Share

2. Awal Penderitaan

“Ini kamar untukmu,” kata Langit, sambil membuka pintu kamar yang dia maksud.

“I-ini—“

Uhuk! Uhuk!

Danas berbatuk, sambil mengibas-ngibaskan tangannya agar debu tidak membuatnya terbatuk. Ruangan berdebu, kotor, dan begitu banyak barang-barang tidak terpakai di sana.

Mulutnya ternganga seketika melihat ruangan di depannya saat itu. Dia bahkan tidak pernah menyangka, jika pria itu menyuruhnya untuk tinggal di kamar yang sama sekali tidak layak di sebut kamar.

Rasa sesak, dan juga ketidakberdayaan, serta penderitaan menyelimuti dirinya. Terdengar helaan nafas Danas yang kasar.

“Kenapa? Apa kau ingin tidur denganku?”

Danas ingin berucap, namun ketika mendengar langit bersuara, membuat dirinya terdiam.

“Jangan bermimpi, aku menyuruhmu untuk tidur bersamaku.”

“Tapi aku istri—“

“Istri? Jangan bermimpi, kau memang istriku, namun aku tidak akan menganggapmu sebagai istri. Kau tidak layak menjadi istri seorang Langit Maheswara.”

Danas meremas ujung gaunnya, dia tidak akan menyangka pria di depannya lagi dan lagi menyakiti hatinya, mematahkannya berkali-kali, hatinya terasa perih, air matanya ingin segera tumpah, namun teringat perkataannya pada ibunya, dia memilih untuk mencoba tegar menghadapi perlakuan langit padanya.

Setelah berucap, Langit meninggalkan Danas begitu saja.

Pria yang tidak memiliki perasaan sama sekali.

“Aku harus kuat,” ucapnya. “Tempat ini akan bagus, jika aku merapikannya. Aku akan membuatnya menjadi kamar yang indah,” ucapnya lagi.

Srek!

Baru selangkah dia berjalan, terdengar suara sobekan dari gaun yang tengah dipakai olehnya. Danas melihat ke belakang, terlihat rok gaun pengantin yang tersangkut di sebuah barang-barang rongsokan.

“Oh, astaga. Kuharap dia tidak akan memarahiku karena merusak gaun mahal itu.”

“Gaun itu murah, dijadikan kain pel pun tidak ada harganya untukku.”

Danas melihat ke arah pintu, terlihat jelas Langit tengah membawa beberapa benda di tangannya, kemudian melemparkannya begitu saja di lantai.

“Kau butuh ini untuk membersihkan kamar ini.”

Danas menelan salivanya, pria itu menyuruhnya membersihkan ruangan itu malam-malam. Seakan dia adalah pembantu. Mansion itu memiliki begitu banyak kamar kosong, tapi Langit menyuruhnya membersihkan gudang yang akan dijadikan kamarnya.

Pria yang menjadi suaminya kini, menilai ia tidak berharga.

Suara pintu tertutup, membuatnya bisa bernafas lega ketika Langit tidak berada di rumah. 

Bahu turun, wajah pasrah dengan pelan gadis itu mulai membersihkan ruangan. Waktu menunjukan pukul 3 malam, barulah ia selesai membersihkan ruangan itu. Mengepel, menata barang-barang yang tidak dipakainya, kemudian merebahkan tubuhnya ranjang tua.

Wajahnya menatap langit-langit kamar, dia masih mencari letak kesalahan dirinya. Dia bahkan tidak pernah tahu apa yang telah dia lakukan, sampai pria itu membencinya. Tidak pernah dikatakan oleh Langit, apa kesalahannya.

Pria yang dia cintai untuk waktu yang lama, namun membencinya tanpa alasan. Air mata mengalir di sudut mata tanpa diperintah ketika mengingat perlakuan Langit padanya.

Terasa berat beban yang tengah dipikirkan olehnya saat ini.

Perusahaan Ayahnya telah bangkrut ditambah dengan kecelakaan yang terjadi saat pulang belum lagi mereka harus pindah dari rumah tempat di mana ia telah di besarkan karena semua aset mereka disita oleh bank. Langit—yang melakukan semua itu terhadapnya.

Tidak pernah ada sebuah penjelasan, hanya ada sebuah amarah, yang mengatakan jangan berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi, nyatanya gadis itu memang tidak tahu menahu dengan apa yang dikatakan oleh Langit.

Lamunan yang membuat matanya perlahan-lahan terpejam, ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang berasal dari balkon kamar yang pintunya tidak tertutup olehnya.

Byur!

Guyuran air membuatnya seketika terperanjat kaget dan terduduk.

“Dasar pemalas!”

Mendengar suara berat itu, membuatnya segera bangun, ketika dia melihat siapa pria yang menyiramnya dengan air.

“L-langit.”

“Langit? Bukankah sudah ku perjelas, kau tidak boleh memanggil namaku,” pria itu sekali lagi menekankan namanya tidak boleh dipanggil oleh Danas.

Danas menundukan kepalanya.

Tubuhnya menggigil, diiringi rasa takut kehadiran pria di depannya saat ini. Tubuhnya terlalu letih, membuatnya bangun kesiangan.

“Maaf.” Danas menundukan kepala, tidak berani menatap.

Langit menyilangkan tangannya di dada menatap tajam ke arah Danas.

“Lagi-lagi memperlihatkan wajah menyebalkan itu.”

Danas melihat ke arah langit sejenak, kemudian langsung menundukan kepala kembali. Jantungnya berdegup tidak menentu, ada rasa takut apalagi wajah pria itu terlihat dingin.

“Kenapa diam? Kau tidak memasak untukku, Huh?!”

“Ee …”

“Tugasmu mulai hari ini, kau yang memasak, mengurusi seluruh rumah ini sendirian. Aku telah memecat para maid di rumah ini, kecuali satu orang.”

“T-tapi, aku harus pergi kuliah.”

“Aku tidak mau tahu, kau harus membersihkan rumah sebelum kau berangkat kuliah. Aku benci penolakan. Apa kau mengerti?” tanya Langit.

Tidak ada jawaban dari Danas, pikiran gadis itu tengah melalang buana.

“Apa kau mengerti?” tanya Langit sekali lagi, kali ini suaranya meninggi.

“I-iya,” jawab Danas terbata-bata.

“Jadi, apa yang kau lakukan? Kau tidak membuatku sarapan?”

Danas segera keluar dari ruangan, menuju dapur, masih dengan pakaian basah yang melekat di tubuhnya. Tangannya begitu lincah memainkan pisau di atas talenan, memotong bahan-bahan masakan.

Dari lantai dua, sosok pria dingin itu menatap Danas yang tengah memasak.

Bukan kali pertama Danas memasak, biasa dia menyiapkan sarapan, dan makan malam untuk keluarga. Dia mulai terbiasa hidup mandiri setelah ayahnya bangkrut, harus memasak masakan sendiri, tanpa seorang pembantu. Sesekali dia mengusap keringat di dahinya dengan belakang tangan.

Mengatur makanan untuk pria yang tengah mengawasinya.

Langit mengerutkan keningnya, menatap beberapa makanan yang terhidang di meja.

“M-makanan apa ini? Kau ingin aku makan makanan seperti ini?”

Danas menelan salivanya, mendengar perkataan Langit yang menghina masakannya.

“Jika kau tidak ingin makanan ini, jangan menghinanya. Tidak baik!”

“Oh hoh! Kau ingin menguruiku?”

“B-bukan seperti itu.”

Tatapan tajam Langit membuat Danas tegang.

“K-kenapa kau tidak memakannya dulu, jika tidak enak aku akan memasakanmu makanan lain.”

“Tidak perlu. Melihat apa yang kau masak membuatku tidak berselera makan.”

“Tapi kau belum mencicipi masakanku.”

“Bukankah ku bilang tidak perlu? Kenapa kau ingin memaksaku? Huh?! Atau, jangan-jangan kau menaruh sesuatu di dalam masakan ini, agar aku keracunan?”

“T-tidak, aku tidak berani melakukannya, kau juga melihatku memasaknya.”

“Mungkin saja, kau memasukan sesuatu saat aku tidak tahu,”

Lagi-lagi, Langit mencengkram rahangnya dengan keras. Pria itu selalu saja melakukan hal itu padanya. Danas hanya bisa meringis kesakitan, dan berusaha melepaskan diri dari pria di depannya.

“A-aku tidak melakukannya.”

Tatapan kebencian, dan juga emosi sangat jelas terlihat di raut wajah Langit saat itu.

“Kenapa kau tidak jujur saja, kau pasti memasukan sesuatu di masakanmu benar kan?”

“Ti-tidak, L-langit, aku tidak melakukannya.”

Cengkraman yang kuat membuat Danas begitu tersiksa.

“Wajahmu bikin aku muak, perbuatanmu membuatku ingin membuat hidupmu lebih menderita.”

“Ke-kenapa kau melakukannya padaku?” tanya Danas air matanya lagi-lagi mengalir di sudut matanya.

“Lagi-lagi kau menunjukan wajah dan air mata yang membuatku kesal. Kenapa kau selalu menunjukkannya padaku? Aku benci wajah palsumu, membuatku muak.”

Danas tidak bisa berkata apapun, apapun yang dia lakukan, selalu salah di mata pria di depannya. Entah apa yang harus dia lakukan, agar tidak terlihat salah di mata Langit.

Dirinya pun masih tidak tahu apa dari akar kemarahan Langit.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Saiful Bahri
Njir kasar nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status