Tetap meringkuk di bawah selimut hangat adalah hal ternyaman yang ingin Lea lakukan saat ini. Ini memang bukan pertama kalinya Lea merasakan sentuhan seorang pria. Tapi ini pertama kalinya Lea melakukannya dengan sukarela, atas keinginan hatinya. Beberapa waktu lalu, wanita itu telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada seorang Zen Aberdein.
Rasa hangat yang menyelimutinya, membuat wanita itu berpikir bahwa Zen masih berada di atas tempat tidur yang sama dengannya. Namun, saat Lea menggerakkan badan untuk tidur dengan posisi terlentang, sisi lain ranjang yang dia tempati sudah dingin. Kosong.
Wanita itu membuka mata dan mendapati bahwa dia hanya seorang diri di dalam kamar tersebut. Dia mengangkat tubuh sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.
Lea menatap pintu kamar yang tertutup lalu tersenyum hampa. "Seorang pelacur akan tetap menjadi pelacur."
Hampir saja dia lupa siapa dirinya dan di mana posisinya dalam hidup seorang Zen Aberdein. Seorang pria yang dikatakan Clint sebagai pria yang sangat berkuasa. Lea tak lebih hanyalah wanita yang dibayar untuk melayani nafsu pria tersebut. Seorang jalang tidak akan pernah menjadi ratu untuk sang raja.
"Ingat siapa dirimu, Lea!" ujar Lea pada dirinya sendiri.
Tidak ingin terlalu memikirkan nasibnya yang tidak akan pernah berubah, Lea memutuskan untuk turun dari ranjang dan membersihkan dirinya di kamar mandi. Air hangat yang mengucur melewati setiap bagian tubuhnya, membuat Lea merasa rileks. Dia bahkan tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan mandinya karena itu terlalu nyaman untuk dilewatkan.
Matahari sudah berganti shift dengan bulan ketika Lea mencoba melihat keluar melalui jendela. Langit sudah gelap. Dan perutnya belum terisi apa pun sejak siang selain sup daging yang dia makan melalui suapan tangan Zen.
"Aku lapar, apa aku bisa mendapatkan jatah makanku?" tanya Lea kepada penjaga di depan kamarnya.
Dia cukup sadar diri, jadi dia tidak akan bertingkah macam-macam. Bisa mendapat jatah makannya saja sudah cukup. Karena perutnya memang terasa sangat lapar sekarang.
"Tentu, Nona. Saya akan mengantar Anda ke ruang makan," jawab penjaga itu.
"Ruang makan?" Lea memiringkan kepala, meyakinkan diri bahwa dia tidak salah dengar. Sejak kapan Lea bisa makan selain di dalam kamarnya?
Penjaga itu mengangguk sambil tersenyum. "Ya, Nona. Mulai sekarang Anda bisa makan di ruang makan."
"Bersama Zen?" tanyanya masih bingung.
"Tuan sedang tidak ada di mansion," jawab penjaga itu. Dan itu berarti dia tidak akan makan dalam satu meja dengan pria tersebut.
"Mari, Nona. Saya akan mengantar Anda," kata penjaga itu lagi.
Meski masih merasa sedikit aneh, tapi Lea tetap mengikuti penjaga tersebut. Dia melangkah di belakang penjaga itu menyusuri lorong-lorong yang cukup panjang untuk sampai di ruang makan, dan betapa tercengangnya Lea ketika dia memasuki ruangan yang dimaksud. Chandelier yang menggantung di tengah-tengah ruangan, berada persis di atas meja makan panjang itu terlihat sangat cantik. Deretan kursi kayu dengan ukiran unik mengelilingi meja tersebut. Satu-satunya kursi dengan ukuran dan ukiran yang berbeda berada di kepala meja. Lea yakin bahwa itu adalah tempat Zen.
"Silakan, Nona," ucap seorang pelayan setelah menarik kursi untuk wanita itu.
Lea berjalan ke arah pelayan tersebut, tapi pandangannya masih menyisir tiap sudut ruangan. Gaya klasik yang ditampilkan di ruangan ini mengingatkannya pada perjamuan makan malam di era kerajaan. Satu hal yang sangat disayangkan Lea. Ruangan ini hanya ramai oleh furnitur antik dan benda-benda mati lainnya yang tampak sangat terawat. Namun sangat sepi dan jauh dari napas manusia.
Lea duduk di kursi lalu menyamankan posisinya. "Apa akan ada orang lain lagi yang makan di sini?" tanyanya.
"Tidak, Nona." Pelayan yang sedang menuang minuman untuk Lea itu menjawab tanpa menghentikan pekerjaannya.
Sayang sekali. Meja makan sebesar itu hanya berisi dirinya dengan beberapa menu makanan. Harus Lea akui kalau hidangan yang tersaji untuknya selama di mansion ini memiliki cita rasa yang luar biasa, dan dia yakin kalau koki yang memasak di sini adalah orang-orang yang memiliki lisensi resmi dengan prestasi besar di luar sana.
"Apa hanya aku yang akan makan di sini? Kenapa kalian tidak bergabung denganku? Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu untuk makan dengan orang lain," kata Lea.
Menu yang tersaji di hadapannya cukup untuk makan bersama seorang pelayan dan seorang penjaga di sana. Lagipula, Lea merasa semua ini terlalu berlebihan. Lalu, terbesit dalam pikiran wanita itu bahwa mungkin saja Zen melakukan semua ini karena pria itu menginginkan hal yang lain dari dirinya. Tentu saja. Zen hanya akan mengambil keuntungan darinya karena pria itu sudah membayar dengan nominal yang sangat besar.
"Maaf, Nona. Tugas kami di sini adalah untuk melayani Anda." Pelayan itu menunduk, lalu mundur dan berdiri di samping penjaga tadi setelah menyiapkan apa pun yang Lea butuhkan untuk makan.
Lea berpaling ke arah dua orang itu. "Ayolah, kalian tahu kalau aku hanya tawanan di sini. Kalian bisa ikut makan denganku. Lagipula, tidak ada tuan kalian di sini. Dia tidak akan tahu," bujuk Lisa.
"Silakan menikmati makan malam Anda, Nona," balas penjaga itu.
Bola mata Lea berotasi lantas wanita itu mengeluarkan ekspresi malas sambil memutar tubuh dan kembali duduk menghadap meja.
"Kenapa mereka patuh sekali?" gerutu Lea.
Ah, sudahlah. Sepertinya dua orang itu akan lebih patuh ketika Zen meminta mereka untuk menjilat sepatunya daripada menuruti permintaan Lea untuk ikut makan bersama wanita itu.
Setelah perutnya terasa kenyang, Lea memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tentu saja dengan dikawal oleh penjaga yang tadi mengantarnya. Yakinlah kalau mansion itu bisa membuat Lea tersesat andai saja tidak ada penjaga yang membimbing jalannya.
Tiba-tiba saja langkah kaki Lea berhenti ketika melewati sebuah ruangan dan kedua matanya menangkap sebuah piano di dalam ruangan tersebut.
"Apa piano itu bisa digunakan?" tanya Lea yang membuat penjaga di depannya berhenti melangkah lalu berbalik.
Penjaga itu mengikuti arah pandang Lea. "Bisa, Nona," jawabnya kemudian.
"Apa aku boleh memainkannya?" tanya Lea lagi.
Penjaga itu tersenyum. "Tuan Zen mengizinkan Anda melakukan apa pun yang Anda sukai di mansion ini, Nona. Tentu ... Anda boleh memainkannya."
Bibir wanita itu langsung menampilkan senyum sumringah. Dia tidak peduli dengan Zen yang mengizinkannya melakukan apa pun di mansion itu. Namun dia sangat senang ketika dia diperbolehkan memainkan piano yang ada di sana.
Persis seperti bocah yang baru saja mendapatkan mainan kesukaannya, Lea berlari kecil menghampiri piano tersebut lantas duduk di kursi panjang yang ada di depan piano. Wanita itu menggosokkan kedua telapak tangannya dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.
Dia menekan tuts piano untuk memastikan bahwa benda itu benar masih bisa digunakan.
"Sempurna!" serunya bahagia.
Jemari lentik Lea mulai bergerak, menari dengan lincah di atas tuts piano hingga tercipta nada-nada ceria yang membuat siapa saja yang mendengarnya tahu bahwa si pianis sedang berada dalam kondisi hati yang bahagia. Bahkan penjaga yang setia berdiri tidak jauh dari wanita itu pun ikut tersenyum melihat Lea.
Selesai dengan satu lagu. Lea kembali menggerakkan jemarinya mengikuti not yang ada dalam ingatannya. Fur Elise, mengalun merdu memenuhi ruangan luas itu. Kedua mata Lea memejam menikmati alunan nada tersebut. Nada-nada itu mengingatkannya pada sang ibu yang memiliki hobi bermain piano. Perlahan air mata Lea menetes dari balik kelopak mata yang terpejam. Dia terhanyut dalam perasaan rindu, sedih, dan bahagia dalam satu waktu yang bersamaan.
Yang tidak disadari Lea adalah, seseorang yang berdiri di kegelapan sedang mengawasi dirinya. Kedua mata itu menyorot tajam pada Lea yang tengah terbuai oleh permainan jari-jarinya.
"Maaf, Nona. Anda harus segera kembali ke kamar." Tiba-tiba penjaga di belakang Lea menyela permainan wanita itu.
Lea menghentikan gerakan jemarinya lalu berpaling pada penjaga tersebut. "Aku masih ingin bermain piano," katanya.
"Anda bisa bermain lagi lain waktu. Sekarang Anda harus kembali," kata penjaga itu.
Lea menarik napas untuk membalas ucapan penjaga itu, namun tidak jadi dia lakukan. Dia pun menurut dan segera beranjak meninggalkan ruangan itu karena tidak ingin mencari masalah.
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, si penjaga tadi menyempatkan diri menoleh ke belakang, ke arah kegelapan yang sejak tadi mengawasi dalam diam.
***
tbc.
Saat sedang berjalan kembali ke kamarnya, Lea tidak sengaja bertemu dengan Clint di lorong. Pria itu tampak menyunggingkan senyum canggung. Sedikit banyak, dia merasa bersalah karena telah membuat Lea mengalami hari yang buruk."Lea," sapa Clint.Wanita itu ingin berpaling, tapi dia cukup mengerti kenapa Clint mendesaknya untuk menceritakan masa lalu. Lea tahu bahwa pria itu hanya ingin dirinya mendapat perlindungan dari Zen."Dokter," balas Lea yang meski sudah berusaha terlihat ramah tapi nyatanya masih terdengar ketus."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Clint."Um ... aku ...." Lea sedikit kebingungan mencari alasan. Dia tidak ingin Clint mendesaknya lagi karena itu hanya akan membuatnya kehilangan kontrol emosi."Kalau kau keberatan ... it's okay. Aku mengerti," sela Clint yang melihat Lea seperti sedang mencari alasan untuk menghindari berbincang dengannya."Oh
Malam itu, bahkan hingga pagi menjelang, Lea merasa kedua matanya sulit untuk terpejam. Nama Ryn yang disebutkan oleh Clint betul-betul mengganggu pikirannya. Ya, Ryn, Ryn Aberdein. Adik kandung Zen Aberdein. "Kenapa Clint melarangku bertemu dengannya? Jika dia tinggal di mansion ini ... di bagian mana dia tinggal?" Pertanyaan itu seolah menggema di kepala Lea. Dibebaskan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan, tak lantas membuat Lea merasa bahagia. Kecuali satu hal, wanita itu bisa bermain piano setiap waktu. Seperti pagi ini, setelah sarapan di ruang makan ... sendirian, Lea menyempatkan diri untuk bermain piano. Tinggal di mansion seluas itu membuatnya merasa hidup di peradaban yang telah punah. Bagaimana tidak? Di mana-mana, yang dia jumpai hanya para pelayan dan penjaga. Sesekali dia bisa bertemu dengan Clint. Selebihnya ... dia menjalani hidupnya sendirian. "Senang bisa bertemu denga
"Kau ingin mencoba melewati labirin ini?" tanya Ryn setelah mereka berkenalan beberapa saat lalu."Hm. Aku hanya pernah melihatnya di televisi, dan aku sangat ingin mencobanya," jawab Lea."Well, okay. Aku akan menemanimu," kata Ryn lagi.Lea mempertahankan tatapannya pada Ryn beberapa saat. Benarkah gadis tengil ini berniat baik? Oh, ayolah! Tidak mungkin Clint melarangnya berdekatan dengan Ryn jika tidak ada apa-apa dengan gadis itu. Lea harus waspada, karena gadis itu terlihat sangat manis dan nakal di saat yang bersamaan. Bukankah itu perpaduan yang sempurna untuk mengelabuhi orang lain?"Jangan melihatku seolah aku ini anak bandel yang akan menyusahkanmu. Aku sudah hafal dengan labirin ini. Jika kau tersesat, aku bisa menunjukkan jalannya padamu," ujar Ryn yang melihat tatapan curiga Lea terhadapnya.Tentu tidak akan menarik jika masuk labirin dengan orang yang sudah hafal dengan rutenya. Lea i
Kepanikan terjadi di mansion kala Lea tidak kembali setelah memasuki labirin selama hampir dua jam. Para penjaga masuk ke dalam labirin, menyisir setiap sudut labirin tersebut untuk mencari keberadaan Lea. Namun mereka tidak menemukan apa pun di dalam sana."Bagaimana dengan kameranya? Apa mereka menemukan sesuatu?" tanya salah satu penjaga.Rekan sesama penjaganya menggeleng. "Nope! Kamera yang mengarah ke labirin sedang mengalami masalah teknis pada waktu itu. Kamera-kamera itu tidak berfungsi.""Fuck! Apa yang harus aku katakan pada Tuan Zen?" Penjaga yang terakhir kali bersama Lea itu mulai pias. Nyawanya kini berada di ujung tanduk. Kalau sampai Lea tidak ditemukan, dia harus mengucapkan selamat tinggal terhadap nyawanya."Hubungi yang lain. Sisir setiap sudut mansion. Kita harus menemukan Nona Lea sebelum Tuan Zen kembali," ujar rekannya."Akan kulakukan. Ingat, bilang pada yang lain untuk men
Semua orang menatap heran, tapi dalam tatapan itu terselip kelegaan luar biasa di dalam benak para penjaga yang bertanggung jawab atas Lea. Zen menggendong wanita tersebut yang tampak tak sadarkan diri seperti sedang menggendong pengantinnya. Hanya saja, penampilan Lea sama sekali tidak mirip seperti seorang pengantin. Gaun selutut berwarna biru muda yang dia kenakan, sebagian basah dan sudah bercampur dengan noda berwarna coklat serta hijau lumut. Kening wanita itu terluka, terlihat bekas tetesan darah yang hampir mengering di sana."Panggil Dokter Clint segera," titah Zen dengan suara berat kepada anak buah yang dia lewati.Tubuh Lea sama sekali tidak tampak membebani pria itu ketika dia melangkah. Seolah wanita tersebut tidak memiliki bobot. Setapak demi setapak, ayunan kaki Zen membawa mereka ke kamar Lea. Pria itu membaringkan tubuh Lea di atas ranjang dengan hati-hati."Panggil pelayan kemari," ucap Zen pada anak buahnya.
Lea duduk di dekat jendela, memandangi hamparan luas pepohonan yang membentang di belakang mansion tersebut. Tidak seperti pandangannya yang berselancar menyusuri keindahan alam. Pikiran Lea justru hanya terpusat pada satu tempat, yaitu labirin."Aku sangat yakin jika apa yang kulihat itu nyata," ucap Lea lirih.Dia ingin memercayai ucapan Clint bahwa semua itu hanya halusinasi saja, tapi hatinya terus menolak. Lea sangat yakin jika apa yang dia alami adalah sebuah fakta. Hanya saja, yang tidak habis dia pikirkan adalah Clint yang terus memintanya untuk menjauh dari Ryn. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh gadis berusia 17 tahun dengan kondisi kaki cacat seperti dia? Lagipula, Ryn tidak terlihat berbahaya. Walaupun pada awalnya memang tampak nakal. Tapi Lea yakin jika gadis itu tidak akan membahayakan dirinya."Ryn mengatakan kalau dia pernah membuat satu kesalahan di masa lalu. Apa itu yang membuat Clint memintaku untuk menjauhi
Jantung Lea terasa menghentak dengan kuat. Suara sosok yang berada dalam kegelapan itu membuat Lea merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya.Lea menelan ludah. 'Aku harus kabur dari sini,' batin wanita itu.Lea melirik ke arah pintu dari ekor matanya. Jarak pintu itu dari tempatnya berdiri hanya sekitar 7 meter. Dia mempertimbangkan opsi untuk berlari secepatnya ke arah pintu lalu keluar dari kamar tersebut. Posisinya berdiri saat ini memang lebih dekat dengan pintu dibandingkan dengan orang itu. Jadi, jika dia berlari, kemungkinan besar dia akan lolos. Wanita itu beranggapan bahwa menghadapi para penjaga yang dia yakini sekarang sedang kebingungan mencarinya, akan jauh lebih mudah ketimbang menghadapi siapa pun yang berada dalam kegelapan tersebut.Dalam hati, Lea mulai menghitung. Pada saat dia sudah bersiap untuk berlari, orang yang menegurnya tadi muncul dari kegelapan. Pada saat dia meliha
Sekembalinya ke kamar, Lea tidak bisa berhenti memikirkan ucapan penjaga yang mengatakan bahwa apa yang dia lakukan dapat membuat mereka terbunuh. Wanita itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan perasaan tidak menentu. Di satu sisi, dia benci terkurung di dalam kamar. Namun di sisi lain dia juga mengkhawatirkan nasib penjaga-penjaga itu."Apa Zen yang menghabisi penjaga itu?" gumam Lea sambil menggigit ujung jarinya karena cemas.Dia tahu Zen bukan orang sembarangan, namun dia tidak pernah berpikir bahwa Zen akan dengan tega merenggut nyawa seseorang karena kesalahan yang tidak dia lakukan. Ya ... Lea mengakui bahwa kejadian yang menimpa dirinya di dalam labirin adalah kesalahannya sendiri. Penjaga itu sudah memberi peringatan, namun dia keras kepala. Lantas sekarang, penjaga itu harus menanggung konsekuensinya. Bukankah itu sangat tidak adil?"Aku tidak menyangka kalau dia adalah orang yang sangat kejam," rutuk Lea.Wanita itu berpikir untuk mendatan