Sore ini, dijadikan sebagai hari jadi persahabatan mereka berlima. Di mana mereka sepakat untuk merayakannya tanpa perlu ambil pusing pada tanggal dan bulan berapa tepatnya, persahabatan mereka terbentuk.
Yang jelas, tahun ini, usia persahabatan mereka memasuki tahun ke lima belas. Dan itu dianggap sebagai pencapaian yang luar biasa bagi mereka berlima. Mungkin juga untuk sebagian orang.
Mari sejenak kita perkenalkan tentang siapa saja lima sekawan ini. Di mulai dari wanita cantik yang terlihat berjalan tergesa memasuki salah satu ruang Very Important Person sebuah kafe. Dia memang tak pernah datang tepat waktu.
Gwen Himeka. Terkenal seksi bukan hanya tubuh, tapi juga otaknya yang cemerlang. Berambut pirang panjang yang jarang di sisir. Bermata kecokelatan dan paling berisik.
Alexi Millard. Playboy kelas kakap pada masanya, berlesung pipi, berambut tebal dan hitam dengan potongan mullet. Dia mempertahankan model rambutnya tetap seperti itu selama tiga tahun terakhir.
Inez Gianina. Sumber masalah, senang membuat keributan dengan siapa saja. Tapi sebenarnya, dia cukup pendiam untuk diingat sebagai gadis manis yang menggoda dengan rambut dan kedua bola mata hitam pekat miliknya.
Jupiter Lais. Hanya ada uang dan kesenangan dalam kepalanya. Ia tampan dengan tubuh paling tinggi di antara sahabatnya yang lain. Sorot mata selalu tajam mempesona, itulah ciri khasnya.
Eric Fagan. Manusia paling lurus, julukan paling tepat untuk disematkan padanya. Ia berwajah tirus dengan kulit putih pucat tanpa cela. Sejujurnya, ia membenci wanita. Terutama yang terlalu berani dan menggoda. Ia senang mencintai dirinya sendiri melebihi siapa pun.
Dan kini kembali pada Gwen, yang tiba dengan wajah penuh keringat, ia tersenyum lebar melihat ke empat sahabatnya menunggu kedatangan seorang Gwen Himeka tanpa raut wajah kesal sama sekali.
“Ratu yang ditunggu datang juga,” seru Jupiter seraya tangan menarik kursi di sampingnya yang kosong, “kemarilah, Ratuku.”
Seisi ruangan yang hanya berisi lima sekawan ini menggemakan tawa gembira. Gwen duduk sambil menepuk pundak Jupiter yang berlagak seperti seorang pelayan sedang melayani Ratunya.
“Teman-teman, maaf aku terlambat.”
“Macet di akhir pekan?” tanya Inez sekilas dengan tangan yang sibuk mencabuti anggur kehitaman dari tangkai kecilnya.
“Hei, dari mana kau dapatkan anggur itu?” Alexi menjulurkan tangannya dengan penuh semangat, dari seberang kursi.
“Aku bawa dari rumah.” Inez memalingkan tubuh sekaligus tangannya ke arah kiri, tepat di samping Eric. “Tidak Lexi. Dia milikku.”
“Hmm? Siapa?” Eric bereaksi karena ucapan Inez.
“Anggur ini.” Inez menggoyangkan anggur yang kini menyisakan banyak buah bergerombol di tangkainya.
“Jangan serakah, sisakan beberapa untukku!” protes Alexi tak pantang menyerah.
“Iya, tapi nanti!” Inez melotot pada Alexi, lalu menatap Gwen yang sedang memandangi tingkahnya. “Baru beberapa bulan tak bertemu, kau semakin cantik, Gwen,” puji Inez dengan kedipan sebelah mata.
“Kapan akan kita mulai acaranya?” tanya Eric, ia menjadi tidak sabar tak lama setelah melihat isi ponselnya.
“Ada apa? Kau harus cepat kembali?” Gwen mengalihkan pandangan pada Eric yang berada di samping Inez.
“Yap. Ada sedikit masalah di rumah.”
“Baiklah, kita mulai saja kalau begitu,” sambung Jupiter.
“Piter ... jangan goyang-goyangkan kakimu seperti itu, kau bukan remaja tujuh belas tahun lagi,” protes Gwen yang ikut merasakan getaran dari gerakan kaki Jupiter di kursinya.
“Cara lain untuk menikmati kesenangan, cantik.” Jupiter mengedip, memajukan bibirnya, seolah ingin mencium Gwen.
Gwen tertawa dan menempelkan tiga jarinya—telunjuk, tengah, dan manis—di bibir Jupiter. “Ini ciumanmu.”
Mereka berlima tertawa lepas bersama, melewati sore menuju senja dengan candaan-candaan yang tak ada artinya itu.
*****
Tiga puluh dua menit setelah pesta perayaan berakhir.
“Kapan kau tiba?” Gwen bertanya pada tamu yang tiba-tiba sudah duduk di tepi ranjang, saat ia keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di kepala.
“Lebih dari lima menit,” jawab si tamu dengan senyum manis tanpa mengalihkan tatapan dari Gwen di depannya yang mulai melepas handuk di kepala, bersiap mengeringkan si pirang.
“Kau yakin mereka tidak melihatmu saat menuju ke sini?” Gwen meraih hair dryer dari atas meja riasnya.
Pria itu bangkit, mengambil alih benda pengering rambut itu dari genggaman Gwen, “Biar aku saja.”
“Hem, terima kasih.” Gwen bersiap duduk di kursi dengan rambut yang masih setengah basah.
“Tadi aku yang terakhir kali pergi dari sana,” jelas pria itu dengan jari jemari menyisip di balik helaian rambut Gwen sembari mempertemukannya dengan ujung hair dryer, “kenapa kau datang paling terlambat dan pulang lebih awal?”
“Masih ada pekerjaan di kantor yang harus kuselesaikan, Lexi. Ini bulan keduaku menjadi Sekretaris di Winston Corporation,” keluh Gwen sedikit memiringkan kepalanya.
Si pria itu, Alexi Millard, mencium kening Gwen di sela kegiatannya mengeringkan rambut pirang lurus milik Gwen. “Kau selalu menjadi wanita tangguh dan menawan.”
“Terima kasih, Lexi.” Gwen tersenyum, tapi singkat, kemudian berganti dengan ekspresi datar.
“Boleh kubuka?” tanya Alexi hati-hati dengan kedua mata menatap lekat, pada jubah mandi berwarna putih yang dikenakan Gwen.
Gwen menggeleng dengan murung. “Tidak, Lexi. Aku sudah menahannya selama hampir dua tahun ini, demi memberikan seutuhnya diriku padamu.”
“Baiklah, aku mengerti,” angguk Alexi dengan senyum lembut yang selalu hampir mematahkan keteguhan hati Gwen, “maafkan aku,” bisiknya di telinga Gwen, mengecup pelan di pipi wanita bertubuh indah dan berwajah rupawan, sempurna di mata Alexi.
“Tak apa, salahku yang menerimamu meski tahu keadaan dan kenyataannya, berbeda jauh dari harapan semua wanita di dunia ini,” keluh Gwen, menahan air mata yang mungkin akan jatuh jika saja Alexi tidak segera memeluknya dengan erat.
“Aku mencintaimu, Gwen Himeka, apa pun yang terjadi,” gumam Alexi dengan senyum getir yang ia sembunyikan di balik punggung Gwen.
Gwen hanya mengangguk sebagai pertanda dia setuju dengan apa pun ucapan Alexi.
Karena ia selalu menghormati keputusan sahabat sekaligus pria yang berani dicintainya dalam risiko besar, selama hampir dua tahun terakhir ini.
“Selamat untuk kelahiran Putri pertamamu, Lexi,” ucap Gwen, terdengar tulus.
Alexi segera melepas pelukannya, menatap lekat pada Gwen yang tersenyum. Senyum sedih, lebih tepat dan memang terlihat seperti itu.
“Gwen ... ma-maaf, itu ketidak sengajaan. Kau tahu bukan, kami tinggal serumah dengan Ayah dan Ibunya Anna. Aku tetap harus tidur sekamar dengan Anna, lalu—”
“Sudahlah, Lexi. Memang itu hak yang seharusnya kau dapatkan dan kewajiban yang harus Anna lakukan sebagai istrimu,” sela Gwen cepat, tanpa amarah yang terlihat. Ia menyembunyikan segala perih dalam hatinya.
Alexi merasa bersalah, hanya bisa terdiam dan salah tingkah melihat wanita yang begitu dicintainya, menahan perih dan terluka selama ini.
Mungkin Gwen tak pernah tahu, bahwa ia sudah menyukainya, sejak sepuluh tahun yang lalu.
“Gwen ... aku berjanji akan segera menyelesaikan ini.” Alexi memegang kedua pundak Gwen, berbicara dengan kesungguhan.
“Apa maksudmu?”
Bersambung.
“Tentu saja aku akan menceraikan Anna, sesegera mungkin.”“Jangan bercanda, Lexi!”“Apa kau berpikir semua perasaanku padamu juga candaan?” Suara Alexi meninggi, membuat urat-urat di lehernya menegang. Kedua matanya memancarkan kekecewaan.“Alexi Millard, apa kau sudah kehilangan kewarasanmu? Anna baru saja melahirkan seorang Putri, darah dagingmu. Semudah itu kau ingin meninggalkannya?”“Itu sebuah kesalahan. Aku bahkan tak yakin, bayi itu Anakku atau bukan!”“Kau ...” Gwen menahan amarah, ia tahu bahwa jalan yang terlalu berisiko telah ia pilih, tapi dirinya juga seorang wanita yang harus memikirkan perasaan Anna saat ini.“Kami hanya sekali melakukannya dan itu karena kecerobohanku.” Alexi menunduk, tak berani menatap Gwen. “Itu sebuah kesalahan besar.”“Lalu karena itu kau tak yakin bahwa bayi itu Anakmu?”“Ya, aku sangat tidak yakin.”
Inez tertawa keras, meski sudah mengetahui bahwa Eric bukanlah pria menggebu akan cinta dan hasrat terpendam, tetap saja Inez senang memancing amarah Eric.“Di antara sekian banyak pria kaya, mengapa harus Eric Fagan? Oh, ya ampun!” tawa Inez hampir menyerupai kekehan Nenek sihir.“Kenapa? Apa aku tak pantas untuk itu?” Eric terlihat tersinggung. “Saat aku merasa beruntung kau yang menjadi saudara tiriku, kenapa kau justru mengeluh?”“Jangan salah sangka dulu, Eric. Aku hanya merasa bersalah jika seperti kenyataan dan keadaannya seperti ini.”“Haa ...” Eric mendengus, ia tersenyum miring, alias sinis, “untuk apa kau merasa bersalah? Bukan kau yang sepakat untuk menikah dengan Ayahku.”“Bukan itu, Eric,” geleng Inez. Ada senyum manis menggoda darinya yang sengaja ia peruntukan untuk sang sahabat, “karena itu kau, aku jadi semakin sulit untuk berbuat ulah.”“Berbuat ulah? Kali ini apa
“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi.Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania deng
Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.“Halo?” Suara di seberang.“Aku menganggu tidurmu?”“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”“Aku ingin bertemu.”“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terde
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses