Beranda / Romansa / SWEET CAKE / Hati yang Hampa

Share

Hati yang Hampa

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2021-01-30 20:04:37

Mata cekung dengan iris segelap langit malam itu menatap tajam pada Lea. Tetesan darah dari luka di kening pria itu mengalir melewati alis dan kelopak matanya. Namun, tidak sedikit pun rasa sakit yang tergambar di wajah pria tersebut.

Tubuh Lea yang gemetar itu goyah. Nyaris saja wanita tersebut ambruk dan tubuhnya membentur lantai andai saja Zen tidak sigap menangkapnya. Lalu, dengan kedua tangannya, Zen mengangkat tubuh Lea dan membaringkan wanita itu di atas ranjang. Beruntung kaki pria itu masih terbungkus sepatu kulit berkualitas premium yang tampak sangat mengkilap. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena sepatu itu dapat melindungi kaki Zen dari pecahan vas dan kaca yang nyaris memenuhi lantai kamar tersebut.

"Emosimu sedang labil. Istirahatlah," ujar Zen.

Lea terdiam dengan bulir bening yang perlahan meloloskan diri dari ujung matanya. Dia pikir Zen akan marah karena Lea telah membuatnya terluka. Tapi nyatanya, pria itu justru bertutur dengan lembut. Bersikap seolah dia adalah pria gentle yang selalu memperlakukan wanita dengan sangat baik.

"Aku akan meminta pelayan untuk membersihkan kamarmu," ucap pria itu lagi.

Zen berdiri. Ketika hendak berbalik, tiba-tiba Lea menahan tangannya. Pria itu menoleh, melihat pada Lea yang tengah menatapnya nanar. Tidak ada sorot mata berapi-api seperti saat pertama kali dia masuk. Yang dilihat oleh Zen saat ini adalah wanita yang menyimpan sejuta luka dalam dirinya.

"Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Zen.

Lea menggeleng. Bibirnya yang kering tampak bergerak-gerak, namun tak kunjung mengeluarkan suara.

"Tidak perlu ragu. Katakan saja kalau kau membutuhkan sesuatu," kata Zen.

Masih terdiam sambil menahan tangan Zen, air mata Lea menetes lagi. Wanita itu bergumam lirih, tapi Zen masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"I'm sorry."

Wajah Zen masih tampak datar tanpa ekspresi. Pria itu hanya menatap tanpa memberi respons atas permintaan maaf Lea.

"Istirahatlah," ucap Zen setelah beberapa saat.

Perlahan Zen melepaskan tangan Lea yang ada di pergelangan tangannya. Pria itu berbalik tanpa mengatakan apa pun lagi. Sedangkan Lea hanya bisa menatap punggung tegap pria itu menghilang di balik dinding kamar.

Lalu, sesaat kemudian, dua orang pelayan wanita masuk ke dalam kamar Lea untuk membersihkan kamar tersebut. Pekerjaan dua orang itu belum selesai ketika seorang pelayan yang lain datang dengan membawa trolly makanan.

"Ini sup daging untuk Anda, Nona. Tuan Zen berpesan bahwa Nona harus menghabiskan sup ini," kata pelayan itu.

Lea tidak menjawab, tapi dia juga tidak menolak ketika pelayan itu membantunya duduk lalu memasangkan sebuah meja kecil di hadapannya. Satu mangkuk sup daging, satu piring buah segar yang sudah dipotong-potong, dan segelas air putih telah tersaji di hadapan Lea.

Melihat Lea yang hanya diam tanpa ada niat untuk menyentuh makanan itu, pelayan tersebut berinisiatif untuk menyuapi Lea.

"Saya akan menyuapi Anda, Nona," kata pelayan itu seraya duduk di tepi ranjang.

Pelayan itu mengambil mangkuk lantas mengarahkan satu sendok sup ke mulut Lea. Namun wanita itu tak mau membuka mulut sedikit pun. Dia justru berpaling sambil menunduk.

"Makanlah, Nona. Ini perintah Tuan Zen," bujuk pelayan itu.

Masih tidak mau membuka mulut. Lea sama sekali tidak ingin makan untuk saat ini.

"Nona ... nasib kami bertiga, bergantung kepada Anda. Tolong, bekerja samalah dengan kami," ujar pelayan itu, mencoba membuat Lea mau menyantap sup tersebut.

Mendengar ucapan pelayan itu, Lea memutar kepala. Dia melihat pada pelayan yang memasang wajah memohon padanya. Lantas, dia melihat pada dua pelayan lain yang baru saja selesai membersihkan kekacauan yang dia buat.

"Tolonglah, Nona." Pelayan itu memohon untuk kesekian kalinya.

Belum lagi Lea berniat membuka mulut, Zen datang. Pria itu melangkah dengan tegas ke arah ranjang di mana Lea sedang duduk bersandar pada headboard dengan meja kecil melintang di depannya.

Pelayan itu tampak meneguk ludah. Pasalnya, dia belum berhasil membuat Lea menelan satu suapan pun makanan yang dia bawa. Dia berdiri, memberi ruang pada pria itu untuk lebih dekat dengan Lea.

"Berikan padaku," ujar Zen dengan suara berat dan tenang.

Lea menengadah. Dia memusatkan perhatiannya pada kening Zen yang sudah ditutup dengan benda tipis berwarna putih.

"Baik, Tuan." Pelayan itu menunduk lalu memberikan mangkuk sup tersebut kepada Zen.

"Kalian bisa keluar," kata Zen sembari mengibaskan tangannya.

Ketiga pelayan tersebut patuh dan segera meninggalkan kamar Lea. Kini, hanya ada Zen dan Lea di kamar itu.

Pandangan Lea masih berpusat pada luka di kening Zen. Tangan Lea bergerak perlahan untuk menyentuh luka yang telah ditutup plester itu.

"Apa ini sakit?" tanya Lea lirih.

Zen tampak tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pria itu mengambil satu sendok sup lalu mengarahkannya ke mulut Lea.

"Buka mulutmu, Sweet Cake," katanya.

Lea mengalihkan pandangan pada sendok yang diarahkan ke mulutnya. Seperti terhipnotis oleh kata-kata Zen, wanita itu perlahan-lahan membuka mulut, menerima suapan dari pria tersebut.

Sesendok demi sesendok, sup di dalam mangkuk itu berpindah ke perut Lea. Wanita itu merasa tubuhnya hangat setelah menyantap hampir seluruh isi mangkuk tersebut.

"Merasa lebih baik?" tanya Zen.

Lea tidak menjawab. Wanita itu mengarahkan jari-jari lentiknya ke kening Zen lalu menyentuh luka yang telah diobati itu sekali lagi.

"Apa ini sakit?" Lea mengulangi pertanyaannya beberapa saat lalu.

"Apa aku tampak selemah itu?" Pertanyaan Lea dijawab dengan pertanyaan yang lain oleh Zen.

Tatapan nanar Lea tak membuat ekspresi datar di wajah Zen berubah.

"Maafkan aku," lirih Lea.

"Kata 'maaf' tidak akan membuat sebuah luka yang menganga kembali menutup," ujar Zen.

Mata Lea mengerjap cepat beberapa kali. Dia menyesal. Meski Zen tak mengizinkannya keluar dari mansion tersebut, tapi tak sekali pun Zen memperlakukannya dengan kasar. Kalaupun harus melukai seseorang, satu-satunya orang yang ingin dia lukai adalah Bram. Bahkan untuk membunuh pria itu sekalipun, Lea akan dengan senang hati melakukannya andai dia punya kuasa.

"Apa ada lagi yang kau butuhkan?" tanya Zen.

Lea menggeleng. Hari masih terang, tapi wanita itu ingin meringkuk saja di dalam kamar. Dia tidak membutuhkan apa pun lagi selain membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Dia ingin mendapatkan kehangatan dari jiwanya yang dingin dengan berlindung di balik selimut.

Masa lalu kelam Lea seolah menjadi titik lemah wanita itu. Setiap kali dia teringat dengan kebrutalan Bram, otak Lea seperti memberi perintah pada sel-sel di tubuhnya untuk memberontak. Namun kondisi psikis wanita itu selalu berteriak untuk mencari jalan aman dengan tetap bersembunyi dalam dekapan rasa takut. Pergolakan batin yang selama ini membuatnya merasa menjadi orang yang tidak berdaya.

"Kalau tidak ada yang kau butuhkan lagi, aku akan pergi," kata Zen. Pria itu meletakkan mangkuk di tangannya ke trolly.

"Jangan pergi," ucap Lea lirih.

Zen diam sejenak dengan kening berkerut samar. Dia tidak menyangka bahwa Lea akan mengatakan hal itu. Lea yang sangat membenci dirinya, tiba-tiba menahannya untuk pergi. Apa ada sebuah permainan lagi di sini?

Perlahan, Zen menoleh pada wanita tersebut.

"Tetaplah di sini," ucap Lea lagi.

Pria itu masih bergeming, lantas dia manatap intens pada Lea dengan senyum samar yang pelan-pelan muncul di wajahnya.

"Aku akan tinggal," ucapnya dengan suara dalam.

***

tbc.

Katakan apa pun untuk cerita ini di kolom komentar, Guys!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rengganu Puji
lanjut lea udah merasa nyaman ada zen
goodnovel comment avatar
Rengganu Puji
makin seru thor
goodnovel comment avatar
Kikid Sukantomo Adibroto
hahahaà... seruuuu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • SWEET CAKE   S2.30. What Family Means (The End)

    Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.

  • SWEET CAKE   S2.29. Humanity

    Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t

  • SWEET CAKE   S2.28. Attention

    Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc

  • SWEET CAKE   S2.27. A Child

    Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j

  • SWEET CAKE   S2.26. Detonator

    “Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit

  • SWEET CAKE   S2.25. The Shot

    “Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”

  • SWEET CAKE   S2.24. The Agreement

    Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah

  • SWEET CAKE   S2.23. Get the Party Started

    “Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah

  • SWEET CAKE   S2.22. The Big Day has Come

    Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status