Sang surya mulai menampakkan diri di ujung bentang cakrawala. Perlahan rona jingga membias kala fajar menyingkap awan menerangi pagi. Sayup-sayup terdengar kicauan burung gereja menari-nari di puncak pohon.
Kawanan hewan ternak keluar dari tempatnya sekedar untuk mencari makan. Beberapa kendaraan berlalu-lalang melanjutkan aktivitas seperti biasanya.
Di sebuah rumah sederhana berwarna cokelat tua yang terbuat dari kayu, seorang gadis tengah menyiapkan sarapan untuk dirinya dengan sang ibu. Setiap pagi, dia mengumpulkan kayu bakar yang digunakan untuk memasak.
Wanita paruh baya itu, berjalan terhuyung-huyung mendekatinya.
“Rara! Uhuk ... uhuk! Sedang apa, Nak?” tanya Nirmala, ibunda Rara.
Rara menoleh dengan tersenyum hangat. “Lagi buat sarapan, Bu! Ibu duduk di sana saja, sedikit lagi selesai.”
Nirmala mengangguk ringan. Dia berjalan perlahan. Tangannya menumpu pada kursi panjang yang terbuat dari bambu.
Setelah menyajikan bubur di mangkuk, Rara segera menaruh beberapa sendok ke dalam piring Nirmala lebih dulu.
“Hari ini kita makan dengan garam lagi, ya, Bu. Kalau Rara sudah dapat kerja, Rara akan beli lauk yang banyak,” ujar Rara memegang punggung tangan Nirmala.
Nirmala tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Nak. Ibu makan ini saja sudah sangat bersyukur.”
Rara mengangguk cepat. Dia berusaha tersenyum di depan Nirmala menutupi raut sedihnya.
“Oh, ya, Bu. Hari ini Rara mau melamar pekerjaan menjadi OB di salah satu perusahaan.”
“Ibu doakan semoga Rara diterima kerja di sana.”
“Amin, ya Allah. Rara sudah selesai makan. Setelah bereskan ini Rara langsung berangkat. Obat Ibu, Rara taruh di meja.”
“Iya, Nak. Rara tidak perlu cemaskan ibu.” Nirmala segera beranjak dari sana.
Lima menit kemudian, Rara kembali ke kamar dan mengambil berkas lamaran kerja. Dia mematut dirinya di cermin melihat pakaian yang dikenakan.
“Seumur ini aku baru sekali memakai rok panjang, punya ibu lagi. Rasanya tidak nyaman dan sesak,” gerutu Rara berusaha membuat dirinya nyaman sambil memperbaiki posisi rok.
Gadis tomboi satu ini mencoba melakukan yang terbaik. Dia yang kesehariannya hanya memakai kaos oblong dan celana jeans sobek di lutut benar-benar terlihat aneh. Bukan gaya Rara!
Rara menarik napas panjang lalu melangkah keluar dengan penuh harapan bisa diterima bekerja.
“Rara pamit, Bu. Doakan Rara, ya!” ucap Rara mencium punggung tangan Nirmala.
“Iya, Nak. Selalu! Hati-hati di jalan!” Nirmala melambaikan tangan dengan tatapan sendu.
Rara mulai menapak kaki melewati beberapa ibu-ibu yang sedang membeli sayur pada pedagang yang menjual menggunakan gerobak. Dia hanya mengulas senyum saat pandangan mereka tidak seperti biasanya.
“Itu benar, Rara?”
“Wah, bisa juga dia berpakaian seperti itu.”
“Terlihat berbeda, lebih baik dia berpakaian seperti biasa saja!”
“Lihat dia, bahkan dia tidak bisa memakai heels!”
Rara mencoba bersikap tenang. Dia menutup telinganya rapat-rapat untuk tidak menghiraukan perkataan para ibu itu. Rara menegakkan bahu dan berjalan acuh. Dia bahkan mengabaikan rasa sakit pada tumit kakinya.
Setelah memastikan berbelok di jalan setapak yang tampak sepi, cepat-cepat Rara melepaskan heels begitu saja.
“Sialan mereka! Tidak lihat apa aku begitu menderita memakai sepatu terkutuk ini, heh! Menyebalkan!” umpat Rara kesal. Beberapa pemuda yang lewat menatap Rara sambil mengulum senyum.
“Apa ada yang lucu?!” teriak Rara emosi.
Rara menghela napas lagi. Dia teringat ibunya yang sedang sakit di rumah. Dengan berat hati Rara mengambil kembali heels yang hampir saja dia buang. Dia harus bekerja tiga hari berturut-turut menjadi kuli panggul hanya untuk membeli sepatu itu.
Rara memakai lagi dan kembali menahan rasa sakit di tumit kakinya. Dia merogoh saku rok mengeluarkan ponsel.
“Sudah seminggu Ivan tidak ada kabar. Apa dia benar-benar sibuk sampai tidak bisa menghubungiku,” ucap Rara menatap sejenak kontak Ivan yang tersimpan “Mine”.
Rara menggeleng pelan. Dia harus fokus mendapatkan pekerjaan hari ini. Rara kembali melanjutkan langkah menuju halte bus.
***
Saat ini Rara sudah sampai pada salah satu perusahaan yang ada dalam resume-nya. Dia memandang gedung berlantai itu dengan takjub lalu melangkah perlahan, mengedarkan pandangannya. Pohon-pohon kokoh yang di dominasi warna hijau, serta rumput Swiss yang mengelilingi area taman menambah kesan asri.
“Mau cari siapa, Nona?” tanya salah satu petugas keamanan yang berdiri di depan pintu utama.
“Ini, Pak, aku mau menyerahkan berkas lamaran kerja!” jawab Rara santun. Dia sudah berlatih sebelumnya agar tidak kaku.
“Silakan masuk dan bisa tunggu di situ,” ucap petugas itu dengan ramah. Dia mengarahkan pada tempat duduk yang berada di balik pot bunga berukuran besar.
“Terima kasih, Pak!”
Rara segera melangkah masuk. Dia kembali takjub melihat sekeliling. Bagian dalam perusahaan tampak lebih luas. Banyak pegawai yang baru saja berdatangan, mereka harus melewati akses masuk dengan id card. Rara memperhatikan setiap orang lalu mengamati dirinya yang berbeda dari cara berpakaian mereka.
“Tidak perlu menghiraukan mereka. Aku juga akan bekerja di sini!”
“Jihan Azzahra!” panggil salah seorang pegawai wanita. Dia berjalan mendekat untuk menyampaikan hasil akhir.
“Selamat, kau sudah diterima! Bekerjalah dengan baik,” ucap wanita itu, “ini pakaian yang akan kau kenakan untuk kerja di sini. Mulai besok kau sudah bisa bekerja.”
“Terima kasih, Bu!” jawab Rara senang. Dia memeluk pakaian miliknya dengan penuh bahagia.
“Aku akan segera pulang dan memberitahukan pada ibu!”
Rara mengambil langkah cepat menuju pintu utama, dia terus melihat pakaian kerja yang dipegangnya.
BRUK!
Rara meringis, mengusap kepalanya.
“Minggir!”
Rara terperangah melihat seorang pria menatap arogan padanya. Pria itu mengibas pakaiannya dengan raut tidak suka.
“Bawakan aku pakaian baru, aku tidak sudi memakai pakaian ini lagi!” katanya pada seorang lelaki yang berdiri di belakangnya.
Pria itu menggeser badan Rara dengan kasar, dan menginjak pakaian kerja Rara yang terjatuh di lantai seraya melangkah pergi.
“Hei!” pekik Rara tidak terima. Dia memungut kembali pakaiannya dengan kesal.
“Benar-benar sombong! Tidak tahu etika, pria itu—“
“Kau tidak apa-apa?!”Seseorang menyela ucapan Rara.
Rara menoleh kesal. “Apa dia bos perusahaan ini? Tidak punya akhlak! Seenaknya saja menginjak pakaian orang, jangan mentang-mentang bos di sini bisa berlaku sesuka hati seperti itu. Pria seperti dia tidak pantas menjadi bos dan—“
“Nona!” Pria itu kembali menyela.
Rara mengulum bibir, dia tidak sadar menjadi pusat perhatian beberapa pegawai yang melihatnya.
“Maaf, Pak! Aku hanya kesal pada bos perusahaan ini. Dia itu sangat sombong,” kata Rara lagi. Dia masih merasa kesal melihat pria arogan itu masuk ke dalam lift.
Pria yang tidak dikenal Rara hanya melihat diam pada orang yang dimaksud Rara. Seseorang yang berada di belakang pria itu hendak mengatakan sesuatu, kembali melangkah mundur ketika pria itu memberikan isyarat untuk tidak mengatakan apa pun.
“Memangnya apa yang dia lakukan?” tanya pria itu lagi.
“Dia menginjak pakaian kerjaku ini hanya karena aku tidak sengaja menabrak dada bidangnya,” ceplos Rara dengan raut polosnya.
Pria itu melihat pakaian yang dimaksud Rara. “Kau yang akan bekerja di sini?”
“Iya, mulai besok.”
Rara menepuk dahinya. “Maaf, aku harus segera pulang. Permisi, Pak!”
Rara lantas beranjak membiarkan pria itu yang hanya menatap diam. Dia kembali melanjutkan langkah dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampannya. []
Rara telah bersiap dengan balutan gaun pengantin. Dia benar-benar tampak cantik dan anggun. Aldebaran melamarnya dengan cara tak terduga. Lamaran yang dilakukan Aldebaran sampai viral di berbagai media sosial. Akun i*******m milik Rara dan Aldebaran dibanjiri komentar positif dan ucapan selamat. Momen itu juga ditayangkan di TV nasional selama hampir seminggu. Bahkan beberapa pihak berbondong-bondong menawarkan endorse untuk pernikahan mereka. Hari pernikahan mereka juga sengaja ditayangkan secara langsung dari salah satu stasiun TV dengan rating tertinggi. Rara merasa gugup. Berkali-kali Rara menghela napas. Jantungnya seakan mencelos menunggu akad nikah mereka dimulai. "Kau sangat cantik, Ra!" Monika mendekat seraya memuji. Dia tersenyum tulus melihat dari pantulan cermin. "Terima kasih, Kak! Aku sangat gugup." "Al tidak kalah lebih gugup darimu. Dia masih terus berlatih mengucapkan ijab kabul agar tidak salah." Rara tersenyum h
Rara menggeliat, meregangkan otot-otot. Matanya mengerjap lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di sinilah Rara, masih tidak percaya berada di kamar sendiri. Seperti mimpi yang panjang baginya.Rara menyibak selimut, merapikan tempat tidurnya. Rara bergegas keluar mendapati Nirmala dan Monika di ruang makan sedang mempersiapkan sarapan."Pagi adikku, Sayang!" Monika menyapa. Tidurmu nyenyak?"Rara mengangguk. "Sangat nyenyak. Bagaimana dengan Kak Monika?""Aku juga. Aku akan merasa nyaman jika tinggal lama di sini!""Tinggal lah selama mungkin. Aku sangat senang jika Kak Monika tinggal di sini!""Benarkah? Apa boleh, Bu?" Monika melirik ke arah Nirmala."Tentu saja. Kau tidak perlu meminta izin.""Kalau dengan ayah, juga boleh?" Monika melempar tatapan ke arah Rara.Nirmala diam sejenak. Rara dan Monika menunggu jawaban Nirmala. "Tergantung usahanya mendapatkan hati ibu kem
Aldebaran dan Rara merencanakan janji untuk bertemu setelah Rara melakukan pekerjaan Aldebaran. Mereka akan bersama-sama mencari wanita tua itu. Sebelumnya, Rara dan Aldebaran sudah mencari tahu kue yang dibeli Firman. Dari ucapan Firman, dia tidak membeli di tempat yang Aldebaran maksud dan penjual kue itu bukan wanita tua melainkan wanita muda. Saat ini, Rara sibuk melakukan syuting iklan terakhir sebelum akhirnya dia mengambil libur panjang untuk beberapa bulan ke depan. Aldebaran meminta Rara untuk tidak menerima tawaran karena dia ingin mengajak Rara berlibur membawa Nirmala yang sejak dulu ingin sekali pergi ke Korea. Nirmala sangat gemar menonton drama dari Negeri Gingseng itu. Aldebaran ingin memberikan kejutan sebagai Rara dengan mengajaknya ke sana. "Bu, apa yang bisa Rara bantu?" tanya Aldebaran setelah membereskan kamar Rara. Dia sudah memutuskan tinggal bersama Nirmala. "Rara bantu ibu pergi ke pasar. Ada beberapa bahan masakan yang harus dibeli.
