Share

Pria dari Masa Lalu

Secepatnya Lea menundukkan kepala saat Clint berjalan mendekat. Wanita itu sengaja membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, takut jikalau Clint akan mengenali dirinya.

Clint duduk di tepi ranjang, di sebelah kaki Lea yang terbungkus selimut.

"Biarkan aku memeriksa kondisimu," ujar Clint.

Tidak seperti tadi yang begitu menggebu untuk meronta. Ketika Clint memeriksa kondisinya, Lea mendadak bisu. Wanita itu tidak mengatakan apa pun dan hanya menurut ketika Clint memintanya melakukan sesuatu, kecuali menunjukkan wajahnya.

"Siapa namamu?" tanya Clint seusai memeriksa kondisi Lea.

Wanita itu masih menunduk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab.

"Baiklah." Clint menghela napas.

Masih tidak ada respons apa pun dari Lea. Wanita itu membungkam mulutnya rapat-rapat, membuat Clint harus berupaya lebih keras untuk bicara dengan wanita tersebut.

"Bagaimana kalau kita bicara seolah kita hanya pria dan wanita yang tidak sengaja bertemu di trem?" Clint memiringkan kepala, berusaha mendapatkan perhatian Lea. Namun wanita itu tetap bungkam.

"Okay, tidak masalah kalau kau belum mau bicara denganku. Tapi ... kau harus minum obat yang kuberikan. Badanmu masih demam, tekanan darahmu juga masih rendah. Gunakan waktumu untuk beristirahat," saran Clint.

Lalu, pria itu berpaling pada pelayan yang berdiri tidak jauh darinya.

"Buatkan sup kacang merah untuknya," perintah Clint pada pelayan itu.

"Baik, Dokter." Pelayan itu mengangguk lalu pamit untuk membuatkan Lea sup kacang merah.

Clint kembali melihat pada Lea yang masih menyembunyikan wajahnya di balik rambut.

"Obat itu harus kau minum supaya kondisimu cepat pulih." Clint diam sebentar. Dia mengarahkan tangannya untuk menyibak rambut Lea supaya bisa melihat wajah wanita itu lebih jelas, tapi Lea dengan cepat menepis tangan Clint.

"Aku tidak bermaksud jahat, hanya ingin memastikan. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Clint.

Lea menggertakkan gigi lalu membaringkan tubuhnya membelakangi Clint dan menarik selimut hingga menutupi kepala. Dia hanya ingin pria itu secepatnya pergi sebelum mengenali dirinya.

Clint tersenyum tipis, memaklumi sikap Lea terhadapnya. Tapi ... Clint merasa sangat yakin bahwa dia pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya.

"Baiklah, aku tidak akan bertanya apa pun lagi. Perbanyaklah istirahat dan jangan lupa meminum obatmu."

Clint beranjak. Tanpa berpaling lagi, pria itu langsung keluar dari kamar Lea. Di balik selimut, Lea mengembuskan napas lega saat mendengar pintu kamar yang dia tempati itu tertutup. Pertanda bahwa pria itu sudah pergi.

Untuk memastikan, Lea membuka selimut yang menutupi kepalanya lantas melihat ke arah pintu yang tertutup rapat.

"Huft! Syukurlah dia tidak mengenaliku." Lea mengembuskan napas lega.

Memang benar Clint dan Lea pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja ... pertemuan mereka tidak berakhir dengan baik. Waktu Lea melarikan diri dari Bram, tubuh Lea dipenuhi banyak sekali luka. Baik yang masih baru maupun yang sudah mengering. Bahkan dulu, di wajah Lea ada bekas luka sayatan di pipi kiri yang cukup panjang.

Berlari terlalu jauh, membuat Lea kehabisan tenaga. Dia pingsan di pinggir jalan, terkapar di antara genangan air hujan yang membuatnya terlihat sangat mengenaskan. Seseorang yang sedang melintas, dengan baik hati menolong Lea dan membawa wanita itu ke rumah sakit terdekat. Orang itu adalah Clint.

Sayangnya ... pertemuan mereka di waktu lampau itu tidak berakhir dengan baik. Lea yang takut tertangkap oleh Bram, terpaksa melarikan diri dari rumah sakit. Bukan hanya itu, Lea juga diam-diam mencuri dompet Clint dan mengambil semua uang yang ada dalam dompet tersebut untuk bekal melarikan diri.

Sementara itu, Clint yang sudah keluar dari kamar Lea merasa harus menghubungi Zen dan meminta pria itu untuk segera pulang.

"Pulanglah. Aku ingin bicara denganmu," ujar Clint ketika sedang menelepon Zen.

"Haruskah?" balas Zen yang sama sekali tidak tertarik untuk menuruti perintah dokter pribadi sekaligus sahabatnya itu.

"Damn! Aku serius, Zen. Aku perlu bicara tentang wanita yang kau culik itu. Dia sedang sakit," ujar Clint

"Hei, aku tidak menculiknya, tapi aku menyewa jasanya. Menyewa, bukan menculik. Bedakan dua kata itu!" sergah Zen.

"Menyewa?" Clint mengerutkan wajah, mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Kau sudah bertemu dengannya? Oh, maaf. Pertanyaanku salah." Zen meralat pertanyaannya. "Bagaimana kondisinya?" tanya Zen sekadar basa-basi.

"Dia demam. Tekanan darahnya juga rendah. Apa sebelumnya dia selalu seperti itu?"

"Hei, di sini siapa dokternya? Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Lakukan saja tugasmu dengan baik supaya aku tidak sia-sia mengeluarkan banyak uang untuk membayarmu," tukas Zen.

"Tapi--ah, sial!" Clint menurunkan ponsel dari telinganya saat Zen memutuskan sambungan telepon secara tiba-tiba.

Meski terlihat tidak peduli, tapi nyatanya Zen tidak bisa mengabaikan apa yang dikatakan oleh Clint. Meski semalam orang-orangnya sudah memberi informasi tentang kondisi Lea, tapi beberapa kalimat saja yang keluar dari mulut sahabatnya telah mempengaruhi pikiran pria tersebut.

"Tunda pertemuan kita dengan Melankov. Aku harus segera kembali," kata Zen pada asisten kepercayaannya.

Dengan fasilitas yang dimiliki oleh Zen, pria itu bisa berpindah dari satu benua ke benua lain hanya dalam hitungan jam. Urusan bisnis yang harusnya selesai esok hari, terpaksa dia tunda karena seorang wanita yang dia bawa dari club sedang mengalami masalah dengan kesehatannya.

"Merepotkan sekali!" gumam Zen seraya bangkit dan mengancingkan jas.

Pria itu melangkah tegap menyusuri koridor bersama asistennya. Memasuki lift, mereka berdua akan menuju lantai tertinggi dari gedung itu.

Capung besi yang sudah siap mengudara, tampak menunggu kedatangan tuannya. Hempasan angin dari baling-baling yang berotasi itu pun terasa kuat hingga jarak beberapa meter, membuat Zen seolah berjalan menerjang badai.  Pria itu dan asistennya berjalan sambil menundukkan kepala ketika hendak masuk ke dalam capung besi tersebut.

Dalam waktu kurang dari tiga jam, Zen sudah tiba di mansion. Bangunan yang sangat luas itu terasa lebih mencekam ketika sang empunya istana berada di sana.

"Thank God! Akhirnya kau pulang juga," kata Clint saat menyambut kedatangan orang yang mempekerjakannya itu.

"Jangan besar kepala! Aku pulang karena pekerjaanku sudah selesai, sama sekali bukan karena ucapanmu!" tandas Zen yang jelas sekali adalah kebohongan.

"Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Karena setelah itu, kau harus menjelaskan sesuatu padaku."

Zen memutar mata malas. Percayalah, hanya Clint yang berani membuat Zen seperti itu. Oh, bisa jadi sekarang bertambah satu orang lagi, yaitu Lea.

"Demamnya cukup tinggi waktu aku memeriksanya semalam. Orang-orangmu mengatakan bahwa wanita itu tiba-tiba saja pingsan setelah menyumpahi dan memaki dirimu. Apa kau melakukan sesuatu padanya?" tanya Clint.

"Aku tidak melakukan apa pun," sanggah Zen.

"Lalu?" Kedua alis Clint terangkat.

"Saat aku meninggalkannya, kondisinya masih sangat baik. Dia bahkan berani melawanku," jawab Zen.

"Melawanmu?" Clint tersenyum miring. "Wow! Mengagumkan!"

"Dia seperti ... kucing liar," sahut Zen.

Clint terkekeh. Lalu dia menyesap teh dalam cangkir keramik, dari replika teapot peninggalan Dinasti Ming.

"Apa dia cukup spesial?" selidik Clint.

"Apa maksudmu?" Zen melirik tajam pada Clint. "Dia sama saja dengan wanita lain yang aku sewa untuk menghangatkan ranjangku," lanjut Zen.

"Aku rasa ... sudah saatnya kau memilih satu untuk menjadikannya teman hidupmu," saran Clint.

"Kau pikir aku tidak memiliki teman hidup?"

"Begitulah," Clint mengedikkan bahu. "Dengan harta yang kau miliki, harusnya kau sudah mulai memikirkan siapa yang akan menerima warisanmu kelak," ujar Clint.

"Waktu untuk itu masih sangat lama. Kau tahu? Malaikat maut tidak akan sudi mencabut nyawaku."

"Sombong sekali!" Clint tertawa. "Berhenti bermain wanita dan mulailah menata hidupmu."

Zen melirik Clint lalu menggeleng pelan kepalanya. "Aku tidak punya waktu untuk memikirkan wanita."

Berdebat dengan Clint hanya akan membuat Zen kesal karena ujung-ujungnya Clint akan bersikap seperti seorang ayah yang menggurui anaknya. Zen beranjak, meninggalkan Clint. Pria itu berjalan menyusuri selasar menuju kamar Lea. Tangan besarnya memutar gagang pintu, membuat celah yang akan membawanya bertemu dengan wanita itu. Langkah lebarnya berhenti tepat di sisi tempat tidur Lea.

Zen berdiri dalam diam, memerhatikan wajah cantik yang tampak begitu damai terlelap dalam mimpi itu dengan ekspresi datar.

"Kau bahkan belum memulai pekerjaanmu, tapi sudah sangat merepotkan," gumam Zen.

Tatapannya menajam pada Lea yang tengah tertidur di bawah pengaruh obat.

"Ini tidak gratis, Sweet Cake. Kau harus membayarnya."

***

tbc.

Sudah 6 chapter, katakan apa pun untuk cerita ini. Tulis komen kalian di bawah ya, guys! Jangan lupa sertakan rate bintang 5. See ya!

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Rengganu Puji
ceritanya seru thor
goodnovel comment avatar
Wiro Bento
keren cerita nya
goodnovel comment avatar
Icha Zen
ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status