Share

9 || Merepotkan

Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka.

Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya.

Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang menggulung, memakai kameja berwarna putih yang mengekspos lekuk tubuhnya, dan rok ketat sebatas lutut dipadu dengan sepatu heels memperlihatkan kaki jenjangnya. Tampak jelas wanita ini pegawai kantoran. Mereka menuju lantai yang sama, Rara membiarkannya keluar lebih dulu, dia berjalan di belakang wanita itu.

Langkah Rara perlahan melambat, saat menyadari wanita itu berhenti tepat di depan pintu apartemen Aldebaran. Dia menekan bel. Firman—manajer Aldebaran menyambut wanita itu, setelah pintu tertutup. Rara kembali melanjutkan langkah. Dia menarik napas panjang dan mengarahkan tangannya pada tombol berwarna merah.

Pintu terbuka, asisten manajer yang membukakan pintu. Rara mengukir senyum. Wanita itu ikut menoleh bersama Firman ke arah pintu.

“Jihan! Apa ada yang ketinggalan?” tanya Firman.

“Iya, Pak. Ponsel aku ketinggalan di mobil Pak Al. Aku ke sini mau pinjam kunci,” sahut Rara.

Wanita yang duduk di sebelah Firman, mengerling tidak suka pada Rara.

“Masuklah, kuncinya ada di atas nakas samping tempat tidur. Kau ambil saja sendiri,” kata Firman seraya melanjutkan kegiatannya.

“Siapa dia?” tanya wanita itu dengan nada sinis. Aurel namanya. Wanita yang selalu mengejar-ngejar Aldebaran.

“Dia asisten baru Aldebaran. Namanya Jihan.”

“Penampilan seperti itu dijadikan asisten pribadi seorang Aldebaran? Apa dia tidak salah pilih?!” Aurel bangkit dari duduknya. Berlagak anggun—mengibaskan rambutnya ke belakang punggung.

“Aku akan kembali lagi setelah Al bangun!” Aurel menatap penuh dengan cemooh ke arah Rara.

“Kampungan sekali!” cibir Aurel seraya melewati Rara dan beranjak ke luar.

Rara berjalan acuh, tidak mau ambil pusing dengan perkataan tidak penting. Rara mengendap perlahan mendekat ke arah nakas. Wajah pria arogan itu terlihat tenang ketika tidur. Dilihat dari dekat, Aldebaran memang sangat tampan. Alis tebal yang membingkai mata elangnya, hidung mancung yang terpahat sempurna, serta bentuk bibir yang terlihat tebal dan penuh sangat menarik perhatian.

Rara menggelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh pikiran konyol yang datang mengganggunya. Rara buru-buru meraih kunci di atas nakas, tiba-tiba sepatunya tersandung bagian tengah karpet yang sedikit terlipat dan refleks tubuhnya terjatuh—mendarat tepat di atas dada bidang Aldebaran.

Rara menutup mulutnya dengan tangan, merasa khawatir jika sampai membuat Aldebaran terbangun. Dia terdiam sebentar, memastikan.

Rara mendesah lega, tidak ada pergerakan sama sekali. Pria arogan itu masih di bawah pengaruh alkohol. Mendadak, tubuh Rara menegang, Aldebaran mengunci dengan tangan panjangnya yang melingkari leher Rara.

Aldebaran makin mengeratkan tangan panjangnya. Rara mendadak syok, saat merasakan tangan Aldebaran perlahan-lahan menuju gundukan kembar di bagian tengah dadanya. Rara sontak mengempaskan tangan panjang itu. Dia berusaha bangun, Aldebaran menarik tubuh Rara dan berada di atas dada bidangnya lagi. Mata Rara kembali membulat saat melihat Aldebaran menampakkan seringai tipis seakan mendapatkan mangsa yang empuk. Aldebaran kembali menarik Rara, bertukar posisi di bawah tubuhnya. Kali ini Rara tidak bisa bergerak, pria arogan itu sudah menahan kedua tangannya.

“Pak Al, tolong lepaskan!” ucap Rara bersikap tenang. Dia tidak boleh gegabah, Aldebaran masih dipengaruhi alkohol. Rara menoleh ke arah pintu yang setengah terbuka. Jika dia berteriak, mungkin saja mereka di luar sana bisa membantunya terbebas dari pria menyebalkan ini.

“Jangan berteriak!” tekan Aldebaran. Tatapannya mengarah pada bentuk merah muda yang belum pernah terjamah. Aldebaran menggelengkan kepalanya, menghalau rasa pusing yang teramat berat.

Rara menatap kesal. Dia bisa saja menendang mahkota masa depan Aldebaran. Namun, Rara masih menahan diri, dia sudah lebih dulu mengambil ancang-ancang dengan lututnya jika Aldebaran melewati batas.

“Apa yang mau kaulakukan Pak! Jangan coba-coba!” Rara memperingati dengan tatapan matanya yang tajam.

“Apa yang kaulakukan Al?!” Suara Aurel memekik nyaring saat pandangannya ke arah tempat tidur.

Aurel mengambil langkah cepat dan mendorong tubuh Aldebaran, dia hendak menerjang Rara yang masih terbaring, tetapi Rara tidak selemah itu, dia menahan tangan Aurel dan mendorongnya hingga terundur ke belakang. Rara bangkit, memperbaiki pakaiannya yang sedikit kusut dan merapikan anak rambut yang berantakan.

“Dasar gadis murahan! Beraninya kau menggodanya!” hardik Aurel, tangannya menggantung di udara. Aldebaran lebih dulu mencegah Aurel yang ingin melayangkan tamparan di pipi mulus Rara.

“Jangan coba-coba melakukan itu Aurel!” Aldebaran menyentak kasar.

Firman dan kedua asistennya yang mendengar keributan segera menghampiri mereka.

“Ada apa ini?”

“Gadis murahan ini mencoba menggoda Al!” sahut Aurel.

“Aku tidak menggodanya, Pak Al—“

“Aku yang menggodanya! Kau mau apa?!” Aldebaran menyela cepat. Rara hanya melongo. Tatapan Aldebaran menusuk, ada rasa tidak suka dalam kilatan matanya. Mengapa Rara selalu terjebak dalam situasi menegangkan? Beberapa saat lalu Monika sekarang Aurel.

“Tidak mungkin! Pasti gadis ini yang menggodamu! Dia sengaja meninggalkan ponselnya agar bisa kembali ke sini dan—”

“Cukup!” Rara menghardik, dia memotong ucapan Aurel. “Aku tidak seperti yang Anda tuduhkan dan juga tidak ingin terseret dalam masalah kalian!”

Aldebaran menahan tangan Rara. “Bukan kau yang pergi, tapi Aurel!”

Aurel menghentakkan kakinya kesal. Dia kembali mengambil syalnya yang terjuntai di punggung sofa lalu beranjak ke luar.

Firman hanya bisa menggelengkan kepala. “Bagus kalau kau sudah sadar, aku bahkan harus mencari alasan untuk meminta izinmu hari ini. Besok aku tidak menerima alasan apa pun!”

Firman berbalik pergi. Meninggalkan salinan skrip naskah di atas meja. Aldebaran hanya melirik sekilas.

Rara menyentak tangan Aldebaran. “Bukankah kau utang penjelasan padaku, Pak?”

“Soal tadi aku dipengaruhi alkohol. Tidak akan terjadi lagi!” Aldebaran memegang kepalanya yang berdenyut. Masih terasa pusing.

Rara mengerling jengkel. Pengaruh alkohol katanya! Benar kata Angga, jangan sampai lengah. Rara melayangkan kepalan tangan di udara, jika saja bisa Rara sangat ingin mendaratkan tinju padanya.

“Kenapa masih di situ?” Aldebaran menoleh ke belakang. “Mau mndi bersamaku?”

Rara menggeleng cepat. Dia mengambil langkah seribu dan beranjak dari sana. []

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status