Mahesa marah besar begitu mengetahui Ivanka adalah pelaku utama dari kecelakaan yang menimpa Aldebaran. Ivanka sudah dibekuk polisi seminggu yang lalu. Angga sendiri yang melaporkan ibunya setelah semua usaha Angga meminta ibunya menyerahkan diri diabaikan Ivanka. Angga tidak punya pilihan dan terpaksa membuat bukti untuk menjerat Ivanka.Pemberitaan mengenai kasus kecelakaan Aldebaran mengudara selama berhari-hari, para media terus saja membahas motif dan alasan Ivanka melakukan semua itu. Bahkan fans setia Aldebaran merutuki Ivanka dan meminta pihak kepolisian untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai efek jera agar tidak ada lagi orang seperti Ivanka yang tega merencanakan pembunuhan pada anak dari suaminya sendiri.Saat ini Ivanka telah duduk di meja persidangan. Sementara Angga duduk di meja saksi memberikan pernyataan. Ivanka tidak bisa mengelak, semua barang bukti mengarah padanya. Kaki tangan Ivanka juga sudah mengakui perbuatan mereka.Ivanka akhirny
"Akhirnya kau datang juga, Al!" Aldebaran menatap tajam. “Berani sekali kau datang ke rumah ini! Bukankah aku sudah melarangmu untuk tidak menginjakkan kaki di sini?!” “Aku kemari karena mengambil barangku yang tertinggal!” Ivanka berjalan ke arah sofa panjang yang ukiran gagangnya terbuat dari kayu jati. Ivanka menjuntaikan sebuah liontin seraya tersenyum. “Kenapa itu ada padamu?!" suara Aldebaran merendah, terdengar penuh penekanan. "Duduklah! Setidaknya berbincanglah denganku. Kau selalu saja bersikap dingin dari semenjak pertama kali kita bertemu!" Ivanka berujar. Dia memberi isyarat menunjuk dengan dagu ke arah secangkir kopi yang sudah dia siapkan. Ivanka mengangkat cangkir menyeruput kopinya dengan nikmat. "Aku tidak meracunimu. Aku hanya ingin kita berbaikan dan bisa duduk bersama, berbincang hangat layaknya ibu dan anak." Aldebaran meneguk setengah kopi miliknya. "Kau puas? Sekarang kembalikan! Sejak
Sehari sebelum kecelakaan terjadi.... Ivanka mendatangi RAM Corp setelah berbelanja di butik langganannya. Jam makan siang sebentar lagi dan Ivanka ingin mengajak Mahesa makan di luar. Sudah lama dia tidak jalan berdua dengan Mahesa karena terlalu sibuk dengan bisnis. Ivanka mengumbar senyum pada beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Suara heels pigalle foliies 100 milik Ivanka mengetuk-ngetuk lantai marmer hingga terdengar menggema berirama. Ivanka menunjukkan keanggunan saat menaiki lift menuju lantai utama. Senyum Ivanka kembali terukir begitu sampai di depan meja sekretaris Mahesa. “Nindya, apa Pak Mahesa ada? Katakan aku ada di sini!” titah Ivanka membusungkan dada dengan elegan. “Ada, Bu! Pak Mahesa sedang berbincang dengan Pak Mudi.” “Aku ingin masuk!” “Maaf, Ibu! Pesan Pak Mahesa, dia tidak ingin di