Share

Dekapan yang Tak Pernah Dirasakan

Dengan tatapan mata saja, para penjaga yang bersiaga di depan pintu kamar Lea langsung mengerti. Pintu kayu itu perlahan tertutup dengan rapat.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Zen, masih dengan posisi duduk di tepi tempat tidur.

Sorot mata sayu yang terpancar di wajah Lea, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria tersebut. Zen melepas kancing lengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia menggulungnya hingga batas siku. Selesai dengan kemeja, Zen beralih pada sepatunya. Pria itu melepas sepatu dan kaus kaki sebelum akhirnya dia naik ke atas ranjang.

"Kemarilah," ucap Zen yang berbaring dengan posisi miring dan satu tangan merentang untuk menyambut kepala Lea.

Dengan patuh, Lea bergerak mendekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Zen. Wanita itu mencari kenyamanan dalam dekapan pria tersebut.

"Tidurlah, aku akan menjagamu," ucap Zen lembut.

Namun, Lea sama sekali tidak berniat untuk terlelap. Dia hanya ingin meringkuk, mencari perlindungan dari seseorang yang selama ini tidak pernah dia dapatkan. Hampir seumur hidup, Lea tidak pernah merasakan dekapan penuh kehangatan seperti ini.

"Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya," lirih Lea.

Tangan besar Zen membelai kepala Lea lalu menyibak rambutnya supaya dia bisa melihat wajah wanita yang sedang bersandar padanya itu. Pria tersebut hanya diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Lea selanjutnya.

"Biarkan aku merasakan dan menikmati ini, sebelum kau membuangku," ucapnya lagi.

Tentu Lea tahu betul siapa dirinya di mata Zen. Tidak seperti yang dikatakan oleh Clint. Lea merasa dirinya hanyalah wanita yang disewa oleh Zen untuk memuaskan nafsu pria tersebut. Hal yang sama seperti pekerjaan yang biasa dia lakukan. Bukankah ini sama saja. Wanita sewaan hanyalah sebutan yang diperhalus karena maknanya sama saja dengan pekerjaan yang ditekuni Lea selama ini selain sebagai penari striptis, yakni pelacur.

"Aku tidak akan membantah atau melawan lagi. Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal kau membiarkanku meminjam bahumu seperti ini." Kedua tangan Lea bergerak ke sisi tubuh Zen, memeluk pria itu seperti guling.

Hening untuk beberapa saat. Hanya deru napas halus yang terdengar. Gerakan pelan dan konstan di dada Zen seolah menjadi ayunan yang membuat Lea sangat nyaman untuk meringkuk dalam dekapan pria itu.

"Zen ... jika nanti kau bosan dan berniat untuk membuangku, aku tidak akan menyesal. Aku akan sangat berterima kasih dan aku tidak akan pernah lupa bahwa kau pernah meminjamkan bahumu seperti ini kepadaku."

"Pejamkan matamu, Sweet Cake. Cobalah untuk terlelap," ujar Zen.

Wanita itu diam tapi tidak melakukan apa yang dikatakan oleh Zen. Kedua matanya masih terbuka dengan lebar. Wanita itu terlalu menikmati kenyamanan yang dia rasakan sekarang. Hangat dekapan Zen dan aroma tubuh yang menguar dari pria itu adalah perpaduan yang amat menenangkan.

Lea menengadah, dia menatap wajah Zen yang sejak awal dia ketahui memang sangat tampan meski tersembunyi di balik aura kelam yang begitu kuat. Rahang tegas dengan jambang yang baru saja dicukur rapi itu begitu menggoda untuk diraba. Hidungnya yang mancung, menambah kesan tegas di wajah pria itu. Mata cekung yang menyembunyikan iris hitam legam, tentu menjadi bagian paling menarik untuk ditatap dengan lekat.

Hanya saja, bukan itu yang membuat Lea mengangkat wajahnya.

"Di antara banyaknya wanita cantik di luar sana, kenapa kau memilih jalang sepertiku sebagai wanita sewaanmu?" tanya Lea tanpa melepas kontak mata dengan pria itu.

Tak gentar dengan tatapan mata Lea yang tampak sayu, Zen justru tersenyum samar. Pria itu mengarahkan telunjuknya ke dahi Lea. Perlahan dia gerakkan jari itu menelusuri lekuk paras cantik sang wanita. Hingga pergerakannya berhenti tepat di belahan bibir wanita itu.

"Tidak butuh alasan untuk apa yang aku lakukan, Sweet Cake," ujarnya.

Dengan jari telunjuk Zen yang masih berada di bibirnya, Lea bertanya lagi. "Sweet Cake? Hidupku bahkan jauh lebih pahit dari empedu, Zen."

Senyum di bibir Zen semakin lebar. Pria itu masih menatap lekat pada Lea. Lalu, dia menggerakkan ibu jarinya untuk mengusap bibir wanita itu.

"Panggilan itu ... bukan untuk hidupmu, melainkan untuk ... ini," jawab Zen yang diakhiri dengan ciumannya di bibir Lea.

Kedua mata pria itu memejam, menikmati bibir Lea yang terasa seperti kue manis. Dengan kelembutan dan kelihaian permainan bibir Zen, Lea pun akhirnya terbuai. Wanita itu membalas ciuman Zen tak kalah lembut.

Tidak seperti ciuman-ciuman lain yang pernah Lea rasakan sebelumnya. Kali ini, wanita itu benar-benar merasakan nikmatnya berciuman. Hanya dengan ciuman saja, hasrat Lea sudah membara. Jemari lentiknya mulai bekerja untuk membuka satu persatu kancing kemeja Zen hingga dada bidang pria itu bisa dengan bebas dia eksplorasi. Tubuh Lea tidak bisa berbohong. Otot-otot di dada dan perut pria itu begitu keras, dan Lea suka dengan sensasi saat merabanya.

Terlebih saat Zen mulai menurunkan ciumannya ke leher jenjang wanita itu. Tali dress yang menggantung di bahu Lea perlahan sudah beralih posisi ke lengan wanita itu hingga bahu polosnya begitu indah untuk dinikmati. Dari leher, Zen menurunkan lagi ciumannya ke bahu wanita itu. Sementara tangannya pun mulai mencari celah untuk menyusup ke dalam dress yang dikenakan oleh Lea.

Tangan pria itu mengusap perut datar Lea dan berhasil memberikan efek merinding di sekujur tubuh wanita itu. Perlahan-lahan Zen menggerakkan tanganya ke punggung Lea untuk melepas ikatan bra yang mengekang kenikmatan lainnya. Begitu terlepas, Zen yang sudah tidak sabar untuk menjelajahi tubuh Lea segera menarik dress itu hingga terlepas dari tubuh wanitanya.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Zen membiarkan Lea berada di bawah kungkungannya. Dengan posisi seperti itu, Zen bisa dengan bebas menikmati apa yang tersuguh di depan matanya. Pria itu mulai bermain dengan puncak dada Lea, hingga membuat wanita itu membusungkan dada sambil meremas rambut Zen karena semuanya terasa terlalu nikmat.

Jari-jari kaki Lea terlipat, menahan hawa dingin yang seolah mengaliri tubuhnya. Dia sudah tidak sabar lagi. Dia membiarkan Zen malakukan apa pun dengan tubuhnya semantara dia sendiri berusaha meloloskan kemeja dari tubuh Zen. Lea juga membantu Zen untuk melepas ikat pinggang serta kancing celananya. Lalu, perlahan tangan wanita itu menyusup, mencari milik Zen yang sudah mengeras.

Lea ingin menjerit sekuat tenaga. Dia sudah hampir gila menahan hasrat yang begitu mennggebu, tapi Zen masih ingin bermain-main dengannya.

"Zen ... please!" Lea memohon dengan suara parau.

"Belum saatnya, Sweet Cake," balas Zen seraya menciumi perut Lea lalu menarik satu-satunya kain yang masih melekat di tubuh wanita itu.

Wanita tersebut sudah tidak bisa menahannya lagi. Di saat Lea mulai bergerak gelisah, Zen bergerak naik. Dia menciumi leher wanita itu dengan jari-jarinya yang bermain di bagian bawah tubuh Lea.

"Say my name, Sweet Cake," bisik Zen yang semakin cepat menggerakkan jarinya di permukaan sensitif Lea.

"Zen ...," rintih Lea dengan tubuh melengkung menahan gejolak yang hampir meledak di dalam dirinya.

Berkali-kali Lea menyebut nama pria itu, memohon untuk disentuh lebih dalam lagi.

"Apa pun yang kau inginkan, Sweet Cake," bisik Zen sembari menenggelamkan dua jarinya ke dalam tubuh Lea. Wanita itu menjerit semakin nikmat saat Zen menggerakan jarinya semakin cepat. Hingga akhirnya, Lea pun merasa dirinya meledak. Zen membiarkan jarinya tetap berada di dalam sana untuk beberapa saat. Lalu, dia menarik dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Kau sangat nikmat, Sweet Cake," ujarnya.

Zen mencium kening Lea, membiarkan wanita itu mengatur napas untuk beberapa saat. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena di menit berikutnya, Zen kembali menghujani tubuh Lea dengan kenikmatan yang seolah tiada henti.

Pria itu menyerang semua titik sensitif Lea hingga wanita itu dengan mudahnya kembali tersulut gairah. Namun, kali ini Zen ingin memanjakan dirinya sendiri. Dia melakukan apa saja yang dia mau terhadap tubuh Lea. Hingga pada akhirnya, setelah serangan panjang yang bertubi-tubi, dia bisa merasakan kehangatan bagian dalam tubuh wanita itu dan meraih kemenangannya atas Lea.

Raga penuh keringat itu ambruk di samping tubuh Lea. Napas keduanya memburu. Mereka seperti sedang berlomba meraup oksigen untuk memulihkan tenaga lagi. Karena rasanya tidak akan cukup hanya dengan sekali permainan.

***

tbc.

Sudah gerah? Wkwkwk

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status