Secepatnya Lea menundukkan kepala saat Clint berjalan mendekat. Wanita itu sengaja membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, takut jikalau Clint akan mengenali dirinya.
Clint duduk di tepi ranjang, di sebelah kaki Lea yang terbungkus selimut.
"Biarkan aku memeriksa kondisimu," ujar Clint.
Tidak seperti tadi yang begitu menggebu untuk meronta. Ketika Clint memeriksa kondisinya, Lea mendadak bisu. Wanita itu tidak mengatakan apa pun dan hanya menurut ketika Clint memintanya melakukan sesuatu, kecuali menunjukkan wajahnya.
"Siapa namamu?" tanya Clint seusai memeriksa kondisi Lea.
Wanita itu masih menunduk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab.
"Baiklah." Clint menghela napas.
Masih tidak ada respons apa pun dari Lea. Wanita itu membungkam mulutnya rapat-rapat, membuat Clint harus berupaya lebih keras untuk bicara dengan wanita tersebut.
"Bagaimana kalau kita bicara seolah kita hanya pria dan wanita yang tidak sengaja bertemu di trem?" Clint memiringkan kepala, berusaha mendapatkan perhatian Lea. Namun wanita itu tetap bungkam.
"Okay, tidak masalah kalau kau belum mau bicara denganku. Tapi ... kau harus minum obat yang kuberikan. Badanmu masih demam, tekanan darahmu juga masih rendah. Gunakan waktumu untuk beristirahat," saran Clint.
Lalu, pria itu berpaling pada pelayan yang berdiri tidak jauh darinya.
"Buatkan sup kacang merah untuknya," perintah Clint pada pelayan itu.
"Baik, Dokter." Pelayan itu mengangguk lalu pamit untuk membuatkan Lea sup kacang merah.
Clint kembali melihat pada Lea yang masih menyembunyikan wajahnya di balik rambut.
"Obat itu harus kau minum supaya kondisimu cepat pulih." Clint diam sebentar. Dia mengarahkan tangannya untuk menyibak rambut Lea supaya bisa melihat wajah wanita itu lebih jelas, tapi Lea dengan cepat menepis tangan Clint.
"Aku tidak bermaksud jahat, hanya ingin memastikan. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Clint.
Lea menggertakkan gigi lalu membaringkan tubuhnya membelakangi Clint dan menarik selimut hingga menutupi kepala. Dia hanya ingin pria itu secepatnya pergi sebelum mengenali dirinya.
Clint tersenyum tipis, memaklumi sikap Lea terhadapnya. Tapi ... Clint merasa sangat yakin bahwa dia pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya.
"Baiklah, aku tidak akan bertanya apa pun lagi. Perbanyaklah istirahat dan jangan lupa meminum obatmu."
Clint beranjak. Tanpa berpaling lagi, pria itu langsung keluar dari kamar Lea. Di balik selimut, Lea mengembuskan napas lega saat mendengar pintu kamar yang dia tempati itu tertutup. Pertanda bahwa pria itu sudah pergi.
Untuk memastikan, Lea membuka selimut yang menutupi kepalanya lantas melihat ke arah pintu yang tertutup rapat.
"Huft! Syukurlah dia tidak mengenaliku." Lea mengembuskan napas lega.
Memang benar Clint dan Lea pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja ... pertemuan mereka tidak berakhir dengan baik. Waktu Lea melarikan diri dari Bram, tubuh Lea dipenuhi banyak sekali luka. Baik yang masih baru maupun yang sudah mengering. Bahkan dulu, di wajah Lea ada bekas luka sayatan di pipi kiri yang cukup panjang.
Berlari terlalu jauh, membuat Lea kehabisan tenaga. Dia pingsan di pinggir jalan, terkapar di antara genangan air hujan yang membuatnya terlihat sangat mengenaskan. Seseorang yang sedang melintas, dengan baik hati menolong Lea dan membawa wanita itu ke rumah sakit terdekat. Orang itu adalah Clint.
Sayangnya ... pertemuan mereka di waktu lampau itu tidak berakhir dengan baik. Lea yang takut tertangkap oleh Bram, terpaksa melarikan diri dari rumah sakit. Bukan hanya itu, Lea juga diam-diam mencuri dompet Clint dan mengambil semua uang yang ada dalam dompet tersebut untuk bekal melarikan diri.
Sementara itu, Clint yang sudah keluar dari kamar Lea merasa harus menghubungi Zen dan meminta pria itu untuk segera pulang.
"Pulanglah. Aku ingin bicara denganmu," ujar Clint ketika sedang menelepon Zen.
"Haruskah?" balas Zen yang sama sekali tidak tertarik untuk menuruti perintah dokter pribadi sekaligus sahabatnya itu.
"Damn! Aku serius, Zen. Aku perlu bicara tentang wanita yang kau culik itu. Dia sedang sakit," ujar Clint
"Hei, aku tidak menculiknya, tapi aku menyewa jasanya. Menyewa, bukan menculik. Bedakan dua kata itu!" sergah Zen.
"Menyewa?" Clint mengerutkan wajah, mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Kau sudah bertemu dengannya? Oh, maaf. Pertanyaanku salah." Zen meralat pertanyaannya. "Bagaimana kondisinya?" tanya Zen sekadar basa-basi.
"Dia demam. Tekanan darahnya juga rendah. Apa sebelumnya dia selalu seperti itu?"
"Hei, di sini siapa dokternya? Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Lakukan saja tugasmu dengan baik supaya aku tidak sia-sia mengeluarkan banyak uang untuk membayarmu," tukas Zen.
"Tapi--ah, sial!" Clint menurunkan ponsel dari telinganya saat Zen memutuskan sambungan telepon secara tiba-tiba.
Meski terlihat tidak peduli, tapi nyatanya Zen tidak bisa mengabaikan apa yang dikatakan oleh Clint. Meski semalam orang-orangnya sudah memberi informasi tentang kondisi Lea, tapi beberapa kalimat saja yang keluar dari mulut sahabatnya telah mempengaruhi pikiran pria tersebut.
"Tunda pertemuan kita dengan Melankov. Aku harus segera kembali," kata Zen pada asisten kepercayaannya.
Dengan fasilitas yang dimiliki oleh Zen, pria itu bisa berpindah dari satu benua ke benua lain hanya dalam hitungan jam. Urusan bisnis yang harusnya selesai esok hari, terpaksa dia tunda karena seorang wanita yang dia bawa dari club sedang mengalami masalah dengan kesehatannya.
"Merepotkan sekali!" gumam Zen seraya bangkit dan mengancingkan jas.
Pria itu melangkah tegap menyusuri koridor bersama asistennya. Memasuki lift, mereka berdua akan menuju lantai tertinggi dari gedung itu.
Capung besi yang sudah siap mengudara, tampak menunggu kedatangan tuannya. Hempasan angin dari baling-baling yang berotasi itu pun terasa kuat hingga jarak beberapa meter, membuat Zen seolah berjalan menerjang badai. Pria itu dan asistennya berjalan sambil menundukkan kepala ketika hendak masuk ke dalam capung besi tersebut.
Dalam waktu kurang dari tiga jam, Zen sudah tiba di mansion. Bangunan yang sangat luas itu terasa lebih mencekam ketika sang empunya istana berada di sana.
"Thank God! Akhirnya kau pulang juga," kata Clint saat menyambut kedatangan orang yang mempekerjakannya itu.
"Jangan besar kepala! Aku pulang karena pekerjaanku sudah selesai, sama sekali bukan karena ucapanmu!" tandas Zen yang jelas sekali adalah kebohongan.
"Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Karena setelah itu, kau harus menjelaskan sesuatu padaku."
Zen memutar mata malas. Percayalah, hanya Clint yang berani membuat Zen seperti itu. Oh, bisa jadi sekarang bertambah satu orang lagi, yaitu Lea.
"Demamnya cukup tinggi waktu aku memeriksanya semalam. Orang-orangmu mengatakan bahwa wanita itu tiba-tiba saja pingsan setelah menyumpahi dan memaki dirimu. Apa kau melakukan sesuatu padanya?" tanya Clint.
"Aku tidak melakukan apa pun," sanggah Zen.
"Lalu?" Kedua alis Clint terangkat.
"Saat aku meninggalkannya, kondisinya masih sangat baik. Dia bahkan berani melawanku," jawab Zen.
"Melawanmu?" Clint tersenyum miring. "Wow! Mengagumkan!"
"Dia seperti ... kucing liar," sahut Zen.
Clint terkekeh. Lalu dia menyesap teh dalam cangkir keramik, dari replika teapot peninggalan Dinasti Ming.
"Apa dia cukup spesial?" selidik Clint.
"Apa maksudmu?" Zen melirik tajam pada Clint. "Dia sama saja dengan wanita lain yang aku sewa untuk menghangatkan ranjangku," lanjut Zen.
"Aku rasa ... sudah saatnya kau memilih satu untuk menjadikannya teman hidupmu," saran Clint.
"Kau pikir aku tidak memiliki teman hidup?"
"Begitulah," Clint mengedikkan bahu. "Dengan harta yang kau miliki, harusnya kau sudah mulai memikirkan siapa yang akan menerima warisanmu kelak," ujar Clint.
"Waktu untuk itu masih sangat lama. Kau tahu? Malaikat maut tidak akan sudi mencabut nyawaku."
"Sombong sekali!" Clint tertawa. "Berhenti bermain wanita dan mulailah menata hidupmu."
Zen melirik Clint lalu menggeleng pelan kepalanya. "Aku tidak punya waktu untuk memikirkan wanita."
Berdebat dengan Clint hanya akan membuat Zen kesal karena ujung-ujungnya Clint akan bersikap seperti seorang ayah yang menggurui anaknya. Zen beranjak, meninggalkan Clint. Pria itu berjalan menyusuri selasar menuju kamar Lea. Tangan besarnya memutar gagang pintu, membuat celah yang akan membawanya bertemu dengan wanita itu. Langkah lebarnya berhenti tepat di sisi tempat tidur Lea.
Zen berdiri dalam diam, memerhatikan wajah cantik yang tampak begitu damai terlelap dalam mimpi itu dengan ekspresi datar.
"Kau bahkan belum memulai pekerjaanmu, tapi sudah sangat merepotkan," gumam Zen.
Tatapannya menajam pada Lea yang tengah tertidur di bawah pengaruh obat.
"Ini tidak gratis, Sweet Cake. Kau harus membayarnya."
***
tbc.
Sudah 6 chapter, katakan apa pun untuk cerita ini. Tulis komen kalian di bawah ya, guys! Jangan lupa sertakan rate bintang 5. See ya!
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na