Share

Ya atau Tidak?

Penulis: Velmoria
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-03 18:16:22

“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.

“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.

Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.

“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.

Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi. 

Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.

Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania dengan dua lantai. Tidak perlu diragukan lagi bagaimana luas dan mewahnya rumah keluarga Fagan.

Penghuni rumah berarsitektur era delapan puluhan ini, hanya terdiri dari Inez, Renata—Ibu Inez—dan Edwin Fagan. Sedangkan Elsa Fagan—Kakak Eric—memutuskan untuk tinggal bersama sang suami di luar negeri.

Wanita tiga puluh enam tahun itu hanya sekali dalam setahun datang berkunjung untuk menjenguk Edwin. Tidak merasa keberatan sama sekali dengan pernikahan sang Ayah.

Hubungannya dengan Eric masih sama. Tak pernah akur dan memilih saling memusuhi dalam diam.

Eric berjalan memasuki rumah yang sudah empat tahun ia tinggalkan. Tidak ada yang berubah, kecuali beberapa tanaman hias yang semakin banyak tersusun di setiap ruangan.

Eric yakin karena kehadiran Renata di rumah ini, menciptakan sesuatu yang baru, menggeser semua kebiasaan lama mendiang Ibunya—Delila—yang sudah meninggal sekitar lima tahun lalu.

Wajar, Eric paham akan hal itu. Tidak ada kesedihan berlarut-larut. Bagi yang masih hidup harus terus melanjutkan perjalanan hidupnya, menunggu giliran untuk mati.

“Kau ingin menemui Ayahmu?” Inez menoleh ke belakang, melihat Eric yang masih terus memandangi keadaan rumahnya.

“Mungkin Ayah sudah tidur, besok pagi saja,” tolak Eric ketika sadar jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka sebelas lewat sembilan menit.

Membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam dari King and Queen Residence, ke tempat mereka tadi sore merayakan hari jadi persahabatan di salah satu kafe pinggir kota.

“Baiklah, sampai besok, Eric.” Inez berjalan menuju lantai dua kamarnya. 

“Hem, kuharap kau tidak sengaja lupa untuk menyiapkan satu jawaban, besok.”

Inez melambai sambil lalu, tidak ingin menanggapi. Setelah dipikir-pikir, ia sadar satu hal yang pasti. Eric tidak pernah melampaui batas. Dia hanya menggertak dan tidak berani melakukan apa pun.

Eric sudah berdiri tercengang saat tiba di lantai dua dengan Inez yang berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya, ya, kamar Eric empat tahun yang lalu.

“Hei, apa-apaan ini? Dari tiga kamar di lantai dua ini, kenapa kau memakai kamarku?” bentak Eric. Jari telunjuknya menunjuk ke semua kamar kosong yang ada di sekitar mereka.

“Hanya ingin,” sahut Inez sekenanya. Ia tidak peduli dan mulai lelah dengan Eric yang terlihat menyebalkan malam ini setelah gertakannya yang konyol.

Inez membuka pintu kamar yang tidak ia kunci. Lagi pula, untuk apa dia mengunci kamar yang tidak akan di masuki oleh orang lain, di rumah besar dengan hanya tiga orang penghuni.

Eric ikut masuk begitu saja, tidak peduli pada tatapan Inez yang langsung tercengang dengan mulut ternganga lebar.

“Wah, tidak berubah!” pekik Eric dengan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa isi kamarnya, seperti lemari, tempat tidur, televisi, dan barang lainnya tetap pada tempatnya. “Kau sungguh tidak berencana untuk mengubah isi kamarku, hmm?”

Inez diam, enggan menjawab. Sejujurnya ia ingin sekali memindahkan semua barang milik Eric. Tapi Renata melarangnya. Menurut Renata, jika Inez menginginkan kamar Eric, dia harus menerima risiko untuk tidur dengan barang-barang Eric tanpa harus mengeluarkannya dari situ.

“Kau tak boleh mematikan kenangan Eric di kamar ini. Jika kau tidak setuju, pilih kamar lain yang tersedia banyak untukmu.”

Itulah kalimat Renata ketika ia bersikeras menginginkan kamar Eric untuk di tempatinya. 

“Jadi ... apa kau tidak merasa risih tidur di ranjangku?” tanya Eric dengan tangan terlipat di depan dada, ia duduk di tepi ranjang.

“Kenapa harus risih? Aku memiliki riwayat hubungan yang baik selama lima belas tahun denganmu, lagi pula, seprainya juga sudah kuganti.”

Eric mengusap ranjang yang berseprai merah muda itu. Ia tersenyum hambar menatap Inez.

“Mau tidur bersama malam ini?” ajak Eric. 

“Kau gila? Jika kau ingin tidur di kamar ini, silahkan saja. Aku akan tidur di kamar lain.” Mata Inez seperti memancarkan kilatan kemarahan. Ia melotot pada Eric yang sedang menahan tawa.

Tawa Eric pecah ketika Inez membanting pintu kamar. Dengan perasaan kesal setengah hidup dan matinya, ia berjalan menghentak kaki menuju kamar di sudut lantai dua.

“Kukira aku akan memiliki saudara tiri yang bisa kuajak bermain. Kenapa justru dia yang mempermainkanku?” hardik Inez pada dinding kamar yang tak paham pada apa yang dibicarakan Inez.

*****

Klik!

Jupiter menghidupkan lampu ruang tamu dan terkejut saat melihat sang Ibu—Misca—sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, di salah satu sofa.

“Ibu?” Jupiter mendekati Misca. “Kenapa tidak mengabariku jika ingin berkunjung?”

“Memangnya ada waktu khusus untuk mengunjungi Anakku sendiri? Aku tidak sempat mengabarimu.” Dengan ketus, Misca menatap tajam pada Jupiter.

Jupiter menghela napas, ia tidak bisa menang melawan Ibunya. Apa lagi, wanita berumur akhir lima puluhan ini, sangat keras dalam mendidik Anak. Meski Jupiter pada akhirnya, selalu melakukan perlawanan diam-diam terhadap Misca.

“Kapan kau akan menikah?” Misca sudah berdiri tepat di hadapan Jupiter.

“Bu ... tenanglah, usiaku masih tiga puluh satu tahun. Masih sangat muda,” tawa Jupiter berusaha menenangkan Misca yang selalu membahas hal sama sejak setahun terakhir, di setiap kali pertemuan mereka.

“Apa katamu?” Kedua alis Misca terangkat. “Aku sudah tahu kelakuanmu selama ini, Piter. Kau gemar bermain-main bersama banyak wanita. Pilih salah satu. Atau aku akan menjodohkanmu dengan Yasmine!” Tegas dan keras, Misca melotot marah pada Jupiter.

“Bu ... tolong jangan Yasmin,” rengek Jupiter, “membayangkannya saja aku tidak sudi.”

“Apa yang kurang dari Yasmin? Dia sehat, cantik, dan kaya. Lalu apa yang kau mau?”

“Yang jelas tidak jika itu Yasmin, Bu.” Jupiter menggeleng.

Sehat berarti tubuh tambun dengan timbunan lemak di sana-sini, cantik yang hadir karena polesan hasil lipstik merah cabai dengan bedak tebal, melebihi warna putih di leher Yasmin. Kaya? Ya, tentu. Yasmin memang Anak tunggal pewaris perusahaan tambang milik Ayahnya.

“Baiklah. Bukan Yasmin tapi wanita pilihanmu. Ingat, dua minggu dari sekarang, atau aku akan memaksamu dengan berbagai cara untuk menikahi Putri pewaris perusahaan tambang itu!”

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Together But Hurt   Oliver Xavier Fagan

    Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di

  • Together But Hurt   Sudah Cukup Bagiku

    Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi

  • Together But Hurt   Tolong Ingat Namaku

    Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar

  • Together But Hurt   Harus Terus Hidup

    Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter

  • Together But Hurt   Masalah Yang Terletak Pada Diri Sendiri

    Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta

  • Together But Hurt   Aroma Rumah Sakit

    Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status