Sang Surya mulai memancarkan sinarnya tanpa malu-malu. Melalui celah jendela kamar, sinarnya menembus masuk ke dalam kamar Yuan. Yuan mulai tersadar dan mengucek mata.
Yuan melihat ke bawah dan mendapati sebuah selimut yang membungkus tubuhnya. Sekilas Yuan tersenyum, ia yakin pasti Caramel lah yang telah memberi selimut itu untuknya.“Sebenarnya seperti apa kamu Caramel? Kadang kamu acuh, kadang perhatian.”Yuan melihat ke arah ranjang dan sudah tidak ada Caramel di sana. Yuan bergegas bangun dan mencari keberadaan Caramel di kamar mandi. Namun, tak juga ia temukan.Yuan turun ke lantai bawah. Dari kejauhan ia melihat Caramel tengah berada di dapur. Tanpa sadar senyum tipis terurai di bibir Yuan.“Bi Tyas ke mana? Kok kamu yang masak?”“Aw!”Caramel mengaduh karena pertanyaan Yuan membuat Caramel kaget hingga tanpa sengaja pisau yang dia pegang mengenai jarinya.“Kamu kenapa? Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan kamu,” sesal Yuan seraya meraih jemari Caramel yang terluka.Yuan langsung mengisap darah yang tak kunjung berhenti. Tidak ada rasa jijik. Yuan hanya ingin darah yang mengalir segera terhenti.Caramel melihat Yuan lekat-lekat. Melihat perhatian Yuan yang spontan membuat hatinya sedikit bergetar.“Em, ini nggak apa-apa, kok. Nanti juga sembuh.” Caramel menarik tangannya.“Amel ... jangan menyepelekan luka. Kalau terjadi infeksi bagaimana?”“Nggak usah berlebihan, ini hanya luka kecil, kok.”“Tunggu di sini dulu, jangan ke mana-mana.” Yuan langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Caramel. Dia pergi mengambil kotak obat dan membawanya kepada Caramel.Dengan telaten Yuan mengobati luka Caramel dan membungkusnya menggunakan perban. Caramel memperhatikan sikap Yuan yang jujur saja membuat hatinya terbawa suasana. Caramel menatap Yuan yang sibuk membungkus lukanya nyaris tanpa berkedip.“Tampan,” celetuk Caramel tanpa disadari.“Kenapa?” Yuan ingin memperjelas, membuat Caramel gelagapan.“Em, enggak.”“Kenapa? Kamu mulai jatuh cinta sama aku?”“Enggak! Nggak usah GR jadi orang.”“Bi Tyas ke mana, kok kamu yang masak? Harusnya kamu nggak usah repot-repot.”“Bi Tyas pergi ke pasar. Kebetulan bahan makanan sudah habis. Jadi aku masak bahan seadanya. Nggak repot, kok. Ini sudah pekerjaan ku sehari-hari sebelum berangkat kerja.”“Wah, wah, wah... menjijikkan sekali pemandangan pagi ini. Hari yang seharusnya kusambut dengan ceria malah melihat pertunjukan yang membuatku mual.”Selina datang langsung mencibir dengan tangan bersedekap. Yuan menoleh ke sumber suara. Jelas dia tidak terima dikatakan seperti itu.Yuan membalik badan menatap Selina tajam. “Kamu bilang apa? Coba katakan sekali lagi,” pinta Yuan mencoba bersabar.Caramel menarik lengan Yuan karena terlihat sekali Yuan sangat kesal.“Pertunjukan yang menjijikkan. Kenapa? Kakak tidak terima?”Yuan hendak melayangkan sebuah tamparan di pipi Selina, namun dengan tanggap Caramel mencekal tangan Yuan.“Mas, jangan,” sergahnya.“Apa? Mas? Astaga, kampungan sekali. Kakak jadi ketularan norak tahu nggak semenjak sama dia.”“Selina cukup! Aku yang meminta panggilan itu, ada yang salah? Panggilan itu bagus. Bahkan terdengar lebih menghargai dan aku suka. Kalau kamu tidak suka, kamu bisa pergi dari rumah ini!”“Kak Yuan ngusir aku?”“Astaga, Yuan, Selina … ada apa ini, pagi-pagi begini sudah ribut?” Damitri datang dan menengahi pertengkaran anak-anaknya.“Kak Yuan ngusir aku, Mah.” Adu Selina dengan tampang terdzolimi.“Apa? Yuan, apa-apaan kamu? Jangan bilang ini semua karena perempuan kampung ini!” Lagi-lagi Damitri menuduh Caramel yang tidak tahu menahu.“Jangan salahkan Caramel, dia nggak salah!” tegas Yuan gusar.“Yuan, kapan sih kamu sadar. Perempuan ini nggak baik buat kamu. Dia membawa pengaruh buruk untuk kamu.” Damitri terus mencecar dengan menjelekkan Caramel.“Apa sih yang sudah dia berikan sampai-sampai kamu membela dia habis-habisan? Apa dia sudah mencuci otak kamu. Atau jangan-jangan kamu sudah dipelet sama dia?” tuduh Damitri semakin menjadi.“Tante, cukup, ya. Selama ini saya diam karena saya menghargai Tante sebagai Ibu dari suami saya. Tapi apa yang Tante tuduhkan itu sama sekali tidak benar. Saya memang orang miskin, tapi saya tidak pernah punya niatan konyol seperti itu. Jangankan membayar dukun, bisa makan setiap hari saja saya sudah bersyukur.”Caramel memberanikan diri berbicara dengan Damitri. Dia tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja dia juga tidak terima jika harga dirinya diinjak-injak terus menerus.“Oh, bersuara juga kamu akhirnya. Tidak usah sok polos. Kamu pikir saya nggak tahu kamu perempuan seperti apa? Kamu pasti sangat senang karena Yuan terus membela kamu, setelah ini, perlahan kamu akan meminta Yuan mengusir keluarganya satu persatu dan kamu akan menguasai harta Alexander, begitu kan niat kamu!”Caramel menggeleng. Ia tidak menyangka orang terpandang seperti Damitri memiliki sifat yang sangat buruk. Bahkan mulutnya lebih rendah layaknya orang tak berpendidikan.“Sayang, lebih baik kita pergi dari sini. Nggak usah masak. Biarkan mereka usaha sendiri kalau mau makan. Biar sekalian aku minta Bi Tyas untuk tidak kembali sampai nanti siang, biar mereka kelaparan.” Mood Yuan benar-benar buruk pagi ini. Lontaran demi lontaran yang keluar dari mulut Damitri dan Selina membuatnya kesal.Yuan dan Caramel melenggang pergi meninggalkan dua orang yang membuat suasana hatinya bergemuruh.“Yuan! Keterlaluan kamu! Karena wanita sialan itu, kamu tega perlakukan Mamah seperti ini!” teriak Damitri yang tak mendapat respon berarti dari Yuan.“Mas, seharusnya kamu nggak boleh bersikap seperti itu,” ucap Caramel saat mereka telah berada di kamar.Yuan menghentikan langkah. “Menurut kamu aku harus bersikap seperti apa? Aku hanya ingin Mamah tidak terlalu arogan. Kamu dengar sendiri kan tadi bagaimana omongan Mamah? Nggak ada yang masuk akal, Mel. Jika aku terus patuh dengan segala permintaan Mamah, mamah akan semakin ngelunjak. Mamah harus diberi pengertian supaya Mamah paham kalau apa yang dia lakukan itu salah. Kamu itu istri aku, Mel... apa pun kondisi kamu, aku harus membelamu. Kamu tanggung jawabku. Aku harus memastikan kalau kamu baik-baik saja.”“Tapi Tante Damitri ibu kamu, Mas. Surgamu ada di bawah telapak kakinya. Yang harus kamu prioritaskan itu ibu kamu, bukan istrimu karena kamu anak laki-laki. Ridhomu terletak pada ibu kamu. Bagaimana kalau Tente Damitri murka? Kamu bisa saja kehilangan semuanya, Mas....”Yuan tampak berpikir keras mendengar perkataan Caramel. Apa yang Caramel ucapkan ada benarnya.“Tapi mamah sudah sangat keterlaluan, Mel....”“Aku tahu. Aku juga minta maaf karena tadi sempat menentang ibu kamu. Aku hanya tersulut emosi tadi. Mungkin Ibu kamu hanya belum terima karena seharusnya kamu menikah dengan Evelin model ternama, bukan sama aku. Gadis miskin yang norak dan kampungan.”“Mel, jangan bicara seperti itu.…”“Kamu mandi sana. Aku akan siapkan baju untuk kamu. Nanti kamu sarapan di kantor saja karena kamu tahu sendiri masakanku belum matang.”“Baiklah. Devon di mana sekarang? Nanti Om Bima dan Tante Sinta ke sini untuk jemput Devon,” ucap Yuan.Caramel terkejut. “Devon ada di kamarnya. Kok pagi ini? Bukannya masih besok ya berangkatnya?” tanya Caramel bingung.“Rencananya memang begitu. Tapi mereka bilang besok ada acara penting makanya dimajukan. Lagipula mereka sekalian pulang karena udah hampir sepekan mereka tinggal di jakarta.”Caramel terduduk lemas di bibir ranjang. Devon akan meninggalkannya sebentar lagi. Tentu ini akan kembali menjadi perpisahan yang menyedihkan untuk Caramel.“Tidak usah sedih, kita kan bisa mengunjungi Devon kapan-kapan. Kalau aku libur, aku akan usahakan untuk mengajak kamu untuk menemui Devon.”Yuan mendekati istrinya kemudian mengelus pundak Caramel. Mata Caramel berkaca-kaca. Tentu saja dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.“Kamu bantu Devon buat mengemasi pakaiannya, ya. Mungkin satu jam lagi Om Bima dan Tante Sinta akan datang. Kamu urus Devon saja dulu, aku bisa mengurusi pakaianku sendiri.”Caramel melihat manik Yuan. Tanpa berkata-kata dia pun langsung pergi menuju kamar Devon.Bim! Bim! Bim! “Itu pasti om Bima dan tante Sinta, ayo kita keluar,” ajak Yuan pada Caramel dan juga Devon yang telah selesai bersiap-siap. Dari raut keduanya terlihat sangat menyedihkan. Caramel memeluk Devon sambil menangis.“Kamu semangat berjuang untuk sembuh ya, Sayang, supaya kamu cepat kembali ke sini. Kakak pasti merindukan kamu,” ujar Caramel sambil menangis sesenggukan.“Iya, Kak. Devon akan berjuang keras. Devon pasti sembuh, Kak. Maaf kalau selama ini Devon merepotkan Kakak terus,” tutur Devon membuat tangis Caramel semakin pecah.“Jangan bicara seperti itu. Nggak ada yang merasa direpotkan. Ini sudah menjadi tanggung jawab Kakak.”Adik dan Kakak itu meraung karena perpisahan ini terasa berat untuk mereka berdua. Dua insan yang saling melengkapi kini dipisahkan oleh keadaan demi tujuan yang lebih baik. “Ssh, ssh, sudah sudah. Ini hanya sementara, Devon, Amel... kalian akan bersatu lagi. Saat ini biarlah jarak memisahkan kalian berdua, tapi nanti... kalian akan menuai bua
Waktu terus bergulir, setelah kepergian Devon kerapkali Caramel merasa kesepian. Hari-harinya terasa sangat membosankan. Caramel seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.Beruntung beberapa hari ini penghuni rumah tak ada yang singgah selain Yuan dan dirinya. Jennifer dan Selina sedang ada kegiatan kampus sementara Damitri sibuk dengan arisan sosialita-nya yang melakukan acara di luar negeri.Menilik tentang hubungan cintanya dengan Yuan, belum ada yang berarti. Semuanya masih sama. Namun saat ini sudah ada rasa canggung setiap kali mereka bersentuhan atau bertatap mata tanpa sengaja.Jika melihat fisik, rasanya tidak sulit untuk mencintai sosok seperti Yuan. Siapa yang bisa menolak kharisma dan ketampanannya? Yuan bagaikan titisan dewa yang beruntung Caramel dapatkan.Caramel jalan-jalan santai mengelilingi rumah megah Alexander. Beberapa kali ia disapa oleh banyak pembantu yang ada di rumah Yuan. Caramel membalas dengan senyum ramah.Hiruk pikuknya kota Jakarta yang terkenal
Kepergian Caramel dari rumah Yuan membawa kesedihan tersendiri bagi Caramel. Jika bukan karena mengikuti suaminya, Caramel akan lebih memilih untuk menempati rumahnya yang sederhana tapi penuh cinta.Meski rumahnya tidak mewah seperti rumah suaminya, tapi di rumah sederhana itu Caramel bisa menemukan kenyamanan dan kebahagiaan. Berbeda halnya dengan rumah Yuan yang hanya merasakan kesedihan karena keberadaannya tidak dianggap.Caramel berjalan menyusuri trotoar dengan beralaskan sandal yang sudah usang. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa dirinya seorang istri dari pengusaha muda ternama. Ia terus berjalan dan menaiki angkutan umum menuju pemakaman ibunya.Air mata Caramel terjatuh saat melihat gundukan tanah yang mulai mengering.“Ibu ... Caramel datang, Bu. Caramel bawakan bunga kesukaan ibu,” ucap Caramel sesampainya di depan pusara makam ibunya dan meletakkan seikat bunga yang sempat dia beli di dekat gerbang pemakaman. Bibir Caramel bergetar menahan tangis. “Caramel kangen bang
Sesampainya Caramel di rumah, ia kembali merasakan kehangatan dan kedamaian. Ia merasa seperti berada di zona nyaman yang selama ini dia rindukan. Zona yang membuatnya senang, nyaman dan merasa aman berada di dalamnya. Caramel meletakkan tasnya. Ia membaringkan tubuhnya di kasur yang sudah terasa tidak empuk lagi. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan melupakan kejadian buruk yang menimpanya hari ini.Saat bayangan tentang perlakuan keluarga suaminya itu datang, dengan segera Caramel menyapunya. Ia tidak ingin berlarut dalam belenggu yang membuatnya tertekan. Caramel bergegas membersihkan diri. Badannya terasa lengket sejak siang akibat terkena keringat dan sinar matahari.Usai mandi dan berganti pakaian Caramel duduk di ruang tamu dengan memandangi foto keluarganya. “Ayah… ibu... maafkan aku. Selama hidup aku belum sempat membahagiakan kalian. Aku belum bisa membuat kalian bangga,” sesal Caramel sambil mengelus foto tersebut. Air matanya kembali terjatuh.“Ayah… maafkan aku belum b
Yuan terbangun setelah mendengar suara tukang bubur melintas di depan rumah Caramel.Yuan mengedarkan pandangan namun tak mendapati Caramel dalam ruangan itu. Dia berpikir mungkin saja Caramel masih tidur.Ya, mereka tidur terpisah. Yuan di ruang tamu sementara Caramel tidur di kamarnya. Mereka sudah berkomitmen untuk tidak melakukannya sebelum mereka saling mencintai.“Caramel… Mel... kamu di mana?” panggil Yuan mencari keberadaan Caramel. Yuan membuka pintu kamar Caramel namun kosong. Yuan beralih ke dapur dan kamar mandi tapi Caramel tak juga ia temukan.“Mel, Mel... kamu ke mana lagi, sih? Hobi banget ngilang-ngilang begini,” gumam Yuan. Yuan membuka pintu utama dan melihat Caramel sedang berbelanja di tukang sayur bersama ibu-ibu lainnya. Caramel terlihat akrab sesekali mereka juga bercanda saling melempar candaan. “Ternyata senyum kamu manis juga,” celetuknya terlontar begitu saja. “Semoga suatu saat kita bisa menjadi pasangan suami istri sungguhan. Saling melengkapi, saling m
Caramel terbangun saat merasakan ada sesuatu yang besar melingkar di perutnya. Caramel perlahan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Caramel saat mendapati Yuan tidur satu ranjang dengannya.Caramel ingin berteriak, tapi dia urungkan. Bagaimana pun mereka berdua suami istri. Tidak ada larangan untuk mereka tidur satu ranjang bersama. Caramel memutuskan untuk melihat ciptaan tuhan tersebut mumpung Yuan sedang tidur. “Kamu tampan juga baik hati. Tapi aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa memilih perempuan seperti aku. Aku tahu jodoh itu penuh misteri, tapi aku rasa kisah kita terlalu rumit untuk dimengerti,” lirih Caramel sambil memandangi wajah rupawan suaminya.Yuan menggeliat, membuat pelukannya di tubuh Caramel terlepas. Caramel segera pura-pura tidur agar Yuan tidak memergoki dirinya yang diam-diam mulai mengangumi sosok suaminya. “Nggak usah pura-pura tidur, aku tahu kok kamu sudah bangun,” sindir Yuan.Caramel terpaksa membuka matanya dan melihat Yuan sedang memandangi Caram
“Mas, kopinya sudah aku buatkan. Sarapannya juga sudah siap,” ucap Caramel menghampiri Yuan di kamar setelah selesai memasak.“Iya, terima kasih.” Yuan masih merapikan dasinya, kemudian melewati Caramel begitu saja. Bisa dipastikan Yuan masih kecewa dengan sikap Caramel. Dia hanya meminta hak-nya sebagai suami, namun Caramel masih terlihat enggan untuk melakukan kewajibannya. Tentu saja Caramel merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi? Apakah dia bisa melakukan itu dengan setengah hati yang masih keberatan?“Mas, bekalnya juga sudah aku siapkan. Sudah aku taruh di mobil kamu,” ucap Caramel lagi saat berhadapan dengan Yuan yang tengah sarapan.“Iya, terima kasih.”Lagi-lagi hanya jawaban itu. Tidak ada kalimat lain yang keluar dari mulut Yuan selain kalimat tersebut. Apa Yuan sekesal itu? Bukan... Bukan kesal. Lebih tepatnya hanya kecewa karena Caramel belum yakin dengan apa yang dia janjikan. “Aku berangkat dulu,” pamit Yuan usai sarapan dan menenggak segelas air putih.“Mas, kopinya be
Caramel sudah mandi, sudah dandan, dan sudah bersiap-siap dengan pakaian dinas yang baru dia beli. Sesekali dia mematutkan tampilannya di cermin. Namun setiap kali melihat cermin, Caramel langsung menutup wajahnya karena malu.Sebelumnya Yuan telah mengabari jika dirinya lembur dan akan pulang sekitar jam delapan malam. Tapi jam delapan sudah lewat Yuan tak kunjung muncul di hadapannya. Caramel sudah berselimut rapat. Dia sangat malu tapi dia juga ingin terlihat menggoda di depan Yuan. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini, dua keraguan saling memenuhi ruang pikirnya.Ceklek! Terdengar gagang pintu dibuka membuat degup jantung Caramel berpacu hebat. Dia seperti sedang lari maraton karena keringat mulai menjalari wajah dan tubuhnya.Yuan membuka pintu kamar dan melihat Caramel menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Menyisakan wajah yang sudah basah akan keringat.“Caramel, kamu kenapa?” tanya Yuan khawatir karena Caramel berkeringat. Khawatir jika keringat itu keringat ding