Bosan? Jelas! Sudah hampir satu bulan Lea terkurung di mansion Zen. Namun, belum sekali pun pria itu meminta untuk dilayani seperti yang pernah dia katakan sebelumnya. Bukan karena Lea juga menginginkan Zen, melainkan karena Lea ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.
Lelah memberontak, Lea akhirnya pasrah. Jika memang dia harus melayani pria tersebut untuk bisa terbebas dari Zen, maka dia akan melakukannya.
"Aku tahu Grace sangat menyebalkan, tapi aku benci saat harus mengakui kalau aku merindukannya," ujar Lea bermonolog.
Lea bertanya-tanya dalam hati, apakah Grace saat ini sedang mencarinya karena mangkir dari pekerjaan? Jika memang begitu, Lea sangat berharap bahwa Grace akan menemukan dirinya di sarang penyamun itu.
Lea menghela napas. Sejak pagi, dia hanya duduk di dekat jendela untuk melihat hutan belantara yang berada di belakang mansion. Lalu, tiba-tiba pintu kamar Lea dibuka dari luar. Wanita itu berpaling ke arah pintu.
"Aku datang membawa kabar gembira," ujar orang yang baru saja masuk. Dia adalah Clint.
Lea memalingkan wajah. Meski sudah cukup lega karena Clint tidak pernah bertanya lagi tentang asal usul Lea setelah melihat dengan jelas wajah wanita itu, namun hal tersebut tidak berarti bahwa Lea senang berinteraksi dengan Clint. Bagi Lea, Clint sama saja dengan Zen.
"Pergilah! Aku sedang tidak ingin diganggu," usir Lea dengan tatapan mengarah pada jendela.
Clint berhenti melangkah di dekat single sofa yang diduduki Lea.
"Kau yakin tidak ingin mendengar kabar gembira yang kubawa?" Clint memasukkan tangannya ke saku celana sambil menoleh pada Lea.
"Tidak!" tolak Lea.
Satu-satunya kabar gembira yang ingin Lea dengar adalah saat di mana dia akan mendapatkan kebebasannya kembali, dan ... sepertinya, hal itu sangat mustahil untuk waktu sekarang. Apalagi Zen sama sekali belum menagih pekerjaan untuk uang yang pria tersebut berikan.
"Sayang sekali." Clint menarik kedua sudut bibirnya ke bawah. "Padahal taman anggrek di sayap timur sedang dipenuhi dengan bunga yang bermekaran. Kau tidak tertarik?"
Kepala Lea berputar dengan cepat ke arah samping. Dia harus setengah menengadah untuk melihat pada wajah Clint yang sedang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Hehem, kau tidak salah mendengar. Aku ingin mengajakmu keluar dari ruangan membosankan ini," ujar Clint yang seolah dapat membaca pikiran Lea.
"Kau mau menipuku?" Lea tidak percaya.
Bagaimana bisa dia percaya dengan pria yang dia tahu sebagai salah satu orang kepercayaan Zen? Bisa saja Clint mengajaknya keluar hanya untuk membuatnya menumbuhkan harapan yang pada akhirnya hanya akan ditumbangkan oleh niat asli pria tersebut.
"Aku bernegosiasi dengan Zen. Aku bilang padanya kalau kau butuh menghirup udara segar dan bergerak lebih banyak supaya kondisi fisikmu kuat saat harus melakukan 'pekerjaanmu'," jawab Clint.
"Dan kau pikir aku percaya?" tanya Lea sarkas.
"Kau memang harus percaya padaku." Clint menoleh ke belakang seperti seseorang yang sedang mengintai pergerakan penjaga yang ada di depan kamar Lea. "Karena aku adalah satu-satunya orang baik di mansion ini," lanjutnya sembari berbisik.
Dulu, Lea tahu dan dia yakin bahwa Clint adalah orang yang baik. Akan tetapi sekarang ... setelah Lea melihat di mana pria itu tinggal dan dengan siapa dia bergaul, keyakinan Lea tersebut semakin luntur.
Daripada memercayai Clint, Lea lebih memilih untuk kembali menikmati hijaunya pepohonan yang membentang di hadapannya.
"Jadi... kau benar-benar tidak memercayaiku?" Clint menoleh pada wanita itu. "Baiklah, aku akan memberimu bukti."
Clint merogoh saku celana lantas mengambil ponselnya. Pria itu membuat panggilan pada Zen.
"Aku akan menghubunginya dengan mode speaker supaya kau bisa mendengarnya secara langsung," tutur Clint.
Diam-diam, Lea menajamkan pendengarannya. Ketika panggilan itu tersambung, Lea benar-benar mendengar suara Zen. Dari obrolan kedua pria tersebut, Lea tahu bahwa keduanya memiliki hubungan yang cukup baik meski kata-kata yang keluar dari mulut mereka terdengar ketus dan sarkas.
"See? Aku tidak berbohong." Clint kembali memasukkan ponsel ke dalam saku setelah selesai menelepon Zen. "Jadi ... kau mau menghabiskan waktu sebentar denganku?" tanyanya.
Lea diam sambil berpikir. Sebetulnya, tawaran yang diutarakan Clint adalah salah satu keinginannya. Selain itu, Lea juga akan mendapatkan keuntungan untuk mengenal bangunan bergaya Eropa itu dengan lebih baik. Terkurung di dalam kamar selama satu bulan membuat wanita itu terisolasi dari keindahan mansion tersebut.
"Baiklah," ujar Lea yang disambut senyum lebar oleh Clint.
Lea bangkit, lalu berdiri menghadap pria tersebut. "Aku mau pergi denganmu, tapi aku mau kau menjawab semua pertanyaanku."
"Um ...." Clint mengerutkan alis sambil mengusap dagu. "Okay," lanjutnya kemudian.
Lea tersenyum tipis, tidak seantusias Clint yang begitu semangat untuk mengajak Lea menghabiskan waktu bersamanya. Penjaga yang bersiaga di depan kamar Lea menajamkan pandangan pada dua orang yang baru saja keluar dari kamar tersebut.
"Tidak perlu tegang, aku sudah meminta izin dari tuan kalian," ucap Clint sembari menepuk dua kali lengan salah satu penjaga tersebut. Setelah itu, baru dua penjaga itu mengangguk dan membiarkan mereka pergi.
Ini adalah pertama kalinya Lea keluar dari kamar tersebut. Pertama kalinya juga dia melihat kondisi mansion dalam keadaan terang benderang karena saat dia dibawa ke mansion tersebut, yang dia lihat dominan dengan kegelapan. Pemandangan yang tidak mengherankan mengingat letak mansion tersebut yang dikelilingi hutan. Bangunan itu berdiri kokoh di atas tanah pribadi milik Zen.
"Apa yang ingin kau tanyakan padaku?" tanya Clint ketika mereka berjalan menuju sayap timur bangunan di mana ada sebuah taman anggrek yang berada di dalam ruangan yang memiliki atap kaca.
Lea menoleh sekilas pada pria yang berjalan di sampingnya itu.
"Zen Aberdein. Siapa sebenarnya dia?" tanya Lea.
"Zen Aberdein," ulang Clint. Pria itu mengarahkan pandangannya ke depan sambil tersenyum tipis. "Dia adalah pengusaha sukses yang berhasil mengalahkan ketakutan terbesarnya untuk apa yang dia capai hingga saat ini."
Jawaban Clint terdengar tidak memuaskan untuk Lea. Wanita itu mendengkus sambil berpaling ke arah yang berlawanan dari Clint. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Melihat apa yang dimiliki Zen, Lea tidak akan meragukan kesuksesan pria tersebut. Namun, bukan itu yang Lea maksud.
"Kau tahu apa yang kumaksud, Dokter. Jadi aku harap kau tidak akan mengira kalau aku akan memercayainya begitu saja," balas Lea.
"Hei, aku mengatakan yang sebenarnya. Zen tidak mendapatkan semua ini dengan mudah. Banyak sekali yang dia korbankan untuk bisa mencapai apa yang dia raih sekarang."
"Okay, anggap saja aku percaya." Lea menggerakkan bahunya. "Jadi ... apa sebenarnya pekerjaan Zen? Bisnis apa yang dia kerjakan?" Wanita itu kembali bertanya.
"Bisnisnya?" Clint tertawa. Entah apa yang lucu dari pertanyaan Lea, tapi tawa Clint begitu keras hingga matanya berair. "Mau aku mulai dari mana? Tapi ... setelah kau tahu, kuharap aku tidak perlu memberimu obat tidur untuk membantumu terlelap."
Kening Lea berkerut. Apa maksud ucapan Clint?
***
tbc.
Update malam lagi. Sorry, Guys, masih sibuk banget dengan kerjaan di real life.
See ya!
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na