Share

Prelude [1]

Vivian Maretta mengecek arloji untuk kesekian kalinya. Dia menahan diri agar tidak mendengkus kencang. Ini risiko yang harus dihadapinya karena memilih karier yang –bisa dibilang- antimainstream. Jam kerjanya ditentukan oleh mood seorang aktris muda yang sedang menjadi pusat perhatian di Indonesia.

Sekali lagi, Vivian menunduk untuk memastikan penampilannya cukup memenuhi standar sang bos. Dia mengenakan gaun selutut berwarna krem dengan kerah sabrina yang menampakkan bahunya. Sebuah bros berbentuk kuncup mawar disematkan di dada kirinya. Lalu, stiletto merah menjadi pelengkap penampilan Vivian. Gadis itu sekali lagi memeriksa clutch bag sewarna sepatunya yang sejak tadi berada di pangkuan.

“Semoga hari ini hidupku lancar-lancar aja, tanpa drama atau tragedi apa pun,” harapnya.

Dalam kesehariannya, Vivian bukan jenis cewek yang suka berdandan. Namun, pekerjaan mengharuskannya tampil cantik dan glamor pada saat tertentu. Untungnya, aktris yang menjadi bosnya memiliki selera mode yang bagus yang cukup sesuai dengan apa yang diinginkan Vivian. Sehingga gadis itu tidak pernah merasa keberatan mengenakan kostum yang sudah disiapkan.

Usia Vivian baru melewati angka 22 beberapa bulan silam. Dia adalah gadis jangkung setinggi 172 sentimeter dengan kulit kuning langsat. Rambut hitam Vivian melewati bahu, membingkai wajahnya yang berbentuk oval. Hidungnya sedang dengan mata bulat dan alis lebat. Bibir bawahnya tebal. Ketika dia tersenyum atau tertawa, ada lesung pipit di pipi kanannya.

“Kenapa kamu punya lesung pipit dan bibir seksi, sih? Kamu juga jangkung, Vi. Aku iri, tau!” keluh sahabatnya, Leona, bekali-kali. “Kenapa kamu punya semua hal-hal keren yang diimpikan cewek lain? Ini betul-betul nggak adil!”

“Bibirku nggak seksi,” bantah Vivian. “Kamu cuma kurang tinggi dua sentimeter dariku, Na! Nggak perlu merasa jadi makhluk hidup yang paling jelek, deh! Sejak kita kenal, kayaknya keluhanmu itu-itu melulu. Nggak bosan apa?”

“Itu namanya konsisten. Kalau keluhannya beda-beda padahal objeknya sama, itu yang disebut labil,” tangkis Leona.

Obrolan di masa lalu itu membuat Vivian tersenyum. Sayang, sekarang Leona tidak berada di Jakarta. Sehingga mereka tak bisa bertemu dan mengobrol heboh seperti dulu lagi. Mereka terpaksa bertukar kabar via sambungan telepon atau video call saja.

Vivian sedang duduk di ruang tamu mewah milik Cynthia Pasha, aktris yang sudah malang melintang di dunia hiburan Tanah Air sejak SMP. Cynthia baru saja usai menjalani syuting film layar lebar keempatnya yang mengambil lokasi di Sumba. Sebenarnya, ketika suasana hatinya sedang baik, Cynthia adalah sosok supel yang cukup mengasyikkan. Sebaliknya, saat mood-nya buruk, gadis berusia 23 tahun itu menjadi penguji iman bagi orang lain.

“Cyn, berdasarkan gosip yang banyak beredar, disebut-sebut bahwa kamu adalah penderita bipolar. Karena mood kamu begitu gampang naik dan turun dalam waktu singkat. Apa itu benar?”

Pertanyaan dari salah satu wartawan hiburan itu pernah diajukan pada Cynthia dalam suatu kesempatan dan membuat sang aktris marah besar. Cynthia mencerocos di depan kamera untuk membela diri hingga salah satu pengawal pribadinya maju dan memaksa sang aktris untuk mengakhiri wawancara itu.

“Tolong ya, biasakan mengajukan pertanyaan dengan sopan,” tutup Cynthia kala itu sembari menatap ke arah kamera dengan tajam.

Hari ini, sedianya Vivian akan menggantikan Cynthia menghadiri sebuah acara makan malam dengan keluarga besarnya. Ini kali keempat Vivian melakukan hal itu. Alasannya, Cynthia sedang tidak berminat terlibat dalam berbagai acara keluarganya yang digelar di tempat umum. Konon, ada beberapa masalah yang Vivian sendiri tidak tahu pasti.

Saat-saat Cynthia tak mau menghadiri suatu acara yang dianggap cukup penting dan bisa memicu gosip miring andai ketahuan oleh wartawan, ketika itulah jasa Vivian dibutuhkan. Dia berkali-kali harus menggantikan Cynthia sejak setahun terakhir. Selain acara keluarga, Vivian juga kerap muncul di perhelatan yang tergolong sepi wartawan dan tidak dihadiri banyak orang yang mengenal Cynthia dengan baik. Tujuannya, agar identitas Vivian tak terbongkar.

“Kamu nggak pernah cemas kalau ternyata ada orang yang tau bahwa kamu bukan Cynthia dan bikin masalah di suatu acara?” tanya Leona suatu kali, tak lama setelah Vivian menerima pekerjaan unik dari sang aktris.

“Ya cemas, sih! Tapi Cynthia punya tim hebat yang bakalan bikin aku semirip mungkin sama dia,” balas Vivian. “Selama ini, hal itu udah terbukti. Nggak pernah ada yang curiga.”

Vivian melicinkan gaunnya dengan tangan kanan. Dia tak boleh berpenampilan kusut tiap kali tampil mewakili Cynthia. Di sekeliling gadis itu, beberapa orang berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Ada penata rias yang tadi sudah mendandani Vivian, pembantu rumah tangga, hingga salah satu bodyguard Cynthia yang sedang bicara di telepon dengan antusias.

Ya, Cynthia memang memiliki lebih dari satu orang pengawal pribadi yang bertugas menjaga keamanannya. Kecuali saat dia bersama sang pacar, Cynthia akan selalu diikuti oleh bodyguard. Vivian sendiri tidak paham alasan sang aktris menggunakan jasa pengawal pribadi.

Asisten Cynthia yang sudah bekerja dengan gadis itu selama hampir satu dekade, Sally, keluar dari kamar sang aktris. Dari ekspresi Sally, Vivian sudah bisa menebak apa yang terjadi. Perubahan rencana.

“Mbak, aku nggak jadi ke acara keluarganya Cynthia?” tanya Vivian tanpa tedeng aling-aling. Dia sudah menunggu lebih dari satu setengah jam. Menghabiskan waktu di ruang tamu tanpa melakukan apa pun, bagi Vivian bukan aktivitas favorit. Namun Vivian tak bisa mengajukan keberatan karena kontraknya mengharuskan untuk mengikuti semua keinginan Cynthia.

“Nggak, karena barusan papanya Cynthia nelepon, maksa dia untuk datang. Kalau nggak, Om Tommy mengancam bakalan ngomong ke wartawan bahwa Cynthia menyewamu untuk  acara tertentu.” Sally mengedikkan bahu dengan mimik tak berdaya bercampur kesal. “Tadi aku udah ngingetin supaya dia datang sesekali. Sekesal-kesalnya sama keluarga, nggak pas juga kalau selalu minta kamu yang gantiin.”

Vivian mendesah lega. Itu artinya dia tak perlu mendengar omelan atau sindiran dari anggota keluarga Cynthia karena sang aktris menolak datang dan malah mengutusnya. Jika sudah begitu, Vivian biasanya berakhir dengan perasaan kikuk dan tidak tahu harus melakukan apa. Padahal, dia bukan tipikal orang yang mudah kehilangan kata-kata.

“Jangan keliatan banget kalau kamu itu lega. Ntar Cynthia ngamuk lagi,” Sally mengingatkan sambil menyeringai.

Vivian sengaja merendahkan suaranya saat bicara. “Ketemu sama keluarga Cynthia memang salah satu siksaan dunia paling kejam yang pernah kurasa, Mbak.”

Sally terkekeh. “Kalau kamu kenal Cynthia yang dulu, dia nggak sesensi sekarang. Jadi, lebih gampang untuk ngasih masukan. Bahkan sesuatu yang bernada kritik. Sekarang, kalau mau ngomong sama dia, harus bener-bener liat sikon.” Perempuan itu berdiri di seberang Vivian, sedang mengaduk-aduk isi tasnya untuk mencari sesuatu. “Tapi kamu punya tugas lain hari ini, Vi. ‘Kencan’ sama Eric.”

Nama yang disebut Sally itu membuat jantung Vivian mendadak bertingkah. Namun dia buru-buru menguasai diri, hasil “latihan” menghadapi ibunya selama bertahun-tahun. “Kenapa harus ‘kencan’, Mbak? Bukannya nanti bisa ketauan sama wartawan? Mana mungkin ada orang yang muncul di dua tempat berbeda pada saat bersamaan?” balas Vivian berlagak santai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status