Share

6

Bab 6: Persidangan 

Safiyya menyelak langsir untuk melihat keindahan pemandangan Kota Jakarta pada waktu malam melalui jendela kaca kamar hotelnya. Hatinya seolah-olah terbuai saat matanya menyaksikan keindahan Kota Jakarta saat itu. Gedung-gedung hotel dan gedung lain yang berdiri megah dihiasi lampu berwarna-warni menghidupkan lagi suasana malam. Bibir Safiyya mengukir senyuman sedih. Rasa gembira saat dia tiba di Jakarta bertukar sedih dan galau. Apatah lagi dia mengenangkan peristiwa yang terjadi antara dirinya dengan lelaki tanpa nama itu. Entah mengapa dia khawatir jika lelaki itu akan bertindak di luar kawalan dan batas pergaulan jika mereka bertemu lagi. 

'Kenapa semua ini terjadi padaku? Apakah karena aku tidak menuruti kemahuan Umi untuk tidak datang ke Jakarta lalu aku harus menerima hukuman seperti ini? Aku benar-benar berharap bahwa aku tidak akan bertemu lagi dengan lelaki itu. Jika aku terpaksa berurusan dengan dia, aku mohon pada-Mu, Ya Allah agar Kau sentiasa melindungiku.' batin Safiyya berbicara dengan nada sedih. 

"Hari ini saja aku telah berbuat kesalahan yang berat. Aku mungkir janji yang telah aku katakan pada Umi. Aku telah memukul orang yang tidak aku kenal. Malah, aku memakinya dengan kata-kata yang tidak sopan. Tapi, jelas saja jika aku marah. Lelaki itu benar-benar keterlaluan. Dia menyentuh dan cuba menciumku sedangkan kami tidak mengenal antara satu sama lain. Apalagi dia bukan mahramku. Mujur lif itu terbuka sebelum aku kehilangan ciuman pertamaku. Berani-beraninya dia mencuba untuk melecehkanku. Argh! Dasar lelaki biadap! Apa dia pikir wajahnya ganteng dan tampan seperti anak sultan dia boleh menyentuhku seenaknya? Ya Allah, aku mohon pada-Mu, lindungi aku dari lelaki misteri itu. Lelaki itu benar-benar gila." Safiyya berbisik pada dirinya sendiri. 

Safiyya mengurut dahi dan pelipisnya. Kepalanya terasa sakit. 

"Lebih baik aku tidur sekarang. Besok pagi aku harus pergi ke persidangan. Dan besok akan menjadi hari yang panjang dan sangat melelahkan."

Safiyya berjalan ke arah ranjang sebelum merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia membaca doa tidur, menutup lampu meja lalu memejamkan matanya. Tidak lama kemudian, Safiyya sudah berlayar ke alam mimpi. 

***

Pagi. Hari persidangan. Matahari sudah memunculkan diri dengan sinar cahaya yang masih belum terik. Safiyya mengenakan baju kemeja lengan panjang berwarna putih, blazer formal berwarna biru gelap melepasi pinggul dan celana panjang hingga buku lali yang juga berwarna biru gelap serta kerudung sutera berwarna biru muda pada hari persidangan itu. Gadis itu turut mengenakan sepatu warna senada dengan blazernya. Safiyya turut memakai sepatu formal yang memiliki ketinggian tumit (heels) setinggi satu inci menguarkan lagi aura kecantikan dan profesional yang ada dalam dirinya. Setelah selesai merapikan kerudung dan mencalit sedikit lip gloss berwarna merah muda di bibirnya, Safiyya mengambil tas tangan sebelum keluar dari kamar hotel. Kebetulan juga sahabatnya, Vivian turut keluar dari kamar saat itu. 

"Wow, Cik Safiyya. Hari ini kamu kelihatan sangat cantik. Aku yakin laki-laki yang ada di persidangan itu nanti akan terpesona dengan kecantikanmu," puji Vivian dengan nada ceria apabila matanya terpandang Safiyya. 

Mereka berdua berbual sambil berjalan ke arah lift.

"Terima kasih atas pujianmu itu, Vivy. Tapi, kamu juga kelihatan sangat cantik, sahabatku sayang. Apa Robert tidak akan cemburu denganmu jika ramai lelaki tertarik padamu di persidangan itu nanti?" usik Safiyya sebelum tertawa kecil. Vivian segera mencubit lengan Safiyya membuatkan gadis itu mengaduh kesakitan dengan nada manja yang sengaja dia buat-buat. 

"Auch. Sakit, Vivy sayangg…" Safiyya mengaduh sakit sebelum tersenyum mengusik. 

Mereka berdua sudah berdiri di hadapan lift sementara menunggu lift tiba. 

"Hentikan, Fiya. Untuk pengetahuanmu, sahabatku sayang. Robert itu sangat profesional. Dia tidak mudah disulut api cemburu. Lagi pula, dia masih tidur di kamar. Masih 'jet lag' katanya. Jadi, aku minta dia beristirahat saja hari ini. Tapi aku berharap gejala 'jet lag' Robert hilang sebelum besok karena aku mau jalan-jalan di Jakarta," ucap Vivian dengan nada penuh harap. 

"Jangan bimbang, Vivy. Robert itu bakal baik-baik saja besok. Lagipula, kalian ingin bersenang-senang di sini, kan? Aku yakin suamimu itu akan terus sehat saat persidangan ini selesai. Apatah lagi kalian merancang untuk punya anak di sini, kan?" bisik Safiyya sambil mengerdipkan mata kanannya ke arah Vivian membuatkan wajah sahabatnya itu menjadi merah semerah buah tomat. 

"Fiya! Jangan membuat andaian seperti itu. Kau membuatkan aku malu, tahu!" balas Vivian dengan perasaan sebal. 

"Oke, oke. Maafkan aku. Kita bicara perkara lain aja, ya," kata Safiyya. Dia tertawa kecil. 

Lift terbuka. Mereka berdua masuk ke dalam lift. Safiyya menekan butang di lift itu yang akan membawa mereka ke aula hotel tempat persidangan itu diadakan. 

"Fiya, aku dengar Encik Fauzi berangkat ke Brunei hari ini untuk perbincangan bisnis dengan perusahaan manufaktur di sana. Atas arahan abangmu, Mikail. Apa kau tahu soal itu?" soal Vivian dengan rasa ingin tahu. 

"Iya. Aku tau. Abang Mikail meminta Encik Fauzi ke sana kerana aku ingin ke Jakarta. Jadi, semua urusan bisnis di Brunei untuk bulan ini jatuh ke tangan Encik Fauzi. Dia yang akan mengendalikan semua urusan. Lagipula, kau sendiri tau bahwa laki-laki itu benar-benar pintar dalam negosiasi," puji Safiyya dengan bersungguh-sungguh. 

"Memang benar tapi apa kau tidak takut jika Abahmu akan memberikan kepercayaan penuh pada Abang Mikail dan Encik Fauzi untuk menerajui perusahaan keluargamu nanti? Apa kau tidak bercita-cita tinggi untuk menjadi seorang CEO wanita yang berjaya dan hebat di mata pesaingmu?" tanya Vivian seraya memandang tepat ke anak mata Safiyya. 

“Oh, Vivy. Kau sendiri tahu bahwa aku benci sekali menjadi CEO. Menjadi penolong jurutera (Engineer Assistant) aja sudah menguras tenagaku. Apa lagi ingin menjadi seorang CEO. Lagipula aku sudah merancang untuk berhenti kerja setelah aku bernikah. Aku ingin menumpukan sepenuh perhatianku hanya untuk kebahagiaan rumah tangga aku nanti. Romantis, kan?" ujar Safiyya seraya tersenyum manis. 

“Apa kau bercanda denganku, girl?! Apa kau ingin menjadi istri rumahan aja?" tanya Vivian dengan wajah terkejut. 

"Sejujurnya, ya. Dan aku ingin menjadi pengarang buku. Aku ingin mengapai impianku untuk menjadi penulis dan pengarang buku yang menghidupkan hati setiap insan di muka bumi ini," ucap Safiyya dengan bersungguh-sungguh membuatkan Vivian mengalah. 

"Jika aku tidak pernah membaca buku dan hasil tulismu sedari dulu, aku pasti berpikir kau sudah gila. Tapi, disebabkan aku sudah membaca karya pertamamu yang sudah pun diterbitkan, aku menyokong niatmu itu. Sebagai teman baik, aku akan menyokong keputusanmu itu." ucap Vivian dengan tulus. 

"Ohhh, aku benar-benar terharu dengan ucapanmu itu, Vivy." balas Safiyya dengan gembira. Dia memeluk bahu Vivian. 

Pintu lift terbuka. Mereka sudah tiba di lantai hotel di mana persidangan perusahaan antarabangsa (internasional) itu diadakan. Dua perempuan itu keluar dari lift dan menuju ke arah pintu aula hotel itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status