“Ini kamar untukmu,” kata Langit, sambil membuka pintu kamar yang dia maksud.
“I-ini—“
Uhuk! Uhuk!
Danas berbatuk, sambil mengibas-ngibaskan tangannya agar debu tidak membuatnya terbatuk. Ruangan berdebu, kotor, dan begitu banyak barang-barang tidak terpakai di sana.
Mulutnya ternganga seketika melihat ruangan di depannya saat itu. Dia bahkan tidak pernah menyangka, jika pria itu menyuruhnya untuk tinggal di kamar yang sama sekali tidak layak di sebut kamar.
Rasa sesak, dan juga ketidakberdayaan, serta penderitaan menyelimuti dirinya. Terdengar helaan nafas Danas yang kasar.
“Kenapa? Apa kau ingin tidur denganku?”
Danas ingin berucap, namun ketika mendengar langit bersuara, membuat dirinya terdiam.
“Jangan bermimpi, aku menyuruhmu untuk tidur bersamaku.”
“Tapi aku istri—“
“Istri? Jangan bermimpi, kau memang istriku, namun aku tidak akan menganggapmu sebagai istri. Kau tidak layak menjadi istri seorang Langit Maheswara.”
Danas meremas ujung gaunnya, dia tidak akan menyangka pria di depannya lagi dan lagi menyakiti hatinya, mematahkannya berkali-kali, hatinya terasa perih, air matanya ingin segera tumpah, namun teringat perkataannya pada ibunya, dia memilih untuk mencoba tegar menghadapi perlakuan langit padanya.
Setelah berucap, Langit meninggalkan Danas begitu saja.
Pria yang tidak memiliki perasaan sama sekali.
“Aku harus kuat,” ucapnya. “Tempat ini akan bagus, jika aku merapikannya. Aku akan membuatnya menjadi kamar yang indah,” ucapnya lagi.
Srek!
Baru selangkah dia berjalan, terdengar suara sobekan dari gaun yang tengah dipakai olehnya. Danas melihat ke belakang, terlihat rok gaun pengantin yang tersangkut di sebuah barang-barang rongsokan.
“Oh, astaga. Kuharap dia tidak akan memarahiku karena merusak gaun mahal itu.”
“Gaun itu murah, dijadikan kain pel pun tidak ada harganya untukku.”
Danas melihat ke arah pintu, terlihat jelas Langit tengah membawa beberapa benda di tangannya, kemudian melemparkannya begitu saja di lantai.
“Kau butuh ini untuk membersihkan kamar ini.”
Danas menelan salivanya, pria itu menyuruhnya membersihkan ruangan itu malam-malam. Seakan dia adalah pembantu. Mansion itu memiliki begitu banyak kamar kosong, tapi Langit menyuruhnya membersihkan gudang yang akan dijadikan kamarnya.
Pria yang menjadi suaminya kini, menilai ia tidak berharga.
Suara pintu tertutup, membuatnya bisa bernafas lega ketika Langit tidak berada di rumah.
Bahu turun, wajah pasrah dengan pelan gadis itu mulai membersihkan ruangan. Waktu menunjukan pukul 3 malam, barulah ia selesai membersihkan ruangan itu. Mengepel, menata barang-barang yang tidak dipakainya, kemudian merebahkan tubuhnya ranjang tua.
Wajahnya menatap langit-langit kamar, dia masih mencari letak kesalahan dirinya. Dia bahkan tidak pernah tahu apa yang telah dia lakukan, sampai pria itu membencinya. Tidak pernah dikatakan oleh Langit, apa kesalahannya.
Pria yang dia cintai untuk waktu yang lama, namun membencinya tanpa alasan. Air mata mengalir di sudut mata tanpa diperintah ketika mengingat perlakuan Langit padanya.
Terasa berat beban yang tengah dipikirkan olehnya saat ini.
Perusahaan Ayahnya telah bangkrut ditambah dengan kecelakaan yang terjadi saat pulang belum lagi mereka harus pindah dari rumah tempat di mana ia telah di besarkan karena semua aset mereka disita oleh bank. Langit—yang melakukan semua itu terhadapnya.
Tidak pernah ada sebuah penjelasan, hanya ada sebuah amarah, yang mengatakan jangan berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi, nyatanya gadis itu memang tidak tahu menahu dengan apa yang dikatakan oleh Langit.
Lamunan yang membuat matanya perlahan-lahan terpejam, ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang berasal dari balkon kamar yang pintunya tidak tertutup olehnya.
Byur!
Guyuran air membuatnya seketika terperanjat kaget dan terduduk.
“Dasar pemalas!”
Mendengar suara berat itu, membuatnya segera bangun, ketika dia melihat siapa pria yang menyiramnya dengan air.
“L-langit.”
“Langit? Bukankah sudah ku perjelas, kau tidak boleh memanggil namaku,” pria itu sekali lagi menekankan namanya tidak boleh dipanggil oleh Danas.
Danas menundukan kepalanya.
Tubuhnya menggigil, diiringi rasa takut kehadiran pria di depannya saat ini. Tubuhnya terlalu letih, membuatnya bangun kesiangan.
“Maaf.” Danas menundukan kepala, tidak berani menatap.
Langit menyilangkan tangannya di dada menatap tajam ke arah Danas.
“Lagi-lagi memperlihatkan wajah menyebalkan itu.”
Danas melihat ke arah langit sejenak, kemudian langsung menundukan kepala kembali. Jantungnya berdegup tidak menentu, ada rasa takut apalagi wajah pria itu terlihat dingin.
“Kenapa diam? Kau tidak memasak untukku, Huh?!”
“Ee …”
“Tugasmu mulai hari ini, kau yang memasak, mengurusi seluruh rumah ini sendirian. Aku telah memecat para maid di rumah ini, kecuali satu orang.”
“T-tapi, aku harus pergi kuliah.”
“Aku tidak mau tahu, kau harus membersihkan rumah sebelum kau berangkat kuliah. Aku benci penolakan. Apa kau mengerti?” tanya Langit.
Tidak ada jawaban dari Danas, pikiran gadis itu tengah melalang buana.
“Apa kau mengerti?” tanya Langit sekali lagi, kali ini suaranya meninggi.
“I-iya,” jawab Danas terbata-bata.
“Jadi, apa yang kau lakukan? Kau tidak membuatku sarapan?”
Danas segera keluar dari ruangan, menuju dapur, masih dengan pakaian basah yang melekat di tubuhnya. Tangannya begitu lincah memainkan pisau di atas talenan, memotong bahan-bahan masakan.
Dari lantai dua, sosok pria dingin itu menatap Danas yang tengah memasak.
Bukan kali pertama Danas memasak, biasa dia menyiapkan sarapan, dan makan malam untuk keluarga. Dia mulai terbiasa hidup mandiri setelah ayahnya bangkrut, harus memasak masakan sendiri, tanpa seorang pembantu. Sesekali dia mengusap keringat di dahinya dengan belakang tangan.
Mengatur makanan untuk pria yang tengah mengawasinya.
Langit mengerutkan keningnya, menatap beberapa makanan yang terhidang di meja.
“M-makanan apa ini? Kau ingin aku makan makanan seperti ini?”
Danas menelan salivanya, mendengar perkataan Langit yang menghina masakannya.
“Jika kau tidak ingin makanan ini, jangan menghinanya. Tidak baik!”
“Oh hoh! Kau ingin menguruiku?”
“B-bukan seperti itu.”
Tatapan tajam Langit membuat Danas tegang.
“K-kenapa kau tidak memakannya dulu, jika tidak enak aku akan memasakanmu makanan lain.”
“Tidak perlu. Melihat apa yang kau masak membuatku tidak berselera makan.”
“Tapi kau belum mencicipi masakanku.”
“Bukankah ku bilang tidak perlu? Kenapa kau ingin memaksaku? Huh?! Atau, jangan-jangan kau menaruh sesuatu di dalam masakan ini, agar aku keracunan?”
“T-tidak, aku tidak berani melakukannya, kau juga melihatku memasaknya.”
“Mungkin saja, kau memasukan sesuatu saat aku tidak tahu,”
Lagi-lagi, Langit mencengkram rahangnya dengan keras. Pria itu selalu saja melakukan hal itu padanya. Danas hanya bisa meringis kesakitan, dan berusaha melepaskan diri dari pria di depannya.
“A-aku tidak melakukannya.”
Tatapan kebencian, dan juga emosi sangat jelas terlihat di raut wajah Langit saat itu.
“Kenapa kau tidak jujur saja, kau pasti memasukan sesuatu di masakanmu benar kan?”
“Ti-tidak, L-langit, aku tidak melakukannya.”
Cengkraman yang kuat membuat Danas begitu tersiksa.
“Wajahmu bikin aku muak, perbuatanmu membuatku ingin membuat hidupmu lebih menderita.”
“Ke-kenapa kau melakukannya padaku?” tanya Danas air matanya lagi-lagi mengalir di sudut matanya.
“Lagi-lagi kau menunjukan wajah dan air mata yang membuatku kesal. Kenapa kau selalu menunjukkannya padaku? Aku benci wajah palsumu, membuatku muak.”
Danas tidak bisa berkata apapun, apapun yang dia lakukan, selalu salah di mata pria di depannya. Entah apa yang harus dia lakukan, agar tidak terlihat salah di mata Langit.
Dirinya pun masih tidak tahu apa dari akar kemarahan Langit.
“Kenapa kau menikah dengannya?” tanya seorang pria yang baru saja datang kemudian memasak vodka. “Kenapa masih bertanya. Aku ingin membuatnya menderita.” “Dengan menikah dengannya, kemudian membuat Renata frustasi. Egois.” Langit menatap ke arah pria di depannya, menggoyangkan gelas yang tengah terisi dengan bir serta beberapa potong es di dalamnya. “Apa nggak cukup membuat keluarganya bangkrut, dan mengambil alih perusahaan itu?” “Tidak, aku akan membuatnya lebih menderita, merangkak padaku, memohon belas kasihku.” Pria di depan Langit hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin pria itu berpikir jika Langit adalah sebuah penjelmaan iblis di dunia, bagaimana bisa menyiksa seorang gadis cantik seperti Danas. “Jangan memperlakukan wanita seperti itu, kau akan mendapatkan karma, Lang. Istrimu cantik, bahkan seorang desainer, mandiri lagi!” “Diamlah, aku tidak ingin mendengarkan penilaianmu tentang gadis itu.” “Jika kau tidak ingin, berikan saja padaku.” Grep! Langit men
“Kau layak mendapatkan ini, kau layak menderita. Dasar pembunuh,” Danas menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba untuk menghilangkan apa yang dikatakan oleh Langit padanya semalam. Perkataan suaminya membuatnya kacau, tuduhan yang jelas-jelas diberikan oleh padanya, jelas-jelas dia tidak melakukannya. “A-aku bukan pembunuh,” batinnya sambil menggelengkan kepalanya. Pisau di tangannya tengah memotong bawang Bombay. “Nyonya, biar aku bantu,” pinta wanita paruh baya mencoba untuk mengambil alih apa yang tengah dilakukan oleh Danas. “Jangan membantunya.” Sebuah suara terdengar, membuat wanita itu segera menunduk. “I-iya bi, jangan membantuku. Aku bisa sendiri,” tolak Danas. Danas melihat pria yang baru saja mengeluarkan suara itu. Dari tangga ia tengah menatap Danas dengan tatapan tajam, hazel matanya penuh kebencian, membuat Danas tengah berada di belakang dapur itu menggenggam erat gagang pisau. Mengingat perlakuan Langit padanya, membuatnya tidak tahan dengan apa yang tengah terja
“Apa kau mendapatkan informasi keberadaan Renata?” tanya Langit dengan mata menatap tajam ke arah Marvin. Pertanyaan Langit membuat asistennya menghentikan langkah kakinya untuk meraih jas milik Langit untuk dirapikan. “Tidak, aku belum menemukan keberadaan tentang Nona Renata. Terakhir kali menemukan keberadaannya di Jerman, namun setelah aku mengutus seseorang datang ke sana, Nona Renata tidak ada di sana.” “Aku tidak mau tahu, kau harus menemukannya.” Marvin menatap belakang atasannya itu, ada rasa kasihan darinya. Baginya Langit adalah seorang pria yang sempurna, memiliki segalanya, namun pria itu gagal dalam percintaan ketika atasannya itu ditinggalkan seminggu sebelum pernikahan, dan terpaksa menikah dengan gadis yang paling dibencinya. “Aku telah mengecek tidak ada nama nona Renata keluar dari negara itu. Akan kukirimkan beberapa orang untuk mencarinya.” Tidak ada respon dari atasannya itu. Langit memilih duduk di kursi dia menyandarkan tubuhnya, kemudian memijat kepala,
“Aku menemukan Nona Renata,” seru Marvin. Perkataannya seketika menghentikan langkah kaki Langit. “K-kau menemukannya? Di mana? Di mana kau menemukannya? Katakan padaku, di mana kau menemukannya?” Marvin kini dicecar pertanyaan atasannya membuatnya tidak tahu harus menjawab apa pada pria di hadapannya itu. Langit begitu antusias dengan apa yang dikatakan oleh Marvin, dia ingin segera bertemu Renata. “Di Jerman,” jawab Marvin singkat. Mendengar kekasihnya ditemukan, membuat perasaan Langit sedikit lega, pria itu tidak tahu harus berbuat apa, langkah kakinya bingung harus melangkah ke mana. Marvin yang melihat hal itu, jelas bisa menilai jika atasannya itu tengah bahagia dengan informasi yang dia sampaikan barusan. “Batalkan segala jadwalku, aku tidak ingin ada yang membuatku batal pergi ke Jerman, dan siapkan penerbangan untukku, aku akan pergi sendiri menjemputnya,” ucap Langit “T-tapi, bagaimana dengan Nyonya Danas, dan jika anda pergi—“ Mendengar nama Danas disebut, membua
Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi. Semua wanita ingin dipuja, dimanja, mengapa diriku mengalami nasib seperti ini. Apa aku salah, menginginkan seorang suami yang perhatian?! Semua wanita menginginkan hal yang sama. Tapi, aku harus membuang semua keinginan itu, bagi diriku berharap hal itu terwujud hanyalah sia-sia. Mata Danas berada satu garis dengan hazel mata Langit, kemudian beranjak mendekat ke arah suaminya. Dia tahu, jika pria itu sedang menjaga imej, namun hal itu membuat hatinya terasa sakit. Kepura-puraan yang dilakukan oleh Langit, mengiris hatinya paling dalam. Bukan ketulusan saat melakukan kemesraan, namun semuanya adalah Fake. Langit yang perhatian, adalah Palsu. Langit yang tersenyum dan hangat adalah palsu. Melihat langkah Danas yang pelan, membuat pria itu segera menarik tangan gadis itu dan membuat gadis itu kini duduk di dalam pangkuannya. “A-aku duduk di kursi saja.” Langit mempererat pelukannya. “Ja
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.” Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya. Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya. “Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis. “Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.” Sejenak Marvin menatap gadis itu. “Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba. Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya. Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka