Malam itu, bahkan hingga pagi menjelang, Lea merasa kedua matanya sulit untuk terpejam. Nama Ryn yang disebutkan oleh Clint betul-betul mengganggu pikirannya. Ya, Ryn, Ryn Aberdein. Adik kandung Zen Aberdein.
"Kenapa Clint melarangku bertemu dengannya? Jika dia tinggal di mansion ini ... di bagian mana dia tinggal?"
Pertanyaan itu seolah menggema di kepala Lea. Dibebaskan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan, tak lantas membuat Lea merasa bahagia. Kecuali satu hal, wanita itu bisa bermain piano setiap waktu. Seperti pagi ini, setelah sarapan di ruang makan ... sendirian, Lea menyempatkan diri untuk bermain piano.
Tinggal di mansion seluas itu membuatnya merasa hidup di peradaban yang telah punah. Bagaimana tidak? Di mana-mana, yang dia jumpai hanya para pelayan dan penjaga. Sesekali dia bisa bertemu dengan Clint. Selebihnya ... dia menjalani hidupnya sendirian.
"Senang bisa bertemu denga
"Kau ingin mencoba melewati labirin ini?" tanya Ryn setelah mereka berkenalan beberapa saat lalu."Hm. Aku hanya pernah melihatnya di televisi, dan aku sangat ingin mencobanya," jawab Lea."Well, okay. Aku akan menemanimu," kata Ryn lagi.Lea mempertahankan tatapannya pada Ryn beberapa saat. Benarkah gadis tengil ini berniat baik? Oh, ayolah! Tidak mungkin Clint melarangnya berdekatan dengan Ryn jika tidak ada apa-apa dengan gadis itu. Lea harus waspada, karena gadis itu terlihat sangat manis dan nakal di saat yang bersamaan. Bukankah itu perpaduan yang sempurna untuk mengelabuhi orang lain?"Jangan melihatku seolah aku ini anak bandel yang akan menyusahkanmu. Aku sudah hafal dengan labirin ini. Jika kau tersesat, aku bisa menunjukkan jalannya padamu," ujar Ryn yang melihat tatapan curiga Lea terhadapnya.Tentu tidak akan menarik jika masuk labirin dengan orang yang sudah hafal dengan rutenya. Lea i
Kepanikan terjadi di mansion kala Lea tidak kembali setelah memasuki labirin selama hampir dua jam. Para penjaga masuk ke dalam labirin, menyisir setiap sudut labirin tersebut untuk mencari keberadaan Lea. Namun mereka tidak menemukan apa pun di dalam sana."Bagaimana dengan kameranya? Apa mereka menemukan sesuatu?" tanya salah satu penjaga.Rekan sesama penjaganya menggeleng. "Nope! Kamera yang mengarah ke labirin sedang mengalami masalah teknis pada waktu itu. Kamera-kamera itu tidak berfungsi.""Fuck! Apa yang harus aku katakan pada Tuan Zen?" Penjaga yang terakhir kali bersama Lea itu mulai pias. Nyawanya kini berada di ujung tanduk. Kalau sampai Lea tidak ditemukan, dia harus mengucapkan selamat tinggal terhadap nyawanya."Hubungi yang lain. Sisir setiap sudut mansion. Kita harus menemukan Nona Lea sebelum Tuan Zen kembali," ujar rekannya."Akan kulakukan. Ingat, bilang pada yang lain untuk men
Semua orang menatap heran, tapi dalam tatapan itu terselip kelegaan luar biasa di dalam benak para penjaga yang bertanggung jawab atas Lea. Zen menggendong wanita tersebut yang tampak tak sadarkan diri seperti sedang menggendong pengantinnya. Hanya saja, penampilan Lea sama sekali tidak mirip seperti seorang pengantin. Gaun selutut berwarna biru muda yang dia kenakan, sebagian basah dan sudah bercampur dengan noda berwarna coklat serta hijau lumut. Kening wanita itu terluka, terlihat bekas tetesan darah yang hampir mengering di sana."Panggil Dokter Clint segera," titah Zen dengan suara berat kepada anak buah yang dia lewati.Tubuh Lea sama sekali tidak tampak membebani pria itu ketika dia melangkah. Seolah wanita tersebut tidak memiliki bobot. Setapak demi setapak, ayunan kaki Zen membawa mereka ke kamar Lea. Pria itu membaringkan tubuh Lea di atas ranjang dengan hati-hati."Panggil pelayan kemari," ucap Zen pada anak buahnya.
Lea duduk di dekat jendela, memandangi hamparan luas pepohonan yang membentang di belakang mansion tersebut. Tidak seperti pandangannya yang berselancar menyusuri keindahan alam. Pikiran Lea justru hanya terpusat pada satu tempat, yaitu labirin."Aku sangat yakin jika apa yang kulihat itu nyata," ucap Lea lirih.Dia ingin memercayai ucapan Clint bahwa semua itu hanya halusinasi saja, tapi hatinya terus menolak. Lea sangat yakin jika apa yang dia alami adalah sebuah fakta. Hanya saja, yang tidak habis dia pikirkan adalah Clint yang terus memintanya untuk menjauh dari Ryn. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh gadis berusia 17 tahun dengan kondisi kaki cacat seperti dia? Lagipula, Ryn tidak terlihat berbahaya. Walaupun pada awalnya memang tampak nakal. Tapi Lea yakin jika gadis itu tidak akan membahayakan dirinya."Ryn mengatakan kalau dia pernah membuat satu kesalahan di masa lalu. Apa itu yang membuat Clint memintaku untuk menjauhi
Jantung Lea terasa menghentak dengan kuat. Suara sosok yang berada dalam kegelapan itu membuat Lea merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya.Lea menelan ludah. 'Aku harus kabur dari sini,' batin wanita itu.Lea melirik ke arah pintu dari ekor matanya. Jarak pintu itu dari tempatnya berdiri hanya sekitar 7 meter. Dia mempertimbangkan opsi untuk berlari secepatnya ke arah pintu lalu keluar dari kamar tersebut. Posisinya berdiri saat ini memang lebih dekat dengan pintu dibandingkan dengan orang itu. Jadi, jika dia berlari, kemungkinan besar dia akan lolos. Wanita itu beranggapan bahwa menghadapi para penjaga yang dia yakini sekarang sedang kebingungan mencarinya, akan jauh lebih mudah ketimbang menghadapi siapa pun yang berada dalam kegelapan tersebut.Dalam hati, Lea mulai menghitung. Pada saat dia sudah bersiap untuk berlari, orang yang menegurnya tadi muncul dari kegelapan. Pada saat dia meliha
Sekembalinya ke kamar, Lea tidak bisa berhenti memikirkan ucapan penjaga yang mengatakan bahwa apa yang dia lakukan dapat membuat mereka terbunuh. Wanita itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan perasaan tidak menentu. Di satu sisi, dia benci terkurung di dalam kamar. Namun di sisi lain dia juga mengkhawatirkan nasib penjaga-penjaga itu."Apa Zen yang menghabisi penjaga itu?" gumam Lea sambil menggigit ujung jarinya karena cemas.Dia tahu Zen bukan orang sembarangan, namun dia tidak pernah berpikir bahwa Zen akan dengan tega merenggut nyawa seseorang karena kesalahan yang tidak dia lakukan. Ya ... Lea mengakui bahwa kejadian yang menimpa dirinya di dalam labirin adalah kesalahannya sendiri. Penjaga itu sudah memberi peringatan, namun dia keras kepala. Lantas sekarang, penjaga itu harus menanggung konsekuensinya. Bukankah itu sangat tidak adil?"Aku tidak menyangka kalau dia adalah orang yang sangat kejam," rutuk Lea.Wanita itu berpikir untuk mendatan
Perintah adalah perintah. Sekeras apa pun Lea menolak, Zen pasti akan menemukan cara untuk membuatnya patuh. Sama seperti saat pertama kali pria itu membawanya ke mansion. Pemberontakan Lea hanya berakhir sebagai seorang tawanan.Diantar oleh seorang penjaga, Lea berjalan menyusuri koridor yang belum pernah dia jamah sebelumnya. Berbeda dengan bagian mansion di mana kamar Lea berada, untuk bisa sampai ke kamar Zen, mereka harus melewati beberapa ruangan. Bukan hanya ruangan, namun juga beberapa pintu.Kedua mata Lisa tak henti menyusuri setiap bagian mansion yang dia lewati. Terdapat banyak sekali pintu yang bentuknya sama persis. Barangkali pintu itu sengaja dibuat serupa untuk menyesatkan orang-orang yang belum hafal bangunan tersebut seperti Lea. Wanita itu yakin jika dia harus kembali ke kamarnya tanpa penjaga, dia akan tersesat."Berapa pintu lagi yang harus kita lewati?" tanya Lea pada penjaga yang membimbing jalannya."Sebentar lagi kita sampai, Nona,"
Tidak sulit untuk menemukan puncak gairah ketika Lea harus berhadapan dengan Zen. Wanita itu dengan mudahnya takhluk di bawah kendali Zen. Sungguh, ini di luar kebiasaan Lea selama menjadi primadona di Night-O Club. Dengan Zen, Lea merasa benar-benar seperti seorang jalang yang membutuhkan belaian kasih sayang."Tidurlah, Sweet Cake. Aku akan menjagamu," ucap Zen setelah hasratnya terpenuhi.Di saat seperti ini, Lea merasa Zen adalah seorang pria dengan kepribadian yang hangat. Sama sekali tidak terlihat ataupun terasa jika pria itu adalah pria berdarah dingin yang tega melenyapkan nyawa siapa saja yang mengusik hidupnya.Kalimat "Aku akan menjagamu" yang diucapkan oleh Zen terasa begitu menenangkan bagi Lea. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berkata seperti itu selain ibunya. Sisi lain Zen yang seperti ini seolah menjadi sandaran bagi wanita itu yang akan menguatkannya ketika dia sedang berada di dalam posisi sangat lemah."Zen," panggil Lea yang te