pria yang berhadapan dengannya. Dan untuk Zen ... Lea harus bekerja lebih keras untuk bisa mengintimidasi atau mengacaukan emosi pria tersebut.

"Okay, kalau begitu biar aku yang memikirkannya," ujar Zen.

Lea memalingkan wajah ke jendela yang tertutup tirai berwarna hitam.

'Sial! Aku sama sekali tidak tahu ke mana bajingan ini akan membawaku,' batin Lea ketika dirinya tidak bisa melihat apa pun di luar sana.

Setelah cukup lama berada di dalam limosin, akhirnya pergerakan limosin itu berhenti. Lea bersiaga. Dia harus waspada karena dia sama sekali tidak tahu tempat seperti apa yang mereka datangi saat ini.

Seseorang membukakan pintu dari luar.

"Ayo, turun! Kita sudah sampai," ujar Zen.

Pria itu turun lebih dulu. Mau tidak mau, Lea mengikutinya. Begitu menjejakkan kaki di paving block, bola mata Lea langsung bergulir, menyapu seluruh penjuru tempat itu yang mampu dia jangkau.

Kerjapan pelan kelopak mata Lea serta bibirnya yang sedikit terbuka, menunjukkan bahwa apa yang dilihat oleh wanita itu adalah sesuatu yang sangat menakjubkan. Bangunan super megah yang menjulang tinggi itu terlihat seperti sebuah istana dalam negeri dongeng. Bangunan bergaya Eropa yang mirip dengan kastil tapi memancarkan pesona modern yang sangat apik dengan adanya helikopter yang bertengger gagah di helipad. Perpaduan gaya klasik dan modern yang sempurna.

"Berhenti mengagumi istanaku, Sweet Cake. Karena kau akan melihatnya setiap hari. Mulai sekarang kau akan tinggal di sini." Zen menyeringai. "Bekerja untukku."

Zen yang sudah beberapa langkah dari Lea ternyata menyadari ketakjuban wanita itu terhadap mansion-nya. Ucapan Zen membuat Lea tersadar bahwa dirinya tidak sedang berada di depan sebuah istana, tetapi sebuah neraka.

Wanita itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sambil melangkahkan kaki mengikuti Zen, diam-diam dia membaca situasi. Dia tidak ingin terjebak di dalam neraka ini dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai pelayan pria sialan itu. Dia harus mencari cara untuk kabur.

'Sial! Penjagaannya ketat sekali. Bagaimana aku bisa kabur jika ada penjaga sebanyak itu?' geram Lea dalam hati.

Banyak sekali pria dengan setelan jas berwarna hitam yang bisa Lea lihat hampir di seluruh penjuru bangunan tersebut. Dengan earpiece yang terpasang di telinga mereka, Lea sangat yakin kalau di balik jas mereka juga terselip senjata api yang siap diletuskan kapan saja.

Menyambut kedatangan Zen, para pelayan berbaris dengan kepala menunduk di depan pintu raksasa yang dibiarkan terbuka lebar. Lea meneliti penampilan para pelayan yang dia lewati satu persatu. Semua wanita itu memiliki postur tubuh yang nyaris sama. Masih muda dan... cantik. Menurut Lea, itu adalah standar yang terlalu bagus untuk seorang pelayan. Dandanan dan seragam yang serupa, membuat barisan wanita itu terlihat seperti deretan anak kembar yang mengantre untuk mendapat permen.

Berdiri di ujung barisan, seorang pria dengan warna seragam yang sama dengan para pelayan, memberi salam kepada Zen. Tentu saja, Zen bersikap seperti pria berengsek kaya raya pada umumnya. Tidak membalas sapaan pria yang Lea duga sebagai kepala pelayan di istana iblis tersebut.

"Selamat malam, Tampan. Pria itu memang berengsek. Aku baru saja menyumpahinya supaya dia tidak bisa lagi menggunakan mulutnya untuk berbicara seumur hidup. Jadi tidak perlu kecewa kalau pria berengsek itu tidak menjawab salammu." Lea sengaja berhenti melangkah dan membalas sapaan kepala pelayan tersebut untuk memancing emosi Zen.

Namun, reaksi yang dia dapat sama sekali tidak seperti yang dia harapkan. Kepala pelayan itu menoleh pada tuannya sekilas lalu menunduk dengan wajah pias. Begitu pula dengan para pelayan yang berbaris itu. Sekilas tadi, mereka melirik ke arah Lea yang begitu berani berbicara lancang di depan majikannya. Namun sekarang, tidak ada satu pun dari mereka yang berani menggerakkan tubuh. Kepala mereka menunduk semakin dalam. Apalagi saat Zen berbalik dan berjalan ke arah mereka.

"Tutup mulutmu, Sweet Cake. Jangan menguji kesabaranku. Aku bisa bersikap manis padamu, dan kau tidak akan pernah bisa membayangkan sekejam apa diriku," ujar Zen dengan nada datar dan tenang, persis di sebelah wanita itu.

Lea tidak takut. Dia mengangkat wajah dan menatap Zen dengan mata sedikit menyipit.

"Show me!" tantangnya dengan berani.

Rahang pria itu tampak mengeras untuk beberapa saat. Iris hitam kelam yang tersembunyi di balik mata cekung itu menyorot tajam pada Lea. Suasana pun berubah mencekam bagi mereka yang sudah mengenal Zen dengan baik. Karena murka Zen sama artinya dengan timah panas yang melesat ke jantung mereka.

Lea tersenyum samar ketika melihat Zen yang hampir termakan amarah. Namun itu tidak berlangsung lama. Zen menarik napas lalu memgembuskannya dengan keras sambil memejamkan mata. Lantas, pria itu menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

"Percayalah, kau tidak akan suka melihatnya. Sekarang ... ikut denganku dan akan kutunjukkan di mana kau akan tidur malam ini."

Gagal! Ternyata Zen tidak terintimidasi oleh tantangannya. Pria itu meraih tangan Lea lalu setengah menyeretnya berjalan menapaki anak tangga. Percayalah, pria itu sedang menekan emosi sekuat tenaga. Lea mencoba menarik tangannya, tapi lagi-lagi dia harus menyerah pada kekuatan Zen.

Berjalan menyusuri koridor yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna coklat gelap. Zen mendorong pintu tersebut lalu membawa Lea masuk ke dalamnya.

"Kamar ini adalah milikmu," ujar Zen sembari melepaskan tangan Lea.

Wanita itu melihat ke sekeliling. Lagi-lagi Lea dihadapkan dengan nuansa klasik Eropa. Kamar itu terbilang sangat luas. Dua kali lebih luas dari ruang tamu di apartemennya. Perabotan antik dan cantik menghiasi beberapa sudut kamar. Perpaduan warna soft blue dan abu-abu, membuat kamar itu terkesan sangat manis. Okay, Lea menyukai kamar itu.

Lalu, wanita itu berjalan ke arah satu-satunya jendela yang ada di kamar tersebut. Dia menyibak tirai berbahan sangat lembut yang menggantung rapi di sana. Di luar, tidak ada apa pun yang bisa dia lihat selain pekat malam. Teralis yang terpasang kuat di jendela tersebut, membuatnya merasa seperti tahanan. Miris. Well, Lea tidak jadi menyukai kamar itu. Dia menutup tirai dengan kasar lalu berbalik dan menatap kesal pada Zen.

"Aku tidak mau tinggal di sini!" kata Lea.

"Sayangnya kau tidak punya pilihan lain, Sweet Cake. Aku sudah membayarmu dengan sangat mahal."

Lea menggeleng. "Aku tidak sudi menerima uang busukmu! Dan aku tidak sudi bekerja untukmu!"

Pria itu menghela napas lalu berjalan ke arah Lea. "Aku bilang, aku sudah membayarmu. Kau bisa memeriksa saldo di rekeningmu kalau tidak percaya."

Kelopak mata Lea mengerjap cepat beberapa kali. Lalu, dia mengambil ponsel dari dalam tas dan memeriksa saldo rekeningnya. Kedua mata wanita itu membulat, mulutnya menganga tidak percaya saat melihat nominal fantastis yang tertera di layar ponsel tersebut. Tapi dia sama sekali tidak merasa senang dengan hal itu. Lantas, dia menipiskan bibir dan menatap tajam pada Zen.

"Berikan nomor rekeningmu! Aku akan mengembalikan semua uangmu!"

Zen bergerak semakin mendekat pada Lea. Dia mengambil ponsel wanita itu dengan cepat.

"Hei, kembalikan!" pekik Lea sembari berusaha merampas kembali ponselnya.

"Aku akan meyimpannya untukmu. Karena kau tidak akan membutuhkan benda ini saat bekerja." Zen memasukkan ponsel tersebut ke saku celana.

Melihat hal itu, Lea semakin geram. Dia tidak mungkin menggerayangi saku celana Zen.

"Kembalikan ponselku!" Lea menadahkan tangan.

"Kau tidak mendengarku, Sweet Cake. Aku sudah bilang kalau aku akan menyimpannya untukmu. Atau ... kalau kau mau, kau bisa mengambilnya sendiri." Zen menyeringai sambil menunjuk saku celananya dengan tatapan mata.

Wanita itu menggertakkan gigi. Dia sangat ingin menghajar pria di hadapannya itu. Tapi dia tahu hal tersebut hanya akan berakhir sia-sia.

"Bajingan!" umpat Lea.

Zen terkekeh. Pria itu hendak menyentuh wajah Lea, namun wanita itu berpaling dengan cepat, membuat tangan pria itu menggantung di udara.

"Baiklah." Zen menarik kembali tangannya. "Buatlah dirimu nyaman. Aku akan kembali dan membawakan pekerjaan untukmu. Saat itu, kau akan membutuhkan banyak sekali tenaga untuk menyelesaikannya." Pria tersebut mengedipkan sebelah mata sambil menyeringai.

Selepas mengatakan itu, Zen berbalik. Dia meninggalkan Lea dan mengunci wanita itu di dalam kamar.

"Berengsek!" Lea berteriak marah. "Okay, aku harus mencari cara untuk melarikan diri dari sini. Come on! Come on! Berpikirlah Lea! Kau bisa melarikan diri dari Bram. Pasti ada cara untuk melarikan diri dari pria sialan itu." Lea mondar-mandir sambil bermonolog.

***

tbc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status