Seorang wanita sedang duduk di sebuah bangku, pinggiran danau. Pandangannya mengamati beberapa kawanan burung berputar-putar di atas permukaan danau. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ke arahnya. Wanita itu mendongak melihat seseorang di hadapannya menyodorkan setangkai mawar putih. Dia bersimpuh, menatap kedua netra bening miliknya yang tampak teduh.
“Maaf karena membuatmu menunggu lama.”
Wanita itu tersenyum, lalu menerimanya. “Bukankah sudah biasa!”
“CUT!”
Lelaki paruh baya yang duduk tak jauh dari posisi mereka lantas bangkit dari tempat duduknya.
“Bagus Aldebaran! Aktingmu sempurna!” puji lelaki berkumis tebal yang berprofesi sebagai sutradara.
Pria dengan gaya rambut samping klimis itu menyunggingkan senyum. Kemudian ia berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan untuknya.
“Syuting hari ini kita break sampai setelah makan siang,” ujar Arman.
Aldebaran hanya mengangguk singkat dan duduk melempar punggungnya pada sandaran kursi.
“Al, malam ini kau ada acara?” tanya Liona, lawan main Aldebaran.
Aldebaran tidak menjawab, dia melirik seklias ke arah manajernya. Firman Cahyono, pria bertubuh tambun yang duduk tak jauh dari Aldebaran.
“Dia punya banyak schedule. Lain kali saja!” sahut Firman.
“Kau masih saja bersikap dingin, Al. Padahal kita sudah kenal lama,” kata Liona lalu beranjak pergi.
Aldebaran tidak menanggapi ucapan Liona. Dia meneguk jus jambu hingga tandas.
“Aku mau pergi ke RAM Corp,” ucap Aldebaran sembari bangkit dari duduknya.
Firman mengangguk ringan dan berbicara dengan sutradara untuk keluar sebentar.
Setelah dua puluh menit menempuh perjalanan, mobil Aldebaran memasuki pelataran parkir. Dia segera turun dari mobil dan berjalan lebih dulu.
Masih sama seperti biasa, Aldebaran selalu menjadi pusat perhatian ketika langkahnya melewati pintu utama. Tampan dan karismatik serta pembawaannya yang dingin juga arogan sudah melekat pada kepribadiannya.
Langkahnya perlahan melambat saat netra amber itu memandang gadis yang sedang membersihkan lantai.
Dia gadis yang kemarin! Senyumnya tersungging. Aldebaran melanjutkan langkah, dengan entengnya dia melewati lantai yang baru saja di pel.
Tidak menunggu lama, Aldebaran kembali menahan langkah. Dia tampak terkejut saat ujung pel mengudara dan hampir mengenai hidung mancungnya. Hanya berjarak beberapa senti saja.
Aldebaran menoleh murka. Tatapannya menyorot tajam. Gadis itu telah berani melakukan hal tidak baik padanya. Firman hendak maju, kembali terdiam di tempat melihat isyarat tangan dari Aldebaran untuk tidak melakukan apa pun.
“Enak saja main pergi! Bukankah Anda lihat saya sedang membersihkan lantai ini? Di sana sangat luas jika hanya untuk berjalan menuju lift, kenapa tidak lewat sebelah sana?!”
Aldebaran melirik name tag yang tertera pada id card. Jihan Azzahra!
“Kau tidak berhak mengaturku. Jika kotor, tinggal bersihkan. Masalah selesai!” katanya angkuh.
“Mana bisa begitu? Anda bukan bos di perusahaan ini. Jadi, jika Anda berbuat salah, harus minta maaf!” sanggah Rara mulai kesal.
Aldebaran sedikit menunduk, menyejajarkan posisinya dengan Rara yang hanya tinggi sebahu. Tatapan Aldebaran mengunci sesaat. Rara menjauhkan wajahnya. Tidak sudi jika dekat-dekat dengan ‘pria arogan’. Itu sebutannya untuk Aldebaran.
“Aku salah satu pemilik perusahaan ini. Jadi, jangan coba-coba memerintah. Kita beda level!” sarkas Aldebaran lalu melanjutkan langkahnya dengan acuh.
Dasar menyebalkan. Pria tidak waras. Bagaimana mungkin ada orang seperti dia di muka bumi. Sepanjang Rara berteman dengan beberapa orang yang mungkin lebih waras darinya, baru kali ini Rara berjumpa dengan orang macam dia.
Rara mengambil napas alih-alih mencoba tenang. Dia harus menggosok lagi lantai yang dikotori jejak sepatu pria arogan itu.
***
Aldebaran memasuki ruangan utama tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Orang yang berada dalam ruangan itu sudah tahu persis kebiasaannya. Dia bahkan sama sekali tidak mengalihkan atensinya dari beberapa berkas di atas meja.
“Bukankah hari ini kau sedang syuting?” Dia menutup berkas dan bangkit dari duduknya.
Aldebaran melihat ke arah papan nama yang tertera di meja. Angga Wijaya, CEO.
“Akhirnya posisi itu terisi juga!” ujar Aldebaran—melempar punggung pada sandaran sofa.
Angga mendekat dan duduk di hadapannya. Dia ikut bersandar dengan satu tangan direntangkan pada punggung sofa.
“Itu harusnya kau yang tempati. Bukankah sudah menjadi tanggung jawabmu. Aku bahkan harus beralih ke sini hanya karena keras kepalamu!”
“Itu bukan profesiku. Lagi pula, itu cocok untukmu yang suka bekerja di balik meja.” Aldebaran menyahut santai.
“Bawakan aku kopi. Sepuluh menit lagi aku harus kembali ke lokasi syuting,” katanya lagi. Dia merebahkan badannya di sofa.
Angga hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Aldebaran. Tidak mengherankan, Angga satu-satunya orang yang bisa tahan menghadapi dia.
“Tunggu, aku ingin kau meminta pegawai baru yang membawakannya!” pinta Aldebaran kembali bangun lalu menyandarkan punggungnya.
Alis Angga mengernyit. “Ada sepuluh pegawai yang baru bekerja di perusahaan ini.”
“Jihan, namanya Jihan Azzahra. Aku mau dia yang membawakanku kopi,” tutup Aldebaran seraya memejamkan kedua matanya.
Angga menarik napas pelan sebelum mengangkat gagang telepon. Dia menekan tombol otomatis dan meminta pegawai yang bernama Jihan mengantarkan kopi ke ruangannya.
Berselang lima menit, suara ketukan pintu terdengar. Rara yang masuk dengan santun, mendadak raut wajahnya berubah datar. Dia harus bertemu lagi dengan pria arogan yang merusak pagi bahagianya.
“Ini kopinya, Pak!” Rara menaruh di meja Angga.
“Bukan untuk saya, tetapi untuk Al!” Angga menunjuk dengan dagu ke arah Aldebaran yang tampak dingin.
Rara tersenyum kikuk. Dia mengambil kembali kopi lalu meletakan dengan perlahan di hadapan Aldebaran.
“Ini kopinya, Pak!” Rara berusaha menahan diri, dia menarik bibir membentuk senyuman paksa.
Aldebaran tidak menanggapi. Dia segera meneguk kopi hitam itu.
“Terlalu manis!” protesnya sambil menaruh cangkir di atas meja dengan kasar.
Alis Rara menekuk samar. Rara dengan cepat menaruh cangkir kopi di nampan dan undur diri keluar. Tak lama setelah itu, Rara kembali dengan secangkir kopi baru. Kali ini dia memastikan takarannya pas. Rara mengetuk pintu dan masuk ke dalam.
Aldebaran melirik singkat lalu mencicipinya. Tampak jelas raut wajahnya berubah. Aldebaran menaruh di atas meja dengan tak kalah kasar.
“Tidak ada rasa! Pahit! Apa seperti ini cara menyajikan kopi?!” Nadanya meninggi. Kali ini Rara mulai hilang kesabaran. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menanggapi pria arogan itu di depan bosnya.
“Al, jaga sikapmu. Tidak baik berlaku kasar seperti itu,” ucap Angga merasa tidak enak melihat ekspresi Rara yang terlihat jelas menahan kesal.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya akan buat yang baru!”
Rara mengambil lagi dan membawa keluar. Dia mendesah kasar alih-alih mengipas jemari karena asap kemarahan yang mulai mengepul. Rara kembali ke dapur. Dia menaruh nampan dengan kasar. Rara mengambil cangkir baru, sialnya stok kopi yang diminta pria arogan itu tersisa satu dan itu sudah dia seduh sebelumnya. Rara memutar otak mencari akal.
Rara menjentikkan jarinya. Dia membuang sedikit kopi sebelumnya hingga tersisa setengah dan menyiram air panas lalu menambahkan seperempat sendok gula. Rara mengangguk mantap ketika memastikan tidak ada lagi kesalahan.
Sebelum masuk ke dalam ruangan Angga, Rara mengambil napas panjang untuk menenangkan dirinya.
“Ini yang terakhir, Pak. Kali ini Bapak tidak akan kecewa!” kata Rara merasa yakin.
Tidak ada tanggapan, dia kembali mencicipi. Aldebaran menatap Rara beberapa detik. Dia menarik napas dalam dan menaruh cangkir kopi di meja dengan pelan.
“Kopi apa ini?” Sikapnya tidak lagi sama. Seakan aura dingin menyeruak. Bulu kuduk Rara bahkan sedikit meremang.
“Kau memberiku kopi yang sama! Dan itu adalah kesalahan besar,” ucap Aldebaran lebih lembut tetapi dengan penekanan.
Rara menundukkan wajahnya. Tidak ingin menatap Aldebaran seperti sebelumnya. Kilatan matanya benar-benar menunjukkan amarah yang terpendam.
“Maaf, Pak. Kopi yang Bapak mau, kebetulan stok sisa satu. Jadi, sebisa mungkin saya mengakalinya,” jelas Rara.
Aldebaran menggebrak meja. Tatapannya menyorot tajam ke arah Rara.
“Dasar bodoh! Kopi itu disimpan terpisah pada rak paling atas sebelah kanan.”
Mana aku tahu tempatnya di situ. Bukan salah aku kalau tidak tahu-menahu, batin Rara kesal.
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu!”
“Mulai hari ini kamu dipecat!” tegas Aldebaran menyibakkan tangan menyuruh Rara keluar.
Rara bergeming. Dia menatap kaku ke arah Angga yang hanya mendesah pelan. Rara meremas ujung bajunya dengan kuat. Dia tidak bisa menerima perlakuan pria arogan itu padanya.
“Pak Angga kenapa diam saja? Mana bisa saya dipecat seperti ini. Bukankah Bapak pemilik perusahaan ini?” Rara rasanya ingin menangis. Dia mendekat pada Angga yang duduk di sebelah Aldebaran.
“Saya memang yang memimpin perusahaan ini, tetapi yang memiliki wewenang atas perusahaan ini adalah adik saya.”
Aldebaran bangkit dari duduknya dan beranjak dari tempat itu. Tidak ada senyum hanya raut arogan yang senantiasa ia tunjukkan.
Tangan Rara mengepal, berusaha menahan bulir bening yang hampir saja menetes. Dengan cepat, Rara mengejar Aldebaran.
“Tunggu!” Rara merentangkan tangannya menghadang langkah pria arogan itu.
“Tolong jangan pecat saya! Saya harus membiayai pengobatan ibu saya, Pak!” Rara memohon. Dia harus melakukan apa pun untuk mendapatkan pekerjaan yang bahkan belum sehari dia lakukan.
Aldebaran tidak menanggapi, dia menggeser tubuh Rara dengan kasar.
“Saya mohon, Pak!” Rara menahan tangan Aldebaran.
Aldebaran menyentak tangan Rara. Dia mendekatkan wajahnya, menatap Rara lebih dekat. Senyumnya menyungging sempurna. Terlihat jelas kilatan matanya penuh dengan rasa puas. Rara menggigit bibir bawahnya. Dia menyadari arti senyuman itu.
Pria arogan ini membalas dendam padaku. Astaga, kenapa aku baru menyadarinya. Rara membatin.
“Firman, posisi asisten pribadi masih kosong kan? Suruh dia untuk bekerja mulai besok!” Aldebaran melirik sekilas dan melanjutkan langkahnya dengan acuh.
Pijakan Rara mendadak lemas. Bisa dipastikan hari-hari buruknya akan dimulai besok. Demi sang ibu, Rara tidak ada pilihan lain! []
Rara menarik napas lelah. Dia meluruskan kakinya. Aldebaran benar-benar menguras tenaganya hari ini. Rara harus membersihkan setiap sudut apartemen milik Aldebaran. Pria arogan itu bukan menjadikannya asisten pribadi, melainkan asisten rumah tangga. Tiga jam yang lalu .... Rara berlari menyusuri trotoar, dia berpacu dengan waktu. Angkutan umum yang dinaiki Rara, tiba-tiba mogok. Rara terpaksa mengambil jalan pintas untuk segera sampai, beruntungnya apartemen yang ditinggali Aldebaran sudah dekat. Rara mengatur napasnya yang tersengal, dia memegang kedua lutut lalu melirik jam di pergelangan tangan. Lima belas menit lagi. Dia tidak boleh terlambat, telat sedikit saja Rara akan kehilangan pekerjaannya. Dengan cepat Rara berlari masuk ke dalam. Rara segera menekan tombol lift. Dia berharap cemas menunggu pintu itu terbuka, terasa seakan nyawanya di ujung tanduk. Pekerjaan ini sangat penting baginya.
Rara saat ini sedang berada di dalam mobil Aldebaran. Dia tengah duduk diam sambil sesekali menoleh ke arah pria arogan itu. Suasana canggung menyelimuti, entah bagaimana dengan Aldebaran. Rara menimbang sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.“Apa aku terlihat seperti sopir pribadimu?!” tegas Aldebaran masih dengan atensinya lurus ke depan. “Aku tidak suka basa-basi,” lanjutnya lagi.Rara menggigit bibir bawahnya. Aldebaran memang sangat tanggap. Dia bisa menebak gerak-gerik Rara. Rara sedikit membalikan badan ke arahnya.“Kita kau ke mana? Dan pekerjaan yang Pak Al maksud itu apa?” tanya Rara sedikit ragu-ragu.Tidak ada jawaban. Aldebaran memutar kemudi, lalu mengambil jalan lain. Alis Rara berkerut, ini jalan menuju rumahnya. Rara menoleh lagi, tidak ada penjelasan sedikit pun. Sebenarnya apa yang mau dilakukan Aldebaran. Dia ingin kembali bertanya—mengurungkan niat, menatap wajah A
Rara berjalan terhuyung-huyung sambil memegang barang belanjaan milik Aldebaran. Tangannya sudah tidak kuat lagi memegang paper bag dan beberapa dus yang berisi sepatu. Sebisa mungkin, Rara membawa dengan hati-hati. Dia tampak kelelahan, sejak tadi Rara berputar-putar mencari barang yang ditulisnya sesuai perintah Aldebaran. Sudah hampir sejam lebih, Rara berada dalam sebuah pusat perbelanjaan.“Pria arogan itu membuatku harus bekerja keras untuk ini. Mana semuanya berat. Ya, ampun tanganku tidak kuat lagi.”Rara melepaskan beberapa paper bag dan dus sepatu ke lantai begitu saja. Dia duduk bersandar pada pembatas pagar untuk melepas penat sejenak.Ponsel Rara berdering, pria arogan itu menelpon. Segera Rara menggeser icon berwarna hijau.“Iya, Pak.”“Sudah semua, Pak. Aku istirahat sebentar. Kakiku sangat lelah, sejak tadi berputar-putar mencari daftar barang yang Pak Al inginkan.”
Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.Rara mendengus. Dia
Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku
Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men
Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis