Mereka berhenti di tempat yang dimaksud oleh Clint, tepatnya di taman anggrek. Seperti yang dikatakan oleh pria itu, hampir seluruh bunga di ruangan beratap kaca tersebut mekar. Berbagai macam warna dari berbagai macam anggrek yang berbeda terlihat begitu harmonis. Indah sekali.
"Ini cantik sekali," ujar Lea takjub. Dia sudah lupa dengan pertanyaannya tentang Zen. Wanita itu berlari kecil menghampiri anggrek-anggrek itu sambil tersenyum lebar."Aku tidak menyangka jika pria seberengsek dia memiliki taman seindah ini," ujarnya lagi."Watch your mouth, My Lady!" Clint memberi peringatan sambil tersenyum tipis."Whatever! Dia bahkan tidak marah saat aku mengumpat di depan wajahnya. So ... apa bedanya kalau aku mengumpat di belakangnya? Karena dia memang seberengsek itu!" balas Lea.Tak diduga, ucapan Lea mendapat tawa keras dari Clint."Kau terus terang sekali." Pria itu masih tertawa dan baru berhenti beberapa saat kemudian. "Kau tahu? Biasanya, dia akan menghabisi siapa saja yang menyinggungnya.""Oh, benarkah?" Lea yang tengah berdiri di depan anggrek bulan berwarna putih bersih itu menoleh sambil menyipitkan mata. "Karena aku masih hidup hingga sekarang, itu berarti dia tidak tersinggung dengan makianku terhadapnya, bukan?" tambah Lea sembari berjalan ke arah anggrek berwarna ungu yang tidak dia ketahui namanya."Kau harus tetap berhati-hati, Nona." Clint berjalan di belakang wanita itu, mengikuti ke mana pun wanita itu melangkah. "Bisa jadi dia sedang menyiapkan hukuman yang akan membuatmu menyesal seumur hidup.""Jika kau tahu apa saja yang sudah kulalui, aku yakin kau tidak akan berkata seperti itu, Dokter," ujar Lea.Selama dia tidak dihadapkan pada Bram, atau bahkan bayangan Bram, wanita itu tidak akan takut pada apa pun."Kau wanita yang pemberani. Asal kau tahu, Zen tidak pernah menyimpan wanita selama lebih dari tiga hari. Tapi kau ... kurasa ada sesuatu dari dirimu yang membuat Zen tetap mempertahankanmu di sini.""Dan apa sesuatu itu?" tanya Lea sembari mengagumi bunga-bunga cantik di sana.Clint mengedikkan bahu. "Entahlah. Hanya Zen yang tahu."Seakan tidak lelah mengelilingi taman tersebut, Lea menjelajahi dan menyentuh hampir setiap bunga yang bermekaran itu. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum kagum pada keindahan bunga-bunga tersebut."Sepertinya kau sangat akrab dengan pria berengsek itu, Dokter," ujar Lea."Um ... begitulah. Sebenarnya aku sudah mengenal Zen sejak masih remaja. Tapi ... aku mulai bekerja padanya sejak lima tahun lalu.""Wow!" seru Lea."Bagaimana kalau kita duduk di sana?" Clint menunjuk sebuah bangku bercat putih di taman tersebut.Lea berpaling ke arah yang ditunjuk Clint. Sebuah bangku yang di kanan dan kirinya dipenuhi oleh bunga anggrek yang bermekaran."Okay," balas Lea.Wanita itu menghampiri Clint lalu berjalan ke arah bangku yang ditunjuk pria itu tadi."Aku suka sekali dengan taman ini," ujar Lea lugas.Dia memang sangat menyukai bunga-bunga itu. Dulu waktu masih kecil, dia juga gemar menanam bunga meski hanya bunga liar yang dia tanam di dalam pot. Namun semua kesenangan itu sirna kala ibunya menikah lagi dengan Bram, pria asal Indonesia yang bekerja pada The Demon, kartel senjata api ilegal dan obat-obatan terlarang."Oh, aku hampir lupa. Kau belum menjawab pertanyaanku tentang pria sialan itu. Atau ... jangan-jangan kau sengaja ingin membuatku lupa," tuduh Lea setelah mereka duduk di bangku tersebut.Clint terkekeh. "Tidak ... aku tidak melakukan seperti yang kau tuduhkan. Aku bukan pria yang hobi tidak menepati janji.""Ya, ya, ya ... katakan saja semaumu. Kau berbohong pun aku tidak akan tahu," balas Lea.Ucapan Lea mendapat respons tawa keras dari Clint. Pria itu memiringkan tubuhnya meghadap Lea."Coba ulangi pertanyaanmu, aku akan menjawabnya dengan senang hati," kata Clint.Lea melemaskan bahu, menatap lelah pada dokter pribadi Zen itu."Haruskah aku mengulanginya?" tanya Lea lelah."Tidak juga. Aku masih merekam pertanyaanmu di sini," jawab Clint sembari menunjuk pelipisnya."Lalu? Apa lagi yang kau tunggu?" desak Lea."Wow ... sabar, Nona! Atau kau memang sudah tidak sabar lagi untuk kenal lebih dekat dengan Zen?"Lea memutar mata malas. "Ceritakan saja, Dokter.""Baiklah, baiklah ... aku akan mengatakannya. Aku tidak akan berbohong. Zen adalah pengusaha perhotelan yang paling terkenal di negara ini. Kau yakin tidak pernah mendengar nama Zen Aberdein?" Clint mengangkat sebelah alis."Maaf, Dokter. Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelum dia membuat masalah denganku," ujar Lea."Sungguh? Nama sebesar Zen Aberdein tidak pernah masuk ke dalam kepalamu? Oh, ini sangat menggelikan." Clint terkekeh."Aku mengatakan yang sebenarnya, Dokter. Kalau pun tahu, aku juga tidak akan peduli." Lea menyibak rambut lalu menyatukannya di bahu kiri."Berarti mulai sekarang kau harus paham siapa lawanmu," ujar Clint."Whatever!" balas Lea asal. "Tapi ... bagaimana dengan helikopter dan semua kemewahan ini? Rasanya ... pengusaha di bidang perhotelan saja tidak akan sanggup membeli semua itu.""Cerdik sekali! Orang seperti Zen tidak akan tinggal diam dengan menerima keuntungan dari satu sektor usaha saja.""Lalu?" Lea memiringkan kepala, menatap penasaran pada Clint.Clint menoleh pada Lea. "Zen adalah penguasa pasar senjata di negeri ini."Wajah Lea berkerut. "Maksudmu ... dia seorang mafia?" selidik Lea."Aku tidak akan bilang begitu." Clint mengedikkan bahu. "Jika kau tahu apa yang sudah dia lalui dan lakukan, aku tidak yakin malam ini kau bisa tertidur dengan nyenyak.""Apa tentang seberapa banyak nyawa yang melayang di tangannya?" Lea mengangkat sebelah alisnya. "Percayalah, aku kenal orang semacam itu hampir seumur hidupku," ujar Lea sedikit mendramatisir."Oya?" Clint menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Bagaimana kalau kita bicara tentangmu saja? Ceritakan padaku, apa yang pernah terjadi dalam hidupmu? Kurasa itu jauh lebih menarik dari sekadar kisah tentang Zen Aberdein."Lea mendengkus. Dia tahu ini adalah tujuan utama Clint mengajaknya keluar dari kamar. Clint hanya ingin tahu tentang kehidupan Lea."Usahamu masih kurang untuk mengorek informasi tentang kehidupanku, Dokter. Kau perlu upaya yang lebih keras dari ini," cibir Lea."Aku ketahuan," ujar Clint sembari mengangkat kedua tangannya. Lalu pria itu terkekeh.Clint menoleh pada Lea, menatap ingin tahu pada wanita itu."Kenapa kau tidak pernah mau menceritakan masa lalumu?" tanya Clint.Lea membuang pandangan ke samping, sedikit mengernyit karena kedua matanya tersorot sinar matahari. Lalu, dia menoleh pada Clint, membalas tatapan pria itu."Bagiku, masa lalu adalah kenangan yang harus dikubur dalam-dalam, Dokter. Dengan begitu, semua rasa sakit akan sirna. Jadi ... jika kau bertanya padaku tentang masa lalu, maka aku akan menjawab, 'Galilah sendiri!'""Sesakit itukah masa lalumu?" tanya Clint.Lea mengedikkan bahu. "Coba saja temukan jawabannya sendiri."Clint mengangguk-angguk kecil sambil mengarahkan pandangannya ke depan. Lalu, dia menautkan jemarinya dengan kedua siku yang bertumpu pada lutut. Pria itu menoleh pada Lea yang kebetulan juga sedang menatapnya lantas berkata, "Kau tahu? Aku nyaris tidak mengenali dirimu tanpa bekas luka di wajah itu."Lea tercengang. Apa itu artinya Clint sudah berhasil mengingat dirinya?***tbc.Suasana berubah hening untuk beberapa saat. Clint masih menatap Lea tanpa ekspresi. Lea sendiri terpaku pada pria yang duduk di sampingnya itu. Lantas, wanita itu mengalihkan pandangan ke arah anggrek yang ada di hadapannya."Apa maksudmu, Dokter? Apa yang kau bicarakan?" Lea berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Clint.Clint terkekeh. Lantas ikut mengarahkan pandangannya ke depan."Aku tidak akan mempermasalahkan masa lalu, Lea. Aku hanya penasaran, dari siapa kau melarikan diri," tutur Clint.Wajah wanita itu tampak mengeras. Urat di pelipisnya berkedut. Dia tampak tidak suka Clint membahas masa lalunya."Apa Zen mengetahui hal ini? Tentang siapa dirimu di masa lalu?" selidik Clint."Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Dokter! Aku lelah, aku ingin kembali ke kamar," ujar Lea seraya berdiri."Tunggu!" Dengan sigap, Clint menahan tangan wanita i
Mata cekung dengan iris segelap langit malam itu menatap tajam pada Lea. Tetesan darah dari luka di kening pria itu mengalir melewati alis dan kelopak matanya. Namun, tidak sedikit pun rasa sakit yang tergambar di wajah pria tersebut.Tubuh Lea yang gemetar itu goyah. Nyaris saja wanita tersebut ambruk dan tubuhnya membentur lantai andai saja Zen tidak sigap menangkapnya. Lalu, dengan kedua tangannya, Zen mengangkat tubuh Lea dan membaringkan wanita itu di atas ranjang. Beruntung kaki pria itu masih terbungkus sepatu kulit berkualitas premium yang tampak sangat mengkilap. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena sepatu itu dapat melindungi kaki Zen dari pecahan vas dan kaca yang nyaris memenuhi lantai kamar tersebut."Emosimu sedang labil. Istirahatlah," ujar Zen.Lea terdiam dengan bulir bening yang perlahan meloloskan diri dari ujung matanya. Dia pikir Zen akan marah karena Lea telah membuatnya terluka. Tapi nyatanya, pria it
Dengan tatapan mata saja, para penjaga yang bersiaga di depan pintu kamar Lea langsung mengerti. Pintu kayu itu perlahan tertutup dengan rapat."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Zen, masih dengan posisi duduk di tepi tempat tidur.Sorot mata sayu yang terpancar di wajah Lea, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria tersebut. Zen melepas kancing lengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia menggulungnya hingga batas siku. Selesai dengan kemeja, Zen beralih pada sepatunya. Pria itu melepas sepatu dan kaus kaki sebelum akhirnya dia naik ke atas ranjang."Kemarilah," ucap Zen yang berbaring dengan posisi miring dan satu tangan merentang untuk menyambut kepala Lea.Dengan patuh, Lea bergerak mendekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Zen. Wanita itu mencari kenyamanan dalam dekapan pria tersebut."Tidurlah, aku akan menjagamu," ucap Zen lembut.Namun, Le
Tetap meringkuk di bawah selimut hangat adalah hal ternyaman yang ingin Lea lakukan saat ini. Ini memang bukan pertama kalinya Lea merasakan sentuhan seorang pria. Tapi ini pertama kalinya Lea melakukannya dengan sukarela, atas keinginan hatinya. Beberapa waktu lalu, wanita itu telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada seorang Zen Aberdein.Rasa hangat yang menyelimutinya, membuat wanita itu berpikir bahwa Zen masih berada di atas tempat tidur yang sama dengannya. Namun, saat Lea menggerakkan badan untuk tidur dengan posisi terlentang, sisi lain ranjang yang dia tempati sudah dingin. Kosong.Wanita itu membuka mata dan mendapati bahwa dia hanya seorang diri di dalam kamar tersebut. Dia mengangkat tubuh sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.Lea menatap pintu kamar yang tertutup lalu tersenyum hampa. "Seorang pelacur akan tetap menjadi pelacur."Hampir saja dia lupa siapa dirinya dan di mana posisi
Saat sedang berjalan kembali ke kamarnya, Lea tidak sengaja bertemu dengan Clint di lorong. Pria itu tampak menyunggingkan senyum canggung. Sedikit banyak, dia merasa bersalah karena telah membuat Lea mengalami hari yang buruk."Lea," sapa Clint.Wanita itu ingin berpaling, tapi dia cukup mengerti kenapa Clint mendesaknya untuk menceritakan masa lalu. Lea tahu bahwa pria itu hanya ingin dirinya mendapat perlindungan dari Zen."Dokter," balas Lea yang meski sudah berusaha terlihat ramah tapi nyatanya masih terdengar ketus."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Clint."Um ... aku ...." Lea sedikit kebingungan mencari alasan. Dia tidak ingin Clint mendesaknya lagi karena itu hanya akan membuatnya kehilangan kontrol emosi."Kalau kau keberatan ... it's okay. Aku mengerti," sela Clint yang melihat Lea seperti sedang mencari alasan untuk menghindari berbincang dengannya."Oh
Malam itu, bahkan hingga pagi menjelang, Lea merasa kedua matanya sulit untuk terpejam. Nama Ryn yang disebutkan oleh Clint betul-betul mengganggu pikirannya. Ya, Ryn, Ryn Aberdein. Adik kandung Zen Aberdein. "Kenapa Clint melarangku bertemu dengannya? Jika dia tinggal di mansion ini ... di bagian mana dia tinggal?" Pertanyaan itu seolah menggema di kepala Lea. Dibebaskan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan, tak lantas membuat Lea merasa bahagia. Kecuali satu hal, wanita itu bisa bermain piano setiap waktu. Seperti pagi ini, setelah sarapan di ruang makan ... sendirian, Lea menyempatkan diri untuk bermain piano. Tinggal di mansion seluas itu membuatnya merasa hidup di peradaban yang telah punah. Bagaimana tidak? Di mana-mana, yang dia jumpai hanya para pelayan dan penjaga. Sesekali dia bisa bertemu dengan Clint. Selebihnya ... dia menjalani hidupnya sendirian. "Senang bisa bertemu denga
"Kau ingin mencoba melewati labirin ini?" tanya Ryn setelah mereka berkenalan beberapa saat lalu."Hm. Aku hanya pernah melihatnya di televisi, dan aku sangat ingin mencobanya," jawab Lea."Well, okay. Aku akan menemanimu," kata Ryn lagi.Lea mempertahankan tatapannya pada Ryn beberapa saat. Benarkah gadis tengil ini berniat baik? Oh, ayolah! Tidak mungkin Clint melarangnya berdekatan dengan Ryn jika tidak ada apa-apa dengan gadis itu. Lea harus waspada, karena gadis itu terlihat sangat manis dan nakal di saat yang bersamaan. Bukankah itu perpaduan yang sempurna untuk mengelabuhi orang lain?"Jangan melihatku seolah aku ini anak bandel yang akan menyusahkanmu. Aku sudah hafal dengan labirin ini. Jika kau tersesat, aku bisa menunjukkan jalannya padamu," ujar Ryn yang melihat tatapan curiga Lea terhadapnya.Tentu tidak akan menarik jika masuk labirin dengan orang yang sudah hafal dengan rutenya. Lea i
Kepanikan terjadi di mansion kala Lea tidak kembali setelah memasuki labirin selama hampir dua jam. Para penjaga masuk ke dalam labirin, menyisir setiap sudut labirin tersebut untuk mencari keberadaan Lea. Namun mereka tidak menemukan apa pun di dalam sana."Bagaimana dengan kameranya? Apa mereka menemukan sesuatu?" tanya salah satu penjaga.Rekan sesama penjaganya menggeleng. "Nope! Kamera yang mengarah ke labirin sedang mengalami masalah teknis pada waktu itu. Kamera-kamera itu tidak berfungsi.""Fuck! Apa yang harus aku katakan pada Tuan Zen?" Penjaga yang terakhir kali bersama Lea itu mulai pias. Nyawanya kini berada di ujung tanduk. Kalau sampai Lea tidak ditemukan, dia harus mengucapkan selamat tinggal terhadap nyawanya."Hubungi yang lain. Sisir setiap sudut mansion. Kita harus menemukan Nona Lea sebelum Tuan Zen kembali," ujar rekannya."Akan kulakukan. Ingat, bilang pada yang lain untuk men