Rara menarik napas lelah. Dia meluruskan kakinya. Aldebaran benar-benar menguras tenaganya hari ini. Rara harus membersihkan setiap sudut apartemen milik Aldebaran. Pria arogan itu bukan menjadikannya asisten pribadi, melainkan asisten rumah tangga.
Tiga jam yang lalu ....
Rara berlari menyusuri trotoar, dia berpacu dengan waktu. Angkutan umum yang dinaiki Rara, tiba-tiba mogok. Rara terpaksa mengambil jalan pintas untuk segera sampai, beruntungnya apartemen yang ditinggali Aldebaran sudah dekat.
Rara mengatur napasnya yang tersengal, dia memegang kedua lutut lalu melirik jam di pergelangan tangan. Lima belas menit lagi. Dia tidak boleh terlambat, telat sedikit saja Rara akan kehilangan pekerjaannya. Dengan cepat Rara berlari masuk ke dalam. Rara segera menekan tombol lift. Dia berharap cemas menunggu pintu itu terbuka, terasa seakan nyawanya di ujung tanduk. Pekerjaan ini sangat penting baginya.
Setelah melewati belasan lantai, Rara sudah berdiri di depan pintu apartemen nomor 190. Rara menarik napas panjang sebelum menekan bel.
Tidak menunggu lama, Aldebaran membukakan pintu. Rara melangkah perlahan, dia mengamati setiap sudut ruangan yang di dominasi warna putih. Beberapa interior mewah yang tertata dan foto Aldebaran berukuran besar yang terpajang di depan pintu masuk. Sangat berkelas.
Aldebaran menjentikkan jarinya. “Sudah puas melihatnya? Sekarang kembali ke realitas!”
Rara mendengkus sebal. Berjalan mengikuti Aldebaran. Aldebaran sontak berbalik, menatap Rara yang masih mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rara yang menyadari tatapan Aldebaran, menarik otot-otot wajah membentuk senyuman manis. Tepatnya senyum paksa.
“Hari ini aku ada pemotretan, jadi kauharus membersihkan seluruh ruangan tanpa terkecuali selain kamar utama. Harus benar-benar bersih!” terang Aldebaran dengan tatapan tegas.
“Kau memperkerjakan aku sebagai asisten pribadi kan? Kenapa aku harus melakukan pekerjaan rumah?”
“Aku harus mengujimu untuk menjadi asisten pribadiku. Jika pekerjaan rumah saja tidak bisa kauselesaikan, bagaimana aku bisa memperkerjakan mu sebagai asistenku?!” balas Aldebaran. Sudut bibirnya menampakkan seringai tipis.
“Tapi—“
“Jika kau tidak terima, silakan pergi dari sini!”
Rara mendesah pelan. “Baiklah, aku akan melakukannya!”
Aldebaran kembali menatap Rara dari atas sampai bawah. Kaos berwarna hitam polos dipadukan celana jeans lusuh dengan sedikit sobekan di bagian lutut. Rambut hitam pekat yang diikat asal-asalan.
“Apa kau tidak punya pakaian yang lebih baik? Terlihat kampungan!”
Rahang Rara mengeras. Ingin rasanya dia menonjok mulut lancang itu. Rara harus bersabar menghadapi pria menyebalkan seperti Aldebaran. Hanya demi ibu! Kata itu yang terus Rara rapalkan dalam hati agar bisa menahan diri dan tidak lepas kendali karena amarah.
Aldebaran meraih jaketnya dipunggung sofa, dia sedikit menundukkan badan—menatap lekat wajah Rara dengan tatapan tajam.
“Awas saja jika masih ada debu yang menempel. Kau harus membersihkan hingga benar-benar bersih. Ingat itu!”
Rara menatap kesal punggung kokoh itu, dia mengangkat satu kepalan tangan di udara. Jika bisa, Rara ingin sekali mendaratkan tinjunya di wajah mulus pria arogan itu.
***
Rara menengadahkan kepala, lalu meregangkan tubuhnya yang terasa lelah. Butiran keringat mengucur hingga menyesap ke bagian dalam pakaian. Rara memijat kaki perlahan-lahan, tampangnya yang renyuk, lusuh dan kotor tidak lagi dia pedulikan.
Rara tidak melewatkan satu bagian sudut mana pun, bahkan dia membersihkan berulang-ulang hingga benar-benar bersih. Sungguh penyiksaan!
Rara melirik jam di dinding, sudah menujukan pukul lima sore. Menandakan dia harus segera pulang ke rumah. Rara tidak memberitahukan pada Nirmala bahwa dia dipecat dan bekerja sebagai asisten pribadi Aldebaran. Dia tidak ingin ibunya banyak pikiran.
Rara segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil ponsel di atas meja dan bersiap-siap untuk pergi. Baru saja beberapa langkah, seseorang sudah membuka pintu lebih dulu.
“Pak Angga?” Rara sedikit terkejut.
“Eh?! Kau, Jihan kan?” tanya Angga yang juga merasa terkejut.
Rara mengukir senyum. “Iya, Pak!”
"Apa yang kaulakukan di sini?"
“Saya baru saja membersihkan seluruh ruangan. Dia menjadikan saya sebagai asisten pribadinya.”
“Tapi ini bukan pekerjaan asisten pribadi. Al sudah keterlaluan. Pekerjaan rumah bukanlah urusanmu, dia bisa saja memperkerjakan orang lain," sahut Angga merasa kesal.
"Itu karena saya yang memohon untuk mendapatkan pekerjaan, Pak. Lagi pula, kata pria arogan itu, maksud saya Pak Aldebaran, ini hanya untuk menguji saya. Mungkin semacam tes."
Angga memandang tampang Rara yang memprihatinkan, Rara menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal. Benar-benar suasana yang canggung.
“Polos sekali! Jangan terlalu formal, ini bukan lagi di kantor,” ujar Angga mengulas senyum.
Suara pintu kembali terdengar, kali ini Aldebaran baru saja sampai. Angga dan Rara menoleh bersamaan ke arahnya. Aldebaran melanjutkan langkah menuju dapur, mengeluarkan air dingin dari kulkas dan meneguk dengan perlahan.
“Apa aku sudah boleh pulang? Ini sudah sore, dan ibu—“
“Pekerjaanmu belum selesai! Kau hanya akan pulang jika aku menyuruhmu pulang!” tegas Aldebaran. Dia berjalan melewati Rara yang melongo di tempat.
“Tapi aku harus pulang, ibuku sendiri di rumah.” Rara menyanggah. Dia menghadang langkah Aldebaran yang hendak masuk ke kamarnya.
“Kau ke sini karena ada perlu kan. Tujuanmu ada di ruangan sebelah sana, di laci kedua.” Aldebaran tidak menggubris ucapan Rara. Dia hanya menoleh sekilas pada Angga dan menggeser tubuh Rara yang menghalangi jalannya.
“Aku bayar gajimu di muka, masih ada pekerjaan yang harus kauselesaikan malam ini!” Aldebaran berucap lebih dulu saat melihat tangan Rara hendak menyentuh lengannya, sama seperti yang Rara lakukan kemarin. Salah satu hal yang tidak disukai Aldebaran. Menyentuh bagian tubuh seeenaknya tanpa izin.
Rara lantas terdiam. Dia tidak bisa mengabaikan perkataan Aldebaran, mengingat dia membutuhkan uang untuk membeli obat ibunya yang sudah habis.
Angga menarik tangan Aldebaran, membawanya menjauh dari Rara.
“Kau jangan keterlaluan, Al. Bukankah ada Firman dan Rian yang mengurus segalanya untukmu. Kenapa menjadikan Jihan sebagai asisten pribadi? Kau juga menyuruhnya membersihkan apartemenmu. Apa ada alasan kaumelakukan itu?” Angga menatap tajam, sorot matanya penuh selidik.
Aldebaran menyunggingkan senyum. Dia berjalan ke arah meja, membuka laci dan mengeluarkan sebuah dokumen.
“Bawa ini dan segera pergi dari sini. Kau tidak perlu ikut campur urusanku!”
"Jihan tidak seperti wanita yang biasa kaukencani. Jangan jadikan dia sebagai pelampiasan nafsumu, Al!" Angga menghalangi langkah Aldebaran yang hendak beranjak.
"Apa masalahmu? Mau aku perlakukan dia seperti apa, itu bukan urusanmu!" sentak Aldebaran.
Aldebaran beranjak lebih dulu lalu disusul Angga.
“Tidak akan kubiarkan kaumelakukan itu, Al!” Angga menarik tangan Rara untuk membawanya pergi.
Sayangnya, Aldebaran tidak membiarkan itu. Dia menahan tangan Rara yang lain.
“Dia tidak akan ke mana-mana tanpa izin dariku!” Aldebaran menarik paksa tubuh Rara—bersandar pada dada bidang Aldebaran yang kokoh.
Rara terperangah, menatap dua pria itu saling beradu pandang. Apa aku sedang diperebutkan?! batinnya bertanya bingung. []
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di