“Apa kau mendapatkan informasi keberadaan Renata?” tanya Langit dengan mata menatap tajam ke arah Marvin.
Pertanyaan Langit membuat asistennya menghentikan langkah kakinya untuk meraih jas milik Langit untuk dirapikan.
“Tidak, aku belum menemukan keberadaan tentang Nona Renata. Terakhir kali menemukan keberadaannya di Jerman, namun setelah aku mengutus seseorang datang ke sana, Nona Renata tidak ada di sana.”
“Aku tidak mau tahu, kau harus menemukannya.”
Marvin menatap belakang atasannya itu, ada rasa kasihan darinya. Baginya Langit adalah seorang pria yang sempurna, memiliki segalanya, namun pria itu gagal dalam percintaan ketika atasannya itu ditinggalkan seminggu sebelum pernikahan, dan terpaksa menikah dengan gadis yang paling dibencinya.
“Aku telah mengecek tidak ada nama nona Renata keluar dari negara itu. Akan kukirimkan beberapa orang untuk mencarinya.”
Tidak ada respon dari atasannya itu.
Langit memilih duduk di kursi dia menyandarkan tubuhnya, kemudian memijat kepala, merasa tidak enak dengan posisinya saat ini, membuatnya merubah posisinya, menekuk tangannya di atas meja, kemudian memijat kembali kepalanya.
Ada rasa sakit di sana dirasakan olehnya, karena terlalu banyak berpikir. Tiada hari yang dipikirkan olehnya hanyalah kekasihnya yang tiba-tiba menghilang tanpa sebab, bahkan tidak memberi kabar padanya sama sekali.
“Ke mana kamu pergi, Renata,” gumamnya pelan.
Kepergian gadis itu, membuat kepalanya terus menerus sakit, ditambah dengan kehadiran Danas yang kini telah menjadi istrinya. Berkali-kali dia telah mengeluh, terkadang mengumpat pada Tuhan yang sangat tidak adil baginya.
Sebagai pria yang berada di sisi Langit, Marvin sedikit mengerti penderitaan yang dialami pria itu.
“Anda ingin kubuatkan secangkir kopi?”
Tidak ada jawaban, hanya ada anggukan kepala yang diberikan oleh pria itu.
Marvin membawakan secangkir kopi untuk Langit, dan juga beberapa camilan, serta sarapan, dia tahu jika pria itu tidak pernah sarapan di rumah, dan memilih sarapan di kantor.
Ceklek!
Matanya membulat, melihat apa yang tengah terjadi di ruangan itu. Beberapa orang tengah berdiri. Dihadapan mereka terlihat Langit yang tengah duduk di depan meja.
“Laporan macam apa ini? Apa kalian tidak bisa membuat laporan dengan benar. Apa kalian pikir, aku membayar kalian untuk bermain-main, dan kalian memberikanku laporan sampah seperti ini?” bentak Langit sambil menyilangkan tangannya di dada.
Tatapan dingin dari mata hazel miliknya, seakan siap menerkam beberapa orang yang berada di hadapannya.
Tidak ada yang berani membuka suara, apalagi ketika pria itu tengah emosi. Mereka akan diam, dan menerima segala amarah. Membuka suara sama saja kehilangan pekerjaan, sedangkan banyak orang yang ingin bekerja di perusahaan milik Langit.
“Ulangi, aku tunggu besok jam sembilan.”
Tidak ada jawaban, membuat Langit mengerutkan keningnya. “Apa kalian mengerti?” tanyanya dengan tegas, membuat beberapa orang di depannya terkejut.
“I-iya Pak, kami mengerti,” jawab ketua tim terbata-bata.
“Jika mengerti, tunggu apalagi? Kalian akan berada di sini sepanjang hari? Huh?!” bentak Langit.
“T-tidak Pak, kami permisi.”
Marvin yang melihat hal itu hanya bisa menghela nafasnya dengan pelan. Entah berapa orang lagi, yang akan menjadi pelampiasan amarah atasannya hari ini.
Langit kembali ke tempat duduknya, menarik lengan bajunya sampai siku, mengambil bolpoin yang terletak di sisi kanan, kemudian mengambil berkas.
Sekilas pria itu membacanya, kemudian membubuhi tanda tangannya di sana.
Tuk!
Marvin meletakan cangkir kopi yang dibawa olehnya itu, begitu cepat tangan Langit meraih cangkir itu dan menyesapnya.
Setelah menikmati kopi buatan Marvin, Langit menyelesaikan berkas yang harus ditandatanganinya.
“Sebaiknya anda makan dulu.” Marvin memperingati pria gila pekerjaan itu.
“Tidak, aku belum lapar.” Langit menolak.
Melihat atasannya yang keras kepala itu, membuatnya segera menutup laptop yang tengah berada di depan Langit.
“Marvin, apa yang kau lakukan? Apa kau tidak lihat aku sedang bekerja?” tanya Langit dengan nada sedikit tinggi, ada emosi di sana.
“Aku tahu anda sedang bekerja, Pak. Tapi, tubuh anda butuh asupan makanan, untuk membuatmu bekerja. Jika anda tidak makan—“
“Berikan makananku,” seketika Langit memotong perkataan Marvin. “Jika aku tidak makan, kau akan terus menawariku untuk makan, dan hanya kau yang berani menceramahiku?”
“Aku hanya—“
“Berikan saja makananku.”
Marvin hanya bisa menghela nafasnya dengan pelan, atasannya selain keras kepala, ada penggila pekerjaan, ketika berhadapan dengan pekerjaan akan membuat pria itu lupa waktu dan makan.
Setelah makan, Langit kembali melanjutkan pekerjaannya, sedangkan Marvin pun duduk di meja kerja miliknya namun bisa melihat atasannya karena meja miliknya hanya bersekat kaca dengan ruangan Langit.
Ketika beberapa waktu berlalu, Marvin mengetuk pintu kaca dan masuk ke ruangan Langit.
“Para kepala divisi telah berkumpul di ruang rapat.”
Mendengar hal itu, Langit beranjak dari tempat duduknya, memakai seragam miliknya, dan melangkah keluar.
Ruangan rapat yang tadinya berisik, hening seketika kehadiran Langit di ruangan itu.
Ruangan mulai gelap, dan terlihat seseorang tengah memberikan penjelasan, dengan bantuan proyektor pria itu menjelaskan dengan sangat detail, sedangkan Langit membaca apa yang tengah dijelaskan oleh pria itu.
“Apa konsep kalian begitu kolot seperti ini? Apa membuat sesuatu yang baru, dan menjual kalian tidak bisa lakukan?”
Semua orang terdiam ketika mendengar suara Langit yang mengomentari konsep yang tengah dijelaskan.
“Mengganti artis, membuat merek baru. Apa-apaan ini, apa ide kalian hanya sampai sini saja?” bentaknya.
Di dalam ruangan ada begitu banyak orang yang usianya jauh di atasnya, tetapi tidak ada yang berani membuka suara untuk menegur atau mengomentari pria itu.
“Jika kinerja kalian seperti ini, aku tidak akan segan-segan mengganti posisi kalian dengan orang lain yang layak.”
Semua orang yang berada di ruangan itu seketika membuka suara.
“Tolong jangan pecat kami, kami akan membuat konsep yang berbeda dari ini.”
Tatapan mata yang tajam diberikan olehnya untuk orang-orang di depannya.
“Berikan apa yang kalian janji padaku, jika tidak kalian harus membawa semua barang kalian keluar dari perusahaan ini,”
Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan berlalu dari sana.
Hanya ada wajah yang penuh dengan kekhawatiran terlihat, ada pula yang mengumpat pria yang baru saja keluar itu.
“Kenapa setiap dia selalu melampiaskannya pada kita,” gerutu seseorang.
Marvin ikut prihatin dengan mereka yang tengah berada di dalam ruangan itu. Wajah lelah jelas terlihat, namun dia pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Langkah kakinya dipercepat, mengikuti Langit dari belakang, iPad di tangannya tidak ketinggalan. Sesekali dia membenarkan kacamata miliknya.
Ddzzz … Ddzzz … Ddzzz …
Ponsel Marvin bergetar membuatnya berhenti dan segera merogoh saku jas yang tengah di pakaiannya.
Melihat pesan yang diterimanya membuatnya membulatkan matanya.
“Aku menemukan Nona Renata,” seru Marvin.
Perkataannya seketika menghentikan langkah kaki Langit.
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam