Share

Hati yang Hampa

Mata cekung dengan iris segelap langit malam itu menatap tajam pada Lea. Tetesan darah dari luka di kening pria itu mengalir melewati alis dan kelopak matanya. Namun, tidak sedikit pun rasa sakit yang tergambar di wajah pria tersebut.

Tubuh Lea yang gemetar itu goyah. Nyaris saja wanita tersebut ambruk dan tubuhnya membentur lantai andai saja Zen tidak sigap menangkapnya. Lalu, dengan kedua tangannya, Zen mengangkat tubuh Lea dan membaringkan wanita itu di atas ranjang. Beruntung kaki pria itu masih terbungkus sepatu kulit berkualitas premium yang tampak sangat mengkilap. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena sepatu itu dapat melindungi kaki Zen dari pecahan vas dan kaca yang nyaris memenuhi lantai kamar tersebut.

"Emosimu sedang labil. Istirahatlah," ujar Zen.

Lea terdiam dengan bulir bening yang perlahan meloloskan diri dari ujung matanya. Dia pikir Zen akan marah karena Lea telah membuatnya terluka. Tapi nyatanya, pria itu justru bertutur dengan lembut. Bersikap seolah dia adalah pria gentle yang selalu memperlakukan wanita dengan sangat baik.

"Aku akan meminta pelayan untuk membersihkan kamarmu," ucap pria itu lagi.

Zen berdiri. Ketika hendak berbalik, tiba-tiba Lea menahan tangannya. Pria itu menoleh, melihat pada Lea yang tengah menatapnya nanar. Tidak ada sorot mata berapi-api seperti saat pertama kali dia masuk. Yang dilihat oleh Zen saat ini adalah wanita yang menyimpan sejuta luka dalam dirinya.

"Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Zen.

Lea menggeleng. Bibirnya yang kering tampak bergerak-gerak, namun tak kunjung mengeluarkan suara.

"Tidak perlu ragu. Katakan saja kalau kau membutuhkan sesuatu," kata Zen.

Masih terdiam sambil menahan tangan Zen, air mata Lea menetes lagi. Wanita itu bergumam lirih, tapi Zen masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"I'm sorry."

Wajah Zen masih tampak datar tanpa ekspresi. Pria itu hanya menatap tanpa memberi respons atas permintaan maaf Lea.

"Istirahatlah," ucap Zen setelah beberapa saat.

Perlahan Zen melepaskan tangan Lea yang ada di pergelangan tangannya. Pria itu berbalik tanpa mengatakan apa pun lagi. Sedangkan Lea hanya bisa menatap punggung tegap pria itu menghilang di balik dinding kamar.

Lalu, sesaat kemudian, dua orang pelayan wanita masuk ke dalam kamar Lea untuk membersihkan kamar tersebut. Pekerjaan dua orang itu belum selesai ketika seorang pelayan yang lain datang dengan membawa trolly makanan.

"Ini sup daging untuk Anda, Nona. Tuan Zen berpesan bahwa Nona harus menghabiskan sup ini," kata pelayan itu.

Lea tidak menjawab, tapi dia juga tidak menolak ketika pelayan itu membantunya duduk lalu memasangkan sebuah meja kecil di hadapannya. Satu mangkuk sup daging, satu piring buah segar yang sudah dipotong-potong, dan segelas air putih telah tersaji di hadapan Lea.

Melihat Lea yang hanya diam tanpa ada niat untuk menyentuh makanan itu, pelayan tersebut berinisiatif untuk menyuapi Lea.

"Saya akan menyuapi Anda, Nona," kata pelayan itu seraya duduk di tepi ranjang.

Pelayan itu mengambil mangkuk lantas mengarahkan satu sendok sup ke mulut Lea. Namun wanita itu tak mau membuka mulut sedikit pun. Dia justru berpaling sambil menunduk.

"Makanlah, Nona. Ini perintah Tuan Zen," bujuk pelayan itu.

Masih tidak mau membuka mulut. Lea sama sekali tidak ingin makan untuk saat ini.

"Nona ... nasib kami bertiga, bergantung kepada Anda. Tolong, bekerja samalah dengan kami," ujar pelayan itu, mencoba membuat Lea mau menyantap sup tersebut.

Mendengar ucapan pelayan itu, Lea memutar kepala. Dia melihat pada pelayan yang memasang wajah memohon padanya. Lantas, dia melihat pada dua pelayan lain yang baru saja selesai membersihkan kekacauan yang dia buat.

"Tolonglah, Nona." Pelayan itu memohon untuk kesekian kalinya.

Belum lagi Lea berniat membuka mulut, Zen datang. Pria itu melangkah dengan tegas ke arah ranjang di mana Lea sedang duduk bersandar pada headboard dengan meja kecil melintang di depannya.

Pelayan itu tampak meneguk ludah. Pasalnya, dia belum berhasil membuat Lea menelan satu suapan pun makanan yang dia bawa. Dia berdiri, memberi ruang pada pria itu untuk lebih dekat dengan Lea.

"Berikan padaku," ujar Zen dengan suara berat dan tenang.

Lea menengadah. Dia memusatkan perhatiannya pada kening Zen yang sudah ditutup dengan benda tipis berwarna putih.

"Baik, Tuan." Pelayan itu menunduk lalu memberikan mangkuk sup tersebut kepada Zen.

"Kalian bisa keluar," kata Zen sembari mengibaskan tangannya.

Ketiga pelayan tersebut patuh dan segera meninggalkan kamar Lea. Kini, hanya ada Zen dan Lea di kamar itu.

Pandangan Lea masih berpusat pada luka di kening Zen. Tangan Lea bergerak perlahan untuk menyentuh luka yang telah ditutup plester itu.

"Apa ini sakit?" tanya Lea lirih.

Zen tampak tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pria itu mengambil satu sendok sup lalu mengarahkannya ke mulut Lea.

"Buka mulutmu, Sweet Cake," katanya.

Lea mengalihkan pandangan pada sendok yang diarahkan ke mulutnya. Seperti terhipnotis oleh kata-kata Zen, wanita itu perlahan-lahan membuka mulut, menerima suapan dari pria tersebut.

Sesendok demi sesendok, sup di dalam mangkuk itu berpindah ke perut Lea. Wanita itu merasa tubuhnya hangat setelah menyantap hampir seluruh isi mangkuk tersebut.

"Merasa lebih baik?" tanya Zen.

Lea tidak menjawab. Wanita itu mengarahkan jari-jari lentiknya ke kening Zen lalu menyentuh luka yang telah diobati itu sekali lagi.

"Apa ini sakit?" Lea mengulangi pertanyaannya beberapa saat lalu.

"Apa aku tampak selemah itu?" Pertanyaan Lea dijawab dengan pertanyaan yang lain oleh Zen.

Tatapan nanar Lea tak membuat ekspresi datar di wajah Zen berubah.

"Maafkan aku," lirih Lea.

"Kata 'maaf' tidak akan membuat sebuah luka yang menganga kembali menutup," ujar Zen.

Mata Lea mengerjap cepat beberapa kali. Dia menyesal. Meski Zen tak mengizinkannya keluar dari mansion tersebut, tapi tak sekali pun Zen memperlakukannya dengan kasar. Kalaupun harus melukai seseorang, satu-satunya orang yang ingin dia lukai adalah Bram. Bahkan untuk membunuh pria itu sekalipun, Lea akan dengan senang hati melakukannya andai dia punya kuasa.

"Apa ada lagi yang kau butuhkan?" tanya Zen.

Lea menggeleng. Hari masih terang, tapi wanita itu ingin meringkuk saja di dalam kamar. Dia tidak membutuhkan apa pun lagi selain membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Dia ingin mendapatkan kehangatan dari jiwanya yang dingin dengan berlindung di balik selimut.

Masa lalu kelam Lea seolah menjadi titik lemah wanita itu. Setiap kali dia teringat dengan kebrutalan Bram, otak Lea seperti memberi perintah pada sel-sel di tubuhnya untuk memberontak. Namun kondisi psikis wanita itu selalu berteriak untuk mencari jalan aman dengan tetap bersembunyi dalam dekapan rasa takut. Pergolakan batin yang selama ini membuatnya merasa menjadi orang yang tidak berdaya.

"Kalau tidak ada yang kau butuhkan lagi, aku akan pergi," kata Zen. Pria itu meletakkan mangkuk di tangannya ke trolly.

"Jangan pergi," ucap Lea lirih.

Zen diam sejenak dengan kening berkerut samar. Dia tidak menyangka bahwa Lea akan mengatakan hal itu. Lea yang sangat membenci dirinya, tiba-tiba menahannya untuk pergi. Apa ada sebuah permainan lagi di sini?

Perlahan, Zen menoleh pada wanita tersebut.

"Tetaplah di sini," ucap Lea lagi.

Pria itu masih bergeming, lantas dia manatap intens pada Lea dengan senyum samar yang pelan-pelan muncul di wajahnya.

"Aku akan tinggal," ucapnya dengan suara dalam.

***

tbc.

Katakan apa pun untuk cerita ini di kolom komentar, Guys!

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rengganu Puji
lanjut lea udah merasa nyaman ada zen
goodnovel comment avatar
Rengganu Puji
makin seru thor
goodnovel comment avatar
Kikid Sukantomo Adibroto
hahahaà... seruuuu...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